Bismillaah……. - TopicsExpress



          

Bismillaah……. KALIMAT BERSAYAP Oleh:Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed Hafizhahullah Kalimat politis atau kalimat bersayap biasa digunakan untuk dapat diterima di pihak yang satu dan dapat disambut oleh pihak yang lain, tentunya hal ini dilakukan agar dapat menguntungkan di kedua pihak tersebut. Namun seorang mukmin yang sungguh-sungguh akan mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasulnya. Sedangkan orang kafir terang-terangan akan menentang Al Qur’an, As Sunnah dan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perbedaan keduanya sangat tampak dan jelas. Memang benar-benar ada kelompok ketiga yang samar-samar dan tidak jelas, mereka tidak mau mengikuti apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak mau pula dikatakan menentang Al-Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah ahlul bid’ah (aliran sesat), mereka mengaku sebagai muslim yang berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah namun tidak mau menerima maknanya seperti apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga mereka menarik-narik ayat dan hadits sesuai selera hawa nafsunya. Maka sesungguhnya yang mereka ikuti adalah hawa nafsu, hanya saja mereka mencari dukungan dengan ayat dan hadits yang diselewengkan maknanya, sehingga terlihat seakan-akan mereka mengikuti dalil. Allah berfirman tentang orang-orang sejenis ini -yaitu orang yang di hatinya ada penyakit- sebagai berikut : فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya.” (QS Ali ‘Imran: 7). Aisyah radiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila engkau lihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat maka mereka itulah orang yang telah Allah sebutkan (pada ayat di atas) dan berhati-hatilah kamu sekalian terhadap mereka.” (HR. Bukhari Muslim). Dengan cara seperti inilah muncul aliran-aliran sempalan dan pemahaman-pemahaman sesat yang kesemuanya mengaku muslim yang berpegang dengan dalil seperti: Syiah Rafidhah, Khawarij, Qadariyyah, Jabariyyah, Mu’tazilah, Hululiyyah, Wihdatul Wujud, tarikat-tarikat sufi dan lain-lain. Setelah mereka menarik ayat dan hadits sesuai dengan apa yang mereka mau, langkah selanjutnya adalah mecari-cari ucapan siapapun yang kira-kira cocok dengan seleranya sebagai pendukungnya, mencari zallah(ketergelinciran) ulama, atau pendapat-pendapat ulama yang Syadz (karena para ulama adalah manusia, yang ada saja kealpaannya) kemudian mengambilnya sebagai kamuflase, seakan-akan mereka mengikuti para ulama. Senjata mereka yang paling ampuh adalah “kalimat bersayap” atau syubhat. Yakni ucapan yang memiliki dua makna atau lebih, yang sebagian haq dan sebagian lain batil. Sehingga mereka bisa bermain dengan kalimat tersebut. Jika diterima oleh para pendengarnya mereka akan mengarahkan kepada makna batil yang mereka maukan. Namun jika pendengarnya tanggap dan membantah kebatilan tersebut maka mereka akan segera mengatakan bahwa yang kami maksudkan adalah makna yang hak. Seperti ucapan Khawarij yang membawakan ucapan Allah: ”Tidak ada hukum kecuali milik Allah”. Ucapan ini dimaksudkan bahwasanya tidak perlu mengambil dua orang penengah atau menentukan seorang hakim. Kemudian mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyyah, dua hakim penengah : Amru bin Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh para sahabat yang ridha dengan mereka. Maka berkatalah Ali bin Abi Thalib terkait ucapan Khawarij di atas : ”kalimatu hakkin arodu bihal batil”, “kalimat yang hak, tapi yang mereka maukan adalah kebathilan”. ( Lihat as-Syariah oleh Al-Ajurri). Demikian pula halnya Gerakan Sururiyyah, untuk memasukan fiqrah-fiqrah (pemikiran-pemikiran) ikhwaniyah tersebut diatas mereka selalu menggunakan “kalimat bersayap”. Dan inilah kata kunci mereka untuk dapat memasukkan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam hati kaum muslimin. Disaat mereka berbicara tentang inshaf, mereka membawa ayat-ayat dan hadits-hadits tentang perlunya keadilan, menerangkan tentang keharusan tatsabut, mereka membawakan ayat-ayat dan hadits yang memerintahkan untuk tabayyun. Di samping itu ketika mereka menerangkan tentang perlunya fiqhul waqi’, merekapun menyertakan dalil-dalil dan ucapan para ulama yang menyatakan bahwa hukum terhadap sesuatu adalah tergantung gambaran (fiqhul waqi) yang diterima. Jika diperhatikan secara sepintas, mereka seakan-akan ahlul ilmi yang berbicara dengan dalil-dalil syar’i baik dari al-Qur’an maupun hadits-hadits. Namun jika kita teliti lebih lanjut ternyata ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut, mereka tafsirkan sesuai dengan hawa nafsu dan misi mereka. Sebagai contoh, mereka menafsirkan tentang perlunya keadilan dalam mengkritik ahlul bid’ah dengan tafsirkan wajibnya menyebut kebaikan ahlul bid’ah ketika kita menerangkan kebatilan ahlul bid’ah. Seorang ulama besar yang bernama Hasan Al Bashri rahimahullah, beliau pernah berkata : “Apakah kamu benci untuk menyebutkan (keburukan-keburukan) orang yang jahat? Sebutkanlah (keburukan-keburukan) itu oleh kamu sekalian agar manusia berhati-hati daripadanya.” Dan telah diriwayatkan pula yang seperti ini secara marfu’. (Lihat Tafsir Suratun Nuur karangan Ibnu Taimiyyah tahqiq syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid). Kemudian Al Hafidz Ibnu Rajab berbicara pula di dalam Syarah Ilalut Turmudzi 1/50, berkata Ibnu Abi Dunya, menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Mawardzi, aku mendengar Rafi’ bin Asyras berkata : “Pernah ada orang yang mengatakan termasuk daripada hukuman pendusta adalah tidak diterima kejujurannya dan aku katakan termasuk daripada hukuman orang yang fasik yang mubtadi’ adalah jangan disebutkan kebaikan-kebaikannya.” Al Muhaqqiq berkata, Al Kankauhi berkata dalam kitab Al Kawkabud Durri 1/347 : “…maka ketahuilah bahwa boleh bahkan wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada manusia aibnya (ahlul bid’ah) dan mencegah mereka dari mengambil ilmu darinya (ahlul bid’ah). Ini adalah madzhab Salaf dan hukum-hukum mereka serta muamalah mereka terhadap kitab-kitab dan pengarangnya serta ahlul bida’. Sebagaimana bisa engkau lihat pada perkataan Ibnu Taimiyyah, Imam Al Baghawi, Imam As Syathibi, Ibnu Abdil Barr dari Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Khatib Al Baghdadi, Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad dan para Salaf seluruhnya. [Lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 127-149.] Dan sikap ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mutaqadimin yang seperti ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali dalam kitabnya Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif. Namun banyak sekali ucapan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh mereka seperti Hisyam bin Ismail asy-Syini dalam buku kecilnya yang berjudul Manhaj Ahlus Sunah wal Jama’ah fii Naqdi wal Hukum ‘alal Akharin (‘Manhaj Ahlus Sunnah dalam mengkritik dan menghukumi orang lain’), Salman Audah dalam kasetnya Min Akhlaaq Ad Daa’iyah (‘Diantara akhlak para da’i’), Zaid al-Zaid dalam tulisannya Dlawabith Raisiyah Fi Taqwimil Jama’at al-Islamiyah (‘Patokan-patokan dalam meluruskan jama’ah-jama’ah Islam), Ahmad bin Abdurrahman as-Suwayyan dalam risalahnya Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimi ar-Rijal wa Muallafatihim (Manhaj Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam mengkritik seseorang atau tulisan-tulisannya), dan tokoh-tokoh lainnya.
Posted on: Sun, 20 Oct 2013 14:45:31 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015