[1] Catatan atas penjelasan materi mengenai Ilmu Hadits, - TopicsExpress



          

[1] Catatan atas penjelasan materi mengenai Ilmu Hadits, khususnya pembahasan hadits mutawatir dan hadits ahad. [2] Hadits ini dengan keseluruhan jalan periwayatannya adalah shahih. Telah dishahihkan oleh banyak ulama hadits seperti : At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa, Ibnu Hajar dalam Takhrij Al-Kasyaf, Al-Albani dalam Ash-Shahiihah, dan yang lainnya. [3] Dinukil melalui perantara kitab Minhajul-Firqatin-Najiyyah wath-Thaaifah Al-Manshurah oleh Ibnu Zainu, Cet. 9. [4] Silakan disimak perkataan para ulama dalam kitab tersebut tentang eksistensi Ashhaabul-Hadiits ! [5] Penyebutan para Ahli Hadits secara khusus dalam cakupan makna Ashhaabul-Hadits merupakan penisbatan yang dilakukan oleh para ulama Ahlus-Sunnah. Silakan lihat kitab Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits oleh Al-Hakim An-Naisaburi. [6] Sebagian ahli hadits tidak membaginya menjadi dua, namun menjadi empat : mutawatir, masyhur, ‘aziz, dan gharib. Tidak ada perbedaan mendasar dalam permasalahan ini, karena hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib termasuk klasifikasi hadits ahad. [7] Sebenarnya pembagian hadits mutawatir dan ahad tidaklah dimulai oleh kalangan ahli hadits di kalangan awal (tidak ada asalnya dari kalangan Ashhaabul-Hadiits). Namun, pembagian itu dimulai oleh kalangan ahli ushul dan ahli kalam. Pembagian tersebut pertama kali dilakukan oleh Abdurrahman bin Kaisan Al-Asham yang kemudian diikuti oleh muridnya yang bernama Ibrahim bin Isma’il bin Ibrahim. Ibrahim bin Isma’il ini adalah seorang Jahmi (penganut paham Jahmiyyah – paham sesat yang telah dikafirkan para ulama). [Lihat Al-Mukhtarah fii Ajwibatil-Musthalah oleh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i hal. 63-64; Maktabah Sahab]. Maka, kita tidak akan ditemukan pembagian ahad dan mutawatir ini di kalangan ulama ahli hadits terdahulu. Kalaupun misal sebagian ulama menyebutkan ahad dan mutawatir, itu bukanlah seperti yang dimaui kalangan ahli ushul. Namun hal itu semata-mata hanya dilihat dari jumlah perawi saja. Hal itu tercermin sebagaimana dalam kitab Ar-Risalah karangan Imam Asy-Syafi’i. Beliau menyebutkan khabar wahid atau khabar ahad, namun maksud beliau semata-mata hanyalah penekanan pada jumlah perawi saja yang menyampaikan hadits yaitu satu orang. Hal itu dipertegas dengan penjelasan Al-Imam Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy ketika mensyarah kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karangan Imam Ath-Thahawi Al-Hanafy : يشير الشيخ رحمه الله بذلك إلى الرد على الجهمية والمعطلة والمعتزلة والرافضة ، القائلين بأن الأخبار قسمان : متواتر وآحاد ، فالمتواتر - وإن كان قطعي السند - لكنه غير قطعي الدلالة ، فإن الأدلة اللفظية لا تفيد اليقين ! “Syaikh rahimahullah (yaitu Imam Ath-Thahawi) mengisyaratkan kepada bantahan terhadap Jahmiyyah, Mu’aththilah, Mu’tazillah, dan Rafidlah yang mengatakan bahwa khabar itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. (Mereka mengatakan :) adapun khabar mutawatir, meskipun sanadnya telah qath’i namun dilalahnya tidak qath’i, maka dalil-dalil lafdhiyyah tersebut tidak menghasilkan keyakinan” [Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 161, Maktabah Al-Misykah]. Berbeda halnya dengan Ushuliyyun yang mendefinisikan sebagai hadits/khabar yang tidak terpenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Pembagian hadits antara ahad dan mutawatir dari kalangan Ushuliyyun ini kemudian diikuti oleh sebagian kalangan Ahli Hadits muta’akhkhirin, seperti Ibnul-Atsir Al-Jazri dalam muqaddimah kitab Jami’ul-Ushul dan juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Kifayah fii ‘Ilmir-Riwayah. Imam As-Suyuthi berkata : “(Termasuk di dalamnya) yaitu masyhur (yaitu mutawatir yang dikenal dalam ilmu fiqh dan ushul-fiqh, dan tidak ada disebutkan oleh Muhadditsin) dengan nama khusus yang mengesankan maknanya khusus pula. Meskipun terdapat perkataan Al-Khathib, yaitu Al-Baghdadi, namun dalam perkataannya tersebut terkesan ia mengikuti selain Ahli Hadits. Demikianlah yang dinyatakan oleh Ibnu Shalah” [Tadribur-Rawi juz 2 hal. 176]. [8] Syarat ini menjadi sangat penting, sebab Ahlus-Sunnah menolak riwayat para perawi Syi’ah Rafidlah yang ekstrim walau jumlah mereka banyak. Hal itu dikarenakan bahwa perawi Syi’ah Rafidlah adalah para pendusta yang telah banyak membuat kesepakatan (ijma’) dalam dusta. Misalnya ijma’ mereka tentang kafirnya Abu Bakar dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ijma’ ini tentu saja tidak kita anggap. [9] Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali; seperti : a) Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]. b) Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya :”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]. c) Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : ”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” [HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if]. d) Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : ”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” [HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban]. e) Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”Tergesa-gesa adalah bagian dari perbuatan syaithan” [HR. At-Tirmidzi dengan sanad hasan]. Lihat Nuzhatun-Nadhar hal. 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533. [10] Nuzhatun-Nadhar oleh Ibnu Hajar hal. 28 dan Taisir Musthalah Al-Hadits oleh Mahmud Ath-Thahhan hal. 28. [11] Hadits syadz adalah hadits yang dibawakan oleh perawi yang terpercaya (tsiqah) yang menyelisihi perawi yang lebih terpercaya darinya, baik dari segi hafalannya, jumlahnya, atau yang lainnya sehingga periwayatannya dimenangkan. [12] Seorang muhaddits, mufassir, dan pakar ushul dari Mesir. Beliau adalah salah seorang ulama Al-Azhar yang disegani di masanya. Beberapa karya beliau di antaranya : Tahqiq Al-Ihkam li-Ibni Hazm, Tahqiq Alfiyatul-Hadits lis-Suyuthi, Syarh Musnad Imam Ahmad (belum selesai), Tahqiq Al-Kharaj li Yahya bin Adam, Tahqiq Ar-Raudlatin-Nadliyyah li-Shiddiq Hasan Khan, ‘Umdatut-Tafsir, Takhrij Tafsir Ath-Thabari, dan yang lainnya. [13] Dimana beliau mendapatkan predikat Cum Laude (mumtaz) [14] Diramu dengan tulisan ‘Utsman ‘Ali Hasan yang berjudul Manhajul-Istidlal ‘alaa Masaailil-I’tiqad ‘inda Ahlis-Sunnah. [15] Maksudnya adalah kalangan yang mengambil madzhab fiqh dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyyah namun beraqidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. [16] Yaitu shahabat Mu’adz bin Jabal. Ia adalah seorang diri, yang berarti apa yang disampaikan kepada penduduk Yaman adalah khabar/hadits ahad. [17] Sebagian orang belakangan menyanggah pendalilan itu dengan alasan bahwa pengutusan Mu’adz (dan juga para shahabat yang lain) oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah untuk tabligh saja. Bukan untuk diyakini. Mereka juga mengatakan bahwa pengutusan beliau tersebut hanyalah sebatas keperluan dakwah saja, dan ini terkait dengan masalah amal/hukum saja. Tidak berkaitan dengan masalah aqidah. Menolak dakwah Islam tidak termasuk kekafiran [lihat selengkapnya dalam kitab mereka yang berjudul Ad-Dausiyyah lembaran ke 5-6]. Kita jawab : “Wallaahi (demi Allah), perkataan mereka adalah perkataan yang sungguh kontradiktif yang tidak pernah dinukil dari ulama salaf. Mereka membuat-buat alasan yang tidak pernah terdengar dari para ulama kita yang mu’tabar terdahulu. Dakwah Islam meliputi aspek aqidah dan hukum sekaligus. Memisahkan antara keduanya adalah sesuatu hal yang tidak bisa diterima oleh aqli (akal) apalagi naqli (dalil). Dakwah pada hakikatnya merupakan penyampaian khabar/hadits, yaitu khabar dari Rasulullah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Menolak apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam merupakan dosa. Bila mereka mengatakan bahwa menolak dakwah Islam (yang di dalamnya mencakup masalah aqidah) tidak dapat menyebabkan kekafiran, tentu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak akan mendoakan kehancuran Kisra’ (raja Persia) ketika ia merobek-robek surat yang berisi ajakan masuk Islam [sebagaimana hadits yang dibawakan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma dengan banyak jalan dan syawahidnya]. Banyak hal yang bisa dibantah atas perkataan mereka ini. Allahul-Musta’an. [18] Perhatikanlah uslub bicara Imam Asy-Syafi’i. Perkataan beliau tidaklah mengandung pembolehan orang awam berkata-kata pada hal-hal khusus dalam agama yang ia tidak mengetahuinya. Perkataan beliau merupakan pengibaratan dikarenakan penerimaan dan pembenaran khabar ahad merupakan satu keharusan bagi setiap muslimin tanpa terkecuali. [19] Dalam Ilmu Hadits, termasuk dalam bahasan kriteria hadits syadz. [20] Yang aneh adalah bahwa ada sebagian orang menisbatkan satu kedustaan kepada Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau membedakan antara masalah ‘aqidah dan hukum pada penerimaan hadits ahad. Dalam perkataannya yang masyhur Imam Asy-Syafi’i ketika ditanya oleh Sa’id bin Asad tentang hadits Ru’yah (melihat Allah ketika hari kiamat – ini masalah aqidah) beliau menjawab : “Hai Ibnu Asad, hukumlah aku baik aku hidup atau mati, bahwa setiap hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam aku berpendapat dengannya, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung” [Manaqib Asy-Syafi’i 1/421]. Apakah di sini beliau rahimahullah mensyaratkan mutawatir ? Bahkan dalam kitab Ar-Risalah, Imam Asy-Syafi’i membuat judul khusus : Al-Hujjatu fii Tatsbiiti Khabaril-Waahid. [21] Perlu diketahui bahwa Al-Hafidh Ibnu ‘Abdil-Barr adalah salah seorang ulama yang berpendapat bahwa khabar/hadits ahad membuahkan amal, tidak membuahkan ilmu (yaqini). Namun beliau tetap mewajibkan untuk menerima dan mengamalkan hadits ahad baik dalam masalah ‘aqidah dan hukum. Lihat perkataan beliau berikut : ليس في الاعتقاد كله في صفات الله وأسمائه إلا ما جاء منصوصا في كتاب الله أو صح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو أجمعت عليه الأمة وما جاء من أخبار الآحاد في ذلك كله أو نحوه يسلم له ولا يناظر فيه “Tidaklah setiap masalah aqidah tentang sifat Allah dan Asma’-Nya, kecuali telah tertulis dalam Kitab Allah, atau ada riwayat shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, atau umat telah menyepakatinya. Dan hadits-hadits yang datang tentang itu semua atau sejenisnya diterima tanpa dibantah” [Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadllihi hal. 203; Maktabah Al-Misykah]. Padahal sebagian hadits-hadits yang berbicara tentang asma’ wa shifat Allah itu adalah hadits ahad. [22] Abu Hanifah berkata : “Hadits tentang mi’raj adalah benar. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia sesat dan berbuat bid’ah” [Al-Fiqhul-Akbar hal. 92]. Apabila Abu Hanifah berpendapat bahwa hadits ahad tidak dipakai dalam masalah ‘aqidah, tentu beliau tidak menganggap sesat orang yang mengingkarinya. Hadits tentang mi’raj adalah hadits ahad yang berisi tentang aqidah. [23] Tidak ternukil secara manthuq (tekstual) perkataan Imam Malik dalam kitabnya dalam permasalahan ini. Akan tetapi telah sah nukilan dari para pembesar madzhab Malikiyyah bahwa Imam Malik menerima segala konsekuensi yang ada pada hadits ahad (baik pada masalah ‘aqidah ataupun hukum). Ibnul-Qayyim menukil perkataan Ibnu Khuwaiz Mindad (seorang pembesar madzhab Malikiyyah) : أنه يفيد العلم أيضا وهو أحد روايتين عن مالك اختره جماعة من أصحاب منهم محمد بن خوازمنداد “Bahwasannya hadits ahad memberikan ‘ilmu (yakin) dan ini merupakan salah satu riwayat dari Malik yang dipilih oleh sebagian besar dari shahabat-shahabatnyaa, diantaranya Muhammad bin Khuwaiz Mindad” [lihat secara lengkap pada Mukhtashar Ash-Shawaiq Al-Mursalah 2/362-363 dan 376]. Hal serupa juga dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam Musawwadah fii Ushuulil-Fiqh (hal. 220) dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhid (1/7-8). [24] Sebagian orang membawakan satu riwayat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad dari Al-Atsram bahwa beliau menolak menggunakan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah. Padahal para pembesar madzhab Hanabilah telah menyangkal dan melemahkan riwayat ini karena bertolak belakang dengan perkataan-perkataan beliau dalam masalah aqidah, baik yang beliau tulis sendiri, yang ditulis anaknya (Abdullah), atau yang ditulis oleh ulama lainnya. [25] Sebagian orang mengatakan bahwa Ibnu Hajar berpendapat bahwa beliau tidak menerima hadits ahad dalam masalah ‘aqidah dimana perkataan beliau ini dinisbatkan pada kitab Fathul-Bari [sebagaimana tercantum dalam buku Al-Istidlal bidh-Dhann fil-‘Aqidah hal. 72]. Perkataan ini adalah tidak benar, sebab Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (3/234) hanyalah menukil perkataan Al-Kirmani dan sama sekali tidak ada isyarat untuk membenarkannya. Ini adalah hal yang biasa dalam uslub penulisan Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari. Diamnya beliau atas suatu nukilan perkataan tidaklah selalu menunjukkan kesepakatan beliau. Sebab, Ibnu Hajar berkata dalam Nuzhatun-Nadhar fii Taudliihi Nukhbatul-Fikar (hal. 26-27) : وقد يَقعُ فيها أي : في أَخْبارِ الآحادِ المُنْقَسِمَة إِلى مَشْهورٍ وعَزيزٍ وغَريبٍ ؛ مَا يُفيدُ العِلْمَ النَّظريَّ بالقَرائِنِ ؛ عَلى المُختارِ ؛ خِلافاً لِمَنْ أَبى ذلك . “Terkadang juga terjadi pada hadits ahad yang terbagi menjadi hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib memberikan pengertian ilmu nadhary dengan beberapa ketentuan sesuai dengan pendapat yang terkuat. Berbeda dengan orang yang menolak hal itu” . Di sini beliau tidak membedakan antara aqidah dan hukum. Bukti lain yang memperkuat adalah ketika beliau menjelaskan dalam kitab Fathul-Bari beberapa tanda-tanda sughraa dan kubraa hari kiamat (yang diantaranya banyak merupakan hadits ahad) dengan penjelasan yang berisi penerimaan dan tuntutan untuk membenarkan serta mengimaninya. Lihat selengkapnya dalam Asyratus-Sa’ah karya Yusuf bin ‘Abdillah Al-Wabil, MA [Maktabah Ibnul-Jauzi, Cet. I, 1409 H]. [26] Imam Nawawi juga tidak luput dari penisbatan dusta ketika beliau diklaim mendukung pendapat untuk menolak hadits ahad dalam lingkup ‘aqidah. Ketika beliau menegaskan bahwa khabar ahad itu menghasilkan dhann, maka sama sekali beliau tidak pernah mengatakan bahwa khabar ahad bukan merupakan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Jikalau saja mereka menyibukkan membaca kitab Syarh Shahih Muslim karangan beliau, niscaya akan menemukan bahwa menerima kehujjahan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah. Misalnya tentang hadits kairnya orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam [Shahih Muslim no. 203]. Beliau menjelaskan : “Di dalam hadits tersebut [yaitu hadits : إن أبي وأباك في النار – ”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”] terdapat pengertian bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa orang yang meninggal dunia pada masa dimana bangsa Arab tenggelam dalam penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lain shalawaatullaah wa salaamuhu ‘alaihim” [Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi 3/79 melalui perantara Naqdu Masaalikis-Suyuthi fii Waalidayil-Musthafaa oleh Dr. Ahmad bin Shalih Az-Zahrani hal. 26, Cet. 1425 H]. Perhatikan, di situ An-Nawawi memberikan penjelasan dengan isyarat penerimaan dan pembenaran tentang aqidah status orang tua Nabi. Padahal hadits tersebut adalah ahad ! Dan yang sangat jelas adalah perkataan An-Nawawi ketika mengomentari tentang hadits Tamim Ad-Daari yang menceritakan tentang Dajjal dan Jassaasah dalam Shahih Muslim no. 2942; dimana beliau mengatakan : “Kisah ini merupakan dalil diterimanya berita dari satu orang” [Syarh Shahih Muslim 18/81]. Bukankah ini masalah ‘aqidah ? Contoh lain masih banyak. [27] Seperti yang dikatakan (secara dusta) oleh Mahmud Syaltut : “Para ahli ilmu sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap masalah aqidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib” [lihat Fataawaa oleh Mahmud Syaltut hal. 62]. Ironisnya, perkataannya ini banyak ditaqlidi oleh sebagaian orang yang hendak mempopulerkan permasalahan ini. Laa haula walaa quwwata illaa billaah ! Sungguh benar apa yang dikatakan Ibnul-Qayyim : “Demikianlah kebiasaan ahlul-kalam (rasionalis), yaitu mengatakan ijma’ tanpa ada seorang ulama pun yang menyepakatinya”. [28] Namun sungguh sangat aneh ketika mereka (yang menolak hadits ahad dalam masalah ‘aqidah karena hanya mengahsilkan dhann saja) menggunakan ayat-ayat yang berisi celaan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah karena mengikuti dhann seperti dalam QS. An-Nisaa’ : 157, Al-An’am : 116, atau An-Najm : 23. Apakah dhann orang mukmin disamakan dengan dhann orang kafir ? Apakah dhann yang dimiliki para perawi hadits dan ulama hadits yang mereka ini adalah orang-orang shalih disamakan dengan dhann orang-orang fasik dan kafir ? Apakah akan disamakan orang yang berilmu dengan orang yang jahil ? Allaahul-Musta’an…… [29] Kami tambahkan tentang kelemahan pendapat ini : a. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penentuan jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir adalah satu hal yang nisbi. Tidak ada jumlah pasti yang merupakan kesepakatan para ahli ilmu. Maka, batasan antara masalah ‘aqidah dan hukum pada hadits nabawi pun sebenarnya sangat tipis atau bahkan bisa dikatakan tidak ada. Jika mereka misalnya berpandangan bahwa satu hadits dikatakan mutawatir jika jumlah perawi dalam setiap thabaqah adalah 4 orang, sedangkan kita menyepakati 10 orang; tentu ini akan berkonsekuensi bahwa satu hadits dapat dianggap aqidah oleh orang tertentu dan sebaliknya bagi orang lain. Taruhlah misal jumlah perawi yang meriwayatkan berjumlah 6 orang. Dan sesuatu yang nisbi – jika kita turuti logika mereka – bukan merupakan satu bentuk kepastian. Tentu saja tidak pantas dijadikan dalil ‘aqidah. Logika mereka membantah logika mereka sendiri. b. Pada tataran riilnya, satu riwayat mutawatir akan kembali pada riwayat ahad. Riwayat mutawatir hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja yang mengkhususkan diri dalam meneliti hadits. Ketika – misalnya – ada orang yang menukil perkataan Al-Hafidh Ibnu Hajar bahwa riwayat anu merupakan riwayat mutawatir, bukankah kita ketika menerima penjelasan dari orang tersebut sebenarnya merupakan rantai riwayat ahad ? Dan hal itu juga terjadi perawi hadits ! Misalnya, hadits tentang Dajjal yang merupakan hadits mutawatir yang diriwayatkan lebih dari 20 orang shahabat Nabi. Hadits tersebut tentu akan dikatakan mutawatir jika semua riwayat tersebut telah terkumpulkan. Namun, bagi perawi yang berada pada satu atau dua jalur riwayat, tentu akan menganggap hadits tersebut adalah ahad. Konsekuensinya, aqidah tentang kedatangan Dajjal hanya diimani oleh generasi belakangan dan tidak diimani oleh generasi pendahulu. Ini malah suatu kontradiksi yang menggelikan. [30] Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidh Ibnu ‘Abdil-Barr di atas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menambahkan : “Dan pendapat ini adalah pendapat orisinil dari kaum Mu’tazillah dan sebagian Asy’ariyyah/Maturidiyyah [ ---- bukan pendapat Ahlus-Sunnah ---- ], yang diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Qadli Abdul-Jabbar dimana ia berkata : “Diperbolehkan mengambil hadits ahad jika sampai kepada kita dengan syarat-syaratnya, namun tidak boleh diambil untuk msalah aqidah” [Syarh Ushulil-Khamsah hal. 769]. Hal senada juga dikatakan oleh Abdul-Qadir Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhrur-Razi, dan yang lainnya. Dan di masa sekarang, hal itu dikibarkan oleh Muhammad ‘Abduh, Sayyid Quthb, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul-Karim ‘Utsman, Muhammad Al-Ghazali, Taqiyyuddin An-Nabhani, dan yang lainnya. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan ulama telah membantah mereka. Catatan : Abdul-Qadir Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan Fakhrur-Razi akhirnya kembali pada aqidah Ahlus-Sunnah di akhir kehidupannya. [31] Seperti misal tulisan Umar Bakri Muhammad (di luar negeri lebih dikenal dengan Syaikh OBM – sekarang mukim di Inggris) atau Fathi Muhammad Salim. Dan kemudian tulisan kedua orang ini banyak diikuti (ditaqlidi) banyak orang tanpa penelitian. [32] Lihat lebih lengkap pada kitab Irsyaadul-Fuhul karangan Asy-Syaukani dan Al-Ihkaam karangan Al-‘Amidi. [33] Sebenarnya banyak yang hendak dituliskan terkait dengan beberapa syubhat yang mereka lontarkan. Barangkali ada ikhwah lain yang mempunyai kelongaran waktu untuk menuliskannya ?
Posted on: Fri, 09 Aug 2013 11:33:46 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015