CENDEKIAWAN BUDDHIS MANCANEGARA BICARA AGAMA BUDDHA DAN ILMU - TopicsExpress



          

CENDEKIAWAN BUDDHIS MANCANEGARA BICARA AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN Editor : Dr. Buddhadasa P. Kirthisinghe, Alih Bahasa : Drs. R. Sugiarto, Cetakan Kedua, 1995, Penerbit : Badan Penerbit Buddhis Aryasuryacandra, Jakarta PENGANTAR AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN Oleh : Editor Apabila kita mempelajari secara teliti mengenai sejarah peradaban Dunia Barat, yang dimulai dari Zaman Yunani, kita akan memperoleh kesan oleh fakta bahwa di peradaban Dunia Barat itu terdapat banyak peperangan dan konflik-konflik yang tragis di dalam mana ribuan manusia menjadi korban, tetapi kita juga mendapat kesan bahwa banyak dari peperangan itu yang dilakukan tidak hanya melulu karena alasan-alasan ekonomis saja. Walaupun hanya sedikit jumlahnya, ternyata penyebab-penyebab timbulnya perang itu, ada yang penyebabnya karena konflik-konflik opini, yang berhubungan dengan masalah-masalah : sifat, asal dan tujuan, dari kehidupan manusia dan alam. Sekali lagi, walaupun jumlahnya tidak banyak, memang ada dari opini-opini tersebut, yang sumbernya terdapat didalam Agama. Di Dunia Barat, Agama pernah mendominasi kekuatan politik. Pada abad keempat Masehi, kekuatan ideologi yang dominan di Dunia Barat, adalah Agama. Pada zaman itu, ajaran Agama dipercayai dan diterima sebagai kenyataan oleh rakyat. Karena semua dogma dari Agama yang mendominasi Dunia Barat pada abad keempat Masehi itu, didasarkan oleh kepercayaan yang terdapat didalam Wahyu (= Revelation), dan Wahyu itu dicantumkan pada Kitab Suci, maka Kitab Suci dipandang sebagai berisi kenyataan-kenyataan yang mutlak. Siapa pun yang pada waktu itu berani menentang kebenaran dari ajaran-ajaran yang terdapat didalam Kitab Suci, diterangkan sebagai akan mengalami kesukaran, baik selama kehidupannya di dunia ini, maupun dalam kehidupannya kelak di alam akhirat. Demikianlah, menjadi jelas kiranya, bahwa basis yang paling pokok dari Agama yang mendominasi Dunia Barat pada abad keempat Masehi, yang pula dinyatakan sebagai menjadi basisnya peradaban Dunia Barat itu, adalah suatu kepercayaan yang berdasarkan Sabda Tuhan, yang diterima melalui Wahyu; itu berarti bahwa menurut pandangan Agama tersebut, kepercayaan kepada Tuhan itu harus menjadi persyaratan penting didalam semua kepercayaan, apa pun corak kepercayaannya itu. Ilmu Pengetahuan (= Science) itu, mempunyai dasar presupposisi-presupposisi (= pra-anggapan pra-anggapan) yang lain sifatnya dengan yang terdapat didalam Agama-Agama (kecuali Agama Buddha, yang methodenya untuk mencari Kasunyataan, segaris dengan methode yang dipergunakan oleh Science, atau Ilmu Pengetahuan!). Ilmu Pengetahuan itu mempunyai kegiatan-kegiatan : meng-observasi, men-deskripsi, membentuk kenyataan-kenyataan berdasarkan demonstrasi-demonstrasi (= eksperimen-eksperimen) hasil penglihatan mata jasmaniah kita, dan di-verifikasi oleh eksperimen finalnya, yang setiap orang dapat melakukannya, tanpa didasarkan kepada kepercayaannya, dan tanpa perlu memikirkan hakikat atau akibat-akibat dari hasil penyelidikannya itu (karena yang meninjau masalah itu, bukan ilmuwan, tetapi para ahli ilmu filsafat). Kepercayaan itu tidak memperoleh tempat sama sekali didalam Ilmu Pengetahuan, hanya applikasi yang jujur dari methode objektif dan ketaatan untuk mengikuti hasil-hasilnya saja, yang memperoleh tempat. Dengan demikian, jelas kiranya, bahwa Ilmu Pengetahuan itu merupakan usaha-usaha manusia yang sangat berbeda sifatnya dengan Agama, seperti misalnya yang dikemukakan oleh kebanyakan Agama, dasarnya adalah kepatuhan dan kepercayaan, dan yang sifat kepercayaannya, jenisnya khusus, seperti dimaksudkan dimuka tadi. Penganut sesuatu Agama, karena dogmanya menyebutkan yang benar adalah Agamanya sendiri, kadang-kadang terungkapkan kalimat bahwa kepercayaan pada Agama-agama lainnya, itu dinyatakan sebagai salah. Masih ada lagi perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama, yaitu bahwa ilmuwan didalam mengusahakan pengembangan Ilmu Pengetahuan itu tidak merasa takut jika berbuat sesuatu kesalahan, sedang sebagai insan hamba Tuhan, takut tidak mengakui dogma-dogma yang diterangkan oleh Agama untuk dipercayai, karena diterangkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dari ajaran Agama itu, mendatangkan kesukaran, baik didalam kehidupannya di dunia ini, maupun didalam kehidupannya kelak di alam akhirat. Sebagai seorang ilmuwan, saya merasa berbahagia bahwa sekarang ini, di lingkungan para penganut Agama yang berkembang pesat di Dunia Barat pada abad ke-empat Masehi, nampak telah banyak yang tidak lagi terikat kepada dogma-dogma yang dikemukakan oleh Agamanya, sewaktu dia sedang mengusahakan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu dia tidak mau menyalahkan begitu saja pendapat-pendapat dari orang-orang lain, yang berbeda dengan pendapatnya sendiri. Pada zaman sekarang telah banyak orang-orang dari berbagai lingkungan Agama, yang sifatnya tidak kaku dan memiliki toleransi yang besar. Kalau kita pelajari sejarah kehidupan peradaban Dunia Barat abad-abad yang lampau, dapat kita ketahui bahwa pada masa-masa yang lampau itu, telah ada perjuangan yang sangat gigih dari para pelopor ilmuwan, yang mempertahankan sikap dasarnya sebagai ilmuwan, didalam usahanya untuk menemukan sifat-sifat yang sebenarnya dari dunia dan manusia, dengan dasar penyelidikan dengan akal dan eksperimen, tidak dengan jalan berkonsultasi dengan naskah-naskah suci kuno, yang berisi kumpulan pengetahuan yang didapat oleh para Nabi dan para mystikus, yang basisnya adalah intuisi-intuisi dan Wahyu-Wahyu. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di Dunia Barat, di bidang Ilmu Pengetahuan dan Technologi, diperolehnya, bukan karena telah mematuhi kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat supernatural, tetapi sebagian besar dengan menolaknya atau tidak mengacuhkannya. Semua hal akan berjalan dengan lancar, apabila dogma-dogma dari Agama itu, memuat didalamnya hal-hal yang sama dengan realitas yang diselidiki oleh Ilmuwan untuk dicapainya. Tetapi, jelas bukan demikian keadaannya. Karena tidak ada satu pun, dari konsep-konsep, yang sifatnya supernatural, sebagai misalnya konsep-konsep mengenai : Tuhan yang bersifat Pribadi (= Personal God), keajaiban-keajaiban, jatuhnya manusia (dikeluarkan manusia dari Alam Surga), dan Penyelamatan untuk dapat hidup kembali di Alam Surga, yang kebenarannya dapat dibuktikan secara objektif, dengan mempergunakan akal. Ketika Lembaga Agama tidak dapat mempertahankan keterangan-keterangannya yang tidak didukung oleh demonstrasi-demontrasi ilmiah dan tidak dapat bertahan terus mengenai sikapnya yang tidak senang atas adanya pemikiran-pemikiran yang berdasarkan pemikiran yang biasa dan pengalaman-pengalaman praktis, maka lalu Lembaga Agama tersebut menjadi tidak lagi kaku pandangannya, dan tidak lagi mau mengecap atau bertindak keras terhadap para ilmuwan, yang dengan gagah berani mempertahankan tafsirannya terhadap realitas. Para ilmuwan tidak lagi dapat dihukum, dengan dakwaan telah berbuat kesalahan, karena alasan-alasan yang dikemukakan dan demonstrasi tidak lagi disangkal, dan hak hidupnya tidak dapat dilenyapkan, terutama karena sejak diketemukan penemuan-penemuannya, hal itu membawa masyarakat ke perbaikan-perbaikan atas kondisi-kondisi kehidupan manusia di bidang ekonomi dan sosial. Tidaklah kita ragukan bahwa telah banyak kemajuan dicapai di Negara-Negara di Dunia Barat, disetiap usaha bidang kehidupan lingkungan physik. Kemajuan akan makin pesat, dan tanpa adanya perasaan yang tidak enak di lingkungan Agama, apabila Agama tidak mencampuri interpretasi ilmiah mengenai realitas, dan tidak mendasari tafsirannya tentang dunia yang didasarkan pada spekulasi didalam alam supernatural, dan apabila tidak menafsirkan isi dari Kitab Sucinya secara aksaranya, yang dikatakannya bahwa itu berdasarkan Wahyu dari Tuhan misalnya, keterangan bahwa bumi itu berkeadaan tetap, tidak bergerak, dan matahari bergerak mengelilinginya; yang ternyata keterangannya itu salah, berdasarkan hasil penyelidikan ilmiah oleh para ilmuwan; yang juga menerangkan bahwa tidak ada hukum sebab-akibat, yang sifatnya universal; atau bahwa evolusi itu dikatakan sebagai tidak benar; dan menerangkan bahwa konsep yang paling benar adalah bahwa ada penciptaan secara khusus atas makhluk-makhluk (tidak berdasarkan evolusi) oleh Tuhan. Pada masa-masa yang lampau, itu pernah hampir setiap kesempatan, nampak adanya pertentangan antara Agamawan dengan para ilmuwan, dan banyak dari kaum Agamawan yang mengecap bahwa Ilmu Pengetahuan itu sifatnya tidak religious dan bersifat materialistic. Di masa-masa yang lampau itu sering terjadi kaum Agamawan kurang menghargai, atau memblokkade nilai-nilai dan kemajuan-kemajuan kehidupan Ilmu Pengetahuan yang ingin mengembangkan dirinya untuk dapat menyumbangkan penemuan-penemuan barunya. Kondisi-kondisi yang dihadapi oleh para ilmuwan, di masa-masa yang lampau itu situasinya adalah : jika ada keberanian dari fihak ilmuwan dalam mengemukakan kurang tepatnya yang dikatakan didalam Kitab Suci, Kaum Agamawan selalu mengatakan bahwa dia akan memperoleh hukumannya di alam akhirat; diterangkan bahwa jika demikian sikap para ilmuwan, Tuhan tidak akan memperkenankan mereka hidup bahagia di alam Surga. Optimesme di fihak para ilmuwan, sering dicela oleh kaum Agamawan, dan celaan yang menimbulkan pessimisme itu, disertai anjuran agar para ilmuwan menyatakan merasa berdosa atas sikapnya tidak membenarkan sebagian keterangan yang terdapat didalam Kitab Suci, dan agar mereka mau merendahkan diri, tunduk terhadap kehendak Tuhan, sesuai dengan tafsiran para authoritas dari Lembaga-Lembaga Keagamaan. Berhadapan dengan keadaan yang disebutkan dimuka tadi, dapatlah diterangkan bahwa umat Buddha tidak pernah dihambat didalam fikirannya dan aksi-aksinya oleh sesuatu dogma atau Wahyu yang bersifat supernatural. Umat Buddha memandang ke atas, kepada Sang Buddha, seorang Pribadi Besar yang telah bangun Kesadaran Nirvananya, atau yang telah memperoleh Penerangan Agung Yang Sempurna, yang telah mampu melihat penderitaan Dunia, yang berisi kondisi-kondisi yang parah, yang atas dasar mana, manusia hidup, mengalami sakit, berkeadaan miskin, terkena beberapa macam penderitaan, dan dapat mengalami kematian itu. Sang Buddha telah berniat untuk mengubah agar manusia menjadi bahagia, berniat untuk menolong manusia, agar terhindar dari mengalami rasa sakit, dan penderitaan, didalam kehidupannya. Sang Buddha berniat untuk menunjukkan Jalan menuju ke pencapaian Nirvana, atau Kebahagiaan Yang Abadi. Demikianlah yang dilakukan oleh Sang Buddha; beliau tidak meminta agar orang mempercayai seorang Deva, makhluk yang bersifat supernatural, atau juga bahkan tidak menyuruh mempercayai diri beliau, walaupun beliau telah hampir mencapai Kesempurnaan tingkatan tertinggi. Apabila orang dalam keadaan akan tenggelam di sebuah telaga, dia tidak perlu bertanya atau menyelidiki berapa dalamnya telaga itu, telaga itu temasuk jenis telaga apa, dan sebagainya. Sama seperti itu, bagi orang yang terluka terkena anak panah yang ber-racun, dia tidak perlu bertanya atau menyelidiki tentang macam apa anak panah yang melukai tubuhnya itu, apa jenis busur yang melontarkan anak panah itu, dari jarak berapa meter memanahnya, atau mengenai keterangan lain-lainnya lagi, didalam usaha untuk menangani permasalahannya yang harus segera dia atasi itu. Yang paling penting baginya, adalah bagaimana cara mengatasi masalah yang sifatnya sangat urnget itu. Segala sesuatu mengenai keterangan-keterangan yang tidak penting itu sifatnya sampingan, dan berada diluar titik pusat yang harus dia perhatikan, yang memerlukan tindakan yang segera. Sama seperti itu, adalah bukan merupakan sesuatu yang letaknya di titik pusat perhatian, tentang apa yang menjadi isi kepercayaan seseorang, sehubungan dengan konsepsi-nya mengenai masalah Ketuhanan, juga misalnya mengenai masalah telaga itu ciptaan Tuhan atau tercipta oleh perubahan-perubalan dari Alam, kapan diciptanya Bumi itu, apakah Alam itu sifatnya abadi atau tidak, apakah alam itu berkeadaan memiliki batas, atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan sejenis itu, para Filsuf-lah, para Brahmana yang diceriterakan didalam naskah-naskah suci Hindu, dan orang-orang lainnya, yang tertarik perhatiannya kepada masalah-masalah metaphysica-lah yang berusaha untuk mendapatkan jawaban-jawabannya. Problema-problema yang demikian itu, bukan tidak ada gunanya untuk difikirkan, tetapi apabila orang ingin dapat segera membebaskan dirinya dari penderitaan, maka pemikiran atau spekulasi-spekulasi metaphysis dan theologis yang demikian itu, kurang ada manfaatnya untuk diberi perhatian yang berkelebihan. Sang Buddha tidak mencela spekulasi-spekulasi yang demikian itu, misalnya mengenai berapa umur alam semesta ini, bagaimana sifat-sifat penciptaan itu, dan sebagainya. Itu sama keadaannya, dengan misalnya, seorang ilmuwan yang tertarik untuk mempelajari informasi-informasi mengenai geologi, dia tidak perlu memperhatikan yang dikatakan oleh sarjana physiologi tentang badan manusia dan organ-organnya. Apabila dia membutuhkan pengetahuan yang demikian itu, dia cukup meminta pertolongan kepada dokter; tetapi lain halnya jika dia mempelajari strata-strate geologis. Sama seperti itu, orang yang ingin mencari kebahagiaan, ketenangan fikiran, dan ketentraman hati, hendaklah dia mau mempelajari dan mempraktekkan ajaran-ajaran Sang Buddha, yang dapat menolong untuk mencapai yang dia inginkan itu. Dia dapat saja merupakan seorang filsuf dan seorang theoloog, atau seorang ahli logika dan memiliki pengetahuan yang banyak mengenai problema-problema metaphysika. Tetapi didalam hal ini, dia tidak harus mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang demikian itu. Hal itu tidak akan menjadikan dia seorang atheist; juga bukan menjadikan dia seorang yang puas atas faham materialisme. Demikianlah, dapat kita ketahui bahwa Sang Buddha itu tidak mempermasalahkan apakah seseorang, atau semua orang, itu mempercayai, mematuhi, atau mempelajari berbagai jenis ilmu pengetahuan. Yang menjadi tujuan Sang Buddha, ialah untuk menjadikan puasnya orang, karena memperoleh pemenuhan secara segera, yaitu dapat bebas dari kesedihan dan penderitaan. Seorang dokter yang sedang menghadapi pasien yang terluka, pertama-tama, tidak akan menanyakan apakah dia biasa pergi bersembahyang di sesuatu rumah peribadatan, atau tidak. Dia adalah seorang dokter, dan tugasnya adalah menyembuhkan penyakit seseorang. Demikian pula halnya dengan Sang Buddha, yang menjadi Dokter Jiwa dan Raga; beliau bertugas dengan memakai cara-cara ilmiah, yaitu yang beliau lakukan, yang pertama-tama, adalah mengadakan analisa terhadap penyakit yang diderita pasiennya. Dengan mempergunakan methode ilmiah, Sang Buddha telah membuktikan bahwa diri beliau adalah memang seorang ilmuwan. Oleh karena itu, hanya dari pemikiran yang demikian ini saja, adalah sia-sia kalau ada orang yang menanyakan apakah Sang Buddha, para pengikut beliau, atau pernyataan-pernyataan beliau, dapat dianggap sebagai bersifat tidak ilmiah, ataukah bersifat berbahaya terhadap ilmu pengetahuan. Beliau dan para pengikut beliau, dan seluruh prosedur yang dipergunakan oleh umat Buddha, itu bersesuaian dengan, dan berdasarkan semangat, ilmiah. Oleh karena itu, tidaklah perlu dipermasalahkan, apakah Agama Buddha, atau umat Buddha, itu berselisih faham dengan orang-orang yang menerima prinsip-prinsip ilmiah, atau yang dapat menemukan penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Sang Buddha dan umat Buddha menyambut dengan senang hati adanya setiap penemuan ilmiah, dan menyambut, dengan gembira setiap applikasi yang baru dari prinsip-prinsip ilmiah, karena itu semua tidak akan pernah bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mereka gunakan. Walaupun demikian, setiap orang itu adalah selektif didalam pengalamannya. Didalam hal yang demikian itu, setiap orang, yang menjadi pencari obat bagi penyakitnya, dapat menyeleksi berbagai jalan dan sarana, untuk meringankan kondisinya, dan tidak perlu memperhatikan jalan yang lain, yang tidak dia tempuh. Demikianlah yang terjadi, sehingga Sang Buddha, didalam menolong mengatasi kesengsaraan dan penderitaan serta kesusahan didalam kehidupan manusia, menyeleksi sarana-sarana ethis yang ada. Tetapi bahkan disini pun, assumsi-assumsi ilmu pengetahuan, nampak kesamaannya dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha. Karena Sang Buddha mendasari segala sesuatu atas dasar hubungan-hubungan sebab-dan-akibat, dan sering menunjukkan hubungan-hubungan yang sangat halus, yang kita, karena bersifat tergesa-gesa dan kurang sabar, cenderung kurang memperhatikannya, atau menganggap itu tidak penting, tetapi yang para ahli ilmu jiwa, dan para ahli psychoanalisa, khususnya, mengenalnya. Ilmu pengetahuan itu bekerjanya didasari secara meyakinkan oleh suatu analisa, yaitu: suatu penyelidikan secara teliti terhadap setiap phenomenon (= gejala), dan mengkaji setiap bagiannya, serta berusaha untuk menemukan bagaimana timbulnya gejala itu. Hal yang demikian ini, tepat sama dengan yang dilakukan oleh Sang Buddha. Assumsi bahwa terdapat rasa sakit, kesusahan dan kesengsaraan, dan assumsi bahwa segala sesuatu, tidak memandang apa yang sedang kita bicarakan itu, memiliki persebaban, adalah merupakan dua assumsi (dari beberapa assumsi lainnya) yang telah dibuat oleh Sang Buddha. Yang satu berdasarkan observasi dan introspeksi, serta generalisasi dari pengalaman manusia; yang lainnya adalah menjadi darah dan daging ilmu pengetahuan, tanpa memandang apakah yang dilakukan oleh para ilmuwan itu berlangsung di Dunia Timur atau di Dunia Barat. Karena sama-sama menghayati atau mendasari dirinya dengan dasar pokok yang sama, yaitu sikap ilmiah, maka tentu saja Sang Buddha, – dan umat Buddha-, tidak akan pernah bertengkar dengan yang dihasilkan orang dengan methode-methode ilmiah. Bagaimana mungkinnya, kalau dikatakan bahwa Agama Buddha itu menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Bagaimana mungkin, jika dikatakan bahwa Agama Buddha itu menyumbat kegiatan para ilmuwan, karena sama-sama mempergunakan methode ilmiah!?! Bagaimana mungkin, kalau dikatakan bahwa Agama Buddha itu melemparkan pendapat yang bersifat anathema terhadap ilmu pengetahuan!?! Bagaimana mungkinnya, kalau dikatakan bahwa Agama Buddha itu memerintahkan para ilmuwan yang sedang mengadakan eksperimen-eksperimen, dan berkata : Sekarang, kembalilah kalian ke kepatuhan dan kepercayaan, yang telah dicatat sebagai yang harus diikuti, dipatuhi, oleh para non-ilmuwan di masa-masa yang lampau!?! Dapatlah kita ber-assumsi dengan aman, bahwa Agama Buddha itu tidak pernah melakukan sesuatu pertengkaran dengan ilmu pengetahuan, atau dengan para ilmuwan; Agama Buddha membiarkan mereka, para ilmuwan, melakukan penyelidikan-penyelidikan ilmiahnya untuk mendapatkan penemuan-penemuan; dan Agama Buddha tidak menghukum mereka, atau mengatakan bahwa itu tidak benar, karena alasan dasar kerja mereka, tidak berkesesuaian dengan tradisi-tradisi tertentu. Tidak hanya hal yang demikian itu sangat tidak masuk akal bagi umat Buddha, yang bimbingan Agamanya berisi moral untuk tidak berbuat kekerasan, tetapi karena menganggap adalah nonsense perbuatan menghambat kerjanya para ilmuwan itu, karena umat Buddha tidak pernah menentang methode-methode ilmiah. Adapun faktanya adalah didalam sejarah Agama Buddha, tidak pernah ada sesuatu persengketaan dengan para ilmuwan, dan tidak pernah ada peperangan yang disebabkan karena perbedaan pandangan dengan ilmu pengetahuan, pun tidak pernah ada kegiatan membekukan kerjanya para ilmuwan, seperti yang pernah terjadi di Dunia Barat, dengan alasan bahwa kaum moralist dan kaum theoloog Dunia Barat berpendapat bahwa yang dilakukan oleh para ilmuwan itu menyimpang, tidak untuk kebaikan kemanusiaan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya netral; adalah fikiran dan disposisi manusia-lah yang harus dibimbing untuk menuruti garis-garis ethika, dan bahwa secara tepat dapat kita katakan, itulah yang menjadi fungsi dari ajaran-ajaran Agama Buddha. Apakah pernah ada perselisihan pendapat antara Agama yang ada di Dunia Barat dengan ilmu pengetahuan? Ya, hal yang demikian itu pernah terjadi di Dunia Barat. Apakah pernah terjadi perselisihan pendapat antara Agama Buddha dengan ilmu pengetahuan?. Tidak pernah terjadi. Tidak hanya bahwa Agama Buddha itu tidak pernah terlibat perselisihan pendapat dengan Agama-Agama lain, tetapi bahkan Agama Buddha itu sendiri tidak pernah berselisih faham dengan para Pencari Kasunyataan yang tekun. Agama Buddha tidak pernah menentang atau menghalang-halangi penyelidikan para Pencari Kasunyataan, tetapi malahan mendorongnya agar mereka bersemangat melakukan pencarian Kasunyataan itu. Pertanyaan yang memiliki nilai, atau yang berbobot, dan tentu saja boleh dikemukakan, adalah pertanyaan yang berbunyi sebagai berikut ini : “Mengapa tidak banyak muncul penemuan-penemuan ilmiah sejak Agama Buddha berkembang di Dunia Timur, selama berabad-abad?. Jawabannya sederhana saja. Memang sekarang ini, lebih pesat perkembangan ilmu pengetahuan dan lebih banyak penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan technologi, dari pada abad-abad yang lampau, sejauh kita ketahui. Daftar penemuan-penemuan ilmiah memang panjang, tetapi sebenarnya kita umumnya belum mempelajari peradaban Timur dari sudut tertentu, dan kita beranggapan bahwa hanya peradaban Dunia Barat saja yang superior. Tetapi lebih bermakna lagi, adalah kenyataan bahwa Agama Buddha itu banyak menaruh perhatian kepada masalah ketenteraman jiwa atau fikiran, dan cinta-kasih, yaitu yang terdapat dalam ajaran metta; belas-kasihan kepada makhluk yang sedang menderita, yang terdapat dalam ajaran karuna; dan pernyataan sympathi, ikut gembira, atas kegembiraan dan kebahagiaan, yang dialami orang-orang lain, yang terdapat dalam ajaran mudita; dari pada memperhatikan hal-hal kecil, yang tidak dapat memberikan sumbangannya dalam mengurangi kesusahan dan penderitaan makhluk-makhluk di dunia ini; dan Agama Buddha memanglah memberikan perhatiannya sebesar-besarnya untuk membuat agar makhluk-makhluk di dunia ini, menjadi makin berbahagia dalam kehidupannya. Coba kita fikirkan mengenai tepat tidaknya yang diperbuat oleh Negara-Negara dewasa ini, yang telah memperkembangkan ilmu pengetahuan militer dan technologi kemiliteran, sedang kita masih dihadapkan dengan masalah-masalah sosial yang keadaannya masih sangat menyedihkan. Kita ini, misalnya, semua ingin agar Bumi kita bersuasanakan Surga, tetapi kita masih diliputi oleh rasa ketakutan, karena jiwa kita masih terisi oleh fikiran-fikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah peperangan. Didalam hal lain, umat Buddha, walaupun belum dapat memperkembangkan ketrampilan technologi untuk membuat agar orang didalam kehidupannya merasa puas, tanpa harus kerja keras, namun sejauh tertentu telah dapat mengenyam kehidupan yang bahagia dan merasa telah memperoleh berkah keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Masalah usaha keras untuk hidup dan masalah perang tidak mengisi jiwa mereka. Umat Buddha tetap menjaga agar jiwa, fikiran, dan hatinya berkeadaan tenteram, dan berusaha untuk mencegah adanya peperangan di Dunia ini. Tentu saja, ada pendapat yang mengatakan, bahwa melalui krisis-krisis intelektual dan emosional-lah, Dunia Barat itu dalam membentuk peradabannya, yang dengan melampaui perselisihan-perselisihan antara ilmu pengetahuan dan Agama, akhirnya dapat membawa orang ke pencapaian kemegahannya, berkeadaan makin dewasa, melalui menghayati kesedihan-kesedihan, dan usaha-usaha untuk menyelamatkan dirinya. Tetapi, benarkah demikian keadaan yang sebenarnya!?! Apakah Dunia Barat itu benar-benar telah dapat mencapai keagungan spiritualnya!?! Banyaklah pertanyaan-pertanyaan yang dapat kita lontarkan tentang Dunia Barat itu. Tetapi, walaupun apa yang dikatakan itu mungkin benar, namun Agama Buddha tidak pernah memberikan sumbangannya kepada Dunia, dengan disertai terdapatnya kesengsaraan-kesengsaraan; dan usahanya itu selalu meringankan penderitaan, bahkan tanpa dengan mengorbankan hal-hal yang bersifat spiritualitias. Agama di Dunia Barat itu selalu terwarnai oleh sikap authoritarian, jika tidak dapat kita katakan dictatorial; demikian juga di Dunia Barat itu ilmu pengetahuannya tercemari oleh sikap yang demikian itu. Oleh karena itu. tentu saja, keduanya lalu mengalami persengketaan. Agama Buddha tidak pernah menghirup udara authoritarian, dan menghindari untuk tidak terlibat persengketaan dengan ilmu pengetahuan. Tidak hanya demikian keadaannya, bahkan Agama Buddha itu tidak mengenal perbedaan antara methode untuk mencari kasunyataan yang terdapat didalam Agama Buddha, dengan methode yang dipergunakan oleh ilmu pengetahuan, dengan keadaan yang demikian itu, dapat terhindari persaingan, yang sifatnya nonsense. Tidak ada alasannya, jika orang bertanya : apakah di dunia modern ini, sifat-sifat Buddhisme yang demikian itu, dapat dipertahankan. Bahkan terdapat kemungkinan bahwa Agama Buddha itu dapat tetap memberikan sumbangannya kepada kehidupan modern dan kepada masyarakat, secara penuh arti, dengan jalan memberikan basis ethis untuk perkembangan industri dan technologi; apa yang dapat diperbuat oleh Agama Buddha yang demikian itu, mungkin Agama di Dunia Barat belum dapat melakukannya, sebab mereka masih memegang teguh kecurigaannya, terhadap tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, yang dicurigai bersifat materialistic itu. Dengan jalan mengadakan kompromi-kompromi. Agama di Dunia Barat tidak yakin terhadap dirinya sendiri, merasa tidak dapat berdiri dengan teguh, dalam memegang prinsip-prinsipnya. Belakangan ini, mereka telah menerima banyak pertanyaan, yang begitu keras sifatnya, oleh orang-orang awam dan juga dari orang-orang dari Lembaga-Lembaga Keagamaan. Ajaran Ethisnya Agama Buddha yang tersusun dengan teratur dan mantap, jelas telah dapat memberikan kemanfaatan-kemanfaatan yang besar, karena memiliki sifat analitis yang tinggi, yaitu bahwa didalam semangat illmiah modern, tidak mengalami kemunduran, karena tetap didampingi oleh kepatuhan dan kepercayaan terhadap Agama.
Posted on: Mon, 01 Jul 2013 07:43:43 +0000

Trending Topics



>
D INTERNATIONAL COMMUNITY SHOULD STOP WATCHING D EGYPTIAN MILITARY
Cant wait for the days when I dont feel guilty for catching up on

Recently Viewed Topics




© 2015