"Yang Seni dan Yang Non Seni" Seni bukanlah sains. Kita bisa - TopicsExpress



          

"Yang Seni dan Yang Non Seni" Seni bukanlah sains. Kita bisa meneliti dan mempelajari sejarahnya, lalu barangkali menyusun teori-teorinya, dan memberi saran dan orientasi untuk bentuk dan wujudnya di masa yang akan datang, namun kita tak akan bisa mencapai sebuah dasar yang solid untuk menjadi “default pijakan” bagi seluruh proses kreatif dan kritik seni. Kita bisa menyimpulkan seni sebagai keindahan kalau mau, dan itu akan menenangkan, meski sebentar. Namun setelah melabraknya dengan pertanyaan semacam “Oh, jadi di antara dua kursi ini kursi mana yang indah? yang pertama karena ia diukir dengan motif yang amat rumit, atau yang kedua karena ia polos tanpa sentuhan tatah dan ampelas?” maka segera kita jadi tahu betapa rapuhnya pemahaman kita selama ini. Kita bisa memberi jawaban aman semisal “Keduanya sama-sama indah dalam ruang dan waktu tertentu?”, namun tampaknya ini jawaban yang tak lebih membantu dalam upaya memahami apa itu keindahan. Dua orang, satu nelayan, satu direktur bank, disodori dua buah foto, pertama foto sebuah pantai, kedua foto sebuah lanskap perkotaan. Foto mana yang akan mendapat “wow” dari keduanya? Mudah ditebak: sang direktur mengatakan “wow” pada foto yang pertama, sedang sang nelayan menganggap “wow” yang kedua. Alasannya sederhana: masing-masing tak menganggap istimewa wilayah yang dijamah dan dimasukinya setiap hari. Ya, sesuatu menjadi menarik karena ia tak familiar. Maka seorang teoretikus mengatakan: seni adalah defamiliarisasi. Sedang sesuatu akan kehilangan ketakfamiliarannya tatkala kita menemuinya di mana-mana. Musik Campursari mungkin akan terlihat sangat nyeni bagi masyarakat yang saban hari dicekoki musik Rock. Namun musik Campursari akan kehilangan keistimewaannya jika seluruh rumah berganti memutar jenis musik ini. Apakah ini berarti setiap yang asing itu indah, atau sesuatu baru disebut indah jika ia asing? Ini tentu pertanyaan yang sangat simplifikatif. Keindahan memiliki logika dan konvensinya sendiri. Logika dan konvensi tersebut tak dicipta untuk selamanya. Bahkan mungkin mereka tak pernah benar-benar dicipta. Mereka terbentuk secara alami dalam dan bersama perkembangan sejarah manusia, mengalami dialektika yang tanpa henti. Hari ini kita masih mengagumi Patung David-nya Michelangelo. Kita menilainya sebagai mahakarya yang sulit dicari bandingannya. Namun jika kita sekarang membuat yang serupa, sulit membayangkan orang juga akan menganggapnya indah. Sebabnya barangkali: orang menganggap Patung David ciamik karena mempertimbangkan teknologi yang ada saat ia dicipta, sehingga tatkala orang dari masa yang teknologinya relatif maju membuat yang serupa, ia tak lagi dianggap sebagai sebuah “pencapaian”. “Apa istimewanya? Dengan komputer super canggih semua bisa membuatnya.” Demikian kurang lebih logika yang berlangsung. Sebuah apresiasi yang disertai argumen-argumen yang sangat subjektif namun sistematis (kritik?) bisa memapankan sebuah karya seni dari yang semula diacuhkan menjadi yang diperhitungkan. Dari yang semula “sekedar apresiasi”, lalu melalui lembaga edukasi dan mobilisasi opini, menjelma menjadi konvensi. Pada tataran ini sebuah karya (seni) bisa beralih fungsi dari tujuan dan latar belakang pembuatannya semula. Misalnya sekarang orang lebih mempertanyakan “bagaimana” relief candi Borobudur dibuat, sedang mungkin saja itu sama sekali bukan pertanyaan bagi para arsitek di masa wangsa Syailendra 1.200 tahun yang lalu. Mungkin saja yang menjadi persoalan pada waktu itu adalah “kenapa” ia dibuat. Di bidang sastra ihwalnya tak jauh beda. Orang masih memuji-muji sebuah tulisan yang oleh penulisnya sendiri sudah dianggap sebagai aib. Memang kita boleh merasa lega berada di era di mana cukup banyak yang percaya pada “the death of the author”, sebuah dogma yang sangat membius dan masih menjadi senjata andalan bagi para pembaca kritis untuk melakukan analisis dan evaluasi fasis. Namun ini bukan era yang tanpa akhir tentunya. Setidaknya melalui sejarah kita menyaksikan selalu adanya atavisme. Tulisan ini tidak perlu saya beri kesimpulan, namun celoteh seorang musikus berikut layak direnungkan: "I want my work to be both trashy and precious at the same time."
Posted on: Thu, 27 Jun 2013 07:12:15 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015