BALADA CINTA PENDAKI YANG MASIH SENDIRI untuk seseorang yang jauh - TopicsExpress



          

BALADA CINTA PENDAKI YANG MASIH SENDIRI untuk seseorang yang jauh di sana, yang pernah menderita gara-gara cinta dan Gunung Slamet, yang sedang menunggu cintanya alias komandan saya =)) ”Aku ingin pergi ke hutan karena aku ingin hidup dengan kesadaran diri.. karena saat aku mati nanti aku tak mau menyadari bahwa aku belum hidup” H.D. Thoreau Terminal Bungurasih pagi itu masih dingin, tetapi ramai seperti biasa. Asap kendaraan dimana-mana sudah menjadi sesuatu yang biasa di terminal kota besar seperti Surabaya ini. Bus-bus silih berganti masuk dan keluar dari terminal. Tukang ojek dan sopir taksi merayu penumpang yang baru turun dari bus. Kuli angkut juga menawarkan jasa angkut barang kepada penumpang yang terlihat kesusahan membawa barang bawaannya. Namun tidak berlaku untukku. Dengan carrier di depan dan daypack di belakang tidak ada yang mendatangiku dan menawarkan jasa angkut barang. Rupanya para kuli angkut ini sudah paham tipikal-tipikal pendaki yang sering mereka sebut miskin karena jarang ada yang mau menggunakan jasa mereka. Aku istirahat sejenak di kursi ruang tunggu terminal setelah membeli karcis peron. Aku sengaja ingin menikmati kota besar ini sebelum masuk ke dalam rimbunnya hutan belantara yang akan kudatangi. Setengah jam aku duduk di sana sendiri sembari makan sebungkus roti sebagai pengganjal perut yang akan memberiku tenaga setidaknya sampai tempat tujuan berikutnya. Begitu roti habis, aku segera beranjak dari bangku panjang ke jalur pemberangkatan bus. Menaiki sebuah bus ekonomi antar kota yang akan mengantarkanku lebih dekat ke puncak impian. Bus itu mulai melaju pelan, perlahan tapi pasti. Roda-rodanya menapaki jalanan aspal hitam yang panas oleh sengatan sinar matahari meninggalkan Surabaya, kota kelahiranku, kota dimana aku menghabiskan lebih dari 20 tahunku, kota yang penuh dengan kenangan manis, sedih, pahit yang membentuk kepribadianku. Perjalanan itu dimulai.. —————————- Seorang lelaki dengan asap rokok yang berhembus dari mulutnya menunggu di Terminal Arjosari. Sebuah terminal yang cukup besar di sebelah utara Kota Malang. - : Tumben-tumbenan rep munggah ndadak ngene? No opo? + : Tak kiro aku budhal dewe. Kon gak ngandani nek rep melok. Gak ono opo-opo. Lagi pengen aja. Males di Surabaya. Bosen. Pengen menikmati udara gunung. Kangen lama nggak naek. Lha kamu, katanya nggak bisa ikut? Aku nggak siap bawa bekal untuk dua orang. - : Santai ae, kon gak perlu khawatir. Aku wis gowo persiapan dewe. Loh, ndi mbak e Jakarta. Gak melok ta? + : Ah, nggak tau. Jangan ngomongin dia. Aku sudah capek. - : Ono opo ta? Ceritakno mbek aku. + : Nggak ada apa-apa kok, beneran. - : Kon gak percoyo mbek aku? Aku kenal kon wis luwih seko 5 taun, seko pacar pisananmu nganti sing keri dewe aku ngerti, tapi opo kon tau duwe pacar ta? Sak awak-awakmu kabeh aku yo ngeri, kae tompel nang bokongmu aku yo ngerti. + : Jancuk kon! Hahaha.. Dari terminal ini, kami mencari angkutan ke Tumpang, sebuah kota kecil yang terletak tidak begitu jauh di sebelah timur Malang dan kota kecil ini merupakan tempat dimulainya perjalanan yang panjang ke desa terakhir sebelum melakukan pendakian, Desa Ranu Pane. Di Tumpang kami mencari perbekalan yang masih kami perlukan. Beruntung di sini kami bertemu pendaki lain yang akan ke Ranu Pane dengan menyewa truk sayur. Keramahan khas pendaki yang membawa kami ikut ke Ranu Pane dengan truk ini, lebih murah daripada menyewa hardtop. Truk bergerak meninggalkan Tumpang memasuki tanjakan curam kawasan pegunungan Bromo Semeru, truk mulai sedikit terseok-seok, akan tetapi tetap bisa melaju. Dikiri kanan jalan terlihat padang rumput yang menguning kekeringan dan berbagai macam bunga-bunga warna warni khas pegunungan. Pemandangan disini tidak kurang indahnya, seolah berada di ruangan tiga dimensi dengan dimensi ketinggiannya yang mencolok. Tidak buat kamera untuk menceritakan dimensi ketinggiannya, melainkan hanya dengan sepasang mata. Ranu Pane sebuah perkampungan yang damai dan sejuk di ketinggian 2,300 mdpl, dengan latar belakang kerucut puncak Semeru. Di belakang desa ini, ditemui dua danau dengan airnya yg kehijau-hijauan, Danau Ranu Pane dan Danau Ranu Regulo. - : Lha ndi arek Jakarta e iko? Ra tok jak ta? + : Nggak perlu, dia sudah dengan yang lain. - : Kok iso? Arek iku dudu pacarmu? Wingi kan tok jak dolan mrene, loroan tok pisan. + : Bukan. Dia temen aja, dia nganggepnya gitu. Kamu ingat waktu kita reuni dengan teman-teman SMA yang sering mendaki bersama dulu waktu SMA? - : Lha, njur nyapo? + : Saat itu, dia mengajakku ke Arjuna, katanya dia ingin sekali ke sana. Tapi aku lebih dulu punya janji dengan kalian. Jadi, aku lebih memilih bertemu kalian daripada menemaninya. - : Goblok kon! Iku kesempatan, ngko tinggal ditembak. + : Mungkin iya, tapi kepada kalian aku berjanji terlebih dahulu. Bukan padanya. Dan aku harus menepati apa yang aku katakan. Dan lagi dia mengajakku hanya 2 hari sebelum berangkat. Jelas aku tidak siap. Aku sudah menjelaskan padanya, aku sudah menawarkan minggu depan akan mengantarkannya. Tetapi dia tetap pergi ke sana dengan temanku yang lain. Begitu dia kembali, aku diberitahu temannya bahwa dia sudah pacaran dengan temanku tadi. - : Tindakanmu? + : Tidak ada. Dia berhak mendapatkan apa yang diinginkannya. Itu pilihannya. Aku tidak berhak mengaturnya. - : Kon ngeculne deknen? Wong e ayu lan apikan ngono. Gak nyesel kon? Gaweanmu mung munggah gunung ae! + : Aku masih belum tau, menyesal atau tidak. Semua kan bukan hanya tentang cinta, ini tentang persahabatan. Aku mengenal kalian jauh sebelum aku mengenalnya. Kalian tidak akan meninggalkanku apapun yang terjadi padaku. Kalian yang bersamaku saat aku senang ataupun sedih, begitu pula dia. Tetapi kalian mempunyai arti yang lebih. Kita sudah lama mendaki bersama. Banyak yang telah kita lalui bersama. Bersama kalian, kita belajar untuk berjalan ke arah tujuan, belajar untuk berjuang meraih tujuan, belajar tentang kesabaran, belajar memelihara semangat yang tidak boleh padam. Aku tidak akan mungkin melupakan kalian yang telah menunjukkan persahabatan alami, persahabatan yang jujur. Menunjukkan wajah-wajah kalian yang terbuka tanpa topeng. Bersama kalian aku menemukan diriku, berbagai egoku, kelemahanku, kemunafikanku, kebodohanku, kepalsuanku. Di alam, aku bisa tahu lebih banyak tentang hidup ini. Aku bisa memahami diriku, memahami betapa kecilnya aku. Menyadari betapa besarnya dunia ini. Dan aku bahagia bersama kalian, bersama alam dan sahabat. Ini cara yang aku pilih untuk hidup, dan aku tidak peduli apa katamu, apa kata mereka. Hidup di lingkungan dimana pendapat dan penilaian orang sangat berpengaruh terhadap tindakan kita tidaklah mudah. Aku tidak peduli dengan penilaian yang hanya membuatku tidak menjadi diriku, penilaian yang membuatku menjadi orang lain, yang diinginkan mereka. Toh pada akhirnya semua bukan tentang aku denganmu atau dengan mereka. Akhirnya adalah aku dengan Sang Pencipta. Di Ranu Pane, kami mengambil carrier kami dan menuju ke sebuah rumah sederhana. Di sini kami akan menginap semalam untuk melanjutkan pendakian keesokan harinya. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, kami berdua duduk di depan beranda rumah. - : Lha tapi nek kon gak tau ngomong perasaanmu mbek deknen piye arek e ngerti? + : Dia tidak perlu tahu. Dengan mengetahui dia bahagia itu sudah cukup untukku. Meskipun itu terasa berat, aku tahu, suatu saat Tuhan akan memberikan yang terbaik bagiku saat aku memang sudah siap dan saatnya sudah tepat. Aku pernah bilang padanya, aku sayang. Tapi memang saat itu aku tidak ingin dia menjadi pacarku, tidak hingga kini. - : Lah, nyapo? Tinggal ngomong aku seneng sampean, sampean gelem dadi pacarku gak? Opo angele? + : Luwih angel ngomong aku cinta kamu daripada pergi ke Puncak Mahameru! Waktu itu dia bilang, ”kayaknya lebih enak gini aja”. Bagiku itu sudah cukup menunjukkan sikapnya padaku. - : Gak ngoyak deknen maneh? Wis mandeg nang kono? + : Ya gimana lagi, yang dikatakannya itu sudah jelas bagiku. Buat apa memaksakan pacaran? - : Berjuang dong, berjuang! + : Buat apa berjuang untuk sesuatu yang tidak bisa dipertahankan? - : Ah, bahasamu. Sejenis politikus, kon kan kuliah sains. Kon takut mengambil resiko? + : Ya. Aku bukannya takut mengambil resiko itu. Aku hanya berpikir logis dan realistis. - : Payah kon! Kakehan mangan buku sains. + : Terserah penilaianmu. Kamu tau, untuk kembali mendaki gunung ini banyak perjuangan yang telah kulakukan. Aku sudah menggapai banyak puncak di pulau ini hanya pada akhirnya kembali ke puncak impian ini. Puncak yang dulu pernah kita daki bersama saat SMA dan kita hanya bisa sampai Kalimati. Aku telah belajar banyak dan kini aku telah siap dengan fisik dan mentalku untuk mencumbui pasir puncaknya. Dan aku yakin itu. Itu pula yang ingin aku lakukan pada gadis itu, aku ingin mencintainya saat aku yakin bisa mencintainya dengan segala yang aku miliki. Aku tidak ingin gagal mencintainya, seperti halnya saat kegagalan pendakian pertama kita ke gunung ini, saat kita hanya memenuhi ambisi kita, mengejar sensasi dan kebutuhan akan pengakuan bahwa kita sudah menaklukkan puncak tertinggi di pulau ini. Sekarang aku benar-benar telah mempersiapkan semua, dan meskipun nanti aku tidak bisa mencapai puncak aku tidak akan kecewa. Karena aku sudah melakukan yang terbaik dengan penuh tanggung jawab. Ah, cinta sayang, rindu, aku sudah lelah dengan semua ini. Persetan dengan itu semua.. Langit malam itu dipenuhi dengan bintang. Indah dan dingin. Sebelum malam jatuh semakin larut kami sudah kembali ke dalam rumah, kembali ke dalam sleeping bag. Mempersiapkan pendakian panjang esok hari.superwid. windy.008
Posted on: Wed, 28 Aug 2013 23:00:00 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015