Antara penegakkan hukum dan hati nurani Hari ahad saya menonton - TopicsExpress



          

Antara penegakkan hukum dan hati nurani Hari ahad saya menonton sebuah film yang sangat menarik, judulnya Wu xia, swordsman. Film yang diarahkan oleh Peter Chan ini menggambarkan tentang pertabautan seorang pembunuh, Tang Long yang diperankan oleh Donnie Yen , yang memilih meninggalkan kelompoknya yang dikenal dengan 72 Iblis demi menjadi seorang manusia baru dengan nama Liu Jin Xia. Sepuluh tahun tahun ia memulai hidupnya yang baru bersama seorang istri dan dua orang anak di sebuah desa dimana tak ada satupun orang yang mengetahui latar belakangnya bahkan istrinya pun tak tahu. Kebahagiaan mereka tiba-tiba terhenti, dikarenakan Liu Jin Xia secara tak sengaja terlibat perkelahian dengan dua orang perampok yang merampok supermarket tempat dia bekerja pada hari itu. Awalnya dia sukses membuat seolah-olah dia mengalahkan kedua perampok itu secara tidak sengaja. Seluruh penduduk dan pejabat setempatpun percaya dan menganggap ia sebagai pahlawan karena mengangkat nama desa. Hal ini disebabkan karena salah satu penjahat yang mati adalah buronan nomor satu yang terkenal kuat dan bengis, Yan Dongsheng. Adalah Xu Baijiu, seorang detektif kerajaan, yang terobsesi akan penegakan hukum yang pertama kali tidak percaya. Bagaimana seorang pemuda biasa bisa mengalahkan seorang perampok terlatih secara tak sengaja? Dia pun memulai investigasinya dan singkatnya dia akhirnya mengetahui bahwa Liu Jin Xia adalah Tang long si pembunuh yang menewaskan secara keji sekeluarga penjual daging sepuluh tahun lalu. Xu Baijiu adalah seorang detektif yang sangat menomorsatukan hukum. Baginya hukum harus ditegakkan apapun halangannya. Dia tidak peduli dengan rasa kemanusiaan. Baginya hukum adalah hukum. Penjahat tetaplah penjahat, bagaimanapun ia telah berubah, bagaimanapun ia telah bertaubat, ia tetap harus dibawa kepengadilan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Rupanya prinsipnya ini dia bangun karena trauma oleh masa lalunya. Dia pernah melepaskan seorang anak yang ditangkapnya mencuri dari orang tuanya. Atas nama nurani dan kemanusiaan, diapun melepaskan sang anak dan mengembalikannya kepada keluarganya. Tetapi apa lacur, dalam acara makan malam bersama keuarga si anak. Ternyata anak itu menaruh racun di mangkuk ayah, ibu dan mangkuk Xu Baijiu. Ayah dan ibu si anak meninggal seketika, sedangkan Xu Baijiu bisa selamat karena menguasai ilmu akupuntur. Maka sejak itu Xu Baijiu berprinsip penjahat tetaplah penjahat. Dan hukum harus tegak apapun syaratnya. Jadilah ia berusaha membawa Tang Long ke pengadilan. Dia berusaha mendapatkan surat penangkapan dari hakim walaupun tanpa bukti dengan cara apapun walau harus menyogok sang hakim. Sialnya ternyata sang hakim menjual informasi keberadaan Tang Long ke sekelompok penjahat yang ternyata adalah 72 iblis. Maka merekapun bergerak untuk mendapatkan kembali Tang Long. Singkat cerita, akibat obsesi si Xu Baijiu, satu desa tempat Tang Long tinggal menderita kesedihan yang mendalam karena kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal yang dibakar kelompok 72 iblis. Keluarga Tang Long dalam bahaya besar bahkan Tang Long sendiri harus kehilangan tangan kirinya demi membuktikan bahwa dirinya tak lagi mau bergabung dengan kelompok 72 iblis. Dan akhirnya Xu Baijiu meninggal, untuk mengetahui jawaban pertanyaanya manakah yang lebih penting penegakan hukum atau nurani dan kemanusiaan ? Film ini mengingatkan saya pada salah satu kisah favorit saya yang juga terdapat dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Utd. Salim A. Fillah, disebutkan bahwa : Suatu hari Umar bin Al khattab sedang duduk di bawah sebatang kurma bersama para sahabatnya yang sedang bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan. Tiba-tiba pembicaraan mereka terjeda. Dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang mereka cengkram lengannya. ‘Wahai Amirul Mukminin’, ujar salah satu berseru-seru, ‘Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh ayah kami ini!’ ‘Umar bangkit. ‘Takutlah kalian kepada Allah!’ hardiknya, ‘perkara apakah ini?’ Kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku telah mengaku. ‘Umar bertanya kepada sang tertuduh. ‘Benarkah yang mereka dakwahkan kepadamu ini?’ ‘Benar, wahai Amirul Mukminin!’ ‘Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal!’ ujar Umar menyelidik dengan teliti. ‘Ceritakanlah kejadiannya!’ ‘Aku datang dari negeri yang jauh’, kata belia itu. ‘Begitu samapai di kota ini kutambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun keluarga mereka. Kutinggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.’ ‘Saat aku kembali,’ lanjutnya sembari menghela nafas, ‘Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya.’ Umar tercenung. ‘Wahai Amirul Mukminin’, kata salah satu dari kedua kakak beradik itu, ‘Tegakkanlah hukum Allah. Kami minta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar jiwa.’ ‘Umar melihat belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang diair mukanya. ‘Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi. ‘Bersediakah kalian’, ucap Umar kearah dua pemuda penuntut qishah, ‘Menerima pembayaran diyat dariku atas nama pemuda ini dan memaafkannya? Kedua pemuda itu saling pandang. ‘Demi Allah, hai Amirul Mukminin,’ jawab mereka, ‘Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaanya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tentram jika had ditegakkan!’ ‘Umar terhenyak. ‘Bagaimana menurutmu?’ tanyanya pada sang terdakwa. ‘Aku ridha hukum Allah ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin,’ kata si belia dengan yakin. ‘Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali pada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah diperjalanan terakhirku ini harus aku serahan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan ampunan ayah ibuku.’ ‘Umar terenyuh. Tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. Tetapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan. ‘Jadi bagaimana?’ tanya Umar. ‘Jika engkau mengizinkan, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai putra Al-Khattab.’ ‘Adakah orang yang bisa menjaminmu?’ tanya umar. ‘Aku tak memiliki seorang pun yang kukenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku tak memiliki seorang pun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’ ‘Tidak! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak bisa mengizinkanmu pergi!’ tegas Umar ‘Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku.’ Seru si belia. ‘Aku percaya. Tapi tetap harus ada manusia yang menjaminmu!’ Umar kembali menegaskan. ‘Aku tak punya!’ seru si pemuda lemah. ‘Wahai Amirul Mukminin!’ terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. ‘Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya!’. Inilah dia, Salman Al-Farisi yang tampil mengajukan diri. ‘Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini?’ tanya Umar. ‘Benar. Aku bersedia!’. Jawab Salman mantap. ‘Kalian berdua kakak beradik yang mengajukan gugatan,’ pangil Umar, ‘Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al-Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini? Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat.’ Kedua pemuda itu saling pandang. ‘Kami menerima,’ kata mereka nyaris serentak. Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mandir sementara Salman duduk khusyu’ didekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya diujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tak datang memenuhi janji, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash. Waktu terus merambat. Belia itu masih belum muncul. Kota madinah mulai terasa kelabu. Para sahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal. Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbananya untuk islam begitu besar. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai. Satu demi satu, dimulai dari Abud Darda’, beberapa sahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan padanya. Tetapi Salman menolak. Umar juga menggeleng. Matahari semakin lingsir ke barat. Kekhawatiran Umar makin memuncak. Para sahabat makin kalut dan sedih. Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana. ‘Maafkan Aku,’ ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajahnya, ‘urusanku dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat beristrahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai kemari sehingga nyaris terlambat.’ Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan iba. Semua yag mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya hari itu. ‘Pemuda yang jujur’, ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, ‘Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishah ?’ ‘Sungguh jangan sampai orang mengatakan,’ kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, ‘Tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran di kalangan kaum muslimin.’ ‘Dan kau Salman,’ kata Umar bergetar, ‘untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?’ ‘Sungguh jangan sampai orang bicara,’ ujar Salman dengan wajah teguh, “Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang Muslim.’ ‘Allahu Akbar!’ kata Umar, “segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan hati ummat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus kami tegakkan!’ Pemuda itu mengangguk pasrah. ‘Kami memutuskan…’ kata kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, ‘Untuk Memafkannya’. Mereka tersedu sedan. ‘Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.’ ‘Alhamdulillah! Alhamdulillah!’, ujar Umar. Pemuda terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya kearah kiblat mengangungkan asma Allah, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin. ‘Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?’ tanya Umar pada kedua ahli waris korban. ‘Agar jangan sampai ada yang mengatakan,’ jawab mereka masih terharu, Bahwa dikalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang’. Subhanallah. Inilah contoh dimana nurani dan rasa kemanusiaan seperti rasa percaya, iba hati, kasih sayang dan pemaafan menjadi pemimpin atas sebuah penegakan hukum. Inilah contoh kisah dimana hati menjadi penentu titik akhir sebuah keputusan hukum. Lihatlah negeri kita ini negri kaum muslimin lainnya wahai saudaraku, hukum seakan-akan buta. Manusia telah kehilangan sensitifitas sosialnya. Kasus nenek pencuri cokelat, nenek pencuri singkong, pembantu yang mencuri piring, kasus pencurian kotak amal, kisah pencurian listrik karena charging hp, dan begitu banyak lagi kisah yang memiriskan hati kita akan penegakan hukum dan rasa kemanusiaan di negeri ini. Sebaliknya hari ini kita menyaksikan para terdakwa kasus korupsi, pengguna narkoba, dan kejahatan sosial lainnya yang jelas-jela merugikan negara, meresahkan masyarakat , memainkan hkum, dan melakukan pembohongan publik hanya diganjar dengan hukuman ringan, Dan yakinlah masa itu pastinya akan dikurangi dengan remisi atas nama hari raya dan kelakuan baik.
Posted on: Tue, 01 Oct 2013 22:56:11 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015