Bahagia Itu Sederhana Pameran ini diawali kisah sederhana sebuah - TopicsExpress



          

Bahagia Itu Sederhana Pameran ini diawali kisah sederhana sebuah hastag yang lalu lalang di media sosial twitter. Adalah Farid Stevy Asta yang mulai menuliskan kalimat “bahagia itu sederhana” tanpa spasi (#bahagiaitusederhana). Sebuah peristiwa yang biasa dalam dunia sosial media kita, di mana jumlah nettizen Indonesia termasuk jajaran tertinggi di muka bumi. Persoalannya menjadi tidak biasa, mengingat yang menuliskan hastag itu adalah Farid Stevy Asta. Farid adalah vokalis band Jenny yang berubah menjadi FSTVLST (baca: festivalist). Jenny dikenal luas lewat lagu “Mati Muda” dengan kumandang provokatif seolah-olah menantang mati. Musik yang diperdengarkan kotor, keras, dengan panggung yang kacau dipenuhi moshing dari para penonton, ludah meludah, dan suasana chaos lainnya. Farid juga sempat menjadi street artist, yang bergentayangan di malam-malam kota Jogja. “Bahagia itu Sederhana” itu seakan-akan muncul dari kekacauan panggung dan gelapnya kota Jogja, berbiak di media sosial dan menjadi mantra di kehidupan modern. Setidaknya untuk Farid dan teman-temannya. Pada saat merajah tubuhnya dengan tatto yang tak lazim, berbentuk bidang-bidang dari garis garis bilangan Fibonacci, Farid mengakui bahwa dirinya “selalu berada dalam sebuah persimpangan chaos antara dua hal ini: logika dan apapun kebalikannya. Dua arah, saling tantang, dan satu sama lain pernah menang dan kalah, di tubuh dan jiwa yang sama, milik saya. Dan apapun itu, garis dan angka inilah tandanya.” Pameran “bahagia itu sederhana” menjadi perayaan persimpangan yang dilalui Farid. Farid adalah kumpulan keping mozaik yang terdiri dari banyak hal, yang diskemakan dengan sederhana melalui kontradiksi-kontradiksi dalam karyanya. Dia adalah penyuka Andi Warhol tapi sekaligus menyukai kementahan Jean Michel-Basquiat. Dia menggunakan bilangan Fibonacci untuk semua skala lukisannya, tapi sekaligus mengumbar kespontanan dalam menorehkan teks. Dia pop sekaligus sureal, mengangkat yang permukaan, yang ‘real time’ dan ‘daily life’, namun menyelusup pula dalam mimpi dan ketaksadaran menyusun kata. Dibaca – dilihat Lukisan pada pameran ini berbeda dari karya Farid sebelumnya yang menggunakan figur atau karakter tokoh untuk bercerita. Dia meninggalkan figurasi dan menuju pada kata-kata sebagai unsur utama lukisannya. Penggunaan kata-kata dalam seni lukis modern menyalahi apa yang dikembangkan dalam dunia lukisan sebagai sebuah fenomena depiction. Lukisan yang secara asalinya diciptakan untuk ‘dilihat’ dengan segala problema representasi, persepsi, dan dimensi dua dimensionalnya, dibawa ke persoalan lain, yaitu huruf-huruf sebagai sebuah sistem tanda yang ‘dibaca’. Dia dibaca untuk mewakili ucapan atau bunyi. Teks digunakan oleh para seniman konseptual semacam Bruce Nauman, Jasper Johns, Rauschenberg, dan John Walker. Farid tidak melalui jalur yang rigid semacam seni teksnya Bruce Nauman, yang mengangkat teks menggunakan unsur kekuatan typografinya. Farid tidak memenggal peran huruf-huruf dan kata-kata itu dari perannya dalam menggambarkan bunyi atau ucapan, dan tidak menubuhkan teks itu dalam bentuk-bentuk tertentu. Kata-kata tetap dituliskan begitu saja, dan dijalin dalam jalinan yang riuh bersama kata yang lain, dengan komposisi vertikal horisontal, beserta aksentuasi bidang-bidang geometrik ala Piet Mondrian. Kata-kata: yang sampah kata – yang bernilai Media sosial terutama twitter menggunakan kemampuan manusia untuk menyusun kata-kata sebagai sarana membangun relasi sosial. Kata-kata menyebar cepat di arena twitter, berpantulan dari twit satu ke twit yang lain. Promosi, informasi, curhat, gosip, politik, diskusi, dan bahkan revolusi, bisa terjadi dan bermula dari kata berantai di media sosial. Seperti memungut sampah yang kemudian menjadi berguna, Farid tekun mencatat kata-kata. Farid menghargai kata-kata lebih dari sekadar alat komunikasi. Di lirik-lirik lagu yang ditulisnya, kata-kata dipilihnya, kekuatan makna dipertimbangkan, termasuk unsur puitiknya. Kata-kata bisa mengomunikasikan idenya secara lugas sekaligus bernilai dalam dirinya. Media sosial semacam twitter di satu sisi membuat kata-kata melimpah ruah seperti sampah, tapi sekaligus mengandung potensi kekuatan kata. Farid termasuk memandang kritis produksi kata-kata. Twitter bagi Farid bukan sekadar waktu luang dan ruang curhat belaka. Farid menciptakan ritus untuk kegiatan yang bagi sebagian besar orang lain sebagai aktivtas iseng, yaitu dia hanya men’tweet’ setiap Sabtu Minggu. Selama proses pameran ini Farid berburu kata di sela-sela aktivitasnya main band, mendesain grafis dan sebagainya. Dia membuat beberapa buah-buku kecil semacam log book, yang menjadi alatnya untuk menyimpan kata-kata atau kalimat. Setiap kata atau kalimat yang diproduksi oleh seseorang, entah lewat media sosial atau iklan atau ucapan, setidaknya sudah melalui proses editing dalam benak si pengirim pesan. Cetusan-cetusan kata itu dipungut oleh Farid dan dimasukkan dalam buku kecilnya. Buku bersampul kulit itu dipenuhi coretan-coretan yang bakal menjadi bahan mentah untuk tulisan-tulisannya. Pola ini sama dengan yang dilakukannya untuk menulis lirik lagu. Di studionya, Farid mengeksekusi kata-kata dan kalimat itu dalam kanvas dengan spontan. Mirip seperti kereta pikiran dalam psikoanalisis, Farid menulis kata dan menulis lagi di sebelahnya dengan keterhubungan di bawah sadar. Pada waktu melukis, kata-kata itu diperlakukan kembali menjadi elemen lukisan dengan cara membubuhi di beberapa kata dengan garis membentuk bidang. Kata-kata adalah jiwa dari lukisannya, dan tubuhnya adalah pola geometrik dengan bidang-bidang persegi mengisi rentangan kanvas. Farid bekerja dengan menyusun terlebih dahulu bidang-bidang geometrik dengan warna-warna yang tidak beranjak jauh dari merah, biru, kuning, dan hitam. Dalam bidang-bidang itu, teks-teks ditulisnya menggunakan kapur putih dan charchoal hitam.. Budaya Pop - Surealisme Surealisme menggali mimpi dan ketaksadaran, kalau budaya populer berkutat di permukaan dan tempat-tempat biasa. Farid menggunakan semacam log book untuk mencatat letupan kata-kata dari peristiwa keseharian yang dialaminya. Karya-karya semacam ini sering dihubungkan dengan fenomena lowbrow art di Amerika Serikat. Gerakan yang lahir dari kartunis dan ilustrator underground ini sering diabaikan dalam perkembangan seni rupa kontemporer. Anggapan itu dikarenakan karya-karya seniman lowbrow diawali oleh para produsen visual yang tidak masuk dalam arus utama sejarah seni rupa, seperti para ilustrator, perajah tatto, komikus, disainer grafis, dan sebagainya. Banyak pihak dalam dunia seni termasuk kritikus seni mengalami kesulitan dalam mempertimbangkan kecenderungan figuratif lowbrow itu, termasuk budidaya narasi, dan pentingnya keterampilan teknis. Semua aspek seni yang sangat diremehkan di sekolah seni dan oleh kurator dan kritikus sepanjang tahun 1980 dan 90-an. Hal lainnya adalah mirip dengan yang terjadi di Jogja, mereka tidak memiliki peneliti yang secara akademis membangun wacana seni mereka. Yang terjadi di Jogja sedikit berbeda. Beberapa seniman muda memang terpengaruh oleh gerakan ini karena alasan-alasan selera dan kesamaan aktivitas budaya. Mereka cukup terasa perbedaannya dengan kecenderungan yang lain karena tawarannya untuk melihat budaya populer sebagai bagian penting dari seni dan budaya. Tetapi medan sosial seni (art world) di Jogja dan Indonesia memiliki ruang yang lebih sempit. Situasi ini menguntungkan bagi para seniman muda yang membawa kecenderungan ini. Mereka mendapat tempat yang baik bersama seniman-seniman kontemporer yang ‘lebih serius’. Di sisi lain, situasi ini mengaburkan konstruksi awal yang dibangun karena kurangnya dukungan industri budaya dan produksi wacana di dalamnya. Maka tidak heran kalau para seniman sebangsa Farid Stevy Asta ini jarang meluangkan waktunya untuk melihat karya-karya seniman kontemporer kenamaan sebagai sumber acuan. Kalau pun ada yang tercatat dalam sejarah seni modern, sumber acuan mereka setidaknya ada pada Andi Warhol atau Basquiat dan gejala pop art dengan perayaan yang membawa kultur sandingan (sub kultur) sebagai arena bermainnya. Pada akhirnya, Bahagia itu Sederhana ini adalah festival kecil yang dipergunakan Farid untuk merangkum semua potongan mozaik dalam dirinya dan lingkungannya. Satu hal yang mendasari karyanya di pameran ini, yaitu proses berkarya yang membuatnya bahagia dalam melukis. Farid membuat racikan visual melalui berbagai macam influence yang digunakannya sebagai tubuh bagi gagasan-gagasannya dalam mengomentari realitas. Karya seninya adalah tempat berbagai macam pengaruh itu bertemu, mulai dari seni lukis terukur semacam karya Piet Mondrian, seni lukis ‘tumpah seluruh’ milik Jean Michel-Basquiat, street art, rock ‘n roll, geliat anak muda Yogyakarta, dan sebagainya. Farid menjadi peramu yang luar biasa dengan kemampuan dan bakatnya yang kreatif, yang justru secara unik membuat karya-karyanya menjadi karya tersendiri lepas dari pengaruh-pengaruh tersebut, tanpa harusnya mengklaimnya sebagai penemuan baru. Di pameran ini setidaknya Farid mengajak kita untuk ikut merasakan kebahagiaannya yang sederhana. Sebuah catatan kecil di dinding studionya sangat tepat untuk menggambarkan kebahagiaan seperti apa yang hendak ditularkan kepada kita, yaitu: “At a super busy jungle what so-called nowadays world, people runs not walk. They (are) chasing happiness. Modern happiness. I voyage my own sea. Where sun shine, mist, water, winds, waves and no destination are my happiness. Liberating. liberated”. Farid Stevy Asta. Rain Rosidi.
Posted on: Wed, 26 Jun 2013 05:14:14 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015