BMDW Chap.9 Author : Aika Umezawa, T Namikaze Naruto baru - TopicsExpress



          

BMDW Chap.9 Author : Aika Umezawa, T Namikaze Naruto baru saja mengalami salah satu hari terburuk dalam enam belas tahun hidupnya. Setelah mendapat jitakan-keras-selamat-pagi dari sang ibunda—Namikaze Kushina—karena tidak kunjung bangun setelah 15 menit dibangunkan dengan cara normal; mendapat hukuman dari guru kimia tersadis yang pernah ada di muka bumi, Orochimaru; ditambah lagi dengan hari keempat absennya Haruno Sakura di sekolah yang tidak diketahui keberadaannya saat ini menaikkan tingkat kefrustrasian Uchiha Sasuke yang berakhir dengan kata-kata pedas dan mungkin bisa membunuh Naruto kalau tatapan mata bisa membunuh. If looks could kill. Oh, mungkin dalam kasus ini bukan hanya tatapan mata, melainkan tatapan tajam sepasang mata yang penuh dengan aura mematikan. Diubahlah kalimat tersebut menjadi: if glares could kill. Dengan cepat ia berlari menuju lantai tiga untuk menghindari Sasuke yang tidak berada dalam mood yang bagus—memang tidak pernah bagus, hanya saja tidak pernah separah ini—dan berharap dirinya akan menemukan petunjuk untuk mengakhiri penderitannya karena harus menghadapi perubahan drastis mood Uchiha Sasuke. Saat itu sedang istirahat siang dan biasanya di mana ada Temari, di situ ada Ino. Seperti yang sudah diperkirakan olehnya, memang benar bahwa di bangku Sakura yang tengah kosong itu, duduklah Ino yang sedang membicarakan sesuatu yang terlihat serius. BRAK! Pintu geser kelas XI-5 terbuka lebar dengan keras, mengundang berpasang-pasang mata yang menatap pemuda berambut kuning jabrik itu sebal karena seenaknya menjeblak pintu tanpa mempedulikan penghuninya yang merasa terganggu dengan kehadirannya yang sangat tidak santai itu, termasuk Ino dan Temari. Kuharap kau akan menggantinya dengan uang jajanmu apabila pintu itu sampai rusak, Namikaze, desis Temari berbahaya disertai tatapan tajam dari kedua iris teal miliknya. Naruto menghembuskan napas lega saat mendapati korbannya tidak mengalami kerusakan apapun. Setelah mengucapkan maaf dengan cengiran salah tingkah pada seisi kelas, pemuda itu menghampiri meja Temari dan mengambil kursi kosong dari sebelah Temari dan duduk dengan Temari dan Ino di kedua sisinya. Sakura tidak ada, kalau kau mencarinya, kata Ino. Memang itu yang mau kutanyakan. Di mana Sakura-chan sebenarnya? . . . Bring Me Down © Aika Umezawa . . Standard Disclaimers Applied . . Warning: Alternate Universe, Out of Characters (perhaps) . . . Chapter 9 . Sweet Sacrifice . . . Sasuke frustrasi. Benar-benar frustrasi. Sudah empat hari ia tidak berhasil menemukan sosok gadis berambut merah muda dari klan Haruno. Arti kalimat tidak berhasil menemukan itu memang nyata. Pasalnya, pemuda Uchiha tersebut tidak bertemu dengan sang gadis; baik di sekolah maupun di kediamannya. Bukannya tidak mungkin kalau orang-orang memilih untuk menjaga jarak dari Uchiha muda agar tidak kena imbas dari kefrustrasiannya. Pemuda itu benar-benar dibuat pusing oleh sang ceri. Berkali-kali ia mengecek ponsel, tidak ada SMS maupun telepon dari gadis itu. E-mail, Facebook, Twitter, atau jejaringan sosial apapun yang menghubungkan dirinya dengan Sakura selama ini juga nihil. Nothing. Nada. Nil. Bahkan ia tidak sempat merasa bersalah karena telah membuat Naruto bergidik ngeri akan sikapnya yang—menurut semua orang—menakutkan. Hinata pun tidak berani mengajaknya bicara karena terintimidasi oleh aura mematikan yang menguar di sekitarnya. Sakura? Tidak masuk, Temari mengatakan hal tersebut kemarin dengan santainya sambil menggigit sebatang Pocky cokelat dan mengunyahnya perlahan. Seolah-olah hal tersebut tidak masalah, padahal yang Sasuke tanya itu teman sebangkunya sendiri. Ia tidak bertanya lebih lanjut dan langsung meninggalkan kantin—tempat Temari berada saat itu bersama Ino. Ia merasa akan percuma menanyakan hal tersebut karena mungkin putri Sabaku itu juga tidak tahu di mana keberadaan Sakura. Ia juga tidak perlu bertanya pada Hinata karena pasti gadis itu tidak tahu-menahu. Temari saja tidak tahu, apalagi Hinata. Kalaupun gadis itu tahu, ia akan segera memberitahu Sasuke tanpa perlu ditanya sekalipun. Sasuke mengacak-acak rambutnya dengan tangan sambil berjalan menuju kelasnya. Ia baru saja dari ruang guru untuk bertanya pada wali kelas Sakura—Yuuhi Kurenai—namun dewi fortuna sedang tidak berminat untuk membantu dirinya karena ternyata guru bermata rubi itu tidak berada di tempat. Bayangkan, Uchiha Sasuke yang selama bersekolah di Perguruan Konoha nyaris tidak pernah ke ruang di mana para guru berkumpul, rela pergi ke sana hanya untuk mencari seorang gadis yang entah di mana. Tentu saja mengundang keterkejutan dari setiap guru karena pemuda yang biasanya cuek dan tidak peduli akan apapun—but damn, hes genius—tiba-tiba datang ke ruang guru dan mencari Yuuhi-sensei dengan alasan mencari Haruno Sakura—gadis brilian yang tidak mungkin tidak dikenal oleh setiap guru di Perguruan Konoha. Berkat kejadian ini, berbagai spekulasi mengenai alasan Sakura menghilang secara mendadak ini bermunculan dalam kepalanya. Hal pertama yang terlintas dalam kepalanya adalah konfrontasi Karin pada gadis itu beberapa hari lalu. Apakah mungkin karena masalah Karin? pikir Sasuke. Sedetik kemudian ia termangu, lalu menggeleng kecil. Tidak. Sakura bukan orang yang seperti itu, gumamnya pelan. … Atau jangan-jangan karenaku? . . . Seharusnya kita ke sini pas Tahun Baru, Nii-san, ujar Sakura sambil melihat-lihat sekelingnya dengan antusias. Ia melihat dengan takjub bangunan-bangunan megah di sekitarnya. Akhirnya keinginan terpendam selama lima tahun tercapai juga. Sejak melihatnya di televisi, Sakura mempunyai keinginan untuk melihat langsung tempat yang dijuluki The Crossroads of the World ini. Walau tidak saat Tahun Baru seperti yang ia bayangkan, namun ia cukup senang hanya dengan mengunjunginya langsung. Ya, Sakura dan Sasori tengah berada di Times Square, Manhattan, New York City. Tempat yang menjadi ikon kota New York ini begitu penuh dengan ribuan pejalan kaki yang melewati tempat ini setiap harinya. Lihat! Itu Toys R Us! Ne, ne. Nii-san, ada Disney Store! WAH! M&Ms World! Sasori memutar kedua bola matanya dan tanpa sadar menggumamkan norak, yang sayangnya cukup keras untuk masuk dalam jarak dengan Haruno Sakura. Gadis berambut merah muda itu mendelik tajam pada sang kakak yang kini salah tingkah dan berpura-pura melihat sekitarnya. Maaf deh kalau aku norak. Aku tidak seperti kau yang menghabiskan uang Tou-san untuk bolak-balik ke New York dan bersenang-senang, cibir Sakura. Hei, aku beli tiketku sendiri dengan tabunganku! bantah Sasori. Tapi untuk beli oleh-oleh buat Itachi-nii, Konan-nee, Pain-nii, dan lain-lain dari Tou-san, kan? Tou-san sendiri yang menawarkan diri untuk membawakan mereka oleh-oleh dengan bilang, Kau tidak membawakan teman-temanmu oleh-oleh? Belilah sesuatu. Begitu, jelas Sasori. Namun sepertinya kata-kata Sasori barusan tidak diindahkan oleh Sakura karena tiba-tiba gadis itu berseru, Starbucks! Aku haus. Ayo ke sana! Sasori pun pasrah diseret oleh adiknya menuju kedai kopi yang terkenal di seluruh penjuru dunia itu. . . . Oke, jadi Sakura-chan ditelepon oleh ayahnya, lalu memesan penerbangan paling pertama tujuan New York, dan bersenang-senang di sana seminggu? Naruto mengatakan hal tersebut dalam satu tarikan napas dan mendapat anggukan dari Temari dan Ino. AKU BISA GILA! seru Naruto sembari mencengkeram rambutnya dengan kedua tangan. Ino hanya mengangkat bahu saat Temari memberinya tatapan ada-apa-dengan-orang ini. Gadis Yamanaka itu menyandarkan wajahnya pada sebelah tangan yang bertumpu di atas meja dan berkata, Selama ini kau jarang bertemu Sakura tapi tidak apa-apa, disahuti dengan gumaman setuju dari Temari. Naruto tidak menghiraukan kata-kata Ino dan tetap mengeluh. Sejurus kemudian ia berteriak, ARGH! INI SEMUA GARA-GARA TEMEEE! Kenapa sekarang kau jadi menyalahkan si Uchiha? tanya Temari. Karena Sakura-chan menghilang begitu saja, Teme sibuk uring-uringan dan semua orang yang berada dalam radius 5 meter darinya kena imbas kefrustrasiannya! jelas Naruto dengan sangat tidak santainya. Menjauh saja darinya untuk sementara, usul Ino. KALAU BISA AKU SUDAH MELAKUKANNYA SEJAK TIGA HARI LALU, INOOO! Pemuda itu kembali mencengkeram kepalanya—kali ini karena Temari memukulnya dengan keras. Teriakan Naruto barusan ternyata kembali memancing perhatian seluruh kelas, membuat Temari refleks menggunakan tangannya. Berisik, baka! omel Temari dengan tangan yang masih mengepal, bersiap kalau-kalau Naruto kembali berteriak. Namun pemuda itu terlalu sibuk menghiraukan rasa sakit yang menjalar di kepalanya. Sama saja kau dengan ibuku. Senang sekali memukul di kepala, gerutu Naruto sambil mengusap tempat yang kena bogem mentah dari Temari. Bagaimana kalau aku jadi bodoh, hah? Ino memutar kedua bola matanya dan berkata sambil lalu, Bukannya memang sudah begitu? Naruto menatap gadis berambut pirang panjang itu kesal. Ia tidak habis pikir kenapa ia bisa berteman dengan gadis seperti Ino. Jadi kalian tidak memberitahu Sasuke tentang ini? tanya Naruto, kembali pada topik. Ia tidak bertanya, jawab Temari santai. Tidak mungkin ia tidak bertanya. Ia mencari Sakura seperti mencari penghuni lapas yang kabur dari penjara, bantah Naruto. Tidak bisakah kau menemukan analogi yang lebih tepat? Kau bisa dihajar Sakura kalau orang itu tahu bahwa kau membandingkan dirinya dengan narapidana, cetus Temari. Apa salahnya, sih, ke New York? Sakura tidak punya kewajiban untuk wajib lapor pada Uchiha, kan? Lagipula biasanya ia terlalu sibuk dengan Hinata. Memang, tapi seharusnya—tunggu, Temari dan Ino menatap Naruto bingung karena pemuda itu menghentikan kalimatnya tiba-tiba. Menghiraukan tatapan mereka, Naruto bertanya, kenapa kalian bisa tahu? Mengenai Teme dan Hinata. Temari menghela napasnya dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Kukira apa, ucap gadis itu. Dilihat sekali juga kau pasti akan sadar kalau Uchiha Sasuke suka Hinata. . . . Beberapa hari kemudian... Iyaaa, kau tidak ada, sih, Sakura! Aku saja sampai terbahak-bahak saat melihat Naruto yang lari dari kejaran Morino Ibiki-sensei! Tawa Ino meramaikan suasana kantin yang sudah sangat ramai di jam makan siang yang super padat itu. Tidak seperti biasanya, Ino, Sakura, Temari, ditambah dengan Naruto dan Shikamaru yang ikut bergabung dengan para gadis menghabiskan jam makan siang mereka dengan bekal dan obrolan tak berujung. Daripada disebut mengobrol, lebih tepatnya ocehan dari nona Yamanaka yang tiada henti sejak mereka turun dari lantai 3—tempat semua kelas XI berada, kecuali kelas Superior yang berada di lantai dasar—mengenai kelas olahraga bersama antara kelas XI-3, XI-5, dan XI-7 yang diadakan beberapa hari lalu saat Sakura masih absen dari sekolah. Naruto hanya meringis pelan dan misuh-misuh sendiri tiap kali mengingat kejadian itu. Memang bukan salah pemuda itu sepenuhnya, salahkan Inuzuka Kiba dari XI-7 yang malah menghindar dari operan yang diberikan Naruto sehingga mengenai kepala Morino Ibiki-sensei yang mengawasi kegiatan olahraga bersama itu dari pinggir lapangan gedung olahraga. Naruto benar-benar mengalami kesulitan untuk menghindar dari kejaran Ibiki-sensei karena beliau adalah mantan atlet dalam cabang lari yang termasuk alumni Perguruan Konoha. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan Naruto saat itu. Sakura tertawa kecil saat melihat Naruto yang melempar death glare pada Ino yang masih tertawa. Kudengar Minato-ji-san juga tertawa saat mendengar hal ini, kata-kata Sakura barusan sukses membuat Naruto menjatuhkan kepalanya pada meja di depannya. Dengan keras. Ngomong-ngomong, Sakura-chan, Naruto mengangkat kepalanya dari meja dan menatap lawan bicaranya itu, apa Teme sudah tahu tentang kembalinya kau dari New York? Sakura menaikkan alisnya sejenak lalu menggeleng pelan. Lho? Memangnya kalian tidak memberitahunya? Temari, Ino, dan Naruto melirik satu sama lain kemudian menggeleng. Kenapa? tanya Sakura. Ia tidak bertanya, jawab Temari sekenanya. Sakura mendelik pada Ino tetapi gadis itu hanya mengangkat bahu. Gadis berambut merah muda itu menghela napas dan menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Sekalipun tahu juga tidak ada gunanya. Ia tidak akan mencariku pula. Umm, sebenarnya ia terus mencarimu selama kau tidak ada, Sakura-chan, sahut Naruto ragu-ragu, khawatir akan kemungkinan amukan Sakura yang muncul tiba-tiba apabila mendengar kabar tersebut. Bolak-balik kelas kita, timpal Temari. Plus ruang guru, perpustakaan, dan tempat mana pun dalam lingkungan Perguruan Konoha yang kiranya bisa menemukanmu, tambah Ino sembari menekuk setiap jarinya ketika ia menyebutkannya. Ia juga mengganggu ketenteraman kelasku karena kedatangannya untuk bertanya padaku di mana keberadaanmu menimbulkan pekikan keras dari semua siswi di kelasku. Merepotkan, ucap Shikamaru sambil menyeruput ice greeen tea-nya dengan agak malas. Sakura menggumamkan waw kecil, tidak sepenuhnya percaya kalau Uchiha Sasuke akan melakukan hal seperti itu: mencarinya ke seluruh penjuru Perguruan Konoha. Oh, dan ia juga bolak-balik ke rumahmu terus, Sakura-chan, tambah Naruto. Aku tidak pernah melihat Teme se-frustrasi itu. Aku yang mendengarnya dari kalian saja tidak percaya. Mana mungkin Sasuke melakukan itu, sahut Sakura. Sepertinya ia khawatir dengan keadaanmu setelah insiden Karin, Sakura-chan, ujar Naruto. Saat Teme tahu kalau Karin akan menghubungimu, ia langsung memintaku untuk menemanimu tapi kau sudah pulang duluan. Terburu-buru. Menemaniku? Untuk apa? Aku bukan anak kecil. Hanya menghadapi nona muda seperti ia tidak perlu ditemani ribuan orang, ucap Sakura yang tanpa disengaja membuat sebuah argumen dari nada bicaranya yang agak sewot. Mood-nya berubah drastis hanya dengan mendengar nama Karin disebutkan. Untuk menggantikan dirinya yang tidak bisa menemanimu di—apa, ya, sebutannya—diomeli oleh Karin. Oke, diomeli, Naruto menelengkan kepalanya sedikit saat berpikir kata apa yang cocok untuk sikap Karin yang memaki-maki gadis itu tempo hari. Ada pun tidak akan mengubah keadaan. Bisa-bisa makin memperkeruh keadaan. Apakah kau pikir kalau Sasuke di sampingku lalu Karin akan menghentikan niatnya untuk memakiku? Jelas-jelas nona muda itu memberitahu Sasuke kalau ia akan menghubungiku, balas Sakura. Mungkin Uchiha merasa bersalah karena telah melibatkanmu, sahut Temari. Speaking of the devil, Sasuke di sini, kawan. Ucapan Ino membuat empat pasang mata menoleh ke belakang Sakura. Iris viridian Sakura melihat bagaimana para gadis itu memperhatikan si bungsu dari keluarga Uchiha. Ya, Uchiha Sasuke berjalan menghampiri meja Naruto dan kawan-kawan lalu menarik Sakura dan membawanya entah ke mana setelah mengucapkan, Ikut aku, tanpa sempat Sakura berkata apapun. Well, sepertinya Sakura mendengar pekikan keras penuh ketidakterimaan dari para gadis di kantin yang makin samar seiring dengan menjauhnya ia dan Sasuke dari kantin menuju gedung sebelah. . . . Kau marah? Sasuke melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah stoik yang jauh lebih datar dari biasanya. Obsidian yang biasanya nyaris tanpa ekspresi itu kini penuh dengan berbagai amarah yang tidak bisa Sakura perkirakan apa saja itu. Namun ia bisa melihat dengan jelas sepercik rasa marah dalam sepasang mata yang kelam itu. Dari mana kau? tanya Sasuke yang berusaha sedatar mungkin pada gadis yang berdiri di hadapannya tanpa menjawab pertanyaan Sakura. Rasa lega dan kekesalan bercampur aduk dalam diri Uchiha Sasuke atas kembalinya gadis itu setelah seminggu menghilang tanpa kabar. Ia langsung meninggalkan kelas segera setelah Hinata memberitahunya kalau Sakura sudah kembali ke sekolah pagi ini dan menemukan sang gadis yang dimaksud sedang bercengkerama dengan teman-temannya di meja yang terletak di paling pojok kanan kantin terbuka yang berada di salah satu lingkungan hijau di Perguruan Konoha. Sekarang, mereka berdiri di luar perpustakaan, di sudut balkon menghadap taman yang membatasi gedung barat dengan gedung timur. Sasuke sempat mendengar dari teriakan Rock Lee yang berlari entah ke mana tujuannya sambil menyerukan, Bunga ceri mudaku sudah kembali dari New York! dengan aura bahagia yang bertebaran. Namun ia ingin mendengar langsung dari gadis yang bersangkutan ke mana dan apa alasannya sampai pergi ke tempat sejauh itu. Ia masih sangat ingat sekali bagaimana keadaannya selama seminggu terakhir karena keabsenan putri Haruno itu dari pandangannya. New York. Menemui ayahku, jawab Sakura. Pemuda Uchiha itu mengangkat alisnya, meminta Sakura untuk menjelaskan lebih lanjut alasannya. Gadis itu menghela napas melihat tingkah Uchiha yang seperti orang tunawicara, berbicara lewat bahasa mata dan tubuh, bukan kata-kata. Kadang-kadang Sakura heran mengapa ia bisa menyukai orang yang dingin dan menyebalkan seperti ini? Oh, ya. Karisma seorang Uchiha tidak bisa ditangkis oleh perisai apapun. Tidak lama setelah Karin menghubungiku, ayah meneleponku dan menyuruhku dan Sasori-niisan agar segera berkemas menuju New York pada penerbangan tercepat yang bisa didapatkan hari itu. Tidak ada hal yang penting, sih. Beliau bilang ia tidak bisa datang saat Tanabata atau liburan musim panas tahun ini karena kesibukannya, dan voila! Aku berada di New York selama seminggu. Kau tahu sendiri kalau aku jarang sekali bertemu dengan beliau, jadinya aku yang kesana, jelas Sakura mengakhiri pidato pembelaan-nya. Apakah Sabaku, Ino, dan Dobe tahu tentang ini? Kalau Temari jelas tahu karena ia teman sebangkuku... Sakura mengira-ngira sejenak, ... Ino tahu dari Temari... kalau Naruto tahu dari mereka berdua saat ia kabur darimu. Kau membuat Naruto ketakutan dengan aura dan death glare mematikanmu itu. Hn. Memangnya gara-gara siapa aku begitu? Menyalahkanku? Aku sudah menyampaikan pada mereka agar memberitahumu kalau-kalau kau bertanya, bela Sakura. Tapi aku— Kau tidak bertanya di mana keberadaanku, Tuan Muda. Yang kau tanyakan adalah Apakah aku masuk? Oh, salah. Hanya: Sakura? Kurasa kau cukup pintar untuk mengetahui perbedaan makna dari kedua pertanyaan tersebut, potong Sakura. Mereka hanya menjalankan amanah dariku. Ya, Sasuke memang cukup pintar untuk menghentikan argumen bodoh tak berujung ini apabila salah satu dari mereka tidak mengalah. Hn. Baiklah, itu kekeliruanku. Tapi benar karena ayahmu? Tentu saja. Kau bisa bertanya pada beliau kalau kau bersedia, tawar Sakura. Bukan karena tidak mau bertemu denganku untuk sementara? ... Sakura tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Sasuke. Menghindar darinya? Yang benar saja. Sekalipun Sakura melakukan itu, pasti tidak lama Sasuke sudah menariknya untuk bicara di suatu tempat tertentu dan menanyakan alasan kenapa menghindarinya. Sakura akui ia memang sempat berpikir untuk menjauhi Sasuke sementara waktu, namun tidakkah itu agak berlebihan? Pergi ke belahan dunia lainnya dengan tiket ratusan ribu yen hanya untuk menghindari Uchiha? Konyol. Kau tidak habis menonton film drama, kan, Sasuke? Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Sakura. Pemuda beriris onyx itu mengerjapkan matanya, berusaha meyakinkan dirinya kalau ia salah dengar. Ha? Demikian reaksi pintar dari Sasuke. Sakura mengumamkan sesuatu dalam bahasa yang terdengar seperti bahasa Perancis, namun Sasuke bisa mengerti maksudnya tanpa ia perlu mengerti artinya. Gadis itu sedang menggerutui kebodohannya. Pemuda itu mendehem sebentar, berusaha membenahi kembali sikap Uchiha-nya. Hn, apa maksudmu, Sakura? tanya Sasuke kembali dengan sikap datarnya. Tidakkah kau merasa itu berlebihan? Pergi ke barat hanya untuk menghindarimu? Apakah aku se-melankolis itu? Untuk apa aku mengeluarkan ratusan ribu yen untuk membeli tiket pesawat menuju New York? Malam-malam pula? Ya ampun, itu dramatis sekali, Sasuke. Drama macam apa yang kau tonton sampai-sampai kau bisa berpikir kalau aku ke New York untuk menghindar darimu? Haruno Sakura terus mengoceh tanpa henti mengenai kedramatisan akan drama yang dialaminya apabila ia benar-benar pergi ke Amerika Serikat untuk menghindar dari Sasuke. Pemuda bermarga Uchiha itu mengeluarkan senyum-sangat-tipisnya pada sosok gadis yang masih berbicara mengenai drama. Entah kenapa hal tersebut selalu melintas setiap kali ia teringat akan keabsenan Sakura seminggu terakhir ini. Rasa bersalah selalu menghantuinya karena ia sudah melibatkan Sakura hingga Karin mengkonfrontasi gadis itu. Namun Sasuke merasa lega karena sikap Sakura seperti biasa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. —ke? Sasuke? Apakah kau melamun? Sasuke sedikit mengerjapkan matanya ketika Sakura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahnya, mencoba untuk menyadarkan pemuda itu dari lamunannya. Hn, tidak. Aku hanya merasa lega karena kau sudah kembali, jawab Sasuke. He? Sasuke memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, menatap lurus pada sepasang emerald di hadapannya. Maafkan aku atas segala hal yang menimpamu. Pemuda itu menghela napas dan menutup matanya sejenak, lalu melanjutkan, Aku memang merasa kalau kau akan menjadi sasaran Karin, tapi tidak kusangka akan benar-benar terjadi. Aku malah sibuk membuat Karin tidak menyadari keberadaan Hinata agar ia tidak menjadi sasaran, yang ternyata secara tidak langsung itu membuatmu menjadi korban keegoisanku. Maaf ya, Sakura. Sakura sempat terdiam sejenak dan memperhatikan ekspresi yang tergambar pada wajah tampan sang Uchiha. Sebuah pemandangan langka Uchiha Sasuke yang berusaha meminta maaf pada seorang gadis. Pemuda yang biasanya menomorsatukan harga diri, kini melepas ego yang selama ini digenggamnya erat untuk sebuah permintaan maaf. Ya, Sakura sudah tahu kalau Sasuke melindungi Hinata dari ancaman Karin. Tidak mungkin ia tidak melakukan itu pada orang yang disukainya. Apalagi Hinata bukan orang yang bisa menghadapi orang seperti Karin tanpa berurai air mata. Aku tahu kau melakukan itu. Wajar saja kalau kau melindungi Hinata. Aku bisa mengerti itu, ujar Sakura. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Hinata kalau ini sampai terjadi padanya. Itulah yang kukhawatirkan. Kau tahu sendiri kalau Hinata tidak bisa berargumen dengan orang seperti Karin, ujar Sasuke. Bisa-bisa ia menangis dalam sekali gertakan. Karena itu kau membuatnya tidak terlihat dari jangkauan Karin, ucap Sakura. Ya. Dengan kejadian seperti ini, aku tidak ingin menambah korban lagi. Kau saja sudah cukup membuatku frustrasi. Kalau sampai ia juga, entah apa yang harus kulakukan. Kau pikir ia tidak akan menggangguku lagi? Aku tidak akan mengulangi kesalahanku. Seharusnya aku menyadari hal ini dari awal agar kau tidak terlibat. Sakura sudah membuat keputusan sejak Sasuke memberitahunya di kafe saat itu. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa seperti ini terus tanpa rasa sakit yang berkepanjangan setiap kali melihat keduanya bersama. Kejadian Karin hanya memperkuat alasannya untuk menjalankan keputusannya. Gadis itu tersenyum tipis dan berkata, Jangan buat janji yang tidak bisa kau penuhi, Sasuke. Alis Sasuke terangkat sebelah. Maksudmu? Kita menjauh saja. Ucapan Sakura barusan sukses membuat Sasuke terbelalak kaget. Ia menatap lawan bicaranya, meminta penjelasan untuk kata-katanya barusan. Sakura menghela napas. Aku tidak sekuat yang kau kira, ujar Sakura pelan. Awalnya aku tidak mengerti kenapa sejak mengenalmu, segala kejadian yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya malah menjadi kenyataan. Ini tidak lebih dari sekadar drama romansa belaka yang akan berakhir dengan menyedihkan. Kedekatan kita telah menimbulkan salah paham bagi semua orang. Tayuya, Karin, semuanya salah paham. Kalau kau pikir Karin akan berhenti begitu saja, maka itu sebuah kesalahan yang sangat besar. Ia tidak akan berhenti sampai kita berdua menjauh satu sama lain. Itulah yang ia inginkan. Kau, adalah hak patennya. Tidak boleh dimiliki siapapun selain dirinya. Aku akan bicara padanya untuk menghentikan semua ini. Kau tidak perlu menjauh dariku segala, balas Sasuke. Percuma saja. Selama aku masih berada di dekatmu, masalah lain yang berhubungan dengannya pasti akan datang, cepat atau lambat. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja, jawab Sakura. Itu tidak bisa menjadi alasan kenapa kau ingin menjauh dariku, balas Sasuke dingin. Bukankah tidak masalah untukmu kalau aku tidak ada? tanya Sakura. Yang benar saja. Aku tidak mau kau tinggalkan hanya karena alasan konyol seperti itu, jawab Sasuke. Tapi kau tidak bisa melindungiku dari Karin dan lainnya karena kau harus melindungi Hinata. Kau tidak bisa melindungi dua orang sekaligus tanpa harus mengorbankan salah satunya. Sasuke tidak bisa membantah lagi dengan kata-kata Sakura. Harus ia akui yang gadis itu katakan benar. Ia tidak bisa melindungi Sakura dan Hinata sekaligus. Ia tidak bisa mengorbankan Hinata untuk melindungi Sakura, dan sebaliknya. Ia merasa marah dengan kenyataan itu, bahwa ia tidak bisa menjaga kedua gadis yang ia ingin lindungi. Sakura tersenyum tipis. Sasuke, aku tahu kau orang yang baik. Walau kau dingin dan menyebalkan, cuek dengan semua fangirls-mu, tapi aku senang kau tidak bersikap seperti itu padaku. Setelah beberapa bulan aku mengenalmu, sekarang aku mengerti kenapa begitu banyak gadis yang jatuh cinta padamu... Sasuke menatap gadis di hadapannya yang kini tersenyum manis. ... karena aku juga salah satu dari mereka. Obsidian Sasuke perlahan-lahan melebar. Ia sudah mengira-ngira kelanjutan dari semua ini. Sakura, kau— Je suis amoureux de toi, Sasuke... Im in love with you. . . . Hinata? Sang pemilik nama menoleh pada sumber suara yang datang menghampirinya. Gadis itu tersenyum dan menggeser duduknya untuk memberi tempat pada pendatang itu. Namikaze Naruto menyandarkan tubuhnya pada punggung bangku metal di belakangnya sembari menghabiskan air mineral dari botol minumnya. Kau belum pulang, Naruto-kun? tanya Hinata, Naruto melirik gadis di sebelahnya melalui sepasang iris cerulean blue miliknya sebelum menggeleng pelan. Aku baru selesai rapat pengurus kelas. Rencana libur musim panas. Mulai minggu depan sudah ujian akhir semester, kan? Hinata tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ini pertama kalinya ia berbicara berdua dengan pemuda berambut kuning itu. Kenapa menatapku seperti itu, Naruto-kun? Hm? Tidak. Kalau dari dekat, ternyata kau memang cantik sekali, Hinata. Pantas Teme tertarik padamu, jawab Naruto dengan seringai kecil terpasang di wajahnya. Wajah Hinata memerah seketika mendengar pujian seperti itu. Baru kali ini ada laki-laki yang terang-terangan mengatakan itu padanya. Bahkan Sasuke yang menyatakan cinta padanya pun tidak pernah memujinya cantik. Namun ia menyadari ada kalimatnya yang tidak seharusnya berada di situ, yang baru saja diucapkan oleh Naruto. Eh? Apa yang kaukatakan tadi? Kau memang cantik sekali? B-bukan. Setelah itu, Teme tertarik padamu? Kenapa kau mengatakan itu? Kau tidak menunggu siapa-siapa, kan? tanya Naruto tiba-tiba. Hinata mengerjapkan matanya pada pertanyaan Naruto yang out of topic itu. Ia menggelengkan kepalanya dan bertanya, Memang kenapa? Ayo kuantar pulang. Kita bicara sambil jalan saja, Naruto bangkit dari posisinya dan beranjak menuju parkir motor yang terletak di belakang gedung barat Perguruan Konoha. . . . Kau tidak mau memakannya? tanya Naruto. Sumpit yang dipegangnya menunjuk mangkuk ramen Hinata yang masih penuh. Aku tidak— Kriuuuk. —lapar. Hinata tertunduk malu dan merutuki perutnya yang tidak tahu situasi. Naruto tertawa kecil dan mengetuk pinggir mangkuk Hinata dengan sumpitnya, menyuruh gadis itu agar segera memakannya sebelum dingin. Aroma daging yang menguar dari ramen panas di hadapannya membuat perut Hinata semakin memberontak untuk diisi makanan. Gadis itu mengambil sepasang sumpit dan mulai menyuapkan sedikit demi sedikit mi tersebut ke dalam mulutnya. Ia mengangguk sedikit saat merasakan ramen daging tersebut, lalu kembali mengambil suapan lain. Enak, kan? Ini tempat favoritku, kata Naruto bangga. Putra dari Namikaze Minato itu mengajak sang putri Hyuuga ke sebuah kedai ramen yang tidak jauh dari Perguruan Konoha—Ichiraku. Dari luar memang terlihat seperti kedai biasa, namun jangan remehkan rasanya. Setiap jam makan siang dan jam makan malam di akhir minggu, tempat ini selalu dalam keadaannya yang paling ramai. Naruto menatap Hinata yang dengan kidmat menikmati ramennya. Sepertinya gadis itu benar-benar lapar sampai mangkuk yang beberapa menit lalu masih penuh kini sudah tinggal setengahnya. Pemuda itu tersenyum tipis dan melanjutkan makannya. Hinata menaruh sumpit yang habis dipakai di atas mangkuk dan menangkupkan kedua tangannya sambil menggumamkan terima kasih makanannya. Ia mengelap mulutnya dengan tisu makan yang tersedia lalu meminum air putih hingga tinggal setengah penuh. Naruto juga sudah selesai dan melakukan hal yang sama seperti Hinata. Setelah meminum airnya, ia melirik Hinata yang tengah menatapnya. Beberapa saat kemudian, ia baru sadar kalau Hinata menunggu kelanjutan dari pembicaraan mereka tadi di sekolah. Oh, ya. Aku belum menjawab pertanyaanmu tadi, ucap Naruto memulai pembicaraan. Aku tidak tahu dari mana pun. Tapi akhir-akhir ini aku menyadari sikap Teme yang sedikit berubah apabila ia berada di sekitarmu. Kabar bahwa kemungkinan kalian berdua sudah jadian menyebar luas di kalangan senior ekskul kami. Kedua mata Hinata melebar kaget. Ia tidak menyangka bahwa beritanya akan menyebar secepat itu, di kalangan kakak kelas pula. Ia menggigit bibirnya dan memikirkan ide untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Jangankan pacar, Hinata pun belum memberikan jawaban pada Sasuke. Seolah-olah membaca pikiran Hinata, Naruto berkata, Sebaiknya kau memberikan jawabanmu pada Sasuke agar semua ini selesai, Hinata. Gadis itu mengangkat wajahnya dan mendapati Naruto yang tengah menatapnya. Aku tidak bermaksud memojokkanmu, ujar Naruto tersenyum tipis. Aku hanya tidak bisa melihat Teme dan Sakura-chan seperti itu. Sepertinya Sakura-chan sudah mengatakannya perasaannya pada Sasuke dan memutuskan agar mereka saling menjauh saja. K-kenapa? Kenapa Sakura— Kejadiannya baru hari ini. Tepatnya, saat istirahat makan siang tadi. Aku tidak tahu rinciannya, sepertinya mereka berpisah baik-baik. Uh, aku mengatakan hal itu seolah-olah mereka suami-istri yang hendak bercerai... S-salahku... Eh? Naruto terkejut begitu mendapati Hinata yang sudah berurai air mata. Gadis itu mulai sesenggukan karena berusaha menahan air mata yang mengalir dari kedua sudut matanya. Awalnya pemuda itu terkesima melihat wajah Hinata yang menangis, namun cepat-cepat ia tangkis pikirannya itu dan membujuk gadis itu agar berhenti menangis. Hell, Naruto tidak pernah menghadapi hal yang seperti ini sebelumnya dan terlihat kikuk saat melakukannya. H-Hinata, jangan menangis. Kumohon... pinta Naruto panik. Ia melirik keadaan sekitarnya yang mulai berbisik-bisik perihal Hinata yang menangis. Semua orang mengira bahwa Naruto-lah yang membuat gadis berambut indigo itu berurai air mata. Ia membuat pacarnya menangis. Ckck. Cowok macam apa yang bisa membuat seorang gadis cantik sepertinya menangis? Hei, pirang! Cepat minta maaf padanya! Ugh. Naruto yang tidak tahan dengan kejadian tersebut membantu Hinata bangkit dan membawanya ke luar setelah membayar jumlah yang harus dibayarnya. Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan mengusapkannya perlahan pada wajah Hinata. Ia tidak pernah menghadapi seorang gadis yang sedang menangis dan mengalami kesulitan untuk membuatnya kembali tenang. Keadaan di luar tidak jauh berbeda dengan di dalam Ichiraku tadi. Mulai kehabisan akal, Naruto menyerahkan sapu tangannya pada Hinata dan memakaikan gadis itu helm biru dari jok motornya. Ia mengenakan helm yang lainnya dan meminta Hinata untuk segera naik. Dengan cepat, ia segera pergi dari tempat itu dan mencari tempat yang tidak memancing orang banyak. Kami-sama, apa yang harus kulakukaaan? . . . Piring-piring beserta perlengkapannya seperti mangkuk sup, sendok, garpu, dan semacamnya tersusun dengan rapi di atas meja kaca panjang beralaskan taplak putih berenda. Rangkaian amaryllis, lili putih, dan beberapa jenis bunga lainnya mempercantik meja di dalam sebuah vas kristal berisikan air. Seorang wanita dan remaja perempuan tengah membuat dapur mengepul dengan uap beraroma sedap yang dapat dipastikan membuat perut menggerutu untuk diisi makanan. Suara pisau yang beradu dengan papan pemotong dan tumisan di atas penggorengan menjadi latar musik di dapur keluarga Sabaku. Maaf ya, Sakura-chan. Kau jadi ikut membantuku di sini, ucap seorang wanita cantik dengan rambut peach sebahu dengan senyum tipis di bibirnya. Tidak apa, Karura-san. Lagipula aku tidak punya kegiatan apapun hari ini, sahut Sakura riang. Uh, aku tidak tahu harus bagaimana kalau Temari yang membantuku. That kid is really have no sense of culinary, Sakura menahan tawa saat mendengar kalimat ibu sahabatnya itu. Gadis Haruno itu sudah melihat sendiri bagaimana Sabaku no Temari beraksi di dapur saat praktik PKK. Sakura sendiri nyaris berteriak histeris saat melihat Temari menggunakan pisau dengan sangat berbahaya. Sepertinya ia lebih punya bakat untuk menggunakan pisau tersebut sebagai pengganti kunai daripada sebuah alat untuk memotong bahan-bahan di dapur. Karura dan Sakura sibuk menyiapkan makan malam untuk menyambut datangnya ayah dan adik bungsu Temari yang datang dari Inggris setelah dua tahun di sana. Sebagai istri dari pemilik Sabaku Corporation yang memiliki cabang di beberapa negara membuat Karura harus menjalani hari tanpa keberadaan sang suami yang tidak bisa setiap hari menemuinya. Namun kini ia bisa berbahagia karena masalah yang terjadi di cabang perusahaan sudah terselesaikan dan keluarga kecilnya bisa berkumpul kembali. Temari telat masuk Sekolah Dasar saat itu sehingga ia setingkat dengan Kankurou. Seharusnya memang ia sudah lulus SMA tahun kemarin, tetapi untuk kedua kalinya ia melepas kesempatannya untuk lompat kelas dan lebih memilih jalur normal tiga tahun di SMA. Padahal itu bisa mengejar tahunnya yang tertinggal, jelas Karura menghela napas. Bisa tolong ambilkan jamur di kulkas? Sakura berjalan ke seberang ruangan untuk mengambil plastik hitam berisi jamur dari lemari es dan menyerahkannya pada Karura. Gadis itu mengecek Crème Brûlée buatannya melalui kaca jendela oven. Permukaannya sudah sedikit berwarna cokelat. Sebentar lagi, batin Sakura. Karura memotong-motong setiap jamur menjadi beberapa bagian setelah mencucinya, kemudian memasukkannya ke dalam panci. Ia mencicipi sedikit sup yang tengah dibuatnya dengan sendok lalu mengangguk kecil begitu rasanya sudah pas. Ketiga anakku berada di tingkat yang sama, yaitu kelas 2 SMA. Jangan kau tanya bagaimana itu bisa terjadi karena aku sendiri juga bingung menjelaskannya bagaimana, Sakura tertawa kecil mendengar penjelasan Karura mengenai ketiga anaknya yang setingkat dalam pendidikan. Karura melanjutkan, tapi bagiku itu tidak masalah. Yang penting mereka bisa meraih cita-cita masing-masing. Oh, ya. Kalau tidak salah, Gaara itu seumur denganmu, Sakura-chan, kata Karura. Sakura menoleh pada Karura yang tengah menatapnya dengan sepasang teal. Gaara? ulang gadis itu. Karura mengangguk. Putra bungsuku. Sakura memasang pose berpikir sambil bersandar pada counter, mengingat sejenak nama yang pernah ia kenal dengan baik. Karura-ba-san, apakah Anda sekeluarga pernah tinggal di Suna sebelumnya? tanya Sakura tiba-tiba. Distrik Suna di Osaka? Karura bertanya balik, yang dijawab dengan anggukan dari Sakura. Ya, awalnya kami tinggal di sana. Lalu kami pindah ke Tokyo, ke Konoha ini sampai sekarang. Memang kenapa? Ah, tidak ada apa-apa, elak Sakura sambil mengibaskan tangannya, meminta Karura agar tidak memikirkannya. Karura hanya menatap gadis yang kembali sibuk dengan kuenya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda sejenak. Jangan-jangan... batin Sakura. Sakura melirik Karura dari sudut matanya kemudian berpura-pura mengecek kuenya yang ternyata sudah matang. Ia membuka oven lalu mengeluarkan loyang kaca dan menaruhnya di atas counter, menunggunya agar dingin terlebih dahulu sebelum menghiasnya. Tadaima! seru suara seorang gadis yang tidak asing lagi. Sakura yakin sekali kalau itu suara teman sebangkunya dua tahun, Temari. Hanya ia dan Ino yang bisa mengeluarkan suara sekeras itu dari ruang tamu hingga terdengar sampai dapur yang berjarak beberapa ruangan. Benar saja. Tidak lama kemudian, sosok berkuncir empat muncul di dapur, melingkarkan lengannya pada bahu Karura dan mencium aroma lezat mengundang lapar dari sup yang baru setengah jadi. Okaeri, Temari, sapa Karura lembut dengan senyum yang semakin mempercantik wajahnya. Kaa-san, apakah ini sup jamur? Aku lapar, tangan Temari yang entah kapan membawa sendok bersiap untuk mencicipi sup yang masih mendidih di atas kompor, namun tangan Karura menahannya. Kau ini, sabar sedikit, tegur Karura. Makan malam sebentar lagi, kok. Sakura sudah menyiapkan Crème Brûlée sebagai penutup. Mana Gaara? Gaara sedang beristirahat di ruang keluarga, seorang pria berumur sekitar 44 tahun dengan rambut merah dan lingkaran hitam di kedua matanya menghampiri sang istri dan mengecup dahinya. Aku pulang, Karura. Selamat datang, suamiku, jawab Karura yang menutup kedua matanya saat menerima kecupan kedatangan dari sang suami. Yak, sepertinya kita akan mengganggu reuni suami-istri ini. Ayo keluar, Sakura, Temari menarik lengan Sakura untuk beranjak meninggalkan dapur sambil mengerling jahil pada orang tuanya. Sakura mengangguk hormat pada keduanya dan mempercepat langkahnya yang tergesa-gesa karena diseret Temari. Tentang Sasuke... Sakura menoleh pada Temari yang terlihat sulit untuk memilih kata-kata. Sejak pertemuan terakhir Sakura dan Sasuke yang berakhir dengan sikap ceria sahabatnya yang mendadak hilang selama beberapa hari, Temari dan Ino memutuskan untuk tidak menyebut nama Sasuke sementara waktu. Bahkan Naruto yang biasanya tidak tahu situasi pun berusaha agar Sakura tidak bertemu dengan Sasuke. Baik dengan menariknya untuk melewati jalan memutar yang lebih jauh dengan alasan ingin bersama Sakura-chan lebih lama atau aku mau ke perpustakaan. Sakura-chan kan anggota perpustakaan. Kau pasti punya referensi buku yang bagus dan berbagai alasan lain yang lebih sering memancing keheranan di benak Sakura. Namun itu banyak membantu karena dengan begitu Sakura tidak perlu memikirkan pemuda Uchiha itu. Hm? Apa kau baik-baik saja? Melihatmu yang mencoba untuk bersikap ceria lebih membuatku takut dibandingkan ulangan sejarah klasik lima bab, Temari mulai meracau. Hal nomor satu yang ia tidak suka muncul begitu saja dalam analoginya. Sakura menatap lurus ke depan dengan senyum hambar di bibirnya. Bohong kalau aku bilang baik-baik saja. Bahkan aku masih belum mengganti foto itu di meja belajarku. Entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Temari menatap iba sahabatnya. Sakura... Aku tidak akan begini selamanya. Tenang saja, ucap Sakura kembali riang, berusaha meyakinkan Temari. Si sulung Sabaku itu mengangguk kecil lalu tersenyum. Ia mengaitkan lengan Sakura dan mengajaknya ke ruang keluarga di lantai dua sambil berkata, Ya sudah. Aku akan menghiburmu. Akan kukenalkan kau dengan Gaara! Argh, Gaara! Sampai kapan kau akan terus membantaiku terus, hah? Aku sudah sekarat! Erangan kesal yang bisa dikenali sebagai suara Kankurou terdengar sampai ke tangga. Sampai game over. Sakura melihat Kankurou yang duduk di seberang ruangan meja kecil sedang menekan-nekan tombol PSP dengan tidak santainya sembari mengerang kesal. Sebaliknya, seorang pemuda berambut merah yang setengah berbaring dengan kepala pada lengan sofa hanya menekan tombol-tombol tersebut dengan santai, tidak seperti kakaknya itu. Mata teal-nya fokus pada layar mini di depannya yang menampilkan karakter yang dimainkannya menyerang karakter Kankurou. Seringai kecil menghiasi wajahnya saat kalimat YOU WON! dengan huruf kapital berwarna merah muncul di layar PSP-nya. Kau harus sering-sering berlatih, Kankurou. Belum pernah sekalipun kau menang dariku dalam permainan ini, ucap pemuda itu menyeringai pada Kankurou yang bersiap menimpuknya dengan bantal. Menyebalkan. Balik sana ke London! seru Kankurou sedikit kesal. Tidak mau, sahut Gaara. Kau ini benar-benar—oh, Sakura! Sini, sini! Gaara menaikkan alisnya—atau sebuah garis bayangan seperti alis—pada sikap kakaknya yang mendadak berubah. Ia bangkit dari posisinya dan mendapati seorang gadis berambut merah muda berjalan melewatinya, duduk di sofa tunggal yang terletak antara sofanya dan Kankurou dengan Temari yang duduk di sebelah Kankurou. Iris teal-nya sedikit melebar saat bertemu pandang dengan sepasang zamrud yang sudah sangat ia kenal sebelumnya. Ia mengucapkan satu nama yang terlintas di kepalanya saat itu. Sakura? Sang Haruno menoleh pada Gaara yang terkejut melihatnya. Dengan senyum mengembang di bibirnya, ia berkata, Ya. Halo, Gaara. . . . . . To be continued . . .
Posted on: Mon, 28 Oct 2013 13:36:29 +0000

Trending Topics



tbody" style="min-height:30px;">
Tesavvuf büyükleri “kaddesallahü teâlâ esrârehüm” üç
Nestvořené „nadpřiorzené“ Světlo je prvopočátkem všeho
I was nominated by Chantel Wakefield.. to name fifteen films that

Recently Viewed Topics




© 2015