Bahasa, Hukum, dan Politik LHI, SBY, DAN POLEMIK TENTANG BUNDA - TopicsExpress



          

Bahasa, Hukum, dan Politik LHI, SBY, DAN POLEMIK TENTANG BUNDA PUTRI LHI menantang, SBY meradang, Bunda Putri menghilang LHI atau Luthfi Hasan Ishaq, siapa lagi kalau bukan mantan Presiden PKS yang sekarang mendekam di balik jeruji besi rumah tahanan (rutan) KPK karena menjadi tersangka kasus suap daging sapi impor. Dia “sedang menikmati” hasil jerih payah dan “usahanya” di bidang suap-menyuap dan menjadi penghuni rutan, makan minum gratisan tanpa kerja keras. Bersama dia menghuni rutan adalah “mitra kerjanya” di bidang suap-menyuap yakni Ahmad Fathanah. Jadi tidak salah kalau hakim mendudukkan keduanya sebagai terdakwa dan sebagai saksi dan saling memberi kesaksian. Untung dan resiko bermitraan dinikmati bersama secara adil. Begtulah nasib Luthfi Hasan Ishaq alias LHI. Belum lama ini, di bulan Oktober 2013, LHI dihadapkan di muka hakim Pengadilan Tipikor untuk memberikan kesaksian terhadap tersangka Ahmad Fathonah, rekannya “sebelas dua belas” alias setali tiga uang. Ada yang menarik untuk dikemukakan di dalam tulisan ini tentang kesaksian LHI kala itu. Ya, pernyataan dalam kesaksiannya itu menyebutkan nama SBY dan Bunda Putri serta mengaitkan hubungan SBY dengan Bunda Puteri. Yang perlu dicatat dan digarisbawahi, kesaksian LHI di muka pengadilan adalah kesaksian di bawah sumpah. LHI pasti tahu bahwa sanksi hukum berlaku bagi siapa pun yang berbohong dalam memberi kesaksian di muka hakim. LHI yang konon dipanggil dengan sebutan Ustaz Luthfi (memang ustaz beneran) oleh Ahmad Fathanah itu pasti tahu sanksi hukum seorang muslim bersaksi palsu. Hampir semua orang yang melek hukum, apa lagi para penegak hukum atau ahli hukum, yakin/percaya, bahwa pernyataan LHI yang menyebutkan bahwa Bunda Putri itu punya hubungan khusus dengan SBY (konon Bunda Putri tahu dan lebih tahu daripada para Menteri tentang reshufle kabinet) tentu benar adanya. Efendi Ghazali yang pakar komunikasi politik contohnya, lebih percaya kepada LHI lantaran pernyataan itu dalam konteks kesaksian di bawah sumpah, sementara sanggahan SBY dianggap tidak kuat/lemah karena terlontar dalam wawancara bebas tidak di bawah sumpah. Sebaliknya, merespon pernyataan LHI itu, SBY menyanggah keras. Sanggahan keras itu tampak dari mimik wajah SBY yang tidak biasanya dan pilihan kata yang digunakan SBY dalam sanggahannya sungguh keras. Kata-kata “Luthfi seribu persen berbohong!” dan “dua ribu persen Luthfi berbohong!” menggambarkan kemarahan SBY yang hampir menjurus kepada kategori psikologis “out of control”. Bagaimana menyikapi dua pernyataan yang bertolak belakang dari dua tokoh “presiden” ini? (LHI adalah mantan Presiden PKS dan SBY adalah Presiden RI). Logikanya, jika ada dua pernyataan saling bertolak belakang tentang satu hal, maka kesimpulannya boleh jadi: 1) kedua pernyataan itu tidak benar/bohong, artinya baik LHI maupun SBY berbohong, atau 2) salah satu dari pernyataan itu benar, artinya boleh jadi LHI benar dan SBY berbohong, atau sebaliknya, LHI pembohong besar dan SBY benar. Menurut hemat penulis, dengan memperhatikan gestur LHI melontarkan pernyataan dalam kesaksiannya dan gestur SBY merespon, penulis lebih percaya kepada seorang SBY daripada kepada seorang LHI. Apa alasan penulis? SBY seorang tokoh besar, seorang negarawan, seorang presiden sebuah negara besar dan sekarang masih berkuasa sebagai RI-1, selalu menjaga pribadi dalam kata, sikap, dan tindakan karena SBY adalah lambang negara, karena itu taruhannya adalah negara dan bangsa. SBY sebagai pribadi adalah seorang yang merdeka lahir batin, dan sebagai Presiden RI adalah penguasa yang berkuasa karena kekuasaan serta kehormatan ada/melekat pada dirinya. Karena itu amat mustahil SBY berbohong demi membela sesuatu hal yang remeh-temeh sepele amat tak bermutu dan mengorbankan martabat serta kehormatan bangsa dan negara. Ingat, Presiden adalah salah satu lambang negara dari NKRI. Sementara LHI, seorang tokoh yang menjadi tokoh kagetan (mendadak jadi tokoh), mendadak dikenal setelah dipilih menjadi Presiden PKS (tadinya tak banyak yang kenal dia kecuali satu dua kelompok pengajian kampung atau di lingkungan internal PKS saja). Karena mendadak menjadi presiden parpol itu, lalu mulai dikenal, LHI lupa akan nasehat Pak Harto yang bijak dalam bahasa Jawa, “Ojo dumeh, ojo gumun, ojo kagetan”. LHI lupa akan statusnya sebagai dari seorang ustaz dan lupa role-nya sebagai pendakwah Islam. LHI telah berubah perangainya, murni dari seorang ustaz awalnya (lebih tahu hal-ikhwal al halalu bayyinun wal haramu bayyinun dari orang biasa), berubah menjadi pribadi berperangai politikus karena terkontaminasi nafsu “demi fulus dan paha mulus” (sering bergaul dengan Ahmad Fathanah mungkin). Perbedaan halal dan haram yang amat jelas ternyata cuma fasih terucap di ujung bibirnya, tidak ada “chemistry” atau aura dari pancaran wajahnya, dan sama sekali tak ada wujud nyata dalam amaliahnya. Wujud orang yang mulai “famous” mendadak sontak menjadi orang yang “notorious” lantaran korban OTT-nya KPK. Jangan pula lupa, LHI sekarang bukanlah seorang yang merdeka, melainkan orang yang tidak merdeka karena dia dipenjara. Dia sudah bisa menakar/menaksir berapa lama dia bakal berada di penjara. Berada cukup lama di penjara sering membuat orang menjadi panik/kehilangan kepercayaan diri, out of control, dan kehilangan akal. Kadung sekali dua berbuat dosa, kadung dipenjara, ngomong salah tak lagi menjadi masalah. Bersaksi palsu pun jadilah, peduli amat dengan bersaksi di bawah sumpah! Peduli amat dengan pengacara pribadi yang harus bergigih mencari pilihan kata pembelaan dengan berbagai jurus silat lidah memuncratkan air ludah! Soal ikhwal Bunda Putri, ada di sekitar kita atau tak tahu rimbanya, penulis seratus persen lebih percaya kepada pernyataan SBY sang pemimpin negeri ketimbang percaya kepada pernyataan seorang LHI yang sekarang sedang menghuni rumah bui. Surabaya, 23 Oktober 2013
Posted on: Wed, 23 Oct 2013 14:20:27 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015