4. Libya Beberapa Penyair dan pujangga Libya, diantaranya - TopicsExpress



          

4. Libya Beberapa Penyair dan pujangga Libya, diantaranya Ibrahim Al-Astha Omar (1908-1950), para sastrawan Libya antara lain, Rashid Zubeir, Azab Rakabi, Mohamed Mehdi, Haniyah Kadiki, Ragab Majiri, Rihab Sneib, Isham Farjani dan Abdul Hamid Bathaw, budayawan Libya, Ali Moustafa al-Misurati (diambil dari nama kota Misurata, kota ketiga terbesar di Libya, setelah Tripoli dan Benghazi dengan cerpennya ‘Abdel Karim Tahta al-Jisr’ [Abdel Karim..dibawah Jembatan], terbitan al-Muassasah al-Arabiyah li al-Nasyar wa al-Ibda’, Casablanca, Maroko, disamping novel ‘Khirrijaat Qaryunes’ (Cewek-cewek Alumni Universitas Qaryunes), karya Aisha al-Ashfar, terbitan Dar al-Kutub al-Wathaniyah, Benghazi, Libya). Ibrahim Al-Astha Omar dilahirkan di kota Darnah pada tahun 1908, dan bekerja di Bagian Bea dan Cukai. Kemudian ikut tes masuk kepegawaian kehakiman dan diangkat sebagai Hakim. Sempat memimpin cabang ’Jam’iyah Omar Mukhtar’ (Organisasi Omar Mukhtar) di kota kelahirannya Darnah. Kemudian dia mengembara dan merantau ke Mesir, Syria, Irak dan Jordania Timur. Di negeri-negeri tersebut, dia bertemu dan bergumul dengan tokoh sastrawan dan budayawan negara tersebut, disamping dia menjadi anggota Komite Pembela Barqa dan Tripoli di Damaskus. Pada tahun 1967 dia menerbitkan ontology puisinya, berjudul, ‘al-Bulbul wa al-Wakar’. Sastrawan dan budayawan Ali Moustafa al- Misurati juga menulis tentang Ibrahim A. Omar dengan judul, ‘Syair min Libya…Ibrahim Al-Astha Omar (Penyair dari Libya….Ibrahim A. Omar), terbit pada tahun 1957. Dia meninggal pada tanggal 26 September 1950. Menurut Dr. Shaeed Abou Deeb bahwa Ibrahim A. Omar termasuk diantara penyair yang awal-awal merespon ‘al-Mahgar School’ dalam syair dan sastra ( salah seorang tokoh penyair ‘al-Mahgar School’ adalah Gubran Khalil Gubran, yang di Indonesia dikenal dengan ‘Kahlil Gibran, yang sebenarnya adalah nama ayahnya, penyair asal Lebanon yang menetap di AS. Dalam konteks ‘al-Mahgar School’ terdapat dua aliran, yaitu aliran Amerika Utara yang berpusat di AS, sekarang dan kedua aliran Amerika Latin yang berpusat di Brazilia). Respon tersebut nampak pada karya syair dan perenungannya melalui kontemplasi pergumulan dengan persoalan kemanusiaan dan kebebasan (al-insaniyah wa al-hurriyah). Ibrahim tercatat dalam sejarah dan biografinya, suatu sikap dan ekspresi nasionalisme yang dipertahankan dan, bahkan diperjuangkan hingga akhir hayatnya, seperti tema-tema, kebenaran (truth), kebebasan dan cinta tanah air. Hal ini yang membuat karya-karya kepenyairannya senantiasa up to date dan perennial. Menurut Dr. Omar Khalifah bin Idris, Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Qaryunes, Benghazi, Libya, bahwa Ibrahim A. Omar adalah seorang penyair sebagaimana penyalir lainnya, yang menulis berbagai tema kehidupan dan terlibat serta bergumul di dalamnya tentang kehidupan tersebut. Sedangkan tema nasionalisme dan idealisme, dsb, merupakan pintu gerbang keterkaitan dan ketersambungan sang penyair antara ‘wujdan’ dengan pembacanya. Romantika keindahan dan kepenyairannya, menurut penyair Mohamed al-Faqih Saleh, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, romantisme-nasionalisme yang erat hubungannya dengan persoalan ‘wujdaan’ dalam kerangka penggempuran terhadap kejumudan, status quo, berjihad dan melawan keputusasaan. Kedua, kecenderungan tradisional yang berhubungan dengan kembalinya ‘si anak hilang’ ke pangkuan ibu pertiwi Libya setelah mengembara ke barbagai negara Arab dan keikutsertaannya pada pergerakan politik nasional, baik sebagai tokoh dan pemimpin pada sebagian gerakan melalui ‘Jam’iyah Omar Mukhtar’, sehingga kepenyairannya merefleksian – pada awalnya – kerinduan pada ‘wujdan dan zat’; kemudian melebar pada tema tradisonal – persoalan kehidupan umum masyarakat luas. Sedangkan menurut Dr. Nagia Maulud Kailani, dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Fateh, Tripoli mengatakan bahwa tema besar kepenyairan Ibrahim A. Omar mengungkapkan berbagai paradoks persoalan, akan tetapi secara umum yang menjadi tema utamanya adalah persoalan kemanusian dengan berbagai aspek pergumulannya. Manusia yang mengalami ‘humuum’ kehidupan dan juga ‘humuum’ orang lain. 5. Sudan Sastra Sudan kontemporer baru-baru ini mencakup berbagai macam satra lisan dan tulisan. Sebelum novel dan cerpen dikenal sebagai genre-genre sastra, sastra Sudan berbentuk cerita-cerita dan puisi-puisi lisan. Kebanyakan diantaranya sampai saat ini, diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebanyakan dari cerita-cerita itu menggambarkan berbagai prestasi seseorang dan berbagai peperangan yang terkenal, atau berhubungan dengan kehidupan para pahlawan dari Arab zaman dulu. Beberapa diantaranya memiliki tema-tema religius dan berpusat seputar perbuatan baik dan keberanian yang telah diakui, sebaik yang ada di daerah setempat, figurasi dan mistis religi. Salah satunya sebagai figurasi dari khalifah keempat, Ali bin abi Thalib, sepupu dan anak angkat Nabi Muhammad, dikenal dengan Sirat Ali Al-Karrar (The Life of Ali The Hero). Kebanyakan cerita-cerita lisan banyak dibubuhi dan dilebih-lebihkan, menggambarkan karakter-karakter utama sebagai seseorang yang gagah berani. Ada pula cerita-cerita yang menggambarkan kehidupan sosial orang Sudan baik yang ada di perkampungan maupun yang ada di daerah kota. Cerita-cerita dalam karya itu yang memiliki sebuah tema sekuler disebut dengan “Ahaji”. Mereka biasanya di sebut sebagai angggota-anggota komunitas yang lebih tua, kebanyakan di tempat-tempat pedesaan dimana pendidikan dibatasi and ritma kebiasaan hidup lebih santai. Mereka tanpa terkecuali mempunyai cerita akhir yang membahagiakan, adapula cerita mengenai takhayul yang menggambarkan kekuatan magis jin dan raksasa. Salah satu dari cerita “Ahaji” itu ialah cerita Fatima Al-Samha (Beautiful Fatima), Gadis tercantik di sebuah desa. Fatima mempunyai banyak peminang yang semuanya tidak diinginkannya. Suatu hari dia diculik oleh seorang raksasa dan di kurung. Ketika berita penahanannya sampai pada seorang pangeran muda yang tampan, dia memutuskan untuk menyelamatkannya dari raksasa. Fatima dan pangeran itu saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Cerita Fatima yang cantik berlanjut terkenal sampai sekarang. Beberapa cerita di bentuk dalam bentuk puisi, termasuk petualangan Hambata, kawanan perampok yang berkelana di padang pasir Sudan. Walaupun mereka adalah orang-orang yang hidup diluar perlindungan hukum, Hambata telah di abadikan sebagai orang-orang yang berani dan memegang teguh kode etik di kota mereka. Mereka dapat dibandingkan dengan Arsin Lupin atau Robin Hood di Barat, dan Saalik, atau Penyair buangan pada Arab sebelum Islam yang hidup diluar perlindungan hukum, juga para perampok, mereka yang menulis puisi untuk mengkritik kondisi sosial di kota yang memboikot mereka dan membuat mereka terbuang. Tipe cerita bentuk puisi lain di miliki oleh “Madih”, atau genre “Praise” (pujian). Ditulis dalam bentuk pujian pada Nabi, puisi-puisi “Madih” khususnya terkenal di Sudan Utara. Masa transisi dari saatra lisan ke tulisan, yang terjadi di awal abad modern, dihasilkan oleh hadirnya mesin cetak (percetakan). Banyak contoh cerita-cerita terkenal dan puisi-puisi yang dibacakan secara lisan secara bertahap menemukan jalannya untuk dicetak di beberapa Koran pertama Negara. Salah satu dari Koran yang pertama dicetak adalah “Jaridat Al-Sudan” (Sudan News), yang pertama kali di cetak pada tahun 1930. Itu merupakan sebuah Koran mingguan, yang dipublikasikan dalam dua bahasa yaitu bahasa Arab dan Inggris. Pengaruh dari Koran ini pada sastra Sudan sangat kecil, karena para editornya hanya menerbitkan materi-materi yang diizinkan oleh yang berkuasa. Beberapa artikel itu pertama kali ditulis dalam bahasa Arab dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga orang-orang Inggris dapat memahami apa yang ditulis di dalamnya. Hal itu semestinya ditunjukkan bahwa Sudan pada pergantian abad berada dibawah kekuasaan Anglo-Egyptian yang berakhir pada tahun 1899 hingga 1953 ketika Negara itu memiliki pemerintahan mandiri, mendapatkan kemerdekaan penuh pada tahun 1956. “Jadirat Al-Sudan”, karena itu, kurang lebih merupakan tulisan-tulisan kenegaraan. Memiliki bentuk formal dan secara tetap melaporkan berita-berita dari sudut pandang mereka yang berkuasa. Koran pertama yang memeiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan sastra Nasional adalah “Al-Raid” (The Pioneer), yang muncul pada tahun 1914 sebagai sebuah Koran mingguan dan memasyarakat. “Al-Raid” dikemukakan oleh saudagar Yunani yang mengatur lembaga percetakan di ibu kota Sudan, Khartoum, untuk mencetak Koran Yunani. Beberapa orang dari para intelektual Sudan, merasa bahwa mereka perlu mempublikasikan sastra dalam bahasa Arab, mereka mendekati saudagar Yunani itu dan memintanya mulai menerbitkan koran dalam bahasa Arab. “Al-Raid” diubah oleh beberapa pergantian generasi sastrawan, diantaranya seorang hakim dan sastrawan mesir Yusuf Wahbi dan akademisi Syria Fouad al-Khatib yang mempelajari bahasa Arab di Gordon College di Khartoum. Salah satu dari penulis yang terkenal di Sudan adalah Al-Tayyib Salih. Dia menulis berbagai novel dan cerpen. Karyanya yang paling terkenal “Season of Migration to the North” diterbitkan pada tahun 1967, isinya mengenai kembalinya para pelajar Sudan dari Inggris. Karya ini awalnya ditulis dalam bahasa Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis.
Posted on: Wed, 14 Aug 2013 09:50:05 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015