Beverly Hills Ternyata Ada di Ciputat Oleh Riky Prihandeni di - TopicsExpress



          

Beverly Hills Ternyata Ada di Ciputat Oleh Riky Prihandeni di Revolusi Indah Zona Quantum Ikhlas (Berkas) · Sunting Dokumen Episode ikhlas Imam Subekti (47), networking consultant, Tangerang, Banten Aku merasa pernah melihat setting tempat seperti ini. Di mana ya? Pohon-pohon palem menjulang tinggi di tengah jalan, rumah besar-besar dengan mobil-mobil mewah diparkir di depannya, dan banyak artis serta tokoh masyarakat tinggal di situ. Ah, ya. Aku sering melihat gambaran itu di film-film Amerika. Ya, ini kan Beverly Hills. Seandainya saja aku bisa tinggal di sini, tentulah sangat menyenangkan. “Mam, woi!” aku dibangunkan dari lamunanku oleh telapak tangan temanku, Boy, yang dikibaskan persis di depan wajahku. “Ngelamun apa kau?” tanyanya sambil menyetir. Aku tersipu. “Eh ... bagus benar tempat ini, Boy” “Pastilah ... ini kan memang kompleks orang-orang berduit. Makanya sekarang kau kuajak main tenis di kompleks ini, biar ketularan banyak duit.” “Wah, amin, amiin ...” Ku kagumi lagi pemandangan di kanan kiri jalan. Boy menyetir sambil mengatakan sesuatu yang tidak kudengar. Aku sedang mengagumi tempat ini. Bukan di Beverly Hills, tapi di sebuah perumahan di kawasan Ciputat, Tangerang, Banten. Suasananya terasa damai, teduh dan jauh dari keramaian. Suatu saat nanti aku akan tinggal disini, kataku dalam hati. Aku tidak pernah main-main dengan khayalanku. Biasanya, kalau aku menginginkan sesuatu, aku akan mengkhayalkan hal itu sudah terjadi. Lalu aku akan mengikhlaskan keinginanku itu sampai aku merasa tidak membutuhkan itu lagi lantaran aku merasa sudah mendapatkannya. Proses ini, seperti yang pernah aku dapat dari sebuah pelatihan dari Katahati Intitute, disebut Quantum Ikhlas HeartFocus!. Pelatihan inilah yang membuatku sangat mengagumi hasil ‘kreativitas’ Yang Mahakuasa, yaitu alam semesta, isi dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Yang membuatku banyak bersyukur atas apa pun yang aku capai dalam hidup ini. Yang dengannya aku banyak mendapatkan kemudahan hingga sekarang. Seperti dulu, saat aku bekerja sebagai karyawan honorer pada sebuah perusahaan kontraktor. Waktu itu aku selalu menganggap hidup itu susah, penuh perjuangan dan pengorbanan. Bagaimana tidak, sudah tidak menerima gaji—hanya menerima honor setiap ada order, tapi aku selalu mendapat tekanan dari atasan. Aku tentu saja tidak suka akan hal itu. Aku ingin menjadi orang yang bebas, bekrja sendiri, dan tidak di perintah ini itu oleh bos. Tapi mau keluar takut tidak dapat pekerjaan lain. Padahal waktu itu perusahaanku sedang kolaps. Setelah tahu metode Quantum Ikhlas HeartFocus! itulah aku menerapkannya pada keinginanku tersebut. Maka, akhirnya aku pun berani dan percaya diri untuk mengambil keputusan mundur dari pekerjaanku. Singkat cerita, aku memilih menjadi networker , dan syukur alhamdulillah, profesiku itu sangat cocok dengan hatiku. Aku pun menjadi orang bebas. Mungkin karena cocok dengan hati, maka kemudahan-kemudahan pun sering kali datang. Seusai bermain tenis di perumahan bak Beverly Hills di Ciputat itu, aku duduk beristirahat di sport center bersama Boy. Ketika itulah aku melihat sebuah tanah kosong di ujung blok di depan sport center. Kembali aku membayangkan, betapa enaknya kalau bisa membangun rumah di tanah kosong tersebut. Strategis, tidak jauh dari pintu masuk kompleks, dekat sport center sehingga bisa menjalankan dua hobiku, bermain tenis dan berenang. Hampir setahun kemudian bisnis networking yang aku jalankan cukup sukses menghasilkan banyak uang. Dari situ keinginanku membeli rumah di kompleks itu kian menguat. Maka dengan menetapkan hati aku melakukan survei lokasi. Di sana, aku ditawarkan sebuah rumah, tapi lokasinya tidak sesuai seperti yang aku inginkan. Awalnya aku menolak, tapi saking inginnya memiliki rumah di kompleks ini, aku pun akhirnya terbujuk juga oleh ‘tukang marketing’ itu. Aku berjanji pada si tukang itu, uang booking fee akan aku serahkan dua-tiga hari ke depan. Namun ternyata hujan terus-menerus telah menghalangiku untuk melakukan itu. Aku tidak menyadari kalau hujan itu ternyata sebuah pertanda. Seorang teman menelponku dan memberi tahu bahwa kompleks impianku dilanda banjir. Aku pun mencari tahu ke lokasi. “Bagaimana bisa banjir? Ini kan tidak sesuai dengan iklan,” protesku. Di iklan dan di flyer memang disebutkan bahwa perumahan ini bebas banjir. “Tenang, Pak,” sahut ‘tukang marketing’. Banjir kemarin itu terjadi karena sungai di belakang sana meluap. Meluap itu pun karena ada pohon tumbang dan jatuh melintang ke sungai. Setelah pohon itu disingkirkan, jaminan bebas banjir kembali berlaku.” Aku, yang memang pada awalnya tidak sreg dengan rumah ini, seperti mendapatkan alasan untuk tidak jadi membelinya. “Kalau begitu aku batal membelinya,” tegasku. Bujuk rayu staf marketing tetap tidak menggoyahkan keputusanku. Setelah itu aku melupakan kejadian tersebut. Kalau memang belum jodoh, dipaksa pun tidak akan baik jadinya. Beberapa bulan berlalu. Aku sibuk dengan urusan pengembangan jaringan bisnis yang kian hari kian besar. Tiba-tiba suatu hari aku mendapat telepon dari pengembang perumahan itu. Seorang pegawai baru di bagian marketing menawarkan kembali rumah di perumahan itu. Keinginanku kembali terusik, kemudian aku datang kembali ke sana dan berkeliling mencari rumah yang sesuai dengan hatiku. Tapi, seperti beberapa bulan lalu, lagi-lagi tidak ada yang cocok. “Bagaimana dengan tanah kosong yang di ujung blok itu?” tanyaku ketika melewati lokasi impianku, di depan sport center. Kuberanikan diri menawar tanah itu karena waktu itu uangku sudah cukup untuk membeli tanah dan membangun rumah. “Bisa, Pak,” jawabnya. Setelah meninjau lokasi, kami pun ke kantor pemasaran untuk melakukan transaksi. Uang muka aku lunasi juga saat itu. Lega rasanya. Akhirnya impianku tinggal di ‘Beverly Hills’ Ciputat bakal terwujud. Tapi rupanya semua belum selesai. Sehari setelahnya, aku mendapat telepon dari pengembang yang memberitahuku bahwa tanah kosong itu tidak dijual. Di situ akan dibangun fasilitas umum untuk warga perumahan. Aku tentu saja protes karena hal itu tidak di informasikan sebelum aku melakukan transaksi. Apalagi uang muka pun sudah aku bayar. Akhirnya mereka tidak bisa menolakku, dan aku pun diizinkan membangun rumah di situ. Aku berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengirimkan pegawai baru itu untuk membantuku mewujudkan satu keinginanku. Aku memulai hidup di rumah itu benar-benar dari nol. Uang yang aku miliki aku habiskan semua untuk membangun rumah di situ demi mewujudkan keinginanku. Rumah sudah berdiri, tapi isinya kosong melompong, tidak ada perabotan. Untuk tidur pun aku cukup puas dengan menggelar tikar. Namun semua itu aku jalani dengan ikhlas dan bahagia. Yang penting satu keinginanku sudah tercapai. Kurang lebih seminggu tinggal di sana, seorang kenalan, sebut saja Bu Dewi, menelepon. “Pak Imam, alhamdulillah rumahku sudah terjual nih,”katanya. “Oh, syukur, Bu. Saya ikut senang mendengarnya.” “Terima kasih. Nah, masalahnya adalah, rumahku yang sekarang tidak cukup menampung semua perabotanku, dan aku tidak tahu menyimpan di mana lagi. Besar-besar lagi. Bolehkah kalau aku menitipkan sebagian ke rumah Pak Imam? Kalau boleh, Pak Imam bisa memakainya sementara.” Wah, ini benar-benar ajaib. Aku langsung menyetujui tawaran tersebut. Bu Dewi memintaku ke rumahnya dan mengizinkanku memilih perabotan mana yang akan aku pakai. Maka, rumahku pun terisi dengan sejumlah perabotan mewah dari kayu jati. Ibu Dewi baru mengambil kembali titipan itu dua tahun kemudian. Saat itu aku sempat bingung karena dia memintanya secara mendadak. Dan karenanya aku harus mencari pengganti perabotan-perabotan tersebut. Syukurlah hal itu ternyata tidak berlangsung lama. Sehari setelah Bu Dewi menelepon akan mengambil barang-barangnya, setelah aku ikhlaskan masalah itu adikku menelepon. “Mas Imam, susah banget ya menjual furnitur? Masa meja kursi dan lemari bagus seperti di rumahku tidak ada yang berminat?” katanya. “Wah, itu namanya kesabaranmu sedang diuji. Sudah, ikhlaskan saja.” “Ya, tapi rumahku sudah penuh dengan perabotan. Kalau Mas Imam mau ambil saja deh.” Sekali lagi, kemudahan datang saat aku benar-benar membutuhkannya. Terima kasih, Tuhan. Kini aku tak pernah lupa untuk menerapkan metode quantum ikhlas HeartFocus!, mengikhlaskan keinginan, dalam seriap langkah hidupku. Ikhlas is the only way. Memang, sebgai manusia, aku kadang-kadang lupa ikhlas. Kalau aku merasa hidupku terlalu ngoyo, itu adalah tanda bahwa aku telah keluar dari zona ikhlas. Maka, secepat aku menyadarinya, secepat itu pula aku kembali mengaksesnya. Dan hingga kini, istriku dan kedua anakku pun aku ajak untuk menerapkan ikhlas di dalam hidupnya dan mendapatkan manfaat darinya.
Posted on: Sun, 22 Sep 2013 06:14:35 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015