AGAR JANGAN MENJADI KANCIL YANG TERJEPIT & MATI DI TENGAH-TENGAH - TopicsExpress



          

AGAR JANGAN MENJADI KANCIL YANG TERJEPIT & MATI DI TENGAH-TENGAH PERKELAHIAN PARA GAJAH: Papua Barat di kancah kontestasi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik global, regional, dan nasional di Pasifik Selatan Oleh George Junus Aditjondro 1. POSISI geo-strategis Papua Barat serta sumber-sumber daya alam yang dikandung di laut dan daratannya, membuat Tanah Papua yang diklaim sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu menjadi rebutan pengaruh di antara kekuatan-kekuatan ekonomi & politik global maupun nasional. Kenyataan ini mempersulit penduduknya, bangsa Papua yang terdiri dari sedikitnya 224 kelompok etno-linguistik (Aditjondro 2000: 68), untuk mewujudkan kedaulatan mereka sendiri. 2. Di satu fihak, dengan diklaim sebagai wilayah NKRI, Papua Barat dapat dianggap merupakah bagian dari benua Asia, dan secara politis merupakan bagian dari persekutuan sepuluh negara Asia Tenggara yang terhimpun dalam ASEAN. Di dalam forum itu berlaku suatu etika politik untuk saling menutupi gejolak-gejolak domestik di negara-negara anggotanya, sambil menghormati ‘keutuhan wilayah’ negara masing-masing, dengan melakukan pendekatan kultural terhadap kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari negara-negara itu. Misalnya, Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam, berusaha melobi gerakan-gerakan Melayu Muslim di Filipina Selatan dan Muangthai Selatan, untuk tidak memisahkan diri dari Filipina dan Muangthai. Sebaliknya, Filipina yang penduduknya mayoritas beragama Kristiani, diharapkan untuk tidak memberikan ruang gerak bagi kelompok pro-kemerdekaan Timor Leste, sebelum referendum 1999. Berdasarkan common understanding itulah, Pemuda UMNO dikerahkan oleh Anwar Ibrahim, Wakil Perdana Menteri Malaysia waktu itu, untuk membubarkan suatu konferensi solidaritas Timor Leste di Kuala Lumpur. 3. Di fihak lain, karena berbagi wilayah daratan dengan sebuah negara merdeka, Papua Niugini (PNG), Papua Barat merupakan bagian dari entitas politik Melanesia, yang pada gilirannya merupakan bagian dari Forum Pasifik Selatan, yang didirikan seusai Perang Dunia ke-II oleh negara-negara Barat yang memiliki jajahan di Pasifik Selatan, khususnya Negeri Belanda, Britania Raya (Inggris), Perancis, dan Amerika Serikat (AS) yang kemudian berkembang dengan masuknya negara-negara yang baru merdeka, seperti PNG, Kepulauan Solomon, Fiji, Vanuatu, Kiribati, Nauru, dan Samoa Barat. 4. Sebagai tetangga dari negara-negara Pasifik Selatan, perjuangan kemerdekaan bangsa Papua berkaitan erat dengan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa lain di Pasifik, khususnya perjuangan bangsa Hawai’i dan perjuangan bangsa Kanak (Melanesia) di Kaledonia Baru, yang masih merupakan jajahan Perancis. 5. Di fihak lain, gema perjuangan kemerdekaan bangsa Papua juga dipengaruhi oleh gencarnya diplomasi pro-RI, baik yang dilakukan secara langsung maupun yang dijalankan oleh fihak lain yang mendukung kepentingan RI, seperti pemerintah Australia. Contoh dari diplomasi RI secara langsung adalah pemberian bantuan dana sebesar US$ 139 ribu oleh Jenderal Benny Murdani, yang waktu itu masih Menhankam/Pangab RI, kepada Komandan Angkatan Bersenjata PNG (PNGDF = PNG Defense Force), Ted Diro, untuk membantunya dalam kampanye pemilihan Perdana Menteri PNG tahun 1987, yang baru terbongkar empat tahun kemudian. Sogokan dari unsur-unsur pemerintah RI kepada Panglima tidak berhenti di situ saja. Seorang penerus Ted Diro, yakni Tony Huai, juga mengaku menerima bantuan dana dari Indonesia ketika ia menjabat sebagai Komandan PNGDF. Bantuan itu tentu saja ada pamrihnya, yakni membantu pemerintah Indonesia untuk menghabiskan ruang gerak bagi OPM di bumi PNG. Ini diakui sendiri oleh Tony Huai di bulan Maret 1986, ketika ia mengumumkan bahwa ia dan Jenderal Benny Murdani sudah sepakat untuk menghabiskan ruang gerak OPM dan akan bekerjasama di bidang intelijen untuk tujuan itu (King 2004: 176). 6. Sedangkan contoh diplomasi pro-RI yang dijalankan oleh Australia adalah pemanfaatkan dana bantuan pembangunan buat negara-negara Pasifik Selatan yang kecil dan sangat terbatas sumber daya alamnya, seperti Kiribati dan Nauru. Itu sebabnya, pertemuan-pertemuan Forum Pasifik Selatan silih berganti terbuka dan tertutup bagi partisipasi delegasi Papua Barat (King 2004: 152-3). Seorang konsultan pengembangan masyarakat dari Australia, Lansell Taudevin, ikut terkena getah dari policy pemerintah Australia yang begitu pro-RI. Mula-mula ia digusur dari posnya di Timor Leste, di penghujung masa penjajahan Indonesia, karena dianggap terlalu dekat dengan gerakan kemerdekaan di sana. Kemudian ia juga digusur dari Kiribati, ketika negeri pulau itu mulai menjadi sasaran kampanye para pejuang kemerdekaan Papua Barat di pengasingan (King 2004: 148). Ia kemudian keluar dari AusAID, dan mendirikan suatu penerbitan yang mengkhususkan diri pada literatur kritis tentang Timor Leste dan Papua Barat. 7. Tidak sabar untuk hanya mempengaruhi dari jauh, pemerintah Indonesia, melalui Departemen Luar Negeri, kini telah memperoleh status peninjau dalam siding-sidang Pacific Islands Forum (King 2004: 181). Selain itu, lobi Deparlu juga dilakukan lewat UN-ESCAP (United Nations Economic and Social Commission). Atas dasar itu, Menlu Hasan Wirayuda dengan tenangnya menyatakan pada pers, bahwa negara-negara kepulauan di Pasifik menyatakan dukungan terhadap keutuhan wilayah RI. “Termasuk di Papua, mereka ini bersikap lebih jauh lagi, yakni mendukung otonomi khusus sebagai solusi di Papua”, kata sang Menlu di sela-sela Sidang Komisi ke-62 UN-ESCAP di gedung Jakarta Convention Centre (JCC), hari Senin, 10 April lalu (Tribun Timur, 11 April 2006). 8. Kalau pernyataan Hasan Wirayuda itu betul, mengapa selalu sewaktu-waktu ada ‘ledakan’ dukungan bagi kemerdekaan Papua Barat, yang diutarakan oleh jurubicara negara atau teritori di Samudera Pasifik? Satu hal lagi yang unik di Pasifik adalah bahwa American Samoa, sebuah teritori AS di Pasifik Selatan, juga terwakili di Forum Pasifik Selatan, dan sekaligus juga memiliki seorang wakil di Kongres AS. Politikus warganegara AS itu belakangan ini juga mulai tersentuh hatinya oleh pelanggaran-pelanggaran HAM di Tanah Papua (Papua Barat), dan mulai memperjuangkan hak bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, di Kongres AS. Ini perkembangan baru yang menarik untuk diamati. 9. Keberadaan Papua Barat di antara lingkaran budaya Asia dan lingkaran budaya Pasifik ikut mempengaruhi pengembangan budaya populer, khususnya musik dan lagu-lagu yang berkembang di Tanah Papua. Untuk mengembangkan identitas budayanya sendiri, yang lebih dekat ke Pasifik, almarhum Arnold Clemens Ap, budayawan Papua asal Pulau Numfor yang berbasis di kampus Universitas Cenderawasih, berusaha menolak budaya populer “Melayu” melalui kelompok seni budaya Mambesak yang dipimpinnya, yang lebih mendekati budaya populer Hawaiian, sebelum kelompok ini berusaha menggali dan memopulerkan lagu-lagu dan tari-tarian asli dari berbagai kelompok etno-linguistik di Tanah Papua sendiri. Penggalian identitas Papua ini serta merta dilihat sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan Papua Barat oleh penguasa militer Indonesia, sehingga Arnold Ap dan seorang sepupu merangkap teman senimannya ditahan dan akhirnya dibunuh oleh satuan Kopassandha yang bertugas di sana di hari Paskah tahun 1983 (Aditjondro 2000: 105-93). 10. Berbarengan dengan inovasi kultural Arnold Ap dengan kelompok Mambesaknya, sekelompok pemusik populer asal Tanah Papua di bawah pimpinan Andy Ayamiseba, seorang seniman pedagang asal Wandamen membentuk band Black Brothers di Jakarta. Kelompok ini kemudian juga berkiprah di Papua Niugini dan Vanuatu, dan akhirnya terdampar di Australia, setelah mereka diselamatkan dari penjara di Port Villa (ibukota Vanuatu) oleh seorang Perdana Menteri Australia, karena ikut menjadi korban dalam suatu pertikaian politik antara partai pemerintah dan partai oposisi di Vanuatu. Berbagai inovasi kultural Mambesak dan Black Brothers di Tanah Papua, yang tersebar ke PNG melalui siaran radio dari Jayapura, ikut merangsang berdirinya berbagai kelompok senibudaya populer di PNG dan negara-negara Melanesia yang lain. 11. Sementara itu, pemimpin Black Brothers, Andy Ayamiseba kembali ke Port Vila, di mana ia kini menetap dan telah menikah kembali dengan seorang mantan pramugari asal Fiji, dan menjadikan Vanuatu sebagai basis berkampanye untuk kemerdekaan Tanah Papua bersama sejumlah eksil Papua di Australia, seperti Rex Rumakiek. Dalam beberapa percakapan dengan saya, ketika saya untuk sementara menetap di Australia, Andy Ayamiseba mengaku juga berbisnis untuk membiayai kegiatan para gerilyawan OPM/Tepenal di hutan belantara Tanah Papua. Jaringan bisnisnya meliputi kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan, dan dalam lingkaran pergaulannya di Port Villa mencakup para politisi Vanuatu yang ironisnya, pro-Papua Merdeka tapi ikut mencuci uang bersama para banker yang juga mencuci uang keluarga dan kroni-kroni Soeharto di negara bebas pajak di mana kerahasiaan banknya dijamin dalam undang-undang dasarnya. 12. Sejak 2003, Otto Ondawame, seorang jebolan STF Fajar Timur, Abepura, yang pernah ikut bergerilya bersama OPM/Tepenal di tanah kelahirannya dekat tambang tembaga Freeport Indonesia, ikut bergabung ke Port Vila, setelah ia menyelesaikan studi Ph.D.nya di Australian National University (ANU) di Canberra. Dari Vanuatu ia memperkuat lobi pro-kemerdekaan Papua Barat yang telah dibangun oleh Andy Ayamiseba dan Rex Rumakiek di kancah Pacific Islands Forum, dan sering bermuhibah sebagai jurubicara Papua Merdeka di Aotearoa (Selandia Baru) dan negara-negara Pasifik Selatan yang lain (King 2004: 48, 66, 180-1). 13. Para diplomat Papua Barat di Pasifik Selatan, dengan lihai berusaha mengeksploitir rivalitas antara AS dan RRT di kawasan itu, yang praktis sudah ditinggalkan oleh Rusia sejak bubarnya Uni Soviet. Perebutan hegemoni di antara kedua superpower baru itu sangat tampak di lapangan. Misalnya, Kedubes RRT di Port Vila, yang pemerintahnya berulangkali menyatakan komitmen mereka pada kemerdekaan Papua Barat, adalah yang terbesar di antara bangunan-bangunan kedutaan di Vanuatu, dan juga di antara bangunan-bangunan Kedubes RRT di negara-negara Pasifik yang lain (kom. pribadi dengan Ben Bohane, jurnalis peneliti perjuangan kemerdekaan Papua Barat di Port Villa, 2002). 14. Namun dibandingkan dengan diplomasi para budayawan dan cendekiawan pembangkang itu, yang lebih perlu diperhitungkan dalam memelihara solidaritas di antara bangsa-bangsa Melanesia, termasuk bangsa Papua Barat, adalah gerakan radikal yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa dari berbagai negara Melanesia di kampus Universitas PNG di Port Moresby di awal 1980an. Namanya, Melanesian Solidarity Group for Justice and Dignity, disingkat MelSol. Di situ termasuk Sam Kaouna, yang kemudian menjadi Panglima Bougainville Revolutionary Army (BRA) dengan pangkat ‘Jenderal’; Pierre Xulue yang kemdian menjadi ‘Menteri Luar Negeri’ dalam gerakan kemerdekaan bangsa Kanak di Kaledonia Baru; Powes Parkop, seorang pengacara HAM di PNG yang menjadi Sekjen MelSol dan aktif menjalin komunikasi di antara para anggota MelSol; serta John Somer alias John Koknak, orang Muyu yang mengaku pernah dilatih di kamp-kamp New People’s Army (NPA) di Filipina dan mengaku diangkat menjadi panglima tertinggi TPN (Tentara Pembebasan Nasional), sayap militer OPM, dan berhasil mempertemukan faksa Jakob Prai dan faksi Seth Jafet Rumkorem yang lama menimbulkan polarisasi di antara para gerilyawan Papua Merdeka. Di bulan November 2000, John Koknak ia secara resmi diundang oleh Partai Kiri Hijau (Groen Links ) di Negeri Belanda, untuk menyajikan proposal penyelesaian konflik bersenjata antara OPM dan TNI (King 2004: 172-3). Ia sering bermuhibah ke luar negeri dengan paspor PNG yang dipalsukan (King 2004: 173), dan punya kemampuan perang gerilya di hutan maupun diplomasi di forum-forum internasional. Saya sendiri pernah berjumpa dengannya di Timor Leste, pasca referendum. 15. Sementara MelSol merajut komunikasi di antara berbagai gerakan pembebasan dan oposisi di sejumlah negara dan teritori Melanesia, ada dua gerakan yang mengangkat masalah-masalah HAM bangsa Papua Barat ke forum internasional, termasuk hak menentukan nasib sendiri sebagai negara bangsa (nation state). Kedua gerakan itu adalah gerakan pembelaan hak-hak bangsa-bangsa pribumi (indigenous people’s movement), yang juga dikenal dengan istilah gerakan “Dunia Keempat”, dan gerakan lingkungan global. Kedua gerakan global ini sering bersinerji dan kadang-kadang malah tumpang tindih. Melalui kedua gerakan ini, penulis ikut memperjuangkan penurunan target transmigrasi secara drastis di Papua Barat serta pembatalan rencana maskapai produsen kertas internasional, Scott Paper, untuk membuka satu juta hektar kebun ekaliptus di kawasan selatan Papua Barat (Aditjondro 2006a). Kedua kampanye itu di Indonesia dimotori oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan SKEPHI (Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia). 16. Belakangan ini, dua organisasi payung juga telah muncul dalam perjuangan menegakkan hak-hak asasi bangsa Papua, bersandingan dengan WALHI, yakni AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang). Munculnya kedua organisasi payung itu, seiring dengan meningkatnya kampanye pembelaan terhadap suku-suku bangsa pribumi di wilayah konsesi PT Freeport Indonesia, yakni suku-suku bangsa Amungme dan Mimika. Namun sementara Freeport menjadi sasaran advokasi JATAM yang utama, advokasi AMAN tidak terbatas pada suku-suku bangsa Amungme dan Mimika, tapi juga melebar ke daerah Kepala Burung, khususnya ke Sorong, di mana sukubangsa Moi sedang memperjuangkan kedaulatan mereka kembali menghadapi perusahaan-perusahaan pertambangan migas dan penebangan dan pengolahan kayu, serta kantor-kantor pemerintah dan swasta yang telah puluhan tahun menduduki tanah adat mereka (Marut n.d.). 17. Sementara itu, berbagai pelanggaran HAM di Tanah Papua telah mengintensifkan sinerji antara organisasi-organisasi HAM di Tanah Papua sendiri, terutama Elsham Papua dan SKP Keuskupan Jayapura, dan organisasi-organisasi mahasiswa Papua dengan organisasi-organisasi HAM di Jakarta, terutama YLBHI, PBHI, dan Kontras, serta dengan gerakan mahasiswa Papua di Pulau Jawa. Dalam alur kerjasama ini, advokasi untuk investigasi pembunuhan Ketua PDP, Theys Hiyo Eluay (lihat Giay 2006), menjadi fokus perjuangan bersama. 18. Sinerji antara gerakan mahasiswa Papua dengan gerakan mahasiswa kiri di Pulau Jawa, merupakan suatu modus operandi yang baru, yang belum tampak secara jelas satu dasawarsa yang lalu. Dari fihak mahasiswa Papua di Jawa, motornya adalah Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yang berhasil mempersatukan mahasiswa Papua di Jawa dengan mahasiswa Papua di Tanah Papua sendiri, khususnya yang kuliah di kampus Uncen di Abepura, dengan terbentuknya Front PEPERA Papua Barat. Seiring dengan itu, di kalangan gerakan mahasiswa radikal di Jawa telah muncul dua gerakan, yakni LMND yang berorientasi ke PRD dan FMN yang bergandengan dengan AGRA. Mulai tahun 2006 ini, gerakan mahasiswa radikal di Jawa bersinerji dengan gerakan mahasiswa radikal Papua yang tergabung di bawah payung Front PEPERA PB, dengan menjadikan operasi dan keberadaan tambang tembaga-emas-perak PT Freeport Indonesia sebagai sasaran bersama, dimulai dari serangan terhadap kantor Freeport di Jakarta s/d aksi protes terhadap Freeport di kampus Uncen, Abepura, pada hari Kamis, 16 Maret yang lalu, yang berkembang menjadi aksi kekerasan terhadap sejumlah anggota polisi dan intel yang mencoba menyelusup di antara para aktivis mahasiswa. Akibat aksi berdarah di kampus Uncen itu, Hans Gebze, Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat, terpaksa bergerak di bawah tanah sekarang. Padahal, melihat pengalaman operasi-operasi intelijen di Indonesia dan Timor Leste, tidak tertutup kemungkinan bahwa telah terjadi penyusupan yang dengan sengaja berusaha mengubah aksi damai itu menjadi aksi berdarah, untuk menjustifikasi penindasan kembali terhadap gerakan mahasiswa Papua, seperti di era kediktatoran Soeharto. 19. Pemilihan anak perusahaan Freeport McMoRan, korporasi tambang emas-tembaga-perak raksasa asal AS, Freeport McMoRan, sebagai sasaran advokasi bersama oleh gerakan mahasiswa radikal Indonesia dan Papua, memang sangat strategis. Di mata Indonesia, tambang raksasa yang telah menghasilkan laba jutaan dollar AS bagi induk perusahaannya di New Orleans, merupakan simbol penjajahan baru bagi kaum kiri maupun kaum kanan di Indonesia. Ini dapat dilihat dari menonjolnya liputan tentang dampak sosio-ekologis tambang tembaga-emas-dan-perak itu di media kanan, seperti majalah Sabili, maupun dalam berbagai majalah berita yang non-partisan, seperti Tempo dan Gatra. Tambang Freeport di Pegunungan Tengah Papua Barat itu terutama terorbit kembali beritanya setelah menjadi ‘sasaran tembak’ politikus sayap kanan gerakan pro-demokrasi di Indonesia dan mantan Ketua MPR, Amien Rais. Sedangkan bagi gerakan mahasiswa radikal di Indonesia, keberadaan perusahaan pembayar pajak terbesar itu merupakan simbol kebijakan neo-liberalisme yang dianut oleh rezim SB-JK. Walhasik, baik sayap kanan maupun sayap kiri dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia menggunakan isyu Freeport untuk menghantam rezim SBY-JK, dan kalau perlu, menggeser duet jenderal & pedagang itu dari singgasana RI 1 dan RI 2. 20. Ini sedikit berbeda dengan citra dan simbolisasi tambang raksasa Freeport bagi gerakan mahasiswa radikal di Papua, yang lebih dekat dengan aspirasi masyarakat akar keladi di Tanah Papua. Dari berbagai percakapan serta berbagai literatur yang saya abaca, di mata orang Papua tambang raksasa ini bukan hanya simbol neo-liberalisme, atau imperialisme bangsa AS, tapi juga simbol kolonialisme Indonesia. Atau lebih tepat, simbol persekongkolan antara imperialisme bangsa AS dengan kelas komprador domestik bangsa Indonesia. Sebab yang mereka lihat dan rasakan adalah bahwa penggusuran sukubangsa Amungme dan Mimika dari tanah dan perairan ulayat mereka, dilakukan oleh aparat bersenjata Indonesia, untuk kepentingan mereka yang menjadi pemegang saham PT Freeport Indonesia. Orang Papua juga bisa mendengar dan membaca, bagaimana aparat bersenjata yang bertugas di daerah konsesi Freeport Indonesia, ikut memperkaya diri lewat perdagangan gaharu yang hanya membawa penyakit bagi orang Papua, khususnya HIV/AIDS. 21. Pemegang saham PT Freeport Indonesia juga bukan hanya perusahaan-perusahaan luar Indonesia, terutama Freeport McMoRan dan Rio Tinto, tapi juga perusahaan-perusahaan yang dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta. Yakni, mula-mula yang diajak menjadi pemegang saham adalah perusahaan milik Aburizal Bakrie, yang kemudian digusur dan digantikan oleh PT Nusa Ampera Bhakti (Nusamba), perusahaan milik keluarga Soeharto, yang ikut dimiliki dan dikelola oleh Bob Hasan (Leith 2003: . Setelah kursi kepresidenan RI 2 tergusur dari bawah pantat Soeharto, dan, setelah dua kali suksesi, kursi kepresidenan itu jatuh ke tangan (atau pantat?) Megawati Soekarnoputri, terbetik berita bahwa Taufik Kiemas, suami sang presiden, berusaha memasukkan orang-orangnya ke PT Freeport Indonesia. Rumor itu semakin mendapatkan kredibilitas, ketika pada hari Jumat, 9 Juni lalu, jabatan Presiden Direktur perusahaan itu dialihkan dari Adrianto Machribie ke Armando Mahler. ‘Kebetulan’, Mahler yang bernama seperti orang Jerman itu, sesungguhnya orang Palembang, dan pengangkatannya ditengarai hasil lobbying Taufik Kiemas, yang memang terkenal aktif menjaring orang-orang Sumatera Selatan (di mana orang luar, disebut ‘orang Palembang’) di berbagai lini bisnis keluarganya (Leith 2003: 238; King 2004: 156; Aditjondro 2006b: 28, 397). 22. PT Freeport Indonesia memang merupakan aktor politik dan ekonomi yang sangat perlu diperhitungkan, di dalam maupun di luar negeri. Di luar negeri, berkat hubungannya dengan salah satu perusahaan tambang bermodal Inggris dan Australia, Rio Tinto, perusahaan itu bak gurita punya tangan di mana-mana. Sedangkan di dalam negeri, perusahaan itu dengan lihainya berusaha mengambil hati orang-orang Papua yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Papua, maupun orang-orang Papua yang dipercaya oleh pemerintah Indonesia. Sejumlah intelektual Papua, seperti August Kafiar, mantan Rektor Uncen, Danielo Ayamiseba, mantan Kepala Lembaga Antropologi Uncen yang dulu merupakan atasan alm. Arnold Ap, dan Tony Rahawarin, mantan Direktur YPMD-Irja, direkrut oleh PT Freeport Indonesia di bagian hubungan masyarakatnya, yang sejak tahun 2001 menjalankan suatu program, Community Liaison Program, guna merangkul bangsa-bangsa pribumi di daerah konsesi Freeport. Community Affairs Department itu dipimpin oleh seorang purnawirawan militer AS, Tom Green, mantan Atase Militer di Kedubes AS di Jakarta (Leith 2003: 118, 139, 239). 23. Selain cendekiawan-cendekiawan Papua yang langsung direkrut oleh Freeport, menurut sumber-sumber di dalam perusahaan itu, PT Freeport Indonesia juga memelihara hubungan baik dengan semua gubernur dan mantan gubernur Irian Jaya/Papua. Di samping itu, dua orang anggota Presidium Dewan Papua (PDP), Tom Beanal dan Willy Mandowen, juga sangat dekat dengan PT Freeport Indonesia. Tom Beanal, satu-satunya Ketua PDP setelah pembunuhan Theys Eluay, yang telah diangkat menjadi Komisaris PT Freeport Indonesia, bersama seorang tokoh adat Mimika, Titus O. Poterayauw serta semua Bupati Mimika dan Gubernur serta mantan Gubernur Papua (Leith 2003: 136; King 2004: 38, 40). Sementara para gubernur dan mantan gubernur Papua menerima komisi tahunan sebesar US$ 35 ribu dari Freeport, Tom Beanal menerima US$ 40 ribu setahun, di luar fasilitas lain, seperti tiket dan akomodasi selama melakukan perjalanan ke luar Tanah Papua. Di samping itu, ketika Theys Eluay masih hidup, Freeport juga berkali-kali ikut membiayai muhibah-muhibah Presidium Dewan Papua ke luar negeri, termasuk ke Pasifik Selatan. Tidak cukup itu. Lidia Beanal, puteri tokoh Amungme itu, juga diangkat menjadi travel agent PT Freeport Indonesia. 24. Begitulah sepintas lalu, keberadaan Papua Barat di Pasifik Selatan, yang merupakan kancah pergulatan di antara berbagai kekuatan ekonomi dan politik global, regional, dan nasional. Setiap langkah gerakan masyarakat sipil di Tanah Papua untuk memperjuangkan penegakan hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan kultural bangsa Papua, perlu mempelajari dengan saksama kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik ini, demi efektifnya perjuangan itu, dari pada menjadi kancil yang terjepit dan mati di tengah-tengah perkelahian para gajah. Yogyakarta, 1 Juli 2006. Referensi: Aditjondro, George Junus (2000). Cahaya bintang kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam. ----------------- (2006a). Dari hutan Amazon sampai ke lapangan migas Blok Cepu: Sejarah perkembangan teori ekonomi-politik dan relevansinya dalam menyoroti hubungan ekonomi Utara & Selatan. Kuliah Umum di Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis, 20 April. ----------------- (2006b). Korupsi kepresidenan, reproduksi oligarki berkaki tiga: istana, tangsi, dan partai penguasa. Yogyakarta: LKiS. Giay, Benny (2006). Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua. Yogyakarta: Galangpress. Karoba, Sem, Hans L. Gebze dkk (2002). Papua menggugat: 11 November 2001, Hari kematian demokrasi, HAM dan perjuangan damai di Tanah Papua? Yogyakarta: Galangpress. King, Peter (2004). West Papua & Indonesia since Suharto: Independence, autonomy or chaos? Sydney: University of NSW Press. Leith, Denise (2003). The politics of power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press. Marut, Donatus K. (n.d.). Papuan identitu: indigenous peoples’ movements in West Papua. Catatan hasil penelitian lapangan untuk studi INSIST & Ford Foundation tentang Asian Social Movements. Curriculum Vitae George Junus Aditjondro Tempat & tgl lahir: Pekalongan, 27 Mei 1946. Pendidikan: 1. 1991: Master of Science (M.S.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses belajar tentang pengembangan masyarakat di antara pimpinan dan staf sebuah ornop, Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja). 2. 20 Januari 1993: Philosophical Doctor (Ph.D.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses pendidikan publik tentang dampak pembangunan bendungan Kedungombo di Jawa Tengah. Pekerjaan: 1. 1971-1979: Jurnalis Majalah TEMPO. 2. 1981-1989: Pekerja Pengembangan Masyarakat, a.l. Sekretariat Bina Desa (Jakarta), WALHI, dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja). 3. 1989-2002: Dosen Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Murdoch University (Perth, Australia Barat, Australia), dan University of Newcastle (Newcastle, NSW, Australia). 4. Sejak 1994 sampai sekarang, meneliti penyebaran harta jarahan keluarga dan kroni Soeharto ke belasan negara di dunia. 5. Sejak November 2002: Konsultan Penelitian & Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu. 6. Sejak September 2005: ikut mengampu mata kuliah-mata kuliah Marxisme, Metodologi Penelitian, dan Gerakan Sosial Baru di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB), Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Karya Tulis: Ratusan artikel, buku, bab, kata pengantar, prolog dan epilog tentang Timor Leste, Papua Barat, Aceh, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, lingkungan hidup, HAM, bisnis militer, gerakan sosial baru (new social movements), gerakan kiri di Indonesia dan Amerika Latin, pendidikan radikal, ekologi politik migas, serta korupsi sistemik para Presiden RI.
Posted on: Sat, 29 Jun 2013 23:06:50 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015