Austronesia sebenarnya adalah istilah ciptaan para sarjana ketika - TopicsExpress



          

Austronesia sebenarnya adalah istilah ciptaan para sarjana ketika mereka harus menjelaskan adanya kebudayaan awal dalam masa prasejarah yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Bukti-bukti adanya kebudayaan masa prasejarah yang mempunyai kemiripan tersebut tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara daratan, kepulauan Indonesia, Filipina, Taiwan, di pulau-pulau Pasifik hingga kepuluaan Fiji, ke barat bukti-bukti tersebut dapat ditemukan hingga Pulau Madagaskar di pantai timur Afrika. Kebudayaan Austronesia didukung oleh orang-orang dinamakan saja orang Austronesia, tentunya mereka awalnya menetap di suatu wilayah tertentu sebelum melakukan diaspora ke berbagai wilayah lainnya dalam rentang area yang sangat luas. Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia kemungkinan terjadi dalam kurun waktu 6000 SM hingga awal tarikh Masehi. Mengenai tempat menetap orang-orang Austronesia pada awalnya, masih menjadi diskusi hangat dari para ahli. Pendapat yang sampai sekarang masih mendapat sokongan kuat adalah bahwa mereka awalnya menetap di wilayah Cina selatan. Akibat mendapat desakan dari pergerakan bangsa-bangsa di Asia Tengah, orang-orang pengembang kebudayaan Austronesia bermigrasi dan akhirnya menetap di wilayah Yunnan, salah satu daerah di Cina Selatan. Kemudian berangsur-angsur mereka menyebar memenuhi seluruh daratan Asia Tenggara hingga mencapai pantai. Selama kehidupannya di wilayah Asia Tenggara daratan sambil mengembangkan kebudayaannya yang diperoleh dalam pengalaman kehidupan mereka. Pada sekitar tahun 3000-2500 BC, orang-orang Austronesia mulai berlayar dari pedalaman Cina selatan daerah Yunnan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina. Diaspora Austronesia berlangsung terus hingga tahun 2500 SM mereka mulai memasuki Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Dalam sekitar tahun 2000 SM kemungkinan mereka telah mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa yang sama itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki Semenanjung Malaysia dan pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus hingga sekitar tahun 500 SM hingga awal dihitungnya tarikh Masehi. Pendapat tersebut dikemukakan oleh H.Kern seorang ahli linguistik dan didukung oleh W.Schmidt (antropolog), P.V.van Stein Callenfels, Robert von Heine Geldern, H.O.Beyer dan R.Duff (arkeolog). Memang hingga sekarang ini pendapat yang menyatakan bahwa tanah asal orang Austronesia adalah daratan Asia Tenggara dan Cina selatan (Yunnan) masih banyak pendukungnya, walaupun akhir-akhir ini juga mengemuka pendapat baru yang dicetuskan oleh para pakar lainnya. Pendapat lain pernah digagas oleh I.Dyen (1965) seorang ahli linguistik, berdasarkan metode lexico-statistik ia kemudian menyimpulkan bahwa orang penutur bahasa Austronesia berasal dari Melanesia dan pulau-pulau di sekitarnya. Dalam masa prasejarah mereka menyebar ke barat ke arah kepulauan Indonesia dan daratan Asia Tenggara, dan juga ke Pasifik selatan (Keraf 1991: 9—10). Pendapat yang kini populer adalah tentang “Out of Taiwan” yang menyatakan tempat asal orang-orang Austronesia adalah Taiwan. Pendapat ini semula dikemukakan oleh Robert Blust berdasarkan kajian terhadap bahasa-bahasa dalam rumpun Austronesia. Ia juga mengadakan kajian terhadap proto-bahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora, fauna, dan gejala alam lainnya. Maka kesimpulannya adalah bahwa tempat asal penutur bahasa Austronesia adalah Taiwan (Blust, 1984-85, 1995). Pendapat Blust tersebut kemudian mendapat dukungan dari penelitian arkeologi Peter Bellwood, walaupun terdapat sedikit perbedaan dalam hal kronologi munculnya bahasa Austronesia, namun keduanya mempunyai pendapat yang sama tentang tahapan migrasi Austronesia, sebagai berikut: Migrasi petani prasejarah dari Cina ke Taiwan (5000—4000 SM), mereka belum berbahasa Austronesia. Setelah lama menetap barulah mengembangkan bahasa Austronesia. Migrasi dari Taiwan ke Filipina (sekitar 4000—3000 SM), mereka mengembangkan bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia. Migrasi dari Filipina ke arah selatan dan tenggara (3500 SM—sebelum 2000 SM), menuju ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku utara. Migrasi dari Maluku ke arah selatan dan timur (3000 SM atau 2000 SM), mencapai Nusa Tenggara dan pantai Utara Papua Barat. Dalam pada itu orang Austronesia yang telah menghuni Kalimantan sebagian bermigrasi ke arah Jawa dan Sumatera. Migrasi dari Papua ke barat (2500 SM) dan Timur (2000 SM atau 1500 SM) menuju Oseania. Austronesia dari Jawa dan Sumatera kemudian ada yang bermigrasi ke Semenanjung Malaysia dan Vietnam pada sekitar 500 SM, pada periode yang hampir sama sebagian orang Austronesia dari Kalimantan ada pula yang berlayar hingga sejauh Madagaskar (Tanudirdjo & Bagyo Prasetyo 2004: 82—84). Satu teori migrasi Austronesia lainnya yang juga mendapat perhatian dari para sarjana adalah yang menyatakan bahwa orang Austronesia tersebut berasal dari kepulauan Asia Tenggara, lalu menyebar ke berbagai arah. Adalah John Crawfurd yang pertama kali mempunyai gagasan seperti itu, dalam tulisannya yang berjudul On the Malayan and Polynesian Languages and Races (1884), walaupun tanpa bukti yang cukup namun ia telah berkeyakinan bahwa orang Indonesia tidak berasal dari mana-mana, tetapi merupakan induk yang menyebar ke mana-mana. Maka pendapat ini kemudian memperoleh dukungan dari Gorys Keraf (1991) yang menyatakan berdasarkan teori migrasi bahasa, keadaan geologi zaman purba, dan penyebaran homo sapiens-sapiens yang sudah menghuni kepulauan Indonesia dan Filipina, ketika masih bersatu dengan daratan Asia sekitar 15.000 tahun yang lalu. Gorys Keraf menyatakan: “Ketika es-es dalam zaman Pleistosen mulai mencair sehingga air laut perlahan-lahan menggenangi lembah-lembah dan dataran, kelompok-kelompok homo sapiens-sapiens yang tersebar luas itu perlahan-lahan mundur ke tempat-tempat yang lebih tinggi, yang lambat laun membentuk pulau-pulau sekarang ini. Terdapat kelompok-kelompok bahasa-bahasa Austronesia di daratan Asia karena proses yang sama. Ketika daerah lembah dan dataran rendah yang sekarang menjadi Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Selat Karimata, maka penutur bahasa-bahasa yang berkerabat itu mundur perlahan-lahan ke tempat yang belum digenangi yang sekarang menjadi daerah Asia Tenggara dan Timur. Bahwa kemudian terjadi migrasi lokal tau interinsuler sesudah terbentuknya pulau-pulau dengan menggunakan alat-alat transportasi sederhana seperti rakit atau dalam bentuk yang lebih maju berupa perahu-perahu kecil yang disebut wangkang, benaw, berok dan sebagainya, hal itu tidak dapat disangkal. Karena itu, dengan mempertimbangkan keadaan geografi dunia, khususnya Asia dan kepulauan di sekitarnya, pada zaman Pleistosen dan awal periode Holosen, serta perkembangan-perkembangan primat khususnya dari hominoidae ke hominidae, dari Australopithecus hingga homo sapiens sapiens, dan mempertimbangkan lagi dalil-dalil migrasi bahasa, maka negeri asal bangsa dan bahasa-bahasa Austronesia haruslah di wilayah Indonesia dan Filipina, termasuk laut dan selat di antaranya” (Keraf 1991: 18—19). Pendapat Gorys Keraf tersebut memang belum banyak diperhatikan oleh para ahli, akan tetapi apa yang dikemukakannya dapat diterima secara ilmiah dan empirik. Sebab selama ini para pakar selalu fokus pada data bahasa, kebudayaan material (artefak), dan ciri ras manusianya saja, apabila mereka memperbincangkan diaspora Austronesia. Padahal orang Austronesia itu sudah tentu hidup di ruang geografi dan lingkungan alam yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian apabila lingkungan alam tempat mereka hidup juga berubah, maka akan terjadi perpindahan (migrasi) mencari lokasi di ruang geografi yang lebih aman. Teori Gorys Keraf sejatinya hendak menyatakan bahwa diaspora Austronesia itu telah terjadi jauh dalam zaman prasejarah di akhir zaman es, sekitar 11.000 tahun SM, ketika paparan Sunda di bagian barat Indonesia yang menyatu dengan daratan Asia Tenggara tenggelam karena air laut naik akibat mencairnya es. Itulah awal tercerai-berainya masyarakat Austronesia dalam berbagai pulau dan lokasi di kawasan Asia Tenggara. Di masa kemudian setelah paparan Sunda tenggelam, bisa saja terjadi migrasi orang-orang Austronesia yang dilakukan antarpulau dan antardaerah, itulah yang mulai dilakukan pada sekitar 5000 SM hingga 500 M. Ketika migrasi telah jarang dilakukan, dan orang-orang Austronesia telah menetap dengan ajeg di beberapa wilayah Asia Tenggara, terbukalah kesempatan untuk lebih mengembangkan kebudayaan secara lebih baik lagi. Berdasarkan temuan artefaknya, dapat ditafsirkan bahwa antara abad ke-5 SM hingga abad ke-2 M, terdapat bentuk kebudayaan yang didasarkan kepada kepandaian seni tuang perunggu, dinamakan Kebudayaan Dong-son. Penamaan itu diberikan atas dasar kekayaan situs Dong-son dalam beragam artefaknya, semuanya artefak perunggu yang ditemukan dalam jumlah besar dengan bermacam bentuknya. Dong-son sebenarnya nama situs yang berada di daerah Thanh-hoa, di pantai wilayah Annam (Vietnam bagian utara). Hasil-hasil artefak perunggu yang bercirikan ornamen Dong-son ditemukan tersebar meluas di hampir seluruh kawasan Asia Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei di Indonesia timur. Bermacam artefak perunggu yang mempunyai ciri Kebudayaan Dong-son, contohnya nekara dalam berbagai ukuran, moko (tifa perunggu), candrasa (kampak upacara), pedang pendek, pisau pemotong, bejana, boneka, dan kampak sepatu. Ciri utama dari artefak perunggu Dong-son adalah kaya dengan ornamen, bahkan pada beberapa artefak hampir seluruh bagiannya penuh ditutupi ornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dong-son (senimannya) memiliki selera estetika yang tinggi (Wagner 1995: 25—26). Kemahiran seni tuang perunggu dan penambahan bentuk ornamen tersebut kemudian ditularkan kepada seluruh seniman sezaman di wilayah Asia Tenggara, oleh karenanya artefak perunggu Dong-son dapat dianggap sebagai salah satu peradaban pengikat bangsa-bangsa Asia Tenggara. Telaah ini selanjutnya adalah membincangkan nekara perunggu yang tersebar meluas di berbagai wilayah Asia Tenggara daratan dan juga kepulauan Nusantara. Selain sebagai salah satu bukti adanya kebudayaan Austronesia yang mengikat bangsa-bangsa Asia Tenggara masa silam, nekara perunggu juga agaknya mempunyai banyak fungsi lainnya lagi. Fungsi-fungsi itulah yang dicoba untuk diselisik lebih lanjut dalam telaah singkat ini. Dalam masa Kolonial Belanda telah terdapat adanya laporan tentang temuan nekara perunggu yang disusun oleh G.E.Rumphius sekitar tahun 1704 tentang temuan nekara di Bali. E.C.Barchewitz juga pernah melaporkan tentang nekara di Pulau Luang (Nusa Tenggara Timur dalam tahun 1930. Hal yang menarik adalah perihal temuan nekara yang terdapat di dekat percandian Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah. J.van Kinsbergen dalam tahun 1865 melakukan penggalian di situs Dieng, dan menemukan fragmen bidang pukul nekara (Soejono 1984: 244). Adanya temuan nekara dekat dengan situs percandian sungguh menarik perhatian dari perspektif perkembangan kebudayaan, sebab nekara agaknya masih dikenal atau bahkan masih digunakan tatkala agama Hindu-saiwa telah berkembang di Jawa dalam sekitar abad ke-9 M. Ragam hias dengan Gaya Dong-son akan mudah ditemukan contohnya pada artefak perunggu yang berupa nekara, moko, candrasa, bejana perunggu, kampak perunggu ataupun juga hiasan yang terdapat dalam monumen-monumen megalitik. Hiasan Gaya Dong-son dibuat secara nyata dan agaknya dihadirkan dengan sadar sebagai penghias dari benda-benda yang dimaksudkan. Oleh karena itu hiasan Gaya Dong-son dapat diamati dengan mudah. Contoh yang baik adalah hiasan yang terdapat pada nekara besar dari Pejeng, Bali (The moon of Pejeng), pada bagian tubuh nekara besar tersebut terdapat deretan wajah digambarkan seperti topeng, wajah berbentuk oval, mata melotot, hidung, mulut dinyatakan secara tegas, begitupun daun telinga panjang terdapat di tepian kanan-kiri wajah-wajah itu. Pada bagian atas dan bawah deretan wajah, jadi mengapit motif hias wajah terdapat deretan garis vertikal yang dibuat secara rapat mengelilingi seluruh tubuh nekara. Pada bagian tengah bidang pukulnya terdapat bentuk lingkaran yang darinya ke luar garis-garis tebal lalu menipis diujungnya, mungkin simbol dari matahari yang sedang bersinar. Nekara dari Pulau Sangeang, Sumbawa, oleh penduduk setempat dinamakan dengan Makalamau (Bernet Kempers 1959: Plate 17—19). Hampir seluruh tubuhnya dihias dengan berbagai ornamen. Di bagian tubuh nekara dihias dengan figur hewan, yaitu kuda, ikan, dan bermacam burung, burung yang sangat banyak digambarkan adalah merak.Pada bagian kaki nekara terdapat deretan gajah yang diikuti oleh burung merak. Nekara itupun sangat kaya dengan berbagai hiasan geometris lainnya, ada garis-garis yang saling berpotongan, spiral, bentuk-bentuk elips, belah ketupat (wajik), motif perahu panjang yang digabungkan dengan bentuk kepala burung enggang. Di bagian tepi bidang pukulnya (tympanum) digambarkan figur-figur katak dalam wujud 3 dimensi, jadi bukan dalam bentuk relief. Tubuh katak itu pun semuanya dipenuhi dengan berbagai bentuk ragam hias geometris. Sangat mungkin figur katak pada tepian tympanum nekara berhubungan dengan fungsinya dalam upacara memanggil hujan, sebab katak selalu berbunyi apabila hujan turun. Bentuk-bentuk ragam hias yang ada pada nekara dari Sangeang tersebut merupakan gabungan antara bentuk naturalistik dan bentuk yang telah distilasi (Bernet Kempers 1959: 30—31). Moko (berbentuk seperti tifa namun terbuat dari perunggu) yang ditemukan di Pulau Alor dipenuhi juga dengan berbagai ragam hias, moko itu berukuran tinggi 62 cm dengan diameter tympanum 36 cm, sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Hingga dewasa ini di kepulauan tersebut masih banyak moko yang terus dipergunakan dalam upacara yang mempunyai tujuan kesakralan juga sebagai mas kawin. Hiasan pada moko dari Pulau Alor hampir serupa dengan nekara “The moon of Pejeng”, yaitu gambaran wajah-wajah topeng dan garis-garis vertikal dan juga miring sejajar. Hanya saja hiasan pada nekara Pejeng digarap jauh lebih rinci daripada moko Pulau Alor. Bentuk tympanum yang dihias cukup rinci dan menarik terdapat pada nekara dari Tanurejo, Parakan, Temanggung. Tympanum itu digambarkan mempunyai lingkaran ganda tiga di tengah bidang pukul, pada lingkaran terdalam (lingkaran pertama) terdapat bentuk bintang yang mengesankan seperti matahari yang sedang bersinar. Lingkaran ke-2 dan 3 diisi dengan garis-garis lurus. Pada bagian bidang pukulnya terdapat ornamen yang menarik namun sukar untuk dideskripsikan dengan tepat, digambarkan terdapat berkas tali-temali yang lembut namun berukuran besar saling berhubungan dan bertemu pada lingkaran-lingkaran kecil yang seakan-akan menggabungkan tali-temali itu. Bagian telah tali-temali diisi dengan garis-garis teratur seperti gambaran duri ikan yang rapat (Bernet Kempers 1959: Plate 16). Bentuk hiasan berkas tali-temali yang asimetris tersebut dapat dijadikan contoh dari Gaya Chou tua dalam ragam hias. Gabungan gaya ragam hias Gaya Dong-son dan Chou tua juga terdapat pada kampak upacara dari Jawa Timur dan Pulau Roti yang dinamakan candrasa, kampak-kampak itu terbuat dari bahan perunggu. Bentuk candrasa dari Jawa lebih tebal dan melebar, sedangkan candrasa dari Pulau Roti berbentuk ramping pada tangkai dan melebar pipih pada bagian tajamannya (Bernet Kempers 1959: Plate 7 & 11). Candrasa tersebut dihias dengan bentuk-bentuk geometris dan burung, candrasa Jawa Timur justru badannya yang menyerupai burung sedang bertengger di dahan. Mengenai bentuk-bentuk nekara sebenarnya telah dikaji oleh F.Heger, ia kemudian berhasil menggolongan nekara ke dalam 4 tipe Heger sebagai berikut: Tipe Heger I: bidang pukul sesuai lebar badan, berbahu, ada lekukan pinggang dan kaki melebar. Tipe ini yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Tipe Heger II: bidang pukul melebihi lebar badan, bahu tidak ada lurus tanpa pinggang ke bawah. Tipe Heger III: bidang pukul melebihi lebar badan, tanpa bahu, bagian pinggang agak melengkung ke dalam tubuh. Tipe Heger IV: bidang pukul menutup lebar badan, ada tonjolan bahu, pinggang sedikit melengkung dan bagian kaki melebar melebihi lingkaran bidang pukul. Tipe nekara Pejeng atau Moko, merupakan bentuk tambur perunggu yang bagian tubuhnya panjang, bentuknya mirip dengan instrumen musik tifa, hanya saja tifa lebih kecil dan tubuhnya terbuat dari kayu. Sementara sarjana ada yang menyatakan Tipe nekara Pejeng tersebut merupakan tipe lokal, artinya asli buatan setempat (Bali), tidak didatangkan dari luar. Di antara keempat tipe Heger, tipe yang banyak ditemukan di Indonesia adalah tipe Heger I dan IV, adapun tipe Heger II dan III tidak pernah ditemukan di kepulauan Indonesia, melainkan banyak dibuat di kawasan Asia Tenggara daratan (Soejono 1984: 253—55). Nekara-nekara dari berbagai tipe tersebut tidaklah polos tanpa hiasan, melainkan tubuh dan bidang pukulnya dipenuhi dengan berbagai bentuk hiasan. Mutu pembuatan hiasan sangat tinggi dan digarap dengan hati-hati sehingga terlihat tidak dijumpai adanya kesalahan dalam bentuk-bentuknya. Kajian tentang hiasa pada nekara itulah yang dibincangkan dalam bagian berikut dari telaah ini. Sebagaimana telah dibincangkan bahwa di setiap nekara tersebut senantiasa terdapat bermacam bentuk ragam hias yang ditambahkan pada bagian bidang pukul atau pun tubuh nekara. Telah diyakini secara universal bahwa hiasan yang terdapat di berbagai benda dan monumen keagamaan tidaklah semata-mata hanya untuk keindahan, melainkan terdapat tujuan lain yang lebih dari sekedar hiasan, yaitu sebagai simbol konsep keagamaan. Dalam kebudayaan-kebudayaan sederhana di awal periode sejarah dan dalam kebudayaan tradisional berbagai bentuk motif hias menjadi lebih penting daripada hiasan yang berkembang dalam zaman modern, sebab motif-motif hias itu mencerminkan konsep religi yang dipercaya oleh manusia sezaman (Van Der Hoop 1949: 9). Dalam tahap lebih lanjut ketika pemujaan terhadap arwah nenek moyang berkembang di zaman perundagian, ragam hias diperlukan sebagai simbol arwah nenek moyang. Ragam hias dengan maksud memuja arwah nenek moyang senantiasa hadir pada benda-benda yang berkaitan dan digunakan dalam sarana pemujaan tersebut (Bintarti 1987: 279). Hiasan tersebut adalah simbol yang harus dimaknai, diartikan oleh orang-orang yang memang berasosiasi dengan benda-benda/monumen berhias. Sebagai contoh adalah kehadiran kepala raksasa (Kala) yang menyeramkan di ambang-ambang pintu masuk candi Hindu-Buddha di Jawa, bukanlah semata-mata hiasan yang memperindah bingkai atas pintu, hiasan kepala Kala itu merupakan simbol untuk mengusir kekuatan jahat yang akan mengganggu kesucian candi. Kepala Kala juga dapat dibentuk atau dipahatkan di mana saja, termasuk di balik arca atau di atas lubang pintu masuk pada gapura-gapura di Bali (Bernet Kempers 1959: 73). Contoh lainnya adalah hiasan yang merupakan motif binatang melata (kadal, biawak, dan buaya) yang kerapkali dijumpai di rumah-rumah tradisional Nusantara, sejatinya melambangkan nenek moyang yang melindungi rumah-rumah tersebut. Hiasan biawak dan kadal juga dikenal di berbagai etnik yang menempati pulau-pulau di wilayah Lautan Teduh, binatang-binatang itu adalah simbol dari kekuatan dewa siang atau dewa malam melindungi mereka (Hoop 1949: 222). Dalam hal wujud hiasan pada nekara termasuk moko, kiranya dapat dikelompokkan menjadi: (1) motif manusia, (2) motif hewan, (3) bentuk-bentuk geometris, (4) motif lainnya. Dalam penggambarannya berbagai motif hias tersebut dipresentasikan dengan berbagai bentuknya, misalnya: Motif hias manusia terdiri dari: bermacam aktivitas manusia dan bagian tubuh manusia terutama wajah (seperti topeng). Motif hewan menggambarkan: kijang, domba, gajah, katak, burung bangau, merak, burung hantu, kuda, ikan dan binatang lain yang belum dapat diidentifikasikan bentuknya secara jelas, mungkin sekali binatang yang dikenal dalam kisah-kisah mitos. Bentuk-bentuk geometris: segitiga, lingkaran, garis-garis, segi empat, dan belah ketupat Motif lainnya: perahu, tumbuhan, sulur-sulur tanaman, dan ikalan. Untuk memaknai suatu motif hias dari masa lampau, atau masa lampau yang sangat jauh dari masa sekarang, yaitu zaman prasejarah, tentu bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi hal itu masih mungkin dilakukan dan sudah barangtentu hasilnya tidak terlalu memuaskan, namun dalam perkembangan ilmu pengetahuan apapun hasilnya tetap menjadi penting bagi kajian-kajian sejenis di masa mendatang. Demikianlah bermacam motif hias yang terdapat pada nekara dan moko yang ditemukan di beberapa daerah di wilayah Asia Tenggara daratan dan juga kepulauan. Motif-motif hias tersebut dapat ditafsirkan tersebar meluas dan dikenal di banyak daerah tempat ditemukannya berbagai tipe nekara dan moko. Artinya ragam hias pada nekara dapat dinyatakan sebagai ragam hias Austronesia yang terabadikan pada nekara dan moko. Sudah barang tentu terdapat makna yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk hiasan tersebut
Posted on: Sat, 07 Sep 2013 23:31:37 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015