"Empat Fragmen Pemikiran Seputar Kesusastraan" I Ketika yang - TopicsExpress



          

"Empat Fragmen Pemikiran Seputar Kesusastraan" I Ketika yang empiris direkonstruksi menjadi bangunan tekstual, maka ada yang akan senantiasa hilang, yang tak akan bisa ditambal atau dikembalikan sama persis sebagaimana aslinya, bahkan oleh si penulis yang adalah pelakunya sendiri. Teks membawa dirinya ke hadapan pembaca, pembaca membawa dirinya ke hadapan teks, dan apa yang (bisa) dilakukan oleh teks pada pembaca sangat bergantung pada apa yang (bisa) pembaca lakukan pada teks itu. Implikasi dari simbiosis semacam ini adalah bahwa makna tidak hadir sebagai sesuatu yang solid dan nyata ada dalam teks, tapi lewat aktivitas interpretasi yang sangat relatif bahkan anarkis. Di sinilah, pada dimensi inilah, diskursus “setiap pembaca itu penulis” mendapatkan momentum aktualisasinya. II Bagi penulis, bahasa adalah peranti ‘ekspresi’ makna, yakni makna ada sesaat sebelum bahasa. Sedang bagi pembaca, sebaliknya, makna diproduksi oleh dan dengan bahasa, yakni bahasa sedikit lebih senior ketimbang makna. Terkait itu, bahasa meniscayakan adanya sistem sosial yang membentuk ataupun dibentuknya; bahasa tak mungkin muncul jika manusia hidup sendiri sejak semula di ruang hampa. Bahasa, dalam fungsinya yang paling praktis sebagai jembatan antar kesadaran, membutuhkan sekurang-kurangnya kepercayaan akan ilusi pengalaman universal, bahwa jika aku bilang “meja”, aku berharap engkau paham dengan yang ‘dimaksudkan’ dan ‘dirujuk’ dengan kata itu oleh kesadaranku, bahwa meja yang persegi inilah, misalnya, dan bukan meja yang oval yang mungkin ada di ruang makanmu. Namun akankah pengharapanku ini akan tercapai? Sesungguhnya tak penting itu buatmu. Karena setelah menjadi sajian tekstual dan verbal, engkau memiliki otoritas untuk merekonstruksi bahasa(ku) di lahan pengalamanmu, menjadi bentuk yang mungkin teramat jauh dari yang pernah kubayangkan. III Sastra, kriminalitas terorganisasi terhadap (tata) bahasa, mengeksplisitkan watak manusia yang selalu ingin berkelit dari formalitas dan birokrasi komunikasi yang kaku dan membosankan. “Istriku hamil. Ia melahirkan seorang anak perempuan.” adalah kalimat yang biasa, dan oleh karenanya kesadaran menangkapnya secara biasa-biasa saja. Namun ketika seorang penulis sastra, penyair misalnya, melakukan kejahatan terhadap kalimat tersebut, menggantinya dengan umpamanya “Istriku hamil. Ia melahirkan selembar cermin.”, tentu ini bisa menjadi gempa kesadaran bagi pembaca tertentu. Guncangan akibat penyimpangan linguistik semacam ini membuat seseorang melakukan pengkajian ulang atas struktur kalimat yang disuguhkan padanya. Makna leksikal yang hadir dalam pembacaan pertama musti dibongkar dalam pembacaan kedua, diganti dengan satu atau beberapa alternatif makna yang barangkali merujuk pada pengalaman dan pemahaman personalnya. IV Tidak terlalu salah jika dikatakan tak ada ‘kepastian hukum’ dalam sastra. Bukan bahwa sastra(wan) sejak dulu hingga entah kapan bekerja tanpa hukum sama sekali, namun bahwa ada tuntutan tak resmi yang makin sulit untuk diabaikan agar setiap penulis sastra bisa menawarkan konvensinya sendiri, tidak taklid begitu saja pada kredo dan selera orang lain. Dari sudut pandang sosiologis dan historis ini bisa dinilai sebagai salah satu imbas modernitas yang meniscayakan fenomena ‘sastra urban’, di mana identitas komunal dan tradisi-onal dipandang justru sebagai sebentuk aib dan dekadensi, sebaliknya keunikan bentuk ekspresi individual dianggap sebagai parameter kesuksesan dalam berkesenian. Sedang dari sudut pandang konseptual dan ideologis ini adalah kesempatan emas untuk terbangunnya sebuah laboratorium super-bahasa di mana eksperimen-eksperimen literer yang paling nekad dan nakal diperkenankan, misalnya atas nama mensyukuri nikmat akal.
Posted on: Sat, 22 Jun 2013 06:04:39 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015