... Dialog antara Feminisme dan Ekologi Ivone Gebara sangat - TopicsExpress



          

... Dialog antara Feminisme dan Ekologi Ivone Gebara sangat mempengaruhi pandangan saya dalam dialog antara feminisme dan ekologi yang kemudian melahirkan ekofeminisme. Gebara mengundang kita untuk mulai dengan mendengarkan kesaksian kaum perempuan mengenai penderitaannya. Lebih lanjut, ia mewanti-wanti kita untuk mengawali pembicaraan mengenai feminisme dari pengalaman konkrit perempuan akan penderitaannya. Perempuan menderita secara khusus ketika berhadapan dengan kelangkaan, apalagi ketiadaan bahan-bahan pokok untuk menyambung kehidupan anak-anaknya. Dakwaannya, mereka gagal memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Mereka harus mencari jalan, bahkan menyabung nyawa, demi menyelamatkan keluarga. Dari sinilah kita menarik simpulan bahwa kehidupan perempuan bertaut dengan perlindungan atas kehidupan. Ivone Gebara memandang tubuh menjadi lokasi istimewa penderitaan dalam kehidupan kaum perempuan. Tubuh menjadi saksi kehidupan sehari-hari bagi mereka. Bahkan, berkaca pada peristiwa penyaliban Yesus di Golgotha, tubuh perempuan menjadi lokasi penyaliban. Ia menjadi lokasi penghancuran hidup perempuan ketika orang lain menyakiti tubuhnya dan menjadikannya obyek kekerasan. Namun, penderitaan sehari-hari yang seringkali meninggalkan bilur-bilur pada tubuh perempuan itu seringkali tersembunyi dari penglihatan kita. Dokumentasi yang tersedia kepada kita mengenai penderitaan kaum perempuan masih sangat terbatas. Laporan kasus penderitaan mereka masih rendah (underreported). Meskipun demikian, data yang terbatas itu dapat menjadi menjadi pintu pembuka bagi kita untuk membicarakan penderitaan mereka. Menariknya, ketika berbicara mengenai penderitan, kaum perempuan jarang membatasi pada dirinya sebagai subyek yang menderita. Mereka menyertakan anak-anak dan ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia dalam rahim perhatiannya. Kaum perempuan melampaui memandang diri bersama dengan anak-anak dan ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia sekedar sebagai subyek-subyek yang mengalami penderitaan. Lebih jauh, perempuan menemukan panggilannya sebagai subyek-subyek yang berjuang menyelamatkan mereka yang lain dari bahaya menderita kematian dini. Dalam kerangka ini, kita kemudian melihat relevansi kajian ekofeminisme yang membumikan keselamatan. Minfong Ho, novelis kelahiran Thailand yang tinggal di diaspora Amerika Serikat, dalam Rice without Rain (1986), mengisahkan kedekatan, bahkan persaudaraan perempuan dengan ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia. Maybe the harvest won’t be so poor after all. She straightened up, feeling prickless of pain shoot up her spine, and gazed at the brown fields before her. In all her seventeen years, Jinda had never seen a crop as bad as this one. The heads of grain were so light the rice stalks were hardly bent under their eight. Jinda peeled the husk of one grain open the rice grain inside was no thicker than a fingernail. Novel ini indah sekali mengisahkan dinamika karakter Jinda yang semula terbatas perhatiannya pada penderitaannya sebagai perempuan, kemudian meluas pada penderitaan saudarinya sebagai sesama, dan meluas lagi kepada anak saudari perempuannya. Kutipan di atas mengisahkan kedukaan Jinda ketika hasil panen padi buruk. Ia menggunakan kosa kata “kuku tangan” yang terkait dengan tubuhnya untuk mengukur besarnya bulir padi panenan. Perjumpaan dengan subyek-subyek menderita lain membuka dunia baru kepadanya melampaui ritme rutin kehidupannya. Reach [for a sheaf of rice stalks] and slash, reach and slash, it was a rhythm she must have been born knowing, she thought, so deeply ingrained was it in her. Lokasi istimewa perempuan sebagai ciptaan Allah dalam sejarah keselamatan, tubuh perempuan sebagai situs penderitaan, serta persaudaraan perempuan dengan ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia memungkinkan kita untuk menjumput beberapa gagasan dasar mengenai ekofeminisme. Kaum perempuan, citra Allah yang seringkali diabsenkan keberadaannya, mendaku kembali perannya dalam sejarah keselamatan. Sebagaimana tubuhnya, tubuh ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia penuh bilur. Perjumpaan sebagai sesama yang mengalami penderitaan menyadarkan perempuan akan dirinya sebagai yang berjejaring setara dengan ciptaan-ciptaan ekologis lain. Mereka yang terlibat dalam baik dalam gerakan-kajian maupun kajian-gerakan ekofeminisme membangunkan kesadaran kita akan lokasi-lokasi penderitaan baru. Tubuh ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia, sebagaimana kajian ekofeminis Katolik Ivone Gebara terhadap tubuh-tubuh perempuan, merupakan lokasi penyaliban pada masa kini. Sebagaimana ciptaan-ciptaan manusia, ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia adalah sesama bagi perempuan yang menderita penyaliban pada masa sekarang (crucified creatures) dan merindukan keselamatan sekarang. Perjumpaan dengan para korban ini membentuk identitas ekofeminis sebagai ciptaan Allah yang terlibat bersama Allah menyelamatkan mereka yang terancam kehidupannya. Gagasan Ivone Gebara mengenai ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia sebagai sesama yang mengharapkan keselamatan membantu saya untuk melihat kandungan simbolis ciptaan-ciptaan ekologis itu dalam hubungan dengan Allah Sang Pembebas. Puisi Ngelmu Pring karya rohaniwan-budayawan Sindhunata, SJ menyingkap kuasa ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia. Ciptaan-ciptaan ekologis yang simbolnya bambu dalam puisi itu memiliki kuasa besar dalam kehidupan manusia. Hidup kita selalu menaut kepada bambu. Kepang asale pring Sujen asale pring Lincak asale pring Pager asale pring Usuk asale pring Cagak asale pring Gedhek asale pring Tampar asale pring Kalo asale pring Tampah asale pring Serok asale pring Tenggok asale pring Tepas asale pring Pikulan asale pring Walesane pancing asale pring Jangan bung asale pring Bunthel gembus asale pring Jauh dari berlebihan Sindhunata menggarisbawahi peran besar bambu dalam kehidupan manusia, bahkan kebersandaran manusia kepadanya. Fakta bambu sebagai ciptaan ekologis yang menghidupi manusia sepanjang waktu menghantar kita pada kesadaran kita akan ketergantungannya pada ciptaan-ciptaan nonmanusia lain. Manusia adalah ciptaan ringkih dalam semesta ketika melepaskan dirinya dari jejaring dengan ciptaan-ciptaan ekologis lain. Kita mustahil mempertahankan hidup sebagai ciptaan tanpa menjalin persaudaraan dengan ciptaan-ciptaan ekologis lain. Satu-satunya kemungkinan baginya agar dapat mempertahankan kehidupannya adalah hidup berjejaring dengan ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia itu. Wong urip asale pring Uripe kudu eling Matine digotong nganggo pring Mulih asale ing ngisore pring. Puisi Ngelmu Pring lebih dari sekedar menyadarkan manusia akan kuasa ciptaan-ciptaan ekologis lain dalam jejaring semesta dan ketergantungannya pada mereka. Ia juga lebih dari sekedar menyingkap kebutuhan manusia untuk hidup dalam jejaring persaudaraan dengan ciptaan-ciptaan ekologis lain. Selain mengundang kita untuk menyadari diri dan persaudaraan dengan ciptaan-ciptaan lain, puisi ini juga menghantar kita sampai kepada kesadaran akan Allah. Melalui ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia yang Allah menciptakannya secara indah ini Allah menghadirkan diri dan menampilkan diri secara lebih transpran kepada manusia. Dalam konteks pembicaraan tulisan ini, keterancaman ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia hendaknya juga menggugat hubungan kita dengan Allah Semesta Alam. Pring padha pring Eling padha pring Eling dirine Eling pepadhane Eling patine Eling Gustine. Dalam bingkai ini, saya menafsirkan secara baru perintah Allah kepada manusia untuk mengasihi-Nya dan sesama. Ketika berbicara mengenai sesama, manusia perlu melihat keterbatasan jangkauan cinta dengan manusia-manusia lain saja. Kasihnya perlu meluas dengan ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia. Jika kita meneruskannya, kita akan melihat betapa ciptaan-ciptaan ekologis nonmanusia mendapat tempat istimewa dalam liturgi Katolik. bahkan, kita dapat melihat jejaknya dalam doa Persembahan. Selain menghaturkan hasil usahanya kepada Allah, manusia juga mempersembahkan hasil bumi kepada Allah. Lebih lanjut, kita melihat keterlibatan aktif perempuan dalam kegiatan bercocoktanam yang menghasilkan hasil bumi. Sekali lagi, kita melihat kedekatan antara perempuan dengan alam. Dengan menyebut hasil bumi dalam liturgi, kita melihat, meminjam istilah teolog pembebasan Aloysius Pieris, SJ, “liturgi kehidupan” subyek-subyek perempuan yang terlibat dalam sektor-sektor kerja yang menghasilkan hasil bumi. Selain itu, melalui hasil bumi, para sahabat perempuan menghantar kesadaran kita akan Allah Semesta Alam. Ketika mempersembahkan roti dan anggur dalam liturgi Ekaristi, imam berdoa, “Kami memuji Engkau, ya Allah Semesta Alam, sebab dari kemurahan-Mu, kami telah menerima roti dan anggur persembahan ini. Inilah hasil dari bumi dan usaha manusia yang bagi kami akan menjadi santapan dan minuman rohani.” Transformasi, transubstansiasi bahasa liturgi Katoliknya, dari hasil bumi dan usaha manusia menjadi santapan dan minuman rohani dapat menjadi awalan bagi kaum perempuan untuk mengutuk kebijakan ekonomi pemerintah sekarang yang meninggalkan sektor-sektor yang berbuah hasil bumi. Alih-alih menguatkan mereka yang bekerja di sektor-sektor yang berbuah hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan swasembada hasil bumi, misalnya dengan memperbaiki sistem irigasi, pemerintah membuka kran impor hasil bumi. Kebijakan ekonomi demikian melolosi kekuatan mereka yang aktif di sektor hasil bumi yang asalnya justru dari dalam negeri. Lemahnya daya kompetitif produsen hasil bumi lokal untuk merebut hati konsumen yang mencukupi kebutuhan akan hasil bumi itu alibi murahan dari pemerintah. Pemerintah meminggirkan produsen lokal dari memasarkan hasil bumi di halaman rumahnya sendiri. Jor-joran fasilitas impor kepada para spekulan hasil bumi kelas kakap berakibat banjir produk-produk impor dengan harga lebih murah. Kebijakan ini menutup ruang pasar bagi produsen hasil bumi lokal. Pembaca barangkali masih mengalami tinggal di rumah yang ibu kita menanami sayur-sayuran dan tanaman obat-obatan, dan beternak unggas di sekitarnya. Ia mencukupi sebagian kebutuhan dengan mengambil bahan-bahannya dari pekarangan atau kebun tanpa perlu mengeluarkan biaya. Tinggal di pemukiman padat, kita harus mengeluarkan uang untuk hampir semua kebutuhan. Dalam telaah kaum feminis, pertanian, perkebunan, dan perikanan dengan menggunakan alat-alat mekanik berat mengubah landskap tradisional ini. Kaum feminis jauh dari sikap anti membabi buta terhadap kemajuan teknologi. Namun, pengerahan alat-alat produksi secara massal di sektor-sektor itu menyebabkan polusi tanah, udara, dan air. Karena jejaring antarciptaan rusak, banyak perempuan harus mengangkut air dengan alat-alat sederhana yang relatif jauh dari rumah. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, mereka harus membeli air dengan harga sangat mahal dari pengecer atau perusahaan daerah air minum (PDAM). Tanah menandus kesuburannya akibat mekanisasi pertanian yang ideologi ekonominya Revolusi Hijau. Pembalakan hutan yang seringkali pembakaran menyertainya, bukan terbatas gangguan asap, tetapi juga musnahnya ragam tanaman dan satwa. Kita juga perlu melihat kaitan antara kehadiran korporasi multinasional di lokalitas tertentu dengan kerusakan ciptaan-ciptaan ekologis yang menyusulnya. Dalam konteks Indonesia, kita perlu menjauhkan diri dari godaan untuk menyempitkan sengketa-sengketa di ladang perkebunan dan pertambangan berujung bentrok kekerasan. Jika hanya memandang kasusnya di permukaan, kita segera menyimpulkannya sebagai amuk anarkis para pekerja. Kita hendaknya masuk ke lapis dalam kasus-kasusnya. Jika hanya melihat kasus-kasusnya pada lapis permukaannya, kita segera ambil kesimpulan yang menyudutkan para pekerja. Padahal, demonstrasi para pekerja di perkebunan dan pertambangan ini merupakan tanggapan atas korporasi yang menolak untuk memenuhi hak-hak dasariah mereka. Sengketa-sengketa tersebut menguji keberpihakan pemerintah. Atas nama manfaat yang lebih besar bagi negara, pemerintah hampir selalu membela kepentingan korporasi yang memiskinkan warga yang tinggal di sekitar lokasi dan para pekerja di proyek-proyek itu. Di mata korban, pemerintah dengan aparat keamanan justru membekingi korporasi-korporasi itu bahkan ketika itu harus berarti melayangkan kekerasan berdarah terhadap warganya. ...
Posted on: Mon, 15 Jul 2013 07:48:07 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015