BERHUJJAH DENGAN HADITS AHAD: MENGAPA TIDAK? (Bagian - TopicsExpress



          

BERHUJJAH DENGAN HADITS AHAD: MENGAPA TIDAK? (Bagian Kedua) Pengertian Qath’i dan Zhanni serta Status Wurud dan Dalalah Sunnah Konsep qath’i dan zhanni dalam berbagai literatur yang penulis rujuk adalah kata-kata yang digunakan untuk menyatakan tingkat kebenaran (validitas) sesuatu. Dalam beberapa literatur, kata-kata dharuri, yaqini, absolut, dan mutlak disinonimkan dengan kata qath’i. Sedangkan kata-kata nazhari, relatif, dan nisbi disinonimkan dengan kata zhanni. Abdul Wahab Khallaf menyatakan bahwa yang disebut sebagai nash qath’i dari segi dalalahnya adalah nash yang menunjukkan satu pengertian tertentu dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil ataupun peluang untuk memberikan pengertian yang selainnya. Jadi, bila peristiwa yang hendak diketahui hukumnya ternyata telah ada hukum syara’nya yang berasal dari dalil yang jelas dan qath’i dari segi wurud dan dalalah-nya, maka tidak ada jalan bagi seseorang untuk melakukan ijtihad, karena dalil yang berstatus qath’i al-dalalah adalah dalil yang memiliki satu pengertian tertentu dengan tingkat kebenarannya pasti. Sementara dalil yang berstatus zhanni dari segi dalalah-nya, adalah dalil yang menunjukkan satu pengertian namun terhadap dalil tersebut masih dimungkinkan dilakukan ta’wil yang menghasilkan pengertian yang lain. Jadi, kebenaran pengertian dalil tersebut adalah relatif atau tidak pasti karena masih ada alternatif pengertian lain. Karenanya, terhadap dalil yang berstatus zhanni al-dalalah berlaku ijtihad. Menurut sebagian penulis Islam, istilah qath’i dalalah disamakan dengan istilah muhkam, sedangkan zhanni dalalah disamakan dengan mutasyabbih. Para ulama hadits pada umumnya menyamakan definisi Sunnah dengan Hadits, yakni segala perkataan, perbuatan, taqrir, akhlak, dan keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik yang berhubungan dengan hukum maupun yang tidak. Sedangkan para ulama ushul al-fiqh membatasinya dengan yang berhubungan dengan hukum saja. Ikhtilaf ini terjadi karena ulama hadits menitikberatkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai uswatun hasanah, sedangkan ulama ushul al-fiqh menitikberatkan kedudukan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai salah satu sumber hukum. Ikhtilaf pandangan ini tampaknya berakibat juga pada penilaian kedudukan Sunnah (Hadits) dalam pemahaman untuk masalah-masalah tertentu. Sunnah dilihat dari jumlah periwayat pada setiap thabaqat (tingkatan) sanadnya (rangkaian para periwayatnya) terbagi kepada mutawatir dan ahad (dalam hal ini, hadits masyhur termasuk dalam hadits ahad). Hadits yang berkategori mutawatir disepakati oleh ulama sebagai berstatus qath’i al-wurud (Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbat al-Fikr, Maktabah al-Munawwar, hal. 6; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah. Mathabi’ Dar al-Arabiyah, 1398H, jilid XVIII, hal. 16-17). Sementara itu, sebagian ulama menyatakan bahwa status wurud hadits ahad adalah zhanni. Mereka beralasan bahwa hadits ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak menimbulkan keyakinan yang pasti kebenarannya. Dalam hal ini, mereka juga berpendapat bahwa status zhanni dalam hadits ahad juga mengakibatkan adanya kewajiban untuk mengamalkannya, jadi bukan ditolak sebagai hujjah. Mereka hanya berselisih apakah hadits ahad bersifat zhanni atau berfaedah ilmu (Abu Zakariya Yahya Ibn Syaraf an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi. Al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1924M, juz. I hal. 20; Salim Ali al-Bahnasawi, Sunnah al-Muftara ‘alaihi. Dar al-Buhuts al-Ilmiyah, 1979M, hal. 100, 108-109). Sebagian ulama khalaf ada yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil (hujjah) untuk menetapkan aqidah. Sebab, aqidah berkenaan dengan keyakinan dan apa yang berhubungan dengan keyakinan haruslah berdasarkan dalil yang berstatus qath’i. Jadi, menurut mereka, hal-hal yang berkenaan dengan aqidah haruslah berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan atau hadits mutawatir (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. Dar al- Fikr al-Arabi, tt., hal. 109; Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar al-Qalam, 1996M, hal. 513). Selanjutnya, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hadits ahad yang berkualitas shahih maka hadits tersebut berstatus qath’i al-wurud. Adapun hujjah mereka diantaranya adalah sebagai berikut: Sesuatu yang berstatus zhanni mempunyai kemungkinan mengandung kesalahan. Hadits yang telah diteliti dengan cermat dan ternyata berkualitas shahih terhindar dari kesalahan. Karenanya, hadits yang berkualitas shahih walaupun berkategori ahad, memiliki status qath’i al-wurud (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah. Mathabi’ Dar al-Arabiyah, 1398H, jilid XVIII, hal. 40-41; Abu Amr Utsman bin Abdurrahman bin al-Shalah, ‘Ulum Hadits. Al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972M, hal. 24; Subhi al-Shalih, ‘Ulum Hadits wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977M, hal. 151). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus sejumlah sahabat ke berbagai daerah dan jumlah mereka tidak mencapai derajat mutawatir. Sekiranya penjelasan tentang agama (termasuk aqidah) harus berasal dari berita yang berkategori mutawatir, niscaya masyarakat tidak dibenarkan menerima dakwah dari sahabat/muballigh yang diutus dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak mungkin mengirimkan sahabat dalam jumlah yang sedikit jika harus mengacu pada kategori mutawatir (Salim Ali al-Bahnasawi, as-Sunnah al-Muftara ‘alaihi. Dar al-Buhuts al-Ilmiyah, 1979M, hal. 103). Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika ia mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang disampaikan oleh ad-Dahhak bin Sufyan secara ahad (Muhammad Adib Shalih, Lamahat fi Ushul Hadits. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1399H, hal. 99-100). Semua ulama memang berbeda pendapat dalam menetapkan status wurud untuk hadits ahad yang shahih, tetapi mereka sependapat bahwa hukum mengamalkan hadits ahad adalah wajib. Selanjutnya, tentang Sunnah dilihat dari dalalah-nya, ulama berpendapat bahwa dalam Sunnah yang berkategori mutawatir, ada yang berstatus qath’i al-dalalah dan ada yang berstatus zhanni al-dalalah. Dalam hal ini, sama dengan kemungkinan yang berlaku untuk Al-Qur’an (Musthafa al-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Dar al-Qaumiyah, 1996M, hal. 344). Adapun tentang status hadits ahad dilihat dari dalalah-nya, ulama tidak sependapat. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa dalalah untuk hadits ahad ada yang berstatus qath’i dan ada yang berstatus zhanni. Pendapat tersebut melihat hadits ahad dari segi tingkat validitas pengertiannya, tanpa menghubungkannya dengan tingkat validitas wurud-nya. Selain itu, ada pula pendapat yang menghubungkan tingkat validitas pengertian dengan tingkat validitas wurud hadits ahad. Pendapat itu menyatakan bahwa hadits ahad yang berstatus zhanni al-wurud tidak dapat menghasilkan dalalah yang berstatus qath’i. Yang zhanni hanya dapat menghasilkan pengertian yang berstatus zhanni juga. Pendapat seperti ini mengandung kerancuan yang fatal, dan tampaknya telah mengarah kepada upaya “defungsionalisasi” Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Untuk menentukan kualitas atau status hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada qath’i dan zhanni dilihat dari dalalah-nya, perlu diperhatikan beberapa hal penting, yakni: (1) sabab wurud; (2) hubungannya dengan dalil-dalil naqli lainnya; (3) latar belakang isinya; (4) aspek-aspek ajaran yang dikemukakannya; dan (5) hubungannya dengan fungsi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau mengemukakan hadits tersebut. Oleh karena itu, penentuan status hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dilihat dari segi dalalah-nya tidak cukup hanya pengetahuan-pengetahuan syarah Hadits, fiqh Hadits, dan fiqh as-sirah saja, tetapi juga harus didukung oleh ilmu-ilmu lainnya, seperti ushul Hadits, ushul al-fiqh, bahasa Arab, sosiologi, antropologi, dan sejarah. (bersambung, Insya Allah).
Posted on: Wed, 11 Sep 2013 13:30:11 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015