Awas, KPK Disusupi! 1 Indonesia telah mencoba membentuk - TopicsExpress



          

Awas, KPK Disusupi! 1 Indonesia telah mencoba membentuk berbagai lembaga ekstra yang ditugaskan khusus memberantas korupsi. Sejak tahun 1967 hingga saat ini, tercatat pernah dibentuk 8 lembaga pemberantasan korupsi. Pertama kali melalui Keppres No. 228/1967 dibentuk Tim Pemberantas Korupsi; 3 tahun kemudian, 31 januari 1970 melalui Keppres 12/1970 dibentuk Tim Komisi Empat; pada tahun yang sama juga diusung nama baru Komite Anti Korupsi (KAK); kemudian di tahun 1977 dengan Inpres 9/1977 tim OPSTIB diharapkan dapat memimpin gerakan pemberantasan korupsi; dan di tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi diaktifkan kembali meskipun keppres yang mengatur tentang tugas dan kewenangan tim ini tidak pernah diterbitkan. Fenomena hidup matinya lembaga pemberantasan korupsi tersebut terus terjadi hingga Keppres No. 127 tahun 1999 membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), dan terakhir, berdasarkan PP 19/2000 juga dikukuhkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK). Kita tahu ketujuh tim/lembaga diatas terbunuh sebelum dapat berbuat banyak. Dan, berdasarkan UU 30 tahun 2002, ditengah rendahnya kepercayaan publik, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dibentuk. Sampai dengan tahun 2007, kepemimpinan periode pertama (2003-2007) mulai memberikan harapan baru. Meskipun tidak lepas dari berbagai catatan kritis, harus diakui gerakan pemberantasan korupsi berdenyut lebih kuat di tangan KPK. Menurut catatan ICW bersama Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), kendati masih didominasi kasus-kasus yang tergolong kecil, KPK ternyata berhasil memenjarakan 100% koruptor dalam kasus yang ditanganinya. Akan tetapi, keberadaan lembaga ini bukan tanpa ujian. Karena, hingga saat ini masih banyak pihak yang mencoba membunuh KPK dengan berbagai cara. Tingkat resistensi berbagai kalangan terhadap eksistensi KPK mau tidak mau harus dilawan. Gerakan apapun tidak boleh membunuh kembali insitusi dan semangat anti korupsi, termasuk apa yang sering disebut sebagai corruptor fight back. KPK disusupi Serangan balik koruptor ini sempat menjadi wacana penting ketika sejumlah kalangan melakukan Judicial Review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Kendati tidak sepenuhnya berhasil, harus diakui jurus-jurus tersebut telah mulai berpihak pada koruptor. Dan, satu kekhawatiran yang lebih mendasar terjadi lagi dalam hiruk-pikuk proses seleksi pimpinan KPK jilid II. Setidaknya ICW bersama KPP mencatat terdapat tiga calon yang dinilai sangat berbahaya bagi ikhtiar pemberantasan korupsi ke depan. Upaya menyusupkan orang-orang tertentu di tubuh KPK sebenarnya adalah cara konvensional untuk mengamankan posisi kalangan tertentu. Mirip dengan strategi stel-sel versi PKI yang diterapkan dan berhasil pada pra-pemilu 1955. Belajar dari berbagai fakta & pengalaman penegakan hukum di Indonesia pun, tindakan pengkooptasian institusi tertentu relatif memberikan rasa aman terhadap kelompok-kelompok yang notabenenya melakukan kejahatan terorganisir. Kalangan ini cenderung berpendirian, bahwa pembiayaan dan dorongan terhadap ”agen” mereka samahalnya dengan investasi dalam logika dagang. Berdasarkan hasil rekam jejak dan investigasi yang dilakukan KPP bersama rekan-rekan jurnalis & LSM di berbagai daerah Indonesia modus investasi koruptif itulah yang sedang diterapkan dalam proses seleksi pimpinan KPK. Dengan sangat vulgar, meskipun telah diingatkan melalui bukti-bukti awal tentang dugaan cacat integritas pada diri calon tertentu, ternyata Panitia Seleksi tetap meloloskan calon bermasalah tersebut. Tolak unsur Polisi & Jaksa Hingga saat ini seleksi calon pimpinan KPK jilid II (2007-2011) telah mencapai proses akhir. Dengan komposisi 2 orang dari unsur kejaksaan, 1 orang kepolisian, 2 advokat, 1 auditor BPK, 1 dari BPKP, dan 3 unsur KPK jilid I, sepuluh nama calon yang diusulkan presiden pada DPR-RI tersebut syarat dengan catatan. Dalam hubungannya dengan logika investasi koruptif yang dibicarakan diatas, maka kecemasan tentang Corruptor Fight Back yang mencoba melakukan pembusukan di KPK jadi semakin nyata. Secara kongkrit, ICW dan KPP melihat bahwa metode investasi sedang diterapkan pada modus penyusupan oleh oknum unsur Polisi dan Jaksa di tubuh pimpinan KPK. Sehingga, proses seleksi yang akan berakhir pada fase fit and proper test (28-30 November 2007) di Komisi III DPR-RI harus dipantau dengan maksimal. Sangat tidak masuk diakal, misalnya, ketika seorang penegak hukum yang secara terang-terangan melanggar ketentuan undang-undang dengan menunda eksekusi koruptor padahal putusannya telah in kracht, mencoba menyogok jurnalis, memiliki kekayaan yang tak sebanding dengan penghasilan, dan di duga bermain dengan aktor illegal loging ditempatnya bertugas ternyata justru dipilih sebagai pimpinan KPK (2007-2011). Atau, seorang jaksa yang melakukan plagiasi disertasi, dan mantan pejabat Polisi yang sangat permisif menerima uang, hadiah dan gratifikasi padahal seharusnya dapat diperkirakan berhubungan dengan tugasnya. Realitas yang sangat telanjang tersebut akan menjadi dasar pantauan publik dalam proses seleksi KPK. Hal ini berhubungan dengan komitmen Komisi III DPR-RI terhadap pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, kita bisa lihat apakah anggota Komisi III DPR-RI punya sensitifitas tanggungjawab terhadap gerakan anti korupsi, atau justru adalah bagian dari jaringan mafia korup yang sedang dalam proses menyusupkan orang-orangnya di tubuh KPK. Selain argumentasi yang berhubungan dengan cacat integritas 2 calon dari unsur kejaksaan & 1 calon dari unsur kepolisian diatas, dalam analisis yang lebih luas, Pimpinan KPK idealnya juga tidak boleh dari kejaksaan & kepolisian. Konsep ini telah diatur secara tegas pada konsideran UU KPK, bahwa keberadaan KPK adalah salah satu bentuk ketidakmampuan institusi penegak hukum konvensional melakukan pemberantasan korupsi. Insitusi tersebut adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Dan, belajar dari KPK dari berbagai dunia, khususnya Hongkong, maka efektifitas gerakan anti korupsi harus dimulai dari pembersihan institusi Kepolisian dan Kejaksaan. Hal tersebut tidak akan mungkin terwujud jika pimpinan KPK telah disusupi orang-orang dari unsur yang hendak dibersihkan. Atau, kalaupun para calon punya konsep, skala prioritas, dan integritas yang baik, mereka justru seharusnya melakukan pembersihan di institusi masing-masing. Jika Antasari Azhar, Marwan Effendy, dan Bibit Samad Riyanto adalah kader Kejaksaan dan Kepolisian terbaik, tidak punya kepentingan untuk mengkooptasi KPK, dan berkomitmen melakukan pemberantasan korupsi, maka sebagai pelayan masyarakat, 3 calon ini harus kembali membangun institusi masing-masing. Karena publik tidak pernah ingin, KPK yang sedang memimpin gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia disusupi upaya pembusukan melalui hiruk-pikuk proses seleksi pimpinan jilid II ini. (*) Febri Diansyah
Posted on: Thu, 28 Nov 2013 15:57:27 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015