Bahan renungan di hari kemerdekaan untuk kaum feminis (copas dari - TopicsExpress



          

Bahan renungan di hari kemerdekaan untuk kaum feminis (copas dari lapak sebelah): Kisah seorang sahabat perempuan bernama Asma’ binti Yazid yang mengajukan aspirasi kaumnya kepada Rasulullah saw. Di zaman “pemaksaan paham kesetaraan gender” saat ini, aspirasi Asma’ perlu kita renungkan. Ketika itu, Asma’ mendatangi Rasulullah, saat beliau sedang berkumpul dengan sejumlah sahabat laki-laki. Berikut aspirasi kepada Rasulullah: “Demi Allah yang menjadikan ayah dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh muslimah. Tiada satu pun diantara mereka saat ini kecuali berpikiran yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya, menunggui rumah kalian para suami, dan yang mengandungi anak-anak kalian. Sementara kalian kaum lelaki dilebihkan atas kami dengan shalat berjamaah, shalat jumat, menengok orang sakit, mengantar jenazah, bisa haji berulang-ulang, dan jihad di jalan Allah. Pada saat kalian haji, umrah atau berjihad, maka kami yang jaga harta kalian, menjahit baju kalian dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa menyertai kalian dalam semua kebaikan itu?” Rasul melihat-lihat para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang agamanya lebih baik dari Asma’?” “Tidak wahai Rasul,” jawab sahabat. Beliau lalu bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kaummu bahwa melayani suami kalian, meminta keridhaannya, dan menyertainya ke mana pun ia pergi pahalanya setara dengan apa yang kalian tuntut”. Asma’ lalu pergi keluar seraya bertahlil dan bertakbir kegirangan. Kisah diatas direkam oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam kitab Ma’rifat al-Shahabah (Vol.22/420). Aspirasi Asma’ berbeda secara substansial dengan aspirasi kaum pegiat kesetaraan gender saat ini. Asma’ tidak menuntut kesetaraan secara nominal; bahwa perempuan dan laki-laki harus sama-sama aktif di ruang publik untuk kemajuan pembangunan. Perempuan yang aktif mendidik anak-anaknya di rumah dengan sungguh-sungguh tidak dianggap telah berpartisipasi dalam pembangunan (padahal justru dari pendidikan anak inilah pembangunan berawal). Yang dituntut oleh Asma’ adalah kesetaraan substansial, bukan kesetaraan nominal. Peran bisa berbeda. Tapi,peluang untuk meraih pahala dari Allah adalah sama besarnya. Karena itulah, setelah Rasulullah memberitahukan bahwa istri yang taat dan diridhai suami serta menyertai suaminya, mendapatkan pahala yang sama dengan pahala suaminya, maka Asma’ bertakbir kegirangan. Asma’ tidak menuntut peran yang sama dengan laki-laki. Yang dituntut adalah pahala dari Allah. Sungguh berbeda tuntutan Asma’ dengan aktivis gender yang tidak menggunakan logika pahala dan ibadah saat merumuskan paham “kesetaraan gender” sekuler. Akibat adanya kekeliruan dalam menggunakan tolok ukur “martabat perempuan” maka pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menetapkan angka minimal untuk pengurus perempuan dalam partai politik adalah 30 persen. Peneliti INSISTS, Dr. Dinar Dewi Kania dalam artikelnya yang berjudul “Martabat dan Keterwakilan Perempuan”, mengupas secara tajam kekeliruan cara pandang UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dalam kaitan dengan martabat perempuan. Kedua Undang-Undang itu telah memberi mandat kepada partai politik untuk melibatkan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari daftar caleg yang diusulkan partai politik peserta pemilu. “Umat Islam seharusnya dapat lebih jeli menilai bahwa aturan tentang kuota caleg perempuan berpotensi mengalihkan perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai ibu dan pendidik anak-anak di rumah. Bahkan, dalam paham ini, tugas dan peran sebagai Ibu rumah tangga dipandang sebelah mata, dianggap tidak lebih mulia ketimbang aktif di parlemen. Apakah mereka berpikir, bahwa dengan ”memaksa” perempuan aktif di ruang publik dan meninggalkan keluarga, maka laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dapat lebih leluasa bergaul sampai larut malam, demi ”kemajuan bangsa”? Sementara suami harus menjaga anak-anak bersama pembantu di rumah, menunggui istrinya pulang dari raker berhari-hari di luar kota?” tulis Dr. Dinar Kania. Seorang Muslim pasti memiliki cara pandang yang khas terhadap “martabat perempuan”. Cara pandang muslim berlandaskan pada prinsip keadilan dalam Islam. Islam mengajarkan pemeluknya agar berperilaku adil kepada seluruh umat manusia tanpa memandang harta, kedudukan atau jenis kelamin. Allah swt telah menegaskan, bahwa” .... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dengan ayat ini, ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa nilai kemuliaan seorang manusia diukur dari iman, ketinggian akhlak dan perbuatan-perbuatan baiknya.
Posted on: Sun, 18 Aug 2013 00:27:38 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015