5 Juli 2013 11:54 (Disklaimer: Informasi yang disampaikan di - TopicsExpress



          

5 Juli 2013 11:54 (Disklaimer: Informasi yang disampaikan di artikel ini hanya bersifat wacana dan tidak untuk dipraktikkan oleh individu yang tidak memiliki latar belakang pelatihan, pendidikan, dan sertifikasi yang memadai dan sesuatu. Penulis tidak bertanggung-jawab atas akibat negatif apapun yang timbul dari penerapan teknik yang dijelaskan di artikel ini.) Pengalaman klinis saya dalam membantu klien mengatasi berbagai masalah kehidupan mengantar saya pada satu kesimpulan berikut: Orang (dianggap) bermasalah bila perilaku, sikap, atau tindakannya dianggap, dirasa, dinilai, diyakini tidak sejalan dengan budaya, norma, nilai, kebiasaan, atau etika yang berlaku di lingkungan atau masyarakat (tertentu). Dari sini dapat disimpulkan belum tentu klien bermasalah. Bisa terjadi justru yang bermasalah adalah lingkungannya. Jadi, sebagai terapis saya tidak serta merta menuruti keinginan klien, walau saya berpegang pada prinsip client-centered therapy. Bagi mereka yang benar bermasalah maka biasanya masalah muncul karena: 1. pikiran, perasaan, ucapan, dan atau tindakan klien didikte atau dikendalikan oleh program pikiran spesifik yang masuk / dimasukkan ke pikiran bawah sadarnya. 2. pikiran bawah sadar klien memunculkan simtom spesifik akibat pengalaman di masa lalu. Proses Terciptanya Simtom Individu mengalami masalah dalam bentuk simtom yang ia alami atau rasakan secara mental, emosi, dan atau fisik. Simtom tidak muncul tiba-tiba. Ia muncul melalui serangkaian proses yang dimulai dari dari satu kejadian awal (ISE: initial sensitizing event) berisi muatan emosi dengan intensitas tertentu. Selanjutnya, dalam perjalanan hidupnya, individu mengalami lagi satu atau beberapa kejadian atau pengalaman lanjutan (SSE: subsequent sensitizing event) dengan nuansa emosi yang sama atau mirip dengan telah ia alami sebelumnya. Emosi yang berasal dari satu atau beberapa kejadian ini memperkuat emosi dari kejadian awal dan membangun momentum yang semakin lama semakin kuat hingga akhirnya pada satu kejadian berikutnya (SPE: symptom producing event) momentum ini menghasilkan simtom. Simtom bisa menjadi semakin parah oleh satu atau beberapa kejadian lanjutan (SIE: symptom intensifying event). Label Yang Merusak Diri Misal klien mengalami kejadian awal di usia 6 tahun. Ia mengalami beberapa kejadian lanjutan dan pada usia tertentu muncul simtom, klien mengalami masalah. Dengan kondisi ini klien, baik melalui upaya sendiri atau dibawa oleh orangtuanya, mencari bantuan untuk mengatasi masalahnya. Biasanya profesional yang dimintai bantuan akan melakukan wawancara mendalam, pengamatan, dan serangkaian tes untuk menentukan kondisi klien masuk dalam kategori gangguan tertentu (disorder). (Untuk lebih jelas bisa membaca buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association.) Yang terjadi pada klien, dengan pemberian label tertentu, sebenarnya adalah potret atau gambar kondisinya saat tes dilakukan. Sayangnya label ini selanjutnya melekat kuat di pikiran bawah sadar klien dan menjadi satu program pikiran yang terus mengendalikan hidupnya. Simtom muncul karena adanya trauma di masa lalu. Hasil pengamatan, wawancara, dan tes yang dilakukan sering tidak bisa mengungkap secara gamblang riwayat kejadian yang pernah dialami klien di masa lalu. Dengan demikian, proses penyembuhan menjadi lambat dan sulit. Cara Mengatasi Masalah Ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam mengatasi masalah. Pertama, tanpa perlu memroses kejadian awal (akar masalah). Kedua, dengan mencari dan menemukan akar masalahnya. Ada banyak teknik yang bisa digunakan untuk mencari dan menemukan akar masalah. Beragam teknik ini bila dicermati masuk dalam salah satu dari tiga kategori berikut: · Hypnoprojective Techniques · Techniques Involving the Motor System · Regression (Techniques Utilizing the Time Track) Masing-masing kelompok teknik di atas memiliki kelebihan dan keterbatasan. Terapis perlu cermat untuk mampu menentukan teknik yang sesuai situasi dan kondisi klien agar dicapai hasil dan efek terapeutik yang optimal. Dalam proses terapi menggunakan teknik regresi kami menemukan hal menarik yang patut menjadi bahan pemikiran serius dalam upaya membantu klien mengatasi masalah, khususnya masalah yang kronis dan berat. Namun ini masih dalam tahap eksperimen klinis dan hasilnya belum bisa saya publikaskan kepada publik. Teknik regresi, pada intinya, adalah membawa pikiran klien mundur, menyusuri memori masa lalu yang tersusun dalam garis waktu yang spesifik. Tentu ada syarat yang harus dipenuhi untuk bisa melakukan hal ini. Salah satunya adalah kedalaman relaksasi pikiran harus di kondisi profound somnambulism. Saat diregresi klien bisa mengalami hipermnesia, mengingat kejadian masa lalu dengan sangat jelas dan detil, bahkan kejadian yang tidak bisa ia ingat dalam kondisi sadar normal, atau revivifikasi, mengalami kembali kejadian di masa lalu dengan semua indera dan dengan segala emosi yang muncul atau berhubungan dengan kejadian ini. Hipermensia dan revivifikasi yang terjadi atau dialami klien dalam kondisi profound somnambulism memiliki kualitas sensori dan efek afeksi yang sangat berbeda dibandingkan dengan bila terjadi dalam kondisi light atau medium trance. Secara teoritis dan telah divalidasi melalui serangkaian uji klinis diketahui bahwa bila seseorang diregresi ke usia kronologis tertentu maka ia akan berperilaku sama seperti ia saat itu. Misal klien berusia 45 tahun dan diregresi ke usia 6 tahun. Saat di usia 6 tahun klien akan berbicara, berpikir, dan berperilaku sama seperti saat ia berusia 6 tahun. Bahkan kosakata, bahasa tubuh, dan bentuk tulisan tangannya juga berubah menjadi seperti saat ia berusia 6 tahun. Bila klien diregresi ke usia 1 tahun maka ia akan menunjukkan refleks Babinski. Pemahaman ini bila diaplikasikan ke konteks terapi tentu sangat menarik. Dari uraian di atas, proses terciptanya simtom, dimisalkan klien mengalami ISE di usia 6 tahun. Dalam perjalanan hidupnya ia mengalami beberapa SSE sampai di usia 23 tahun muncul masalah yang sangat mengganggu hidupnya, misalnya kebiasaan mengulang tindakan/perilaku tertentu (cuci tangan berulang kali), atau pikiran tertentu yang terus menerus muncul dan tidak bisa dihentikan. Bila klien diregresi ke usia 22 tahun maka logikanya, bila klien mengalami revivifikasi penuh, ia saat ini belum “sakit” atau bermasalah. Dan bila klien diberi sugesti pascahipnosis untuk tetap berada di usia kronologis ini maka saat keluar dari trance ia sehat sepenuhnya. Klien tetap sehat karena ia baru berusia 22 tahun dan masalah baru muncul di tahun berikutnya, di usia 23 tahun. Kendalanya adalah saat keluar dari trance klien berusia 22 tahun, bukan 45 tahun. Semua memori atau kejadian setelah usia 22 tahun (hari, bulan, dan tahun ia tergresi) sampai usia 45 tahun, saat ia duduk di kursi terapi, tidak ada karena belum terjadi. Berikut adalah eksperimen yang dilakukan oleh John G. Watkins* kepada salah satu kliennya. John berusia 30an dan seorang penderita paranoid skizofrenia. Ia pernah masuk rumah sakit selama delapan tahun karena psikosis kronis dan mengalami halusinasi mengenai adanya sekelompok Bagian Diri yang jahat dan terus menerus menghukum dirinya. Selama enam bulan John Watkins menangani dan menjalin relasi hipnotik dengan klien ini. Setelah berhasil membangun relasi terapeutik yang baik Watkins akhirnya berhasil menghipnosis John ke kondisi hipnosis yang dalam, melalui proses induksi yang cukup sulit, dan meregresi kliennya mundur ke usia sembilan belas tahun, masa sebelum ia menjadi psikotik dan masuk rumah sakit, dan memberikan sugesti pascahipnosis. Setelah keluar dari kondisi hipnosis John sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda psikosis. Semua delusi dan halusinasi yang sebelumnya ia alami hilang tak berbekas. John tampak sepenuhnya normal. Merasa penasaran dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat Watkins mengundang John untuk makan siang bersama seorang kolega Watkins. Kolega Watkins ini sama sekali tidak mengenal John. Selama masa makan siang, kolega Watkins, seorang psikolog yang sangat berpengalaman, dan John berdiskusi, bercerita mengenai masa kecil mereka, dan pandangan mereka mengenai komunitas tertentu. Psikolog ini sama sekali tidak curiga atau tahu bila sedang berbicara dengan seorang klien yang mengalami paranoid skizofrenia kronis. Sore harinya Watkins kembali menghipnosis John dan menghapus sugesti pascahipnosis yang ditanamkan di pikiran bawah sadar John di sesi sebelumnya. John kembali ke kondisi sebelumnya yaitu paranoid skizofrenia. Beberapa hari kemudian Watkins kembali mencoba menghipnosis John namun tidak berhasil karena ia menjadi sangat resisten dan tidak bisa atau bersedia masuk ke kondisi hipnosis. Tampaknya struktur paranoid dalam diri klien memiliki kehidupannya sendiri dan tidak bersedia atau berkenan bila dihilangkan secara permanen. Menurut Bower (1961) penderita skizofrenia yang berhasil dihipnosis oleh terapis yang ia tidak percaya sepenuhnya akan sangat sulit dihipnosis oleh terapis yang sama untuk kali kedua. Mungkin, di level pikiran bawa sadar, John terlalu takut bila harus hidup dengan realitas sebelum ia “sakit”. Sayangnya beberapa minggu kemudian Watkins dipindahtugaskan ke rumah sakit lain sehingga tidak lagi bisa bertemu Waktins sering bertanya apa yang akan terjadi bila ia tidak mencabut sugesti pascahipnosis yang diberikan kepada John. Berapa lama klien akan terus bertahan, setelah ia diregresi, di waktu spesifik itu? Berapa lama kondisi normal ini bisa bertahan tanpa adanya relasi hipnotik berkelanjutan dengan terapisnya? Saat ini, kami di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, walau telah berhasil menerapkan pengetahuan mengenai time track dan memory dalam membantu klien dengan masalah yang cukup serius, kami belum berani mempublikasi protokol yang kami gunakan. Bermain dengan time track dan memory adalah hal yang sangat riskan bila tidak dilakukan oleh terapis yang benar-benar cakap dan kompeten karena menyangkut pikiran dan hidup klien. Hingga saat ini kami terus mengumpulkan informasi yang lebih lengkap dan akurat mengenai eksperimen yang pernah dilakukan dengan time track, terutama di berbagai jurnal hipnoterapi, untuk dapat membangun protokol terapi yang lebih efektif. *John G. Watkins (1913-2012) adalah profesor psikologi, pakar hipnoterapi klinis, dan direktur dari Pelatihan Klinis di University of Montana dari tahun 1964 sampai 1984. Watkins menulis lebih dari 190 artikel akademik dan berbagai buku, di antaranya General Psychology (1960) dan Ego States: Theory and Therapy (1987)
Posted on: Fri, 12 Jul 2013 16:39:48 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015