(2/2) ITTIBA’ KEPADA NABI TANDA-TANDA ITTIBA’ Ittiba’ - TopicsExpress



          

(2/2) ITTIBA’ KEPADA NABI TANDA-TANDA ITTIBA’ Ittiba’ memiliki tanda-tanda yang banyak, yang paling penting di antaranya adalah: 1. Mengagungkan nash-nash syar’iyah. Tanda dan bukti ittiba’ yang paling nampak adalah mengagungkan nash-nash agama yang telah tetap. Yaitu dengan menghormati, memuliakan, mendahulukannya, tidak meninggalkannya, meyakini bahwa petunjuk hanya ada padanya tidak pada selainnya, mempelajari, memahami, memperhatikan, mengamalkannya, berhukum kepadanya dan tidak menentangnya. Dan ini adalah petunjuk tokoh-tokoh panutan dan imam-imam di dalam ittiba’, yaitu para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang setelah mereka. Abdullah bin Mughaffal pernah melihat seorang sahabatnya melempar kerikil dengan jarinya. Lalu dia berkata kepadanya, “Jangan kau lakukan itu. Karena Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melarang melempar kerikil dengan jari dan beliau membencinya.” Kemudian setelah itu dia melihatnya melakukan lagi. Lalu Abdullah berkata kepadanya, “Bukankah telah kusampaikan kepadamu bahwa Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melarang perbuatan ini? Kemudian aku lihat engkau melakukannya lagi? Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”[73] Khirasy bin Jubair berkata, “Aku melihat seorang pemuda di masjid melempar kerikil dengan jarinya. Lalu ada seorang tua berkata kepadanya, “Jangan kau lempar kerikil dengan jari, karena aku mendengar Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melarang perbuatan itu.” Kemudian pemuda itu lalai dan menyangka bahwa orang tua tadi tidak memperhatikannya, lalu dia melempar kerikil dengan jarinya lagi. Maka orang tua itupun berkata kepadanya, “Aku sampaikan kepadamu bahwa aku mendengar Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melarang perbuatan itu, kemudian engkau melakukannya. Demi Allah, aku tidak akan menghadiri jenazahmu, aku tidak akan menjengukmu jika engkau sakit dan aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”[74] Ibnu Umar menyampaikan hadits bahwa Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda, إذا استأذنت أحدكم امرأته إلى المسجد فلا يمنعها “Jika salah seorang dari kalian dimintai izin oleh istrinya untuk pergi ke masjid maka janganlah dilarang.” Lalu salah seorang anaknya berkata, “Kalau demikian, demi Allah aku akan melarangnya.” Maka Ibnu Umar menghadap kepadanya dan mencelanya dengan celaan yang belum pernah ia berikan kepada seorangpun sebelumnya. Kemudian dia berkata, “Aku sampaikan hadits dari Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم tapi engkau berkata, kalau demikian demi Allah aku akan melarangnya?!”[75] Abu Hurairah berkata, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم mengharamkan apa saja yang ada di antara kedua batunya. Seorang perawi berkata, maksud beliau adalah kota Madinah. Beliau (Abu Hurairah) berkata, maka seandainya aku mendapati seekor rusa yang diam, aku tidak akan mengagetkannya.” [76] Ubadah bin Shamit menyebutkan bahwa Nabi صلى ا لله عليه وسلم melarang pertukaran dua dirham dengan satu dirham. Lalu ada seseorang yang berkata, “Menurutku, ini tidak mengapa asalkan kontan.” Maka Ubadah berkata, “Aku katakan Nabi صلى ا لله عليه وسلم bersabda, sedangkan engkau katakan, menurutku tidak mengapa. Demi Allah, engkau dan aku tidak akan dinaungi oleh satu atap.”[77] Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Nabi صلى ا لله عليه وسلم melakukan tamattu Lalu Urwah bin Zubair berkata, Abu Bakar dan Umar melarang dari mut’ah (yakni tamattu’ dalam haji –pen). Maka Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat mereka akan binasa. Aku berkata, Nabi صلى ا لله عليه وسلم bersabda, tetapi mereka berkata Abu Bakar dan Umar melarangnya.”[78] Ibnu Sirin menyampaikan satu hadits dari Nabi صلى ا لله عليه وسلم kepada seseorang lalu orang itu berkata, “Fulan dan fulan berkata begini”. Maka Ibnu Sirin berkata, “Aku sampaikan kepadamu hadits dari Nabiصلى ا لله عليه وسلم, namun engkau malah berkata fulan dan fulan berkata begini dan begitu? Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.” [79] Imam Asy-Syafi’i berkata kepada seseorang, “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu dari Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم, maka ambillah. Akan tetapi, apa saja yang mereka katakan dengan pendapat mereka saja, maka buanglah di tempat pembuangan kotoran.”[80] 2. Takut terhadap penyimpangan dan istidraj. Di antara tanda-tanda dan bukti-bukti ittiba’ yang paling nampak adalah rasa takut seorang hamba dari penyimpangan dan dosa-dosanya. Dan rasa takutnya dari istidraj (diberikan kenikmatan-kenikmatan di dalam kesesatannya –pen) dan ketidak-kokohan dirinya di atas kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammadصلى ا لله عليه وسلم. Tanda-tanda ini telah nampak jelas dan gamblang pada diri para sahabat dan tabi’in . Ibnu Mas’ud menggambarkan keadaan ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya keadaan seorang mukmin ketika melihat dosa-dosanya, sebagaimana keadaan dia ketika duduk di bawah suatu gunung. Dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpanya. Sedangkan orang yang fajir melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang melewati hidungnya. Dia mengusirnya begitu saja.”[81] Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Seorang yang beriman melaksanakan ketaatan-ketaatan dalam keadaan takut dan khawatir. Sedangkan orang yang fajir melakukan maksiat-maksiat dengan perasaan aman.[82] Imam Bukhari berkata, Ibrahim At-Taimi berkata, “Tidaklah aku membandingkan perkataanku terhadap perbuatanku melainkan aku merasa takut kalau-kalau aku adalah seorang pendusta.” Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku mendapati tiga puluh sahabat Nabi صلى ا لله عليه وسلم, semuanya mengkhawatirkan dirinya terkena sifat nifaq. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bahwa dia memiliki keimanan Jibril dan Mikail.” Disebutkan dari Al-Hasan, “Tidak ada yang takut kepada-Nya kecuali orang yang beriman, dan tidak merasa aman dari-Nya kecuali orang munafiq.” [83] Bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq – manusia yang paling utama dari umat ini setelah Nabinya – berkata, “Tidaklah aku tinggalkan sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم melainkan aku juga mengamalkannya. Sungguh aku takut menyimpang jika aku meninggalkan sesuatu dari perintah beliau.” Ibnu Bath-thah memberikan komentar terhadap perkataan Ash-Shiddiq ini dengan mengatakan, “Inilah Ash-Shiddiq al-Akbar – wahai saudaraku – beliau takut dirinya menyimpang jika menyelisihi sesuatu dari perintah Nabinya صلى ا لله عليه وسلم. Maka apa jadinya suatu zaman yang manusianya menghina Nabi mereka dan perintah-perintahnya, berbangga dengan menyelisihinya dan mencela sunnahnya?! Kita memohon kepada Allah perlindungan dari ketergelinciran dan keselamatan dari buruknya amal.[84] 3. Mencontoh dan meneladani Nabi صلى ا لله عليه وسلم secara lahir dan batin. Yaitu dengan memurnikan mutaba’ah hanya kepada Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم, mencukupkan diri dengan menerima dan mengambil dari beliau, dan mengamalkan apa saja yang beliau bawa, sebagai perwujudan firman Allah سبحانه وتعالى, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا “Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah. Yaitu bagi siapa saja yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan dia banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzaab: 21) Maka tidak ada keyakinan, ibadah, muamalah, akhlaq, adab, peraturan jama’ah, ekonomi, politik… dan seterusnya, melainkan dari jalan beliau dan sesuai dengan hukum-hukum dan pengajaran-pengajaran yang berliau bawa di dalam al-Kitab dan as-Sunnah yang shahih. Dimana syariat beliau menjadi muhaiminah (pengawas) dan raidah (pemandu). Di dalam menafsirkan firman Allah سبحانه وتعالى, النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ “Nabi itu lebih dekat kepada orang-orang yang beriman dari diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ahzaab: 6) Ibnul Qayyim berkata, “Ini adalah dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjadikan Rasul lebih dekat terhadapnya dari dirinya sendiri maka dia tidak termasuk orang-orang yang beriman. Dan kedekatan ini mengandung beberapa perkara. Di antaranya, bahwa pada asalnya seorang hamba tidak berhak menghukumi dirinya sendiri, akan tetapi hukum itu adalah hak Rasul صلى ا لله عليه وسلم Hukum yang beliau tetapkan untuk diri seorang hamba, lebih besar daripada hukum seorang tuan terhadap budaknya atau orang tua terhadap anaknya. Maka tidak ada hak baginya untuk bertindak terhadap dirinya kecuali yang diizinkan oleh Rasul. Karena beliau lebih dekat terhadapnya daripada dirinya sendiri.”[85] 4. Menjadikan syariat sebagai hakim dan berhukum kepadanya. Yaitu menjadikan ajaran yang dibawa Rasul صلى ا لله عليه وسلم di dalam al-Kitab dan as-Sunnah sebagai hakim dan berhukum kepada keduanya. Dan menjadikannya sebagai timbangan untuk menilai keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan dan perkara-perkara yang ditinggalkan. Maka yang sesuai dengannya diterima dan diamalkan. Sedangkan yang menyelisihinya ditolak meskipun dibawa oleh orang yang membawa. Allah سبحانه وتعالى berfirman, فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ “Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan,” (QS. An-Nisaa: 65) Allah سبحانه وتعالى berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih di dalam suatu perkara (apapun) maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa: 59) Menjadikan syariat sebagai hakim, berhukum (mengangkat perkara) kepadanya dan keinginan yang kuat untuk menjadikan seluruh perkara tunduk kepadanya, adalah sifat yang nampak dan tanda yang membedakan antara seorang muslim yang bersemangat untuk mengikuti kebenaran dengan orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah sehingga sesat dan menyesatkan, meskipun hawa nafsu itu disebut dengan akal, perasaan, maslahat, imam, partai, peraturan dan seterusnya. 5. Ridha dengan hukum Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم dan syariatnya. Di antara bukti ittiba’ kepada Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم adalah ridha terhadap hukum dan syariat beliau. Dari Al-Abbas, beliau mendengar Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda, ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولا “Orang yang ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya, pasti akan merasakan lezatnya iman.”[86] Maka apabila seorang muslim telah ridha terhadap Muhammad صلى ا لله عليه وسلم sebagai nabi dan rasul, dia tidak akan menoleh kepada selain petunjuk beliau, tidak akan bersandar kepada selain sunnah beliau di dalam perilakunya, menjadikannya sebagai hakim dan berhukum kepadanya, menerima, tunduk dan mengikuti hukumnya, serta ridha terhadap segala sesuatu yang beliau bawa dari Rabbnya. Sehingga dengan hal itu hati dan jiwanya menjadi tenang dan dadanya menjadi lapang. Dia melihat nikmat yang Allah berikan kepadanya dan kepada seluruh makhluk dengan diutusnya Nabi yang mulia صلى ا لله عليه وسلم dan dengan agama yang agung ini, sebagai nikmat yang sebenarnya. Sehingga dengan hal itu dia akan merasa gembira dengan karunia dan rahmat Allah kepadanya, dimana Allah telah menjadikanya sebagai orang yang mengikuti Rasul terbaik dan golongannya yang beruntung. Allah سبحانه وتعالى berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57) قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ “Wahai manusia, telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh terhadap (penyakit) yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, dengan karunia dan rahmat Allah maka dengan itulah hendaknya mereka bergembira. Hal itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 57-58) Ridha adalah suatu kata yang mencakup penerimaan dan ketundukan. Maka tidak ada keridhaan kecuali jika ada penerimaan yang mutlak dan ketundukan yang sempurna secara lahir dan batin terhadap apa yang dibawa oleh Rasul صلى ا لله عليه وسلم dari Rabbnya.[58] JALAN-JALAN YANG MEMBANTU KEPADA ITTIBA’ Banyak jalan-jalan yang akan menolong seseorang di dalam ittiba’ kepada Nabi صلى ا لله عليه وسلم. Di antaranya: 1. Taqwa dan takut kepada Allah سبحانه وتعالى Karena, barangsiapa yang bertaqwa dan takut kepada Allah سبحانه وتعالى, maka Allah akan memberikan pembeda (furqan) baginya. Dengan itu dia bisa membedakan antara yang haq dan yang batil, antara cahaya dan kegelapan. Dan hal itu adalah sebab keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Allah سبحانه وتعالىberfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan pembeda bagi kalian.” (QS. Al-Anfaal: 29) Dan Allah سبحانه وتعالى berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآَمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberi kalian dua kali lipat dari rahmat-Nya dan Dia menjadikan cahaya bagi kalian yang kalian gunakan untuk berjalan dan Dia akan mengampuni kalian. Allah maha pemgampun dan penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28) Tentang makna firman Allah سبحانه وتعالى, “dan Dia menjadikan cahaya bagi kalian yang kalian gunakan untuk berjalan,” As-Sa’di menjelaskan, “Yaitu memberi kalian ilmu, petunjuk dan cahaya yang kaliangunakan untuk berjalan di gelapnya kebodohan.”[88] Dan Allah سبحانه وتعالى berfirman, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Sesungghnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang bergetar hati-hati mereka jika disebut nama Allah. Dan jika dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, niscaya (ayat-ayat itu) akan menambah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Anfaal: 2) 2. Ikhlas kepada Allah dan semata-semata mencari kebenaran. Perkara ini memiliki keterkaitan dengan pembersihan dan pensucian jiwa dari hawa nafsu dan hal-hal yang mengotorinya. Karena, setiap kali seorang hamba berusaha untuk membersihkan dan mensucikan jiwanya, berusaha untuk mentaati Allah dan meninggalkan maksiat kepadaNya secara lahir dan batin, niscaya penerimaan dan keinginan terhadap kebenaran akan semakin bertambah. Ibnu Taimiyah berkata, “Dan demikianlah, barangsiapa yang berpaling, tidak mau mengikuti kebenaran – yang diketahuinya – karena mengikuti hawa nafsunya, maka hal itu akan mewariskan kebodohan dan kesesatan kepadanya, sehingga akan membutakan hatinya dari kebnaran yang nyata. Sebagaimana Allahl berfirman, فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Maka tatkala mereka menyimpang, Allah menyesatkan hati-hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (QS. Ash-Shaff: 5) Dan Allah l berfirman, فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا “Di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah tambahkan penyakit mereka.” (QS. Al-Baqarah: 10)…[89] Kemurnian dan keikhlasan akan menolong seorang hamba untuk kembali dari berbagai bid’ah dan kesalahan, ketika dia terjerumus ke dalamnya. Dan hal ini telah terjadi pada tokoh-tokoh besar ilmu kalam, filsafat dan yang lain. Seperti Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhru Ar-Razi dan banyak lagi selain mereka. 3. Kembali dan merendahkan diri kepada Allah k serta menampakkan rasa butuh kepadaNya. Di antara sebab terbesar yang menolong seorang hamba untuk ittiba’ kepada petunjuk dan cahaya yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad صلى ا لله عليه وسلمadalah kembali kepada Rabbnya, merendahkan diri di hadapanNya dan menampakkan kebutuhan serta hajat kepadaNya. Dan sungguh Rasulullah صلى ا لله عليه وسلمsering melakukan hal ini. Do’a beliau ketika memulai shalat (do’a iftitah setelah takbiratul ihram –pen) adalah, اللهم رب جبرائيل وميكائيل وإسرافيل فاطر السماوات والأرض عالم الغيب والشهادة أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم “Wahai Allah, Rabb (penguasa) Jibril, Mikail dan Israfil, pencipta langit dan bumi, yang mengetahui perkara ghaib dan nampak. Engkaulah yang memberi hukum antara hamba-hambaMu di dalam perkara yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah kepadaku kebenaran yang diperselisihkan, dengan izinMu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” [90] Dan di antara do’a beliau adalah, اللهم انفعني بما علمتني ، وعلمني ما ينفعني ، وزدني علما “Wahai Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa yang engkau ajarkan kepadaku. Ajarilah aku apa saja yang memberi manfaat kepadaku. Dan tambahlah ilmuku.” [91] Dan juga, اللهم إني أعوذ بك أن أَضِلَّ أو أُضَلَّ ، أو أَزِلَّ أو أُزَلَّ … “Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keadaan tersesat atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan… [92] Dan juga, اللهم أسلمت وجهي إليك ، وفوضت أمري إليك ، وألجأت ظهري إليك ، رغبة ورهبة إليك ، لا ملجأ منك إلا إليك … “Wahai Allah, aku serahkan wajahku kepadaMu, aku pasrahkan seluruh urusanku kepadaMu, dan aku sandarkan punggungku kepadaMu, karena rasa takut dan harap kepadaMu. Tidak ada tempat berlindung dari (ancaman)-Mu kecuali kepadaMu …”[93] Allah telah memerintahkan hambanya untuk berdoa dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Allah سبحانه وتعالى berfirman, وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ “Dan Rabbmu berfirman, berdoalah kepadaKu niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepadaKu akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mukmin: 60) Dan Nabi صلى ا لله عليه وسلم telah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah dan tidak menampakkan kebutuhan dan hajatnya kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda, من لا يسأل الله يغضب عليه “Barangsiap tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah murka kepadanya.” [94] 4. Mempelajari hukum-hukum syar’i. Hal itu karena Islam adalah agama yang dibangun di atas wahyu. Sedangkan wahyu tidak bisa diketahui kecuali dengan mempelajarinya. Sehingga, tidak ada jalan untuk mengamalkan hukum-hukum Islam dan mengikuti sunnah Nabi صلى ا لله عليه وسلم kecuali dengan mempelajari apa yang datang dari beliau di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena merupakan perkara yang mustahil, seorang manusia mengamalkan sesuatu yang tidak dia ketahui dan pelajari. Oleh karena itu Imam al-Bukhari di dalam shahihnya berkata, “Bab ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Berdasarkan firman Allahسبحانه وتعالى , فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah.” (QS. Muhammad: 19) Maka Dia memulai dengan ilmu.”[95] Dan ayat dari al-Qur’an yang pertama kali turun adalah firman Allah, اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ “Bacalah dengan nama Rabbmu yang mencipta.” (QS. Al-‘Alaq: 1) Sedangkan membaca adalah penjaga pintu belajar. 5. Memahami nash-nash yang shahih dan merenungi makna-maknanya. Al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyah yang shahih adalah sumber pengambilan kebenaran dan petunjuk. Allah berfirman, إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang lurus.” (QS. Al-Isra: 9) Dan Nabi صلى ا لله عليه وسلم bersabda, إني تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض “Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua hal bagi kalian. Kalian tidak akan tersesat setelah keduanya. Yaitu kitabullah dan sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah sampai mendatangiku di haudh.”[96] Allah telah menjamin terjaganya nash-nash kitabNya dari perubahan dan penggantian. Allah berfirman, إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ “Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-Dzikr dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9) Dan penjagaan ini mencakup penjagaan terhadap sunnah Nabi صلى ا لله عليه وسلم yaitu, meskipun telah dimasuki oleh hadits-hadits yang lemah dan palsu, akan tetapi Allah menyiapkan untuknya para imam yang mempersembahkan diri dan umur mereka untuk melayani sunnah dan membedakan yang shahih dari yang lemah dan palsu. Oleh karena itu, seorang yang bersemangat untuk benar-benar ittiba’ kepada Nabi صلى ا لله عليه وسلم harus memiliki semangat terhadap nash-nash yang shahih yang akan dia amalkan, dan berusaha memahami dan merenunginya. Dan dari sanalah pengamalan terhadap kandungan nash-nash yang shahih, baik di dalam melaksanakan sesuatu atau meninggalkannya. Di dalam menjelaskan firman Allah سبحانه وتعالى, أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24) Syaikh As-Sa’di berkata, “yakni, hendaknya orang-orang yang berpaling dari kitabullah memperhatikan dan benar-benar merenunginya. Karena jika mereka mau memperhatikannya, sesungguhnya al-Qur’an akan menunjukkan segala kebaikan kepada mereka dan akan memperingatkan mereka dari segala keburukan. Al-Qur’an akan memenuhi hati mereka dengan keimanan dan keyakinan, menghantarkan mereka menuju cita-cita yang tinggi dan pemberian-pemberian yang mahal, menjelaskan kepada mereka jalan yang akan menghantarkan kepada Allah dan surgaNya serta menjelaskan penyempurna dan perusak jalan itu. Al-Qur’an akan menjelaskan jalan yang menghantarkan kepada siksa dan sarana untuk mewaspadainya, mengenalkan mereka kepada Rabbnya dengan nama-nama dan sifat-sifatNya serta perbuatan baikNya. Al-Qur’an akan menjadikan mereka rindu terhadap pahala yang besat dan akan menjadikan mereka takut terhadap siksaan yang keras. “Ataukah hati mereka terkunci?” Yakni, telah ditutup hati itu bersamaan dengan keberpalingan, kelalaian dan penentangan yang ada padanya. Dan telah dikunci sehingga tidak akan dimasuki kebaikan selamanya! Inilah kenyataannya.”[97] Aku katakan, “Orang yang tidak mau memperhatikan nash-nash nabawiyah (hadits) sama dengan orang yang tidak mau memperhatikan nash-nash al-Qur’an. Karena keduanya adalah sumber hukum dan jalan untuk berpegang teguh dengan kebenaran dan mendapatkan keamanan dari penyimpangan dan kesesatan. 6. Mengikuti jalan as-salaf (pendahulu umat islam yang shalih –pen) di dalam ilmu dan amal. Nabi صلى ا لله عليه وسلم telah menjelaskan bahwa generasi yang paling baik dan paling utama dari umat ini adalah yang paling dekat dengan beliau صلى ا لله عليه وسلم. Beliau bersabda, خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم … “Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya …”[98] Di dalam hadits al-iftiraq (hadits yang memberitakan tentang perpecahan umat –pen), Nabi nmenjelaskan bahwa umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua golongan berada di dalam neraka kecuali satu golongan. Beliau ditanya, “siapa mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jalan yang aku dan para sahabatku berada padanya.” [99] Garis penyimpangan mulai masuk di tengah-tengah kaum muslimin di akhir kekuasaan khalifah rasyidah. Penyimpangan ini terus berlanjut, bertambah dan meluas seiring dengan semakin sedikitnya jumlah orang-orang yang berpegang teguh dan mendakwahkan kebenaran murni yang dianut oleh Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم dan para sahabatnya. Hal ini terus berlanjut dari satu generasi kepada generasi yang lain, waktu demi waktu. Sehingga pada sebagian tempat dan waktu, orang yang berpegang teguh dengan kebenaran bagaikan orang yang menggenggam bara api. Maka tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah. Oleh karena itu, tidak ada jalan bagi orang yang ingin berpegang teguh dengan agamanya, mengikuti Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم secara murni dan benar, kecuali dengan mengokohkan pengertian, pemahaman dan pengamalannya terhadap nash-nash yang shahih, melalui jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka sebagaimana satu sisi bulu anak panah mengiringi sisi lainnya. Dan kebutuhan untuk mengetahui jalan as-salaf semakin bertambah, mengingat bahwa Nabi n telah membatasi bahwa kebenaran adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم dan para sahabatnya yang mulia. Sedangkan pada zaman-zaman yang datang seelah beliau, hawa nafsu semakin banyak dan ilmu semakin sedikit. Alangkah bagusnya perkataan Abdullah bin Mas’ud ketika beliau berkata, “Barangsiapa ingin mengikuti suatu sunnah, hendaklah dia mengikuti sunnah orang yang telah wafat. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Mereka itu adalah para sahabat Muhammadصلى ا لله عليه وسلم Di antara umat ini, merekalah yang paling utama, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit takallufnya (sikap memberat-beratkan diri –pen). Allah telah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi-Nya dan menegakkan agamaNya. Maka ketahuilah keutamaan mereka, ikutilah jejak-jejak mereka dan berpegang teguhlah dengan akhlaq dan agama mereka semampu kalian. Karena mereka benar-benar berada di atas petunjuk yang lurus.” [100] 7. Sahabat yang shalih. Di antara sebab terbesar yang akan menolong seseorang untuk ittiba’ dan berpegang teguh dengan kebenaran adalah bersahabat dengan ahlu sunnah wal jama’ah, orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم dan para sahabat beliau. Hal itu karena seorang sahabat akan menyeret dan menuntun seseorang. Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda, الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu sesuai dengan agama sahabat dekatnya. Maka hendaknya salah seorang di antara kalian melihat siapa sahabat dekatnya.”[101 Hal itu karena seorang sahabat dekat akan membawa sahabatnya kepada apa yang dianutnya. Jika dia seorang pengikut sunnah dan ittiba’, dia akan membawa sahabatnya kepada hal itu. Jika dia seorang pengikut bid’ah dan kefasikan, dia akan membawa sahabatnya kepada hal itu. Oleh karena itu, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda, مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً “Perumpamaan teman duduk yang shalih dan yang jahat adalah seperti penjual minyak wangi dan peniup tungku api. Seorang penjual minyak wangi, bisa jadi engkau diberi olehnya atau engkau membeli darinya atau engkau mendapatkan bau yang harum darinya. Sedangkan seorang peniup tungku api, bisa jadi dia akan membakar bajumu atau engkau mendapatkan bau yang buruk darinya.”[102] Dan di antara bukti nyata tentang pengaruh seorang sahabat adalah perkataan Yusuf bin Asbath, “Bapakku adalah seorang qadari (pengingkar takdir) dan paman-pamanku adalah orang-orang rafidhah, lalu Allah menyelamatkan aku melalui Sufyan.”[103] Oleh karena itu, sangat banyak perkataan salaf yang menganjurkan untuk bersahabat dengan orang-orang yang ittiba’ dan mengikuti sunnah, serta meninggalkan persahabatan dengan selain mereka. Di antaranya adalah perkataan Ayyub, “Merupakan kebahagiaan seorang pemuda dan seorang non arab, dia diberi taufik oleh Allah (untuk bersahabat) dengan seorang alim dari ahli sunnah.”[104] Dan dari Abdullah bin Syaudzab, dia berkata, “Sesungguhnya di antara nikmat Allah kepada seorang pemuda jika dia mulai beribadah, dia berteman dengan seorang pengikut sunnah, yang akan membawanya kepada sunnah.”[105] Al-Mulla’i berkata, “Jika engkau melihat seorang pemuda yang awal perkembangannya bersama ahlu sunnah, maka harapkanlah ia. Dan jika engkau melihatnya bersama ahlu bid’ah, maka janganlah engkau mengharapkannya. Karena seorang pemuda tergantung pada awal perkembangannya. [106] Ibnu Abbas memberikan peringatan dengan berkata, “Janganlah engkau duduk-duduk bersama orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya. Sesungguhnya duduk bersama mereka akan membuat hati menjadi sakit.”[107] Abu Qilabah berkata, “Janganlah kalian duduk-duduk bersama orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dan jangan berdebat dengan mereka. Sesungguhnya aku takut mereka menjerumuskan kalian ke dalam kesesatan mereka atau membuat kalian samar terhadap apa yang kalian ketahui.”[108] PENGHALANG-PENGHALANG ITTIBA’ Di sana ada banyak hal yang menghalangi seorang hamba dari ittiba’ kepada Nabi صلى ا لله عليه وسلمdengan benar. Yang paling nampak adalah: 1. Kebodohan. Kebodohan adalah penghalang terbesar dari ittiba’. Bahkan ia adalah sebab terbesar yang menjerumuskan seseorang ke dalam seluruh perkara yang haram, baik berupa kekufuran, bid’ah maupun kemaksiatan. [109] Kebodohan itu bisa berupa kebodohan terhadap nash-nash, yaitu tidak mengetahui nash-nash tersebut. Atau kebodohan terhadap kedudukan nash-nash tersebut di dalam agama – bahwa nash-nash itulah yang berhak didahulukan, sedangkan sumber-sumber yang lain mengikutinya. Atau kebodohan terhadap penunjukan lafadz, maksud-maksud syariat dan kaidah-kaidah serta landasan-landasan dalam ilmu, seperti mutlak dan muqayyad, umum dan khusus, nasikh dan mansukh, mujmal dan mubayyan.[110] Dan karena besarnya bahaya kebodohan ini, kita dapati al-Qur’an al-Karim dan sunnah shahihah penuh dengan nash-nash yang memberikan peringatan dari kebodohan dan menjelaskan bahayanya, serta memberi anjuran untuk berilmu dan menjelaskan keutamaannya. Di antaranya adalah firman Allah سبحانه وتعالى, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, sesungguhnya Rabbku hanyalah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji yang lahir maupun batin, mengharamkan perbuatan dosa, kezhaliman tanpa hak, mengharamkan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak ada bukti padanya dan Dia mengharamkan kalian berkata atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’raaf: 33) As-Sa’di berkata, “Dan Dia mengharamkan kalian berkata atas nama Allah, sesuatu tidak kalian ketahui, di dalam nama-namaNya, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya dan syariatNya.”[111] Ibnul Qayyim berkata, “Adapun berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, maka ini adalah perkara yang paling haram dan paling besar dosanya. Oleh karena itu, dia disebutkan pada tingkatan yang ke empat di antara perkara-perkara haram yang telah disepakati keharamannya oleh berbagai syariat dan agama, dan tidak dibolehkan sama sekali, bahkan senantiasa diharamkan. Kemudian beralih darinya kepada sesuatu yang lebih besar lagi. Yaitu Allah سبحانه وتعالى berfirman, وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “dan Dia mengharamkan kalian berkata atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui.” Maka ini lebih besar keharamannya dan lebih berat dosanya di sisi Allah. Karena mengandung kedustaan atas nama Allah, penisbatan Allah kepada sesuatu yang tidak layak bagiNya, perubahan dan penggantian terhadap agamaNya, penolakan terhadap apa yang Dia tetapkan, penetapan terhadap apa yang Dia tiadakan, pembenaran sesuatu yang Dia batalkan, pembatalan sesuatu yang Dia benarkan, permusuhan terhadap wali-waliNya, kecintaan terhadap musuh-musuhNya, kecintaan terhadap apa yang Dia benci, kebencian terhadap apa yang Dia cintai, pensifatan Allah dengan sesuatu yang tidak layak bagiNya di dalam dzatNya, sifat-sifatNya, perkataan-perkataanNya dan perbuatan-perbuatanNya. Maka tidak ada jenis keharaman yang lebih besar dan lebih berat di sisi Allah dari pada hal ini. Dia adalah pangkal kesyirikan dan kekufuran, pondasi bid’ah dan kesesatan. Maka seluruh bid’ah yang menyesatkan di dalam agama, pondasinya adalah perkataan atas nama Allah tanpa ilmu …”[112] Allah سبحانه وتعالى berfirman, وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmunya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban darinya.” (QS. Al-Isra: 36) Sayyid Quthb berkata, “Aqidah Islamiyah adalah aqidah yang jelas, lurus dan murni. Tidak ada sedikitpun darinya yang tegak di atas persangkaan, dugaan atau syubhat. “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmunya,” janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui dengan yakin dan belum engkau pastikan kebenarannya, baik berupa perkataan atau riwayat yang disampaikan, dari suatu zhahir yang ditafsirkan atau kenyataan yang dijelaskan sebabnya, dan dari hukum syar’i atau masalah keyakinan.”[113] Dari Abdullah bin Amr, dia berkata, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dari hamba-hambaNya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga jika tidak menyisakan seorang alim pun, manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh. Lalu mereka ditanya kemudian berfatwa (menjawab pertanyaan) tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.”[114] Dari Ali, dia berkata tentang sifat orang-orang khawarij, aku mendengar Rasulullah صلى ا لله عليه وسلمbersabda, سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ سُفَهَاءُ اْلأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ “Pada akhir zaman nanti akan keluar suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pikirannya. Mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan makhluk, mereka membaca al-Qur’an namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka melesat menembus agama ini sebagaimana anak panah menembus sasarannya …”[115] Di antara perkataan salaf tentang hal itu, dari Ibnu Mas’ud , dia berkata, “Pergilah kamu sebagai pengajar atau pelajar atau yang mendengarkan. Dan janganlah kamu menjadi orang yang ke empat, nanti kamu akan binasa.”[116] Dari Salman al-Farisi, dia berkata, “Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama orang-orang yang pertama masih ada sehingga orang yang terakhir mempelajari ilmu. Jika orang-orang yang pertama telah meninggal sebelum orang-orang yang akhir mempelajari ilmu, niscaya manusia akan binasa.”[117] 2. Mengikuti hawa nafsu. Mengikuti hawa nafsu dan apa yang disenanginya termasuk penghalang dari ittiba’ dan sebab terbesar terjadinya penyimpangan dari kebenaran. Bahkan seluruh bid’ah dan maksiat muncul dengan sebab didahulukannya hawa nafsu atas nash yang shahih. Hal itu karena tabiat jiwa manusia selalu menginginkan dan cenderung kepada apa yang dia sukai dan senangi. Dan sangat susah bagi seorang manusia untuk memalingkan jiwanya dari hal itu – terlebih lagi jika jiwanya telah terbiasa dengannya – selama keimanan dan keyakinannya belum kuat dan kokoh. Bahkan, setiap orang yang tidak mau mengikuti Rasul صلى ا لله عليه وسلم dan menerima ajaran yang beliau bawa, maka sesungguhnya dia tidak mengikuti petunjuk, akan tetapi mengikuti hawa nafsunya.[118]. Oleh karena itu, kita dapati banyak nash yang mencela dan memberi peringatan dari mengikuti hawa nafsu. Di antaranya, firman Allah سبحانه وتعالى فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “Maka jika mereka tidak mau menyambutmu, ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zhalim.” (QS. Al-Qashash: 50) Allah سبحانه وتعالى berfirman, أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23) Dari Mu’awiyah, dia berkata, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda, وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ لِصَاحِبِهِ وَقَالَ عَمْرٌو الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لاَ يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ “Dan sesungguhnya akan muncul kaum-kaum dari umatku yang hawa nafsu mengalir pada mereka sebagaimana penyakit anjing gila mengalir pada penderitanya. Tidak ada satu urat dan persendianpun melainkan dimasukinya.”[119] Dan Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم takut terhadap hawa nafsu, beliau berlindung kepada Allah dengan berdo’a, « اللهم إني أعوذ بك من منكرات الأخلاق ، والأعمال ، والأهواء » “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kemungkaran akhlaq, amal dan hawa nafsu.”[120] Yang menjadi masalah bukanlah adanya hawa nafsu pada diri seorang hamba, yang mendorong untuk menyelisihi Rasul صلى ا لله عليه وسلم. Karena hal itu (keberadaan hawa nafsu) adalah sebagai medan ujian dan cobaan, sedangkan seorang hamba tidak menguasainya. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah jika seorang hamba mengikuti hawa nafsunya, mengambil apa yang disukai, meninggalkan apa yang dibenci, dan menjadikannya sebagai faktor pendorong perkataan dan perbuatannya baik sesuai ataupun menyelisihi apa yang dicintai oleh Allah سبحانه وتعالى.[121] Kadang-kadang hawa nafsu masuk kepada orang yang memiliki keterkaitan dan ikatan dengan nash-nash. Hawa nafsu itu tidak mendorongnya untuk meninggalkan dan berpaling dari nash-nash itu secara keseluruhan. Akan tetapi, pertama-tama hawa nafsu itu membiarkan ia menetapkan apa yang dia inginkan, kemudian mulai beralih kepada nash-nash itu, sehingga dia mengambil nash yang sesuai dengan hawa nafsunya saja. Mahmud Syaltut berkata, “Terkadang, seorang pemerhati dalil adalah seorang yang dikuasai oleh hawa nafsunya. Sehingga hawa nafsunya itu mendorongnya untuk menetapkan suatu hukum yang merealisasikan tujuannya. Kemudian dia mulai mencari-cari dalil untuk dijadikan sandaran dan hujah dalam berdebat. Maka pada kenyataannya, orang ini menjadikan hawa nafsunya sebagai dasar untuk memahami dan menghukumi dalil-dalil. Dan ini berarti membalik perkara tasyri’ (pembuatan syari’at) dan merusak tujuan Syari’ (Pembuat syari’at) di dalam menegakkan dalil-dalil.”[122] 3. Mendahulukan pendapat nenek moyang, para guru dan pembesar-pembesar, atas nash-nash yang shahih. Termasuk penghalang ittiba’ yang terbesar adalah mendahulukan pendapat nenek moyang, para guru dan pembesar-pembesar, atas nash-nash yang shahih. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ “Dan jika dikatakan kepada mereka, marilah kalian kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasul, niscaya mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami berada padanya. Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah: 104) Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Jika mereka diajak kepada agama dan syariat Allah, kepada hal-hal yang Allah wajibkan dan meninggalkan hal-hal yang Allah haramkan, mereka berkata, cukup bagi kami jalan-jalan yang ditempuh oleh nenek moyang kami. Allah berfirman, ‘Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?’ Yakni, mereka tidak mengetahui, memahami dan mengikuti kebenaran. Lalu kenapa mereka tetap mengikutinya padahal demikian keadaannya?! Tidak ada yang mengikuti mereka melainkan orang yang lebih bodoh dari mereka dan lebih sesat jalannya.”[123] Allah سبحانه وتعالى berfirman, يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاَ (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ (67) رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا “Pada hari ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, aduhai, seandainya dulu kita mentaati Allah dan Rasul. Mereka berkata, wahai Rabb kami, sesungguhnya kami (dahulu) mentaati tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus), wahai Rabb kami, berikanlah kepada mereka siksaan dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 66-68) Asy-Syaukani berkata, “Yang dimaksud dengan tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar adalah para pemimpin yang dipatuhi perintahnya di dunia dan diteladani. Dan di dalam firman Allah ini terdapat larangan keras dari taklid. Alangkah banyaknya peringatan-peringatan di dalam al-Qur’an terhadap taklid. Akan tetapi hal itu hanyalah bagi orang yang memahami dan mengikuti firman Allah serta bersikap adil terhadap dirinya, bukan bagi orang yang sejenis dengan binatang ternak di dalam pemahaman yang buruk, keras kepala dan kefanatikan.”[124] Dan telah datang banyak riwayat dari salaf (ulama terdahulu) yang memperingatkan hal itu. Diantaranya: Perkataan Ibnu Abbas kepada ‘Urwah bin Zubair ketika dia berkata dalam suatu masalah, “Adapun Abu Bakar dan Umar, mereka tidak melakukannya.” Ibnu Abbas berkata, “Demi Allah, aku melihat kalian tidak akan berhenti kecuali Allah mengadzab kalian. Kami menyampaikan hadits dari Nabi صلى ا لله عليه وسلم kepada kalian, namun kalian menyampaikan kepada kami perkataan Abu Bakar dan Umar.”[125] Dan perkataan Ibnu Mas’ud, “Ketahuilah, janganlah salah seorang di antara kalian taklid kepada seseorang di dalama agamanya, jika dia beriman dia ikut beriman, jika dia kafir diapun ikut kafir. Dan jika kalian harus mengambil teladan, maka terhadap orang yang telah mati. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah (ujian/kesesatan-pen).”[126] Di dalam satu riwayat dari beliau, “Janganlah salah seorang di antara kalian taklid kepada seseorang di dalam agamanya, jika dia beriman dia ikut beriman, jika dia kafir diapun ikut kafir. Karena tidak ada keteladanan di dalam keburukan.”[127] Umar bin Abdil Aziz berkata, “Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama adanya sunnah yang diajarkan Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم.” [128 Asy-Syafi’i berkata, “Manusia telah bersepakat, barangsiapa yang telah jelas baginya satu sunnah dari Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena perkataan/pendapat seorang manusia.” Dan telah shahih riwayat dari beliau bahwa beliau berkata, “Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama adanya sunnah Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم.”[129] Ibnu Khuzaimah berkata, “Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama dengan adanya (hadits-pen) Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم, jika telah shahih hadits dari beliau.”[130] Dan Ibnu Taimiyah memiliki perkataan yang sangat berharga tentang hal ini. Beliau berkata, “Agama Allah dibangun di atas pondasi ittiba’ (mengikuti) kitabullah, sunnah Nabi-Nya dan kesepakatan umat ini. Maka tiga pondasi inilah yang terjaga (dari kesalahan-pen). Segala sesuatu yang diperselisihkan umat ini, mereka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada seorangpun yang berhak mengangkat seorang individu bagi umat ini yang dia dakwahkan jalannya, dia tegakkan sikap loyal dan permusuhan karenanya kecuali perkataan Allah dan RasulNya serta kesepakatan umat ini. Bahkan sikap ini adalah perbuatan ahlu bid’ah, yangmengangkat seorang individu bagi mereka atau mengangkat suatu perkataan untuk memecah belah umat. Mereka menyandarkan sikap loyal dan permusuhan mereka di atas perkataan atau jalan tesebut.” [131] Dan perkataan Al-Karkhi – semoga Allah mengampuninya – menunjukkan kepada puncak kejahatan yang dicapai oleh sikap mendahulukan pendapat manusia – siapapun orangnya – di atas nash yang shahih. Dia berkata, “Setiap ayat yang menyelisihi pendapat sahabat-sahabat kami, maka ayat itu ditakwil (dipalingkan maknanya-pen) atau dimansukh (dihapus hukumnya-pen). Begitu pula setiap hadits (yang menyelisihi pendapat sahabat-sahabat kami-pen), maka ditakwil atau dimansukh.” [131] Aku katakan, “Inilah yang dipegangi oleh kebanyakan manusia pada zaman ini, yang mendahulukan pendapat guru-guru mereka atau kelompok-kelompok mereka atau partai-partai mereka di atas nash-nash yang telah tetap dan shahih. Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim.” 4. Mendahulukan akal di atas nukilan yang shahih. Allah telah memberikan kemuliaan dan keutamaan kepada manusia dengan akal. Dan di dalam kitab-Nya, Dia memuji orang-orang yang memiliki fikiran dan akal-akal yang terang. Allah سبحانه وتعالى berfirman, إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ “Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra’du: 19) كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو اْلأَلْبَابِ “Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang yang memiliki pikiran bisa mengambil pelajaran.” (QS. Shaad: 29) Akan tetapi kebanyakan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah tetapkan. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua golongan manusia: a.Golongan yang meniadakan akal dan tidak menghargainya sedikitpun. b.Golongan yang berlebih-lebihan terhadap akal, menjadikannya sebagai sumber pembuatan syariat dan mendahulukannya di atas nukilan-nukilan yang shahih. Mereka membangun kesesatan-kesesatan pada diri mereka dengan menamakannya kadang-kadang sebagai hakikat, perkara yang meyakinkan atau maslahat dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh nash-nash – meskipun sesungguhnya tidak ditunjukkan oleh nash itu. Kemudian mereka mengambil nash-nash shahih yang mereka istilahkan dengan zhanniyyat (yang masih berupa persangkaan, tidak memberi faidah yakin -pen), lalu mereka menghadapkannya dengan kesesatan-kesesatan itu. Maka nash yang sesuai dengannya mereka terima, sedangkan yang bertentangan dengannya mereka tolak, dengan bersandar kepada suatu kaidah “al-yaqin laa yazuulu bisy syakk” (sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang dikarenakan sesuatu yang meragukan–pen). Mereka tidak mengetahui bahwa akal memiliki batasan-batasan di dalam mengetahui sesuatu. Dan Allah tidak memberikan jalan bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu. [133] Sebagaimana mereka tidak mengetahui bahwa Allah menjaga agama-Nya dan melindungi Nabi-Nya dari ketergelinciran dan penyimpangan di dalam menyampaikan agama-Nya. Maka segala sesuatu yang beliau bawa adalah kebenaran yang tidak ada keraguannya, sedangkan yang mereka namakan dengan hakikat dan perkara yang meyakinkan adalah kebatilan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya perbedaan akal dan pemahaman manusia di dalam menentukan hakikat-hakikat dan maslahat-maslahat. Dan juga, Allah telah memerintahkan kita untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya dengan penerimaan yang mutlak tanpa menghadapkan nash itu kepada akal sebelum menerimanya. Sebagaimana di dalam firman Allah, فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا “Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa: 65) Alangkah bagusnya perkatan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi ketika menjelaskan perkataan Ath-Thahawi, “Tidak akan kokoh telapak kaki islam kecuali diatas permukaan taslim (menerima) dan istislam (pasrah).” Beliau berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, bahwa beliau berkata, dari Allah datangnya risalah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima.” [134] 5. Bergantung kepada syubhat. Agama islam tegak di atas penerimaan seorang hamba secara mutlak terhadap wahyu. Namun banyak dari orang-orang yang memiliki sedikit pengetahuan terhadap wahyu, bergantung kepada syubhat-syubhat, khayalan-khayalan dan berbagai persangkaan adanya maslahat (kebaikan). Mereka menyangka hal itu adalah jalan untuk mengetahui dan menghantarkan kepada kebenaran. Oleh karena itu, engkau akan dapati orang yang keadaannya seperti ini, jika ada seseorang datang kepdanya memberitahukan tentang kebenaran yang telah tetap dengan nash, maka hatinya akan bergantung kepada syubhat-syubhat dan kesesatan-kesesatan yang telah mendahuluinya, sehingga dia tidak beriman terhadap kebenaran. Dan dia mulai membuat samar kebenaran tersebut kepada manusia, dengan kebatilan yang ada di dalam hati dan fikirannya, sehingga diapun sesat dan menyesatkan. Karena perkara yang sangat berbahaya ini, Nabi سبحانه وتعالى memperingatkan umatnya dari jenis manusia seperti ini. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, beliau bersabda, (( إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ )) “Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti (ayat-ayat) yang samar dari Al-Qur’an, mereka itulah yang Allah sebutkan (di dalam surat Ali ‘Imran ayat 7-pen), maka waspadailah mereka.” [135] Dan beliau صلى ا لله عليه وسلمbersabda, سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Di akhir umatku nanti akan ada orang-orang yang menceritakan kepada kalian sesuatu yang belum pernah kalian dengar dan juga bapak-bapak kalian, maka jauhilah mereka.”[136] Dan telah banyak tersebar (mutawatir) perkataan imam-imam salaf di dalam memperingatkan manusia dari syubhat dan pengikutnya. Di antaranya adalah perkataan Umar, “Sungguh akan datang orang-orang yang membantah kalian dengan ayat-ayat syubhat (mutasyabihat, samar –pen) dari Al-Qur’an. Maka kalahkanlah mereka dengan sunnah-sunnah, karena para pengikut sunnah lebih paham terhadap kitabullah.[137] Dan perkataan Abu Qilabah, “Janganlah kalian duduk dan berbincang-bincang dengan para pengikut hawa nafsu. Sesungguhnya aku takut mereka akan menjerumuskan kalian ke dalam kesesatan mereka, atau membuat kerancuan terhadap apa yang telah kalian ketahui.”[138] Dalam rangka memberikan peringatan, Ibnu Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian.”[139] 6. Diamnya para ulama. Dengan diamnya para ulama dari menyebarkan kebenaran dan memperingatkan kebatilan, suara kebatilan menjadi tinggi, suara kebenaran menjadi lemah dan banyak orang menyangka bahwa orang-orang yang berada di atas kebatilan – karena banyak dan tersebarnya mereka – adalah orang-orang yang benar, dengan dalil muncul dan nampaknya mereka, karena jika tidak demikian tentu mereka tidak akan muncul dan nampak. Dan sebagai akibat darinya, pengikut kebenaran menjadi sedikit. Oleh karena itu, nash-nash datang dengan membawa peringatan dari menyembunyikan ilmu dan tidak menyebarkannya. Allah berfirman, إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ (159) إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan bayyinah (penjelas) dan petunjuk yang Kami turunkan, setelah Kami jelaskan kepada manusia di dalam al-kitab, mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Alah dan orang-orang yang melaknat. Kecuali orang-orang yang telah bertaubat, memperbaiki dan menjelaskan, maka Allah akan menerima taubat mereka dan Aku Maha menerima taubat dan Maha penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 159-160) Asy-Syaukani di dalam menjelaskan ayat ini mengatakan, “Mereka (para ulama-pen) berselisih tentang yang dimaksud dengan orang-orang itu. Ada yang mengatakan, mereka adalah ulama-ulama yahudi dan pendeta-pendeta nasrani yang meninggalkan urusan Muhammad n. Dan ada yang mengatakan, mereka adalah setiap orang yang menyembunyikan kebenaran dan tidak menjelaskan apa yang diwajibkan oleh Allah untuk dijelaskan. Inilah pendapat yang lebih kuat, karena yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadznya bukan kekhususan sebabnya. Sebagaimana hal ini telah ditetapkan dalam ilmu ushul. Seandainya kita terima bahwa sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan sikap orang-orang yahudi dan nasrani yang menyembunyikan ilmu, maka hal ini tidak bertentangan dengan cakupan ayat terhadap setiap orang yang menyembunyikan kebenaran. Dan di dalam ayat ini terdapat ancaman yang sangat keras, tidak bisa diukur besarnya. Karena barangsiapa yang dilaknat oleh Allah dan hamba-hambaNya yang bisa melaknat, berarti kecelakaan dan kerugiannya telah sampai kepada batas yang tidak bisa dijangkau dan diketahui hakikatnya.”[140] Dan di dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda, مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui kemudian dia menyembunyikannya maka pada hari kiamat dia dikekang dengan tali kekang dari api.”[141] Dalam riwayat Ibnu Majah,
Posted on: Sat, 14 Sep 2013 00:13:02 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015