Bagaimana Memenangi Adu Penalti Bagi kebanyakan wartawan - TopicsExpress



          

Bagaimana Memenangi Adu Penalti Bagi kebanyakan wartawan sepakbola, adu penalti boleh dianggap mimpi buruk. Narasi yang sudah dipersiapkan di dalam otak sepanjang pertandingan bisa tiba-tiba buyar akibat adu penalti. Coba saja lihat kegagalan Roberto Baggio dalam mengeksekusi penaltinya di final Piala Dunia 1994. Wartawan mana yang sudah memprediksikan hal ini sebelumnya? Tapi toh ini jadi cerita penting yang mesti dituliskan kala deadline menjelang. Dalam hal tidak menyukai adu penalti, Franz Beckenbauer begitu juga. Tendangan penalti selalu tidak adil karena banyak keberuntungan yang terlibat di dalamnya, ujar legenda sepakbola Jerman itu. Bagi Beckenbauer, babak adu penalti juga dianggap tidak adil karena tidak menggambarkan pertandingan sebenarnya. Ini karena tim yang bertahan total dalam suatu pertandingan bisa saja memenangkan pertandingan melalui adu penalti. Tekanan Mental Sebagai Faktor Utama Satu alasan yang dikemukakan oleh para oposisi adu penalti adalah karena adanya beban mental berbeda bagi tiap tim dan tiap penendang. Ini karena tim penendang kedua diharuskan mengejar ketertinggalan dari lawannya. Bahkan, jika penendang tim pertama gagal, tim kedua juga masih mempunyai beban harus sukses penaltinya untuk dapat memenangi pertandingan. Kondisi demikian jadi salah satu alasan lain mengapa adu penalti dianggap tidak adil. Peneliti dari London School of Economics dan Political Science (LSE) juga mengemukakan, bahwa tim yang melakukan tendangan pertama memiliki presentase kemenangan sebesar 60%. Faktor psikis dan tekanan yang menjadi salah satu alasan terbesarnya. Itulah kenapa skill penendang masih dianggap sebagai faktor nomor dua. Faktor mental untuk menghadapi tekanan jadi yang utama dalam eksekusi penalti. Terus berlatih serta menimba ilmu dan pengalaman dapat memperkuat mental pemain saat harus menghadapi tendangan penalti. Tak heran banyak pelatih memilih sang algojo berdasarkan pengalaman dan kondisi psikis pemain. Selain itu, saat menyiapkan tim dalam turnamen dengan sistem gugur, sang pelatih juga menyisipkan menu khusus berupa latihan tendangan penalti. Beban mental terbesar selalu ada di sang algojo tendangan, sementara kiper relatif tidak ada beban dalam situasi ini. Ini karena kiper lebih sering dipersepsikan sulit untuk menggagalkan penalti. Maka, kiper yang gagal menghalau bola dianggap biasa saja, sementara yang sukses menahan penalti diasosiasikan sebagai kiper yang hebat. Mind Game dan Intelejensi Pemain Ada banyak trik ataupun cara umum untuk jadi kiper yang jago dalam menahan penalti. Beberapa di antaranya adalah melihat arah lari penendang sebelum menyentuh bola, atau memperhatikan mata sang eksekutor. Kedua cara di atas memang paling gampang dan jamak dipraktekan. Ambil contoh, pemain dengan kaki kanan yang berlari dari arah kiri bola, maka bola cenderung akan bergerak ke kanan. Ini berlaku sebaliknya. Hal yang perlu diperhatikan lain adalah mata eksekutor tendangan, karena bola tidak akan jauh dari sudut pandangnya. Pada saat fokus menentukan arah tendangan, otak dan mata sendiri akan melakukan koordinasi agar sejalan dengan gerak tubuh pemain. Reflek alami gerak mata ini sulit untuk dihindari terutama bagi pemain yang minim pengalaman. Namun pemain sepakbola modern lebih jitu dalam mengakali trik ini, yaitu dengan memanfaatkan persepsi kiper dan mengarahkan bola ke arah sebaliknya. Misalnya saja menoleh ke kiri sesaat sebelum menendang, namun bola justru ditendang ke kanan. Atau mengambil ancang-ancang seperti contoh gambar di atas, namun bola justru menggelinding pelan ke arah lain. Contoh praktek mind game lain adalah berpura-pura memberitahukan arah jatuh (dive) oleh kiper. Ini persis seperti yang dilakukan kiper kedua Barcelona, Pinto saat bertanding melawan Malaga. Saat itu, dengan ekspresi yang lucu, Pinto menunjuk arah kiri badannya seolah memberi tahu ke mana dia akan bergerak. Benar saja, bola meluncur tepat ke arah kiri. Pinto dengan mudah menangkapnya. Hal ini kerap dilakukan oleh banyak kiper, dengan tujuan memanfaatkan efek psikologis agar otak bertabrakan. Jika arah yang diinginkan penendang sejak awal sama dengan yang ditunjukkan kiper, maka penendang akan berpikir ulang. Ataupun jika ternyata berlawanan, akan kembali timbul keraguan, apakah ini sekadar tipuan agar saya harus menendang ke arah sebaliknya. Hukuman yang berbeda untuk kiper dan algojo ini dikarenakan, dalam kondisi normal, penendang memang seharusnya lebih unggul dari kiper. Sederhananya, tendang saja bolanya sekencang mungkin ke arah terjauh kiper. Kecepatan bola akan sulit untuk dihalau, jika kiper hanya melihat bola dari arah setelah ditendang tanpa menebak sebelumnya. Menunjukkan Superioritas dan Selangkah Lebih Maju Ketika adu tendangan penalti, kesatuan tim sebagai kekuatan tidak lagi dominan. Ujian sebenarnya ada pada masing-masing kekuatan individu pemain: adu kekuatan, keterampilan, dan mental antara sang eksekutor dan kiper. Adu pamer kekuatan sering ditunjukan oleh keduanya sesaat sebelum tendangan dilakukan. Beberapa kiper melakukan gestur pamer otot, seperti menendang tiang atau memukul bagian atas gawang hingga bergetar. Praktek menyingsingkan lengan baju atau memantulkan bola kuat-kuat kuat juga sering dipakai, untuk memberikan kesan kuat dan penuh percaya diri. Sementara bagi penendang, gerakan yang jamak dilakukan adalah melakukan ancang– ancang jauh, untuk menanamkan mindset bahwa bola akan meluncur sangat deras. Selain itu, sikap lainnya adalah dengan berpura-pura tenang dengan berdiri tegak sambil menatap tajam kiper, seolah-olah bola akan mudah masuk ke gawang. Salah satu yang fasih melakukan trik demikian adalah Ryan Giggs. Lihat saja berbagai rekaman video tendangan penaltinya. Giggs bahkan sangat jarang menempatkan bola ke titik putih menggunakan tangan. Secara santai ia hanya menata bola menggunakan kaki, menunjukkan keyakinan besar bahwa tendangan penalti adalah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Kuncinya adalah dengan tidak membiarkan lawan untuk mengendalikan permainan. Dengan menunjukkan bukti bahwa kita lebih kuat dan selalu di depan untuk memimpin, serta tidak membiarkan lawan mengambil alih kendali. Fokus dan konsentrasi sang algojo akan hilang sesaat. Otak yang bertabrakan membuat kordinasi gerakan tidak sempurna dan tubuh cenderung bergerak kaku. Akibatnya tendangan mudah ditebak oleh kiper. Jika ingin menang dalam situasi tendangan penalti, baik kiper maupun sang algojo memang harus dapat mengendalikan pikiran lawan. Masih ingatkah dengan kemenangan dramatis Liverpool melawan Milan di final Liga Champions 2005? Dalam penentuan adu penalti, sang kiper Jerzy Dudek menjadi pahlawan raihan trofi Liverpool. Gerakan hiperaktif dari Dudek yang meliuk-liuk sambil loncat ke kanan dan kiri ternyata berhasil menggagalkan 3 algojo Milan. Bahkan salah satunya adalah tendangan Andriy Shevchenko di akhir penentuan. Dudek juga bukan kiper pertama Liverpool yang melakukan strategi serupa. Adalah Bruce Grobbelaar legenda kiper Liverpool yang melakukan gaya meliuk-liuk saat final kompetisi Eropa melawan Roma pada penentuan adu penalti di tahun 1984. Bahkan berkat gayanya itu, ia mendapat julukan spaghetti legs (kaki spaghetti). Sebelum adu penalti, Jamie Carragher sendiri sempat berujar pada Dudek untuk do the Grobbelaar. Pengaruh gerakan hiperaktif kiper ini pernah diteliti. Dalam Journal of Sports Sciences, yang berjudul A Moving Goalkeeper Distracts Penalty Takers and Impairs Shooting Accuracy (2010) dijelaskan bahwa kiper yang terus bergerak membuat penendang kehilangan fokus arah tendangan. Bahkan bola cenderung mengarah ke tengah, yang tentu saja jadi mudah ditangkap. Mempelajari Kebiasaan dan Trik Lawan Petr Cech menonton DVD tendangan penalti pemain Bayern Munich selama 2 jam dalam persiapannya menghadapi final Liga Champions 2012. Hasilnya dia dapat menebak seluruh arah tendangan algojo Bayern, dan sukses menggagalkan 2 di antaranya. Cech membawa Chelsea jadi juara Eropa untuk pertama kalinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kiper dunia selalu menonton ulang video, membuka catatan, ataupun berdiskusi dengan pelatih kiper jika menghadapi pertandingan yang kemungkinan berakhir dengan adu penalti. Ben Foster, (eks) kiper Manchester United dalam pertandingan Piala Carling antara timnya melawan Tottenham Hotspur pun pernah melakukannya. Ia menonton ulang video penalti pemain Spurs hanya sesaat sebeum adu penalti dilakukan melalui ipod miliknya. Tentu yang paling hangat adalah keberhasilan Pepe Reina menggagalkan rekor 100% penalti Mario Balotelli, yang selalu masuk dalam 21 percobaan. Dalam rahasia yang diungkapnya pada media, Reina mengatakan bahwa dia sudah mempelajari khusus tendangan Balotelli sebelum bertanding. Meski banyak pilihan untuk melakukan trik tendangan, pemain bola memang memiliki kebiasaan atau ciri khusus yang cenderung berulang. Kebiasaan para pemain ini dapat dianalisis untuk menentukan trik apa yang biasanya akan dipakai oleh penendang. Pemilihan strategi juga harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Seperti yang dilakukan oleh Dudek di pertandingan melawan Milan. Sebelum adu penalti Dudek sempat berdiskusi dengan pelatih kiper Liverpool yang memiliki 30 catatan tendangan pemain Milan. Sadar dia tidak akan bisa menghafal tendangan sebanyak itu, Dudek menginstruksikan pelatih kiper untuk memberikan kode arah setiap kali pemain Milan melakukan tendangan. Namun saat berdiskusi itu, Carragher malah mendorong Dudek untuk menjauh dari pelatih kiper. Carragher mengatakan bahwa Dudek harus memberikan tekanan pada pemain Milan. Ini karena mental bertanding Milan yang tertekan pasca balasan 3 gol yang dilakukan oleh Liverpool. Benar saja, saat eksekusi tendangan pertama Serginho, Dudek meliuk-liuk dan memberikan gerakan aneh. Tendangan Serginho pun lalu terbang jauh di atas mistar.
Posted on: Sun, 03 Nov 2013 13:02:11 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015