Bismillah •Larangan Menahan Baju dan Rambut• (ditulis oleh: - TopicsExpress



          

Bismillah •Larangan Menahan Baju dan Rambut• (ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari) Setelah sebelumnya disinggung sejumlah hal yang berkaitan dengan pakaian dalam shalat, edisi kali ini akan mengupas beberapa larangan saat menunaikan ibadah shalat, di antaranya menahan baju dan rambut. Larangan Menahan Baju dan Rambut (mengikatnya) Ibnu ‘Abbas c mengabarkan dari Rasulullah n sabda beliau: أُمِرْنَا أَنْ نَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ وَلاَ نَكُفَّ ثَوْبًا وَلاَ شَعْرًا “Kita diperintah untuk sujud di atas tujuh tulang dan kita tidak boleh menahan pakaian dan rambut (ketika sedang mengerjakan shalat).” (HR. Al-Bukhari no. 810, 815, 816 dan Muslim no. 1095) Dalam lafadz yang lain disebutkan: وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ “Dan kami tidak boleh menggabungkan/ mengumpulkan pakaian dan rambut.” (HR. Al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 1098) Makna لاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ disebutkan dalam An-Nihayah adalah menggabungkan dan mengumpulkannya agar tidak tersebar. Yang diinginkan di sini adalah mengumpulkan pakaian dengan kedua tangan ketika ruku’ dan sujud1. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t mengatakan, “Secara dzahir larangan ini berlaku di waktu seseorang hendak shalat2. Demikian pendapat yang dicondongi oleh Ad-Dawudi. Dalam bab yang nanti akan dijelaskan, Al-Imam Al-Bukhari t memberi judul hadits ini dengan, “Bab La Yakuffu Tsaubahu fis Shalah”, artinya “Tidak boleh seseorang menahan pakaiannya di dalam shalat.” Judul yang diberikan Al- Imam Al-Bukhari t ini memperkuat pendapat tersebut (larangan hanya khusus bila dikerjakan karena ingin shalat, pent.). Namun ulama lain, ‘Iyadh t menolak pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa pendapat seperti itu menyelisihi apa yang dipegangi oleh jumhur ulama, karena mereka membenci hal itu dilakukan oleh orang yang shalat, baik ia melakukannya dalam shalat atau sebelum masuk dalam pekerjaan shalatnya3. Namun mereka sepakat, kalaupun seseorang melakukannya tidaklah merusak shalatnya. Akan tetapi, Ibnul Mundzir t menghikayatkan dari Al-Hasan t, bahwa siapa yang melakukannya wajib mengulangi shalatnya. Di antara hikmah pelarangan tersebut adalah bila seseorang mengangkat pakaian dan rambutnya karena tidak ingin bersentuhan dengan tanah, ia menyerupai orang yang sombong.” (Fathul Bari, 2/383) Hikmah yang lain, kata ulama, adalah karena semestinya rambut ikut sujud ketika orang yang shalat itu sujud, sehingga harus dibiarkan terurai, jangan ditahan jatuhnya ke tanah. Karena itulah, Rasulullah n memisalkan orang yang menahan rambutnya seperti orang yang shalat dalam keadaan kedua tangannya terikat ke belakang pundaknya. (Al-Minhaj, 4/432) Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Dalam satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas c disebutkan: ‘Ia pernah melihat Abdullah ibnul Harits shalat dalam keadaan rambutnya dijalin dari belakang kepalanya4, maka Ibnu ‘Abbas c bangkit dan mulai melepaskan jalinan tersebut. Ketika Abdullah selesai dari shalatnya, ia menghadap ke Ibnu ‘Abbas c seraya berkata, ‘Apa yang anda lakukan dengan rambutku?’ Ibnu ‘Abbas c berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda: إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ “Hanyalah permisalan orang yang dipilin/diikat rambutnya itu seperti orang yang shalat dalam keadaan terikat kedua tangannya di belakang pundaknya5.” Al-Imam An-Nawawi t juga mengatakan, “Ulama sepakat tentang dilarangnya seseorang shalat dalam keadaan pakaiannya disingsingkan/diangkat, lengan bajunya disingsingkan atau semisalnya, rambutnya dipilin, atau rambutnya dimasukkan di bawah sorban6, atau selainnya. Semua ini terlarang dengan kesepakatan ulama, dan hukumnya karahah tanzih (makruh, tidak sampai haram). Bila seseorang shalat dalam keadaan demikian, maka sungguh ia telah berbuat jelek dalam shalatnya, namun shalatnya tetap sah. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath- Thabari t berargumen tentang hal ini dengan kesepakatan ulama. Ibnul Mundzir t menghikayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri t tentang keharusan mengulang shalat bila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Kemudian jumhur berpendapat larangan tersebut berlaku mutlak bagi orang yang shalat, baik ia sengaja melakukannya karena hendak mengerjakan shalat7 ataupun keadaannya memang demikian sebelum ia mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj, 4/430, 431, 432) Ibnul Atsir t berkata dalam An- Nihayah, “Makna hadits ini8 adalah bila seseorang membiarkan rambutnya terurai, niscaya rambut itu akan jatuh ke bumi/tanah ketika ia sujud, maka ia akan diberi pahala sujud dengan rambutnya tersebut. Namun bila rambut itu dipilin, jadilah maknanya rambut itu dibiarkan tidak ikut sujud dan Nabi n menyerupakannya dengan orang yang sujud dalam keadaan terikat kedua lengannya karena kedua lengan tersebut tidak menyentuh tanah di saat sujud.” Alasan dilarangnya perbuatan tersebut juga ditunjukkan dalam hadits Abu Rafi’ z, maula Rasulullah n. Abu Rafi’ pernah melewati Al-Hasan bin ‘Ali c yang sedang shalat dalam keadaan jalinan rambutnya ditekuk ke tengkuknya, maka Abu Rafi’ z melepaskannya (mengurainya). Al- Hasan z pun menoleh kepadanya dengan marah. Abu Rafi’ z berkata, “Menghadaplah ke shalatmu dan jangan marah karena aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda: ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ “Pilinan rambut itu adalah tempat duduknya setan.” (HR. Abu Dawud no. 646 dan At-Tirmidzi no. 384, dihasankan Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At-Tirmidzi) Al-Imam At-Tirmidzi t berkata, “Perkara ini diamalkan di sisi ahlul ilmi, yaitu mereka membenci seorang lelaki shalat dalam keadaan rambut kepalanya dipilin.” (Sunan At-Tirmidzi, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Kaffisy Sya’ra fish Shalah) Al-Imam Al-Baihaqi t mengatakan sebagaimana dinukil Al-Imam Al-Albani t dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi n, “Kami meriwayatkan kemakruhan hal tersebut dari Umar, Ali, Hudzaifah, dan Abdullah bin Mas’ud g.” (2/746) Al-Imam Ibnu Hazm t berkata, “Tidak halal seorang yang shalat menggabungkan pakaiannya atau mengumpulkan rambutnya dengan tujuan karena hendak shalat9 berdasarkan hadits Rasulullah n.” (Al- Muhalla 2/318) Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani t berkata, “Tampaknya hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak berlaku bagi wanita10, sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaukani t dari Al-’Iraqi t.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi n, 2/743) Al-’Iraqi t berkata, “Hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak bagi wanita. Karena rambut mereka (para wanita) adalah aurat, wajib ditutup di dalam shalat. Bila ia melepaskan ikatan rambutnya bisa jadi rambutnya tergerai dan sulit untuk menutupinya hingga membatalkan shalatnya. Dan juga, akan menyulitkannya bila harus melepaskan rambutnya tatkala hendak shalat. Nabi n sendiri telah memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk tidak melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi wajib, padahal (hal ini) sangat perlu untuk membasahi seluruh rambut mereka di saat mandi tersebut.” (Nailul Authar 2/440) Dalam hal ini kita jumpai dan saksikan, banyak kaum muslimin yang jatuh dalam perbuatan yang dilarang ini. Mereka biasa menggulung (melinting) lengan bajunya saat hendak berwudhu dan ketika hendak shalat lengan baju tersebut tidak diturunkan kembali, namun dibiarkan tetap tergulung. Semua itu mereka lakukan karena ketidaktahuan mereka tentang hukum agamanya. Wallahul musta’an. Larangan isytimal ash-shamma` Isytimal ash-shamma` adalah cara berpakaian/menutup tubuh dengan menyelimuti/menyelubungi seluruh tubuh termasuk tangan dengan satu kain, tanpa ada satu sisi dari kain tersebut yang terangkat sehingga tidak ada celah/lubang untuk mengeluarkan tangan (berarti tangan terbungkus di bawah/di dalam pakaian). (Al-Minhaj 14/302, Fathul Bari 1/618) Larangan isytimal ash-shamma` ini disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al- Khudri z berikut ini: عَنِ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ n نَهَى رَسُولُ اللهِ “Rasulullah n melarang dari isytimal ash-shamma`.” (HR. Al-Bukhari no. 367) Isytimal ash-shamma` ini dilarang karena menahan seseorang untuk melaksanakan perkara yang disyariatkan di dalam shalat secara sempurna. Bila ditakdirkan ada sesuatu yang menyergapnya ketika itu, ia tidak mungkin dapat bersegera menolaknya karena kedua tangannya terbungkus di dalam kain/pakaiannya11. Berpakaian dengan model isytimal ash-shamma` ini jelas menyelisihi firman Allah k: يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ “Wahai anak Adam kenakanlah zinah12 kalian setiap kali menuju masjid.” (Al- A’raf: 31) karena memakai zinah dengan model demikian mengandung kekurangan/ ketidaksempurnaan. (Asy-Syarhul Mumti’,1/460) Larangan isbal Isbal adalah memanjangkan kain/ celana hingga melampaui atau menutupi mata kaki. Seorang lelaki tidak boleh shalat dalam keadaan menyeret pakaiannya atau memanjangkan pakaian bawahnya karena sombong/mengangkat diri. Batasan panjang pakaian laki-laki memang hanya sampai di atas kedua mata kakinya, tidak boleh sama sekali turun dari batasan tersebut, baik pakaiannya itu berupa sirwal, sarung, jubah, atau yang lainnya. Beda halnya dengan wanita, bila keluar rumah/di depan laki-laki yang bukan mahramnya ia harus menutup tubuhnya sampai ke dua telapak kakinya13. (Al-Muhalla 2/391,392) Rasulullah n bersabda: لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ “Allah l pada hari kiamat nanti tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena berlaku sombong.” (HR.Al-Bukhari no. 5783 dan Muslim no. 5420) Dan telah datang larangan shalat dalam keadaan memanjangkan kain/ celana (musbilul izar) dan ancamannya secara khusus. Dari Abu Hurairah z, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang shalat dalam keadaan musbilul izar, maka Rasulullah n mengatakan padanya, “Pergilah dan berwudhulah!” Orang itu pun pergi berwudhu, lalu datang kembali. Rasulullah n mengatakan lagi, “Pergilah dan berwudhulah!” Maka ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa anda perintahkan dia untuk berwudhu?” Beliau pun tidak mengatakan apa-apa lagi, kemudian beliau bersabda: إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ، وإِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ “Sesungguhnya dia tadi shalat dalam keadaan memanjangkan kainnya dan sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang memanjangkan kainnya.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 638 dan 4086, dishahihkan oleh Asy- Syaikh Ahmad Syakir t dalam Tahqiq wa Ta’liq terhadap Al-Muhalla Ibnu Hazm t, 4/102) Ibnul Qayyim t mengatakan, “Sisi pendalilan hadits ini –wallahu a’lam– bahwasanya isbalul izar merupakan perbuatan maksiat, dan setiap orang yang melakukan maksiat diperintahkan untuk berwudhu serta shalat, karena wudhu akan memadamkan apa yang terbakar oleh maksiat.” (Tahdzibus Sunan, 6/50) Faedah Ibnul ‘Arabi t berkata sebagaimana dinukilkan secara ringkas oleh Al-Hafizh t dalam Fathul Bari (10/325), “Tidak boleh seseorang mmelebihkan pakaiannya dari mata kakinya lantas berkata, ‘Aku memanjangkannya bukan karena sombong.’ Karena larangan yang ada di dalam hadits terkadang mencakupnya secara lafadz. Dan tidak boleh bagi orang yang tercakup dalam lafadz secara hukum untuk mengatakan, ‘Aku tidak menjalankan larangan yang ada dalam hadits tersebut karena alasan/sebab yang dinyatakan dalam hadits tidak ada padaku’, karena semua ini merupakan pengakuan yang tidak bisa diterima. Bahkan dengan ia sengaja memanjangkan bagian bawah pakaiannya menunjukkan sifat takaburnya.” Al-Hafizh t berkata setelahnya, “Kesimpulannya, isbal melazimkan menyeret pakaian. Sementara menyeret pakaian melazimkan sifat sombong, walaupun pemakainya tidak bertujuan untuk berlaku sombong. Yang menguatkan hal ini adalah adits yang diriwayatkan secara marfu’ oleh Ahmad bin Mani’ dari jalan lain dari Ibnu ‘Umar c: إِياَّكَ وَجَرَّ الْإِزَارِ فَإِنَّ جَرَّ الْإِزَارِ مِنَ الْمَخِيْلَةِ “Hati-hati engkau dari menyeret kainmu, karena menyeret kain termasuk kesombongan.” Larangan dan dibencinya sadl dalam shalat Abu Hurairah z berkata: عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَة n نَهَى رَسُولُ اللهِ “Rasulullah n melarang dari sadl di dalam shalat.”14 (HR. At-Tirmidzi no. 378, Abu Dawud, dll, dihasankan Asy- Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi, Shahih Abi Dawud, Al- Misykat no. 764) A l – I m a m A s y – S y a u k a n i berkata: Abu ‘Ubaid dalam Gharib-nya menyatakan, “Sadl adalah seseorang menjulurkan (membiarkan terjuntai) pakaiannya (isbal) tanpa menggabungkan dua sisinya di hadapannya, karena bila ia menggabungkannya tidaklah dikatakan sadl.” Penulis An-Nihayah berkata, “Sadl adalah seseorang berselimut dengan pakaiannya dan memasukkan kedua tangannya dari dalam, lalu ia ruku’ dan sujud dalam keadaan demikian.” Makna ini dikenakan juga pada gamis dan pakaian lainnya. Pengertian lain dari sadl adalah seseorang meletakkan bagian tengah izarnya di atas kepalanya serta menjulurkan/melepaskan dua ujungnya ke kanan dan kirinya tanpa meletakkannya pada dua pundaknya. A l – J a u h a r i t b e r k a t a , “Seseorang mensadl pakaiannya yakni menjulurkannya.” Al-Khaththabi t menjelaskan, “Sadl adalah menjulurkan pakaian hingga mengenai bumi/tanah.” Dengan pengertian ini berarti sadl dan isbal sama. Al-‘Iraqi t berkata, “Dimungkinkan yang dimaukan dengan sadl adalah sadl rambut. Di antaranya disebutkan dari hadits Ibnu ‘Abbas c: ‘Sesungguhnya Nabi n mensadl jambul rambutnya15.’ Dalam hadits Aisyah x disebutkan, ‘Ia mensadl cadarnya dalam keadaan muhrim/berihram16’, yakni menjulurkannya. (Sehingga dari beberapa pengertian di atas, pent.) tidak mengapa membawa hadits larangan melakukan sadl kepada seluruh makna tersebut apabila makna sadl memang musytarik (berserikat) di antara makna itu, dan membawa yang musytarik kepada seluruh maknanya merupakan mazhab yang kuat. Dan sungguh telah diriwayatkan bahwa sadl ini merupakan perbuatan Yahudi. Al-Khallal dalam Al-‘Ilal dan Abu ‘Ubaid dalam Al- Gharib meriwayatkan dari Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb, dari bapaknya, dari Ali bin Abi Thalib z, bahwasanya Ali keluar dan melihat orang-orang shalat dalam keadaan men-sadl pakaian mereka. Ali pun berkata, “Seakan-akan mereka itu orang Yahudi yang keluar dari quhr mereka.” Kata Abu Ubaid, “Quhr adalah tempat belajar mereka yang mereka biasa berkumpul di situ.” Penulis Al-Ilmam berkata, “Quhr adalah tempat belajar mereka yang mereka biasa berkumpul di situ.” Di dalam Al- Qamus dan An-Nihayah disebutkan dengan fuhr bukan quhr. (Nailul Authar 2/10) Namun pengertian sadl sendiri yang dikenal di kalangan ahli fiqih (fuqaha) adalah memakai pakaian/kain di atas dua pundak, kedua ujungnya dibiarkan terjuntai, tidak dikembalikan ke atas dua pundak. Akan tetapi bila model pakaiannya memang dipakai dengan cara seperti itu, maka tidak apa-apa seperti qaba` (mantel atau semacam pakaian luar). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan apabila qaba` diletakkan di atas dua pundak tanpa memasukkan dua lengannya bukanlah termasuk sadl, dengan kesepakatan para ulama. Ini tidak termasuk sadl yang dibenci, dan pakaian ini bukanlah pakaian Yahudi. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/459, Ghidza`ul Albab 2/156) Al-Imam Asy-Syaukani t berkata “Hadits di atas menunjukkan diharamkannya sadl di dalam shalat, karena di sini maknanya larangan yang hakiki. Ibnu ‘Umar c, Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Asy-Syafi’i rahimahumullah membencinya di dalam ataupun di luar shalat. Al-Imam Ahmad t mengatakan bahwa dibencinya hanya dalam shalat. Jabir bin Abdillah z, ‘Atha`, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, dan Az-Zuhri rahimahumullah, semuanya mengatakan tidak apa-apa melakukan sadl. Diriwayatkan hal ini dari Al-Imam Malik t. Namun sebagaimana yang anda pahami, apabila hadits yang mengharamkannya itu shahih maka tidak ada yang dapat menyimpangkan dari keharaman ini, karena tidak adanya dalil yang dapat memalingkan dari keharaman tersebut.” (Nailul Authar 2/10) Larangan menutup mulut, hidung, dan wajah Termasuk yang dilarang adalah meletakkan kain di atas mulut dan hidung, karena Nabi n: نَهَى أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ “Nabi n melarang seseorang menutup mulutnya.”17 (HR. Abu Dawud no. 643, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud) Al-Khaththabi t mengatakan, “Termasuk kebiasaan orang Arab adalah menutup mulut mereka dengan sorban. Oleh karena itu, mereka dilarang melakukan perbuatan ini di dalam shalat. Kecuali ketika menguap, ia harus menutup mulutnya karena adanya hadits yang menyebutkan tentang hal ini.” (‘Aunul Ma’bud, kitab Ash-Shalah, bab As-Sadl fish Shalah) Dibenci bila seseorang menutup wajahnya di dalam shalat karena penutup wajah tersebut akan menjadi penghalang wajahnya ketika sujud. Dikecualikan dalam hal ini adalah kaum wanita bila di sekitarnya ada laki-laki yang bukan mahramnya, maka ia harus menutup wajahnya walaupun saat mengerjakan shalat. Demikian pula apabila dibutuhkan karena satu sebab, maka perkara yang dimakruhkan ini boleh dilakukan sepanjang ada kebutuhan. Seperti bersin hingga ia terpaksa menutup wajahnya, seseorang menguap di dalam shalatnya maka ia boleh menutup mulutnya untuk menahan kuapan tersebut, atau di sekitarnya tercium aroma busuk yang akan mengganggunya dalam shalat sehingga ia butuh penutup hidung, juga bila ia sedang menderita selesma (flu), maka ia boleh meletakkan kain di daerah hidungnya untuk menahan ingus yang keluar. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/460) Shalat memakai pantalon Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani t berkata, “Pada pakaian/celana pantalon ada dua musibah: Musibah pertama: Orang yang memakai pakaian/celana ini telah menyerupai orang kafir, karena kaum muslimin dulunya memakai sirwal yang lapang dan longgar, di mana celana sirwal ini masih terus dipakai di Suriah dan Lebanon. Kaum muslimin tidak mengenal celana pantalon kecuali setelah mereka dijajah oleh orang-orang kafir. Kemudian ketika para penjajah ini telah pergi, mereka meninggalkan pengaruhnya yang buruk, yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin karena kebodohan mereka. Musibah kedua: Celana pantalon ini bila dikenakan akan membentuk aurat, sementara aurat laki-laki antara lutut dan pusar. Orang yang sedang shalat wajib baginya untuk menjauhi perbuatan maksiat kepada Allah l, karena ia hendak bersujud kepada-Nya. Lalu bagaimana jadinya bila ia sujud dalam keadaan kedua belah pantatnya membentuk di balik pantalonnya. Bahkan engkau lihat kemaluannya juga membentuk!!! Bagaimana orang yang seperti ini shalat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin? Yang aneh, kebanyakan pemuda muslim mengingkari pakaian ketat yang dikenakan wanita karena memperlihatkan bentuk tubuh mereka, namun melupakan dirinya sendiri. Karena ia justru terjatuh dalam perbuatan yang ia ingkari. Tidak ada perbedaan antara wanita yang memakai pakaian ketat hingga menampakkan lekuk tubuhnya dengan pria yang mengenakan pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat laki-laki dan perempuan sama-sama aurat.” (Dinukil dari ta’liq kitab Al-Qaulul Mubin fi Aktha`il Mushallin, hal. 22-23) Adapun bila pantalon itu lebar, tidak ketat, dan tidak tipis sehingga menerawang auratnya terhadap orang yang di belakangnya maka sah shalat dengan memakainya. Dan yang afdhal bila di atas pantalon itu dipakai gamis/jubah (baju panjang) yang menutupi antara pusar sampai lutut dan panjangnya sampai setengah betis atau sampai di atas mata kaki, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menutup aurat. Namun apabila menerawang karena tipisnya sehingga menampakkan auratnya terhadap orang yang di belakangnya, maka batal shalatnya. Dan apabila hanya membentuk kemaluannya saja, maka dibenci shalatnya, terkecuali bila dia tidak mendapatkan pakaian yang lainnya. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Asy-Syaikh Ibnu Baz t 10/414 dan jawaban Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` nomor 2003) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah. asysyariah
Posted on: Tue, 13 Aug 2013 09:10:24 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015