Aku Tidak Rindu Kau (Sebuah Cermin berdasarkan kisah nyata - TopicsExpress



          

Aku Tidak Rindu Kau (Sebuah Cermin berdasarkan kisah nyata saudariku Wulanchuiq Saragi) Aku gak tahu kapan semua ini dimulai. Itu terjadi begitu saja, di sembarang waktu dan tempat. Aku bisa merasakan kehadiran mereka, melihat wujudnya bahkan secara batin bisa berinteraksi dengan mereka. *** Libur semester sudah tiba, sungguh bersemangat aku menyonsong hari- hariku ke depan. Aku sudah sangat rindu rumah, rindu Mama, Papa, adik- adikku bahkan bantal di kamarku. Aroma kampung halaman semakin semerbak tatkala aku menyusun bajuku di dalam tas. Aku meninggalkan kamar kos dengan semangat tak tertandingkan, kamar dimana mi instan menjadi sahabat terbaikku sehari- hari. Aku rindu masakan Mama. Perjalanan selama tiga jam kutempuh tanpa sedikit pun merasa lelah. Mama sudah menunggu di depan pintu, menyambutku. Cepat- cepat menyuruhku bersih- bersih dan melahap menu yang dipersiapkannya khusus untukku. Malam meraja kampung halamanku nan permai itu. Aku masuk kamar, kupeluk bantal yang sudah sangat kurindukan itu. Hmm.. nyaman. Aku mengutak- utik handphoneku, membuka jejaring sosial milikku dan mulai berbincang dengan teman- temanku. “Tap!! Tap!! Tap!!” dalam malam gelap gulita itu aku mendengar suara dari balik jendelaku, oh jangan lagi sobat. Aku benci ini. Aku hapal suara itu, ini sudah yang kesekian kalinya aku mendengar. Suara mirip hentakan kaki kuda itu sudah kuhapal benar. Tubuhku kaku. Reaksi yang kualami saat ia datang. Aku berusaha menggeliat dan menggerakkan badanku. Tidak bisa, terkunci. Aku mulai melihatnya melompat- lompat di dalam kamarku. Terus melompat- lompat. Kali ini yang datang bukan yang pendek, anak- anak atau masih remaja. Tapi yang sudah sangat tua. Yang utuh hanya satu ikatan di kepala, tangannya sudah tidak mendekap lagi di atas dada, namun menjuntai di samping tubuh bertanahnya, kukunya panjang hingga 10 cm. Bergoyang- goyang sesuai hentakan lompatannya. “Tap..!! Tap…!!” ia kembali melompat, tak sadar bahwa aku bisa melihatnya. Tubuhku masih tidak bisa digerakkan, ingin aku berpaling membelakanginya, namun tidak bisa. Dan menurut pengalamanku, aku tetap bisa melihatnya pada saat aku tidak melihat ke arahnya, aku masih bisa menyaksikannya walau ia ada di balik punggungku. Ini bukan semacam melihat tontonan di televisi, yang akan tidak terlihat lagi kalau kau memejamkan mata, atau berbalik atau keluar ruangan. Ini bukan hal remeh temeh semacam itu. Ini berhubungan dengan ghaib, sesuatu yang sulit dilogikakan. Ia berhenti melompat, tampaknya tersadar kalau aku bisa melihatnya. Ia mulai memandangku dalam, menatap mataku, maksudku bukan mata secara harfiah, ia menatap mata batinku, mengintimidasiku secara intens. Matanya yang memiliki cahaya merah membuatku seperti dipanggang di atas bara api. Panas sepanas- panasnya. Aku menatapnya, di sudut- sudut matanya ada darah mengalir. Ya, darah! Itu selalu kulihat di semua jenis makhluk seperti dia. Wajah mengerikannya bertanah, keriput dan jelek sekali. Aku mulai membaca segala ayat Al- Quran yang kuhapal di dalam hati. Namun bukannya pergi, ia malah menatapku lebih tajam, dan membuatku semakin panas. Aku mulai bernegoisasi dengannya. Melalui hati tentunya. “Pergilah, jangan ganggu aku. Aku kan tidak pernah menganggumu..” begitu berulang- ulang. Hingga panas ditubuhku berkurang dan ia menghilang dari pandangan. Aku berharap ini kejadian yang terakhir aku bertemu dengannya. Sebab ini bukan hal yang kurindukan saat aku pulang kampung seperti ini. Aku tidak rindu padamu, Pocong!!!
Posted on: Tue, 27 Aug 2013 03:28:32 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015