Ada yang mengatakan bahwa kebahagiaan tertinggi seorang perempuan adalah ketika ia telah menikah. Saya kurang begitu setuju dengan hal ini. Ketika pernikahan hanya bertujuan agar bahagia hal ini justru hanya seperti sebuah kamufalse aritmatika. Artinya harus dan harus. Tetapi realitanya bahwa pernikahan tidak selalu mendatangkan kebahagiaan bagi pelakunya. Maka jika tujuan menikah hanya ingin menjadi bahagia pikirkanlah kembali adakah sesuatu yang lebih dari sekedar kebahagiaan? Penyerahan utuh setiap individu atas pernikahan ialah melengkapi “aku“ dan “kamu“ menjadi sebuah bangunan yang disebut “kita“. Jika hanya mencari dan menilik dari baiknya, cocoknya, serasinya, maka sama halnya seperti jual beli dengan mencari keuntungan. Sesuatu yang jauh lebih penting dilupakan, bahwa ikrar kebersamaan itu ialah saling memperbaiki satu sama lain dengan bersama-sama pada jalan yang diridhaloiNya. Tidak semua perempuan itu akan bertahan mendampingi suaminya dalam kondisinya paling buruk, katakanlah keburukan itu bukan soal masalah materi tetapi jauh lebih pada masalah psikologi. Maka jikalau sebagai suami telah panjengan dapatkan seorang istri yang tetap setia dalam kondisi terburuk sekakipun maka hentikanlah keinginan-keinginan untuk mencarikannya adik perempuan (baca: istri kedua). Dalam hanyak kasus istri kedua belum tentu memiliki ketulusan sebesar istri pertama.
Posted on: Thu, 18 Jul 2013 11:42:45 +0000