Cewek!!! esti kinasih Bab 25 Di depan base camp, yang - TopicsExpress



          

Cewek!!! esti kinasih Bab 25 Di depan base camp, yang merupakan garis start imanjiner, satu tanjakan terjal langsung menyambut!Meskipun Iwan telah memberikan gambaran yang sangat rinci mengenai kontur medan yang akan ditempuh nanti, saat melihatnya kontur tak urung Langen dan Fani terperangah. Tapi sedetik kemudian mereka buru-buru menghilangkan ekspresi itu. Tanjakn terjal itu membentuk sudut nyaris empat puluh lima derajat, seakan berteriak mengejek ke arah kedua cewek itu. Kalah! Kalah! Kalah! Langen bahkan berhalusinasi melihat tulisan di punggung terjalnya! Ahli mematahkan tulang! Membuat para pendaki amatir pulang dalam keadaan cacat! Siap? tanya Rei, langsung ke panglima perang lawan. Langen seketika menjawab dengan sikap seolah-olah dia dan Fani sudah berjamur karena terlalu lama menunggu perang dimulai. Menurut lo, apa tujuan gue sampe ke sini? Jawaban Langen itu langsung membuat Rei menatap Bima dengan kedua alis terangkat tinggi-tinggi. Oke, kalo gitu. Jalan! perintahnya dengan nada sedikit geram. Olahraga berminggu-minggu dengan porsi menyamai atlet nasional yang akan diberangkatkan ke Olimpiade, salah satunya adalah untuk momen ini. Tiga puluh menit harus dilalui Langen dan Fani___menapaki tanjakan terjal dengan carrier bervolume seperti yang seharusnya dalam pendakian___dengan kondisi tanpa bantuan. Kondisi tambahan, separuh tenaga telah terbuang dalam aksi kebut-kebutan yang nyaris menjemput ajal. Begitu kelima orang itu bergerak, Iwan dan Theo, yang terus mengawasi tajam-tajam dari satu tempat tersembunyi di ketinggian, juga langsung bergerak. Mereka kembali ke tempat Febi dan ketiha kawan mereka yang lain, yang saat ini sedang menunggu di titik tempat mereka akan bertemu Langen dan Fani untuk memberikan bantuan pertama. Tiga puluh menit dari sekarang. Mereka udah jalan! kata Iwan begitu sampai.Rizal dan Febi langsung bersiap-siap. Sesuai dengan rencana yang telah disusun, Febi memang akan selalu di posisi paling depan. Diberangkatkan lebih dulu. Iwan tidak ingin Febi ada saat dia sedang direpotkan dengan dua cewek yang lain. Selain tambah merepotkan, juga akan menghambat kalau mendadak mereka harus bergerak cepat. Alasan lain, Febi memang akan dimunculkan di akhir acara, setelah Langen dan Fani menyelesaikan (dengan harapan berhasil menang) perang terbuka ini. Doorprize spesial untuk cowoknya, Rangga. Iwan dan ketiha temannya menunggu tegang. Sebentar-sebentar melirik jam dipergelangan tangan. Sementara itu di tempat lain, di antara tiga anggota Maranon berbadab besar, yang menapaki setiap jengkal dengan begitu gampang, Langen dan Fani berjuang keras. Kedua tangan dan kaki mereka berkoordinasi untuk menopang badan. Di tempat-tempat tanpa ada dahan atau batang pohon yang bisa digapai, menjadi tugas kedua kaki untuk menahan badan plus carrier yang menempel di punggung. Wajib militer yang diterapkan Iwan benar-benar berguna. Tanjakan itu berhasil diselesaikan Langen dan Fani dengan mudah dan sesuai target waktu ketiga lawan. Tapi Rei cs sama sekali tidak terkesan, karena ini baru permulaan. Cadangan tenaga masih full tersimpan.Boleh juga, komentar Rei pendek. Kedua cewek di depannya merenspons dengan sikap seolah-olah pujian itu tidak berarti sama sekali. Sementara Bima cuma menatap keduanya tanpa bicara.Setelah mengistirahatkan tubuh di jalan datar sepanjang kurang-lebih 150 meter, tanjakan kedua menyambut. Lebih terjal dan lebih tinggi. Kali ini mulai terasa berat. Otot-otot di seluruh tubuh terutama kaki, tangan, dan bahu, mulai terasa seperti ditarik paksa. Setiap langkah membuat carrier di punggung terasa bertambah berat satu kilogram. Kepala juga mulai terasa seperti ditusuki jarum yang terus bertambah satu di setiap langkah. Mati-matian Langen dan Fani menutupi kenyataan bahwa setiap bagian dari tubuh mereka mulai berteriak agar perjalanan itu dihentikan. Keduanya saling melindungi. Saat Fani tidak sanggup lagi menahan kelelahan dan ekspresi itu terlihat jelas di mukanya, dengan gaya seperti sedang bercanda, Langen buru-buru menempelkan selembar saputangan basah di muka sahabatnya sebelum ketiga lawan melihatnya.Thanks, bisik Fani. Ditekannya saputangan itu kuat-kuat ke mukanya. Seketika rasa dingin yang segar mengalir dan memberinya tambahan tenaga. Tak lama ganti Fani melindungi Langen. Sebuah batu kecil yang tak sengaja terinjak, membuat tubuh Langen kontan jadi limbung. Secepat kilat Fani menangkap dan menutupinya dari pandangan ketiga lawan. Tapi karena tubuhnya sendiri juga mulai kehabisan tenaga, Fani ikut limbung. Kedua terhuyung bersamaan, dan di detik-detik berbahaya itu Fani menjerit ide yang mendadak melintas di kepalanya. Aaaa! Awas, La! Ada ulet bulu di tangan lo! Dengan gaya jijik, cewek itu mengambil ulat bulu fiktif di tangan Langen dengan selembar daun, lalu melemparnya jauh-jauh. Setelah itu, Langen tanpa kentara menggoreskan tangannya ke permukaan kasar sebatang pohon. Gue nggak ngeliat ada ulet bulu! ucap Rei tajam. Sambil membantu Langen berdiri, Fani memasang ekspresi seolah-olah dia sangat jengkel. Ulet bulu itu kecil. Nggak gede kayak ulet naga! Jadi wajar aja kalo nggak keliatan. Udah gitu warnanya ijo pula. Kalo nggak percaya, cari aja. Tuh! Tadi gue lempar ke situ! tunjuknya dengan dagu, ke arah semak-semak.Rei saling pandang dengan kedua sobatnya. Gue juga nggak ngeliat! kata Bima. Fani berdecak dan memelototinya. Jelas aja lo nggak ngeliat. Langen kan ditempelin ulet bulu. Bukan monyet bulu! Lo mana langsung ngenalin sih, kalo bukan sodara lo sendiri! ejeknya. Bima jadi tercengang sementara tawa Rangga meledak. Ati-ati ya, Sayang? ancam Bima. Fani mencibirkan bibir, pura-pura tidak takut. Liat tangan lo, perintah Rei. Langen sudah menduga itu akan terjadi. Karena itu terpaksa tadi dia goreskan tangannya ke permukaan sebatang pohon untuk menciptakan efek habis terkena ulat bulu, meskipun sama sekali tidak cocok. Diulurkannya tangannya. Rei mengamati luka goresan itu. Betadine, Ga. Nggak usah! tolak Langen serta-merta dan menarik tangannya dari genggaman Rei. Kalo cuma Betadine doang sih, kami juga punya! Betul! Faani langsung merogoh salah satu kantong celana gunungnya. Nih! Sebelum Fani sempat menyadari, Rei telah menyambar botol Betadine itu bersamaan dengan tangan kirinya yang meraih tangan Langen yang terluka. Tidak dilepaskannya genggamannya walapun Langen memberontak. Hanya dalam waktu sepuluh detik, Rei membersihkan luka Langen lalu membubuhkan Betadine di atasnya. Kemudian dia kembalikan botol itu ke Fani.Kalo elo yang ngobatin, kita bisa brenti di sini satu jam. Diketuk-ketuknya dahi Fani. Otak lo transparan! Bima dan Rangga kontan ketawa geli. Rei menatap kedua cewek itu lalu berkata tegas, Sekarang jalan. Cepet! Langen dan Fani saling lirik diam-diam. Kok bisa ketauan sih? Pendakian dilanjutkan. Untungnya tanjakan terjal itu telah terlewati tiga perempatnya. Tinggal sedikit lagi. Jadi pas dengan tenaga yang juga cuma bisa dikumpulkan sedikit, dalam usaha pencurian waktu istirahat yang gagal tadi. Akhirnya tanjakan terjal itu terlampaui. Tapi tentu saja Rei cs tidak terkesan sama sekali. Nggak ada istirahat! tandas Rei. Gue rasa akan ada ulet bulu lagi di depan! Rangga ketawa pelan. Sementara Bima menyeringai dan mengedipkan satu matanya ke arah kedua lawannya. Kedua cewek itu kontan menjerit dalam hati. Mampus deh!Tiba-tiba sepasang mata Langen menangkap secarik kain merah kumal terikat di salah satu ranting pohon. Agar tak mengundang kecurigaan, Iwan memang telah mengganti pita merah dengan sobekan kain merah yang agak-agak kumal, supaya terkesan seperti tersangkut di ranting dan bukan diikat. Langen memberikan isyarat pada Fani. Cewek itu lalu melirik kain itu tanpa kentara dan segera mengerti. Saat ini Iwan cs berada di sekitar sini. Boleh kami permisi sebentar? tanya Langen. Buat apa? sambar Rei seketika. Mother nature is calling! Sesaat Rei bertukar pandang dengan kedua sahabatnya. Kemudian ditatapnya Langen dan Fani dengan senyum kecil. Lo berdua nggak bisa cari siasat lain? Yang nggak terlalu gampang dibaca. Ini beneran! seru Langen pura-pura jengkel. Gue kebelet pipis, tau! Kedua alis Rei terangkat. Oke, katanya akhirnya. Tapi inget, lo udah minta izin memenuhi panggilan alam. Jadi nggak ada lagi adegan kena ulet bulu. Jelas? Langen melotot kesal dan langsung balik badan. Fani mengikuti. Diiringi tatapan dan senyum geli ketiga lawan mereka, kedua cewek itu bergegas pergi. Jangan lama-lama! seru Rei. Langen dan Fani tidak memedulikan teriakan itu. Setelah ketiga cowok itu tidak kelihatan lagi, keduanya langsung celingukan mencari-cari. Memanggil-manggil Iwan dengan suara pelan sambil menyusuri jalan setapak. Melewati tikungan ketiga, Iwan menyambut kedatangan keduanya dengan melompat keluar dari balik semak, disusul ketiga temannya. Seketika Langen dan Fani menarik napas lega. Gimana? Iwan bertanya cemas.Karena bukan lagi di depan musuh, kedua cewek itu langsung melepaskan kepura-puraan. Keduanya menurunkan carrier masing-masing, lalu menjatuhkan diri ke tanah sambil mengeluh .Lo jauh banget sih jemputnya? keluh Langen. Iwan melirik jam tangannya. Tiga puluh menit perjalanan kan gue bilang? Ini belom ada dua lima menit malah. cowok itu mengerutkan kening melihat kondisi Langen dan Fani. Ini cuma sebanding sama tiga kali sore ke Gelora. Masa udah drop gini? Bukan itu masalahnya. Langen menceritakan peristiwa Bima memaksanya bermain dengan maut, yang nyaris dimenangkan oleh sang maut. Keempat cowok itu kontan terperangah. Iwan lalu berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah, di depan Langen dan Fani yang duduk meluruskan kaki di tengah jalan setapak. Satu bersandar lemas di kaki Theo, satunya di badan Yudhi. Bener!? desis Iwan geram. Dua kepala di depannya mengangguk lemah. Kedua rahang Iwan kontan mengeras. Bener-bener bajingan tuh orang! Batalin aja ini, La! Jangan! tolak Langen seketika.Dia udah keluar bates. Cowok model begitu mesti dihajar! Iya, bener! Theo mengangguk. Juga Yudhi dan Evan. Berarti kita kalah dong? ucap Langen pelan. Iwan menghela napas. Agak jengkel. Emangnya memang penting banget, ya? Ya jelas penting lah..... Gila aja. Udah latihan fisik ngalahin tentara gitu. Sekarang disuruh batalin. Kalo waktu kebut-kebutan tadi lo mati, gimana? Menang masih penting? Kata Bima, dia ngajak gitu soalnya dia liat gue hobi kebut-kebutan. Dulu juga waktu SMA lo suka ngajakin gue trek-trekan. Gara-gara lo malah, gue jadi hobi ngebut. Oh, jadi elo ya Suhu-nya? tanya Theo, dengan tuduhan yang langsung berpindah dari Bima ke Iwan. Ck! Iwan mati kutu. Ya udah. Ayo, buruan kosongin carrier! mereka menyingkir dari jalan setapak. Iwan cs lalu membongkar carrier Langen dan Fani dengan cepat. Dua menit, pembongkaran selesai. Seluruh peralatan telah ditukar dengan gumpalan kertas koran yang terbungkus tas plastik hitam. Hanya disisakan sedikit ransum makanan dan beberapa potong pakaian. Satu-satunya perlengkapan berat yang mau tidak mau harus tetap dibawa oleh kedua cewek itu adalah air. Iwan tidak berani mengurangi karena dia yakin, Rei cs akan membiarkan kedua cewek ini lemas kehausan, kalau itu bisa membuat mereka keluar sebagai pemenang.Langen dan Fani mengenakan kembali carrier masing-masing, lalu berjalan mondar-mandir. Gimana? Masih berat? tanya Yudhi. Nggak. Enteng banget malah! jawab Langen sambil meringis gembira. Tapi jangan sampai lupa pura-pura itu masih berat. Oke, sip! Nggak bakalan! Diacungkannya kedua ibu jari. Mendadak saja Rei cs muncul di ujung jalan. Iwan cs serentak menunduk rendah-rendah di balik sebuah batu. Mereka melemparkan isyarat good luck, lalu dengan tubuh membungkuk lari ke dalam kelebatan hutan. Langen dan Fani berusaha secepatnya menghilangkan ketegangan di wajah mereka. Kenapa nggak balik? tanya Rei begitu sampai di hadapan kedua lawannya. Kedua matanya menatap Langen tajam-tajam, seperti merasakan sesuatu telah terjadi. Sementara itu Bima dan Rangga menatap ke sekeliling. Ngapain, lagi? jawab Langen malas. Nyape-nyapein aja. Naik, turun, terus naik lagi. Kalo nggak mau balik, bilang aja! Sori deh. Memenuhi panggilan alam sekalian nyolong-nyolong waktu buat istirahat, ya? tanya Bima. Sikap lunaknya mulai menghilang. Ditatapnya Fani. Iya, Sayang? yang ditanya langsung membuang muka sambil cemberut. Ngomong terus terang aja kalo butuh istirahat, Rangga ikut nimbrung. Kami sadar kok kalian cewek. Jadi ada dispensasi. ah, diem lo! sergah Fani. Yuk, La. Lanjut! Tunjukin ke mereka kalo kita nggak nyolong istirahat! Perang gender untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat itu dilanjutkan. Langen dan Fani melangkah dengan gagah bak tentara. Tubuh tegak sempurna dan dagu terangkat tinggi-tinggi. Jelas aja, orang berat carrier telah berkurang hampir tiga perempatnya. Tapi itu hanya bertahan lima belas menit. Jalan yang terus menanjak, langkah yang konstan tanpa istirahat, dan lawan-lawan yang sebenarnya sama sekali bukan tandingan, mulai membuat mereka kembali keteteran. Keduanya berusaha keras agar tenaga yang sudah terkuras dan otot yang sudah lelah tidak sampai membuat tubuh mereka melambai-lambai. Iwan cs telah memperhitungkan kemungkinan itu, dan menyiapkan pertolongan untuk membantu. Langen dan Fani menemukan secarik kain merah kumal lagi. Terikat di satu ranting pohon yang agak tersembunyi. Isyarat bahwa mereka harus menghentikan perjalanan ini lalu memisahkan diri, karena kira-kira tiga ratus meter dari sini ada sebuah jalan pintas tersembunyi. Di sanalah Iwan cs menunggu untuk memperpendek jarak, mencuri waktu istirahat, dan menghemat energi. Itu satu-satunya jalan potong kompas. Mepetnya waktu dan sulitnya medan membuat Iwan cs hanya bisa membuka satu jalur. Pertimbangan lain, dua kali adalah jumlah maksimal Langen dan Fani bisa melepaskn diri dari ketiga lawan. Benar-benar idiot Rei cs itu, kalau mau melepaskan untuk yang ketiga kali. Jadi pertemuan nanti adalah pertemuan Iwan cs yang terakhir kali dengan Langen dan Fani. Setelah itu, Iwan dan teman-temannya hanya bisa membantu dari jarak jauh. Tapi masalah utama yang membuat Iwan menekankan berkali-kali kepada kedua cewek itu agar harus bisa memisahkan diri! adalah karena, setelah ini, jalan setapak terjal yang menanjak ini akan sampai di sebuah tempat. Dan kontur tempat itu merupakan salah satu penyebab jalur pendakian ini mendapatkan julukan seram. Untuk bisa melewati tempat tersebut, Langen dan Fani tubuh istirahat. Tanpa itu, bisa dipastikan keduanya akan tewas! Sambil terus menapaki jalan setapak terjal yang terus mendaki, Langen dan Fani berpikir keras, mencari cara untuk melepaskan diri dari Rei cs. Segerumpul semak yang melintangkan satu rantingya seenaknya ke tengah jalan mendadak memberikan Langen sebuah gagasan. Diam-diam ditahannya ranting itu. Begitu target korbannya___siapa pun dia___telah berada di tempat yang tepat, langsung dia lepaskan ranting itu. Sedetik kemudian...... AAKH!!! Sang ranting menunaikan tugasnya dengan gemilang. Disabetnya muka Rangga tanpa ampun. Cowok itu terhuyung dengan kedua tangan menutupi muka rapat-tapat. Seketika Bima melompat ke belakangnya, menahan tubuh Rangga agar tidak jatuh. Langen! Kalo ada apa-apa di depan, bilang dong! bentak Rei. Langen langsung menampilkan ekspresi andalannya, tampang anak kucing tak berdosa. Sori deh. Abisnya gue kirain dia ngeliat juga. Rei mendengus lalu balik badan. Mendekati Bima yang sedang berusaha melepaskan kedua tangan Rangga yang masih menutupi muka. Coba liat, Ga. Nanti dulu! Nanti dulu! Rangga menepiskan tangan Bima. Sambil mendesah menahan sakit, pelan-pelan dia lepaskan kedua tangannya. Semuanya menahan napas karena tegang. Termasuk sang pelaku. Sebelah kanan muka Rangga benar-benar merah. Mata kanannya menutup rapat-rapat. Bima lalu memeriksanya dengan teliti. Rei memerhatikan di sebelahnya. Melihat itu, Langen jadi cemas dan berdoa tanpa sadar, semoga perbuatannya tadi tidak benar-benar mencelakakan. Nggak ada luka, kata Bima. Semuanya menarik napas lega. Gila, sakit banget! desah Rangga. Ya jelaslah. Istirahat dulu deh. Sekalian masak. Gue mulai laper, ucap Rei sambil memandang berkeliling, mencari tempat datar. Bersama Bima, dibentangkannya dua lembar ponco lalu dikeluarkannya peralatan masak dari dalam carrier. Tiba-tiba Bima menoleh dan mengatakan sesuatu yang membuat tubuh Langen dan Fani seketika menegang. Logistik lo berdua dulu yang dimasak. Biar berkurang bebannya. Gawat! Langen panik memikirkan jawaban, tapi Fani dengan santai bilang, Alasan aja lo, bilang biar beban kami berkurang. Kami tuh udah tau maksud lo yang sebenarnya. Pasti supaya kami ntar nggak punya persediaan makanan lagi. Dan karena kami nggak mungkin bisa maksa kalian gantian ngasih logistik yang kalian punya, kami terus jadi kelaperan. Dan akhirnya jadi kalah! Betul! Betul! tandas Langen langsung. Betul, Fan! Gue juga udah ngira, pasti gitu niat mereka. Bikin kita kelaperan! Bima ternganga. Nggak apa-apa kalo nggak boleh. Tapi jangan bikin tuduhan yang kelewatan! katanya tajam. Kemudian diraihnya carriernya sendiri. Sementara Rei dan Bima memasak, Rangga tidur-tiduran sambil menetesi matanya dengan obat tetes. Langen dan Fani berpikir keras mencari cara untuk melarikan diri. Cara itu berhasil ditemukan tepat saat dua piring mi daging cincang diletakkan Bima di hadapan mereka. Keduanya berusaha keras menahan diri untuk tidak melahap makanan menggiurkan itu. Aroma daging cincang berbumbu mengepul pekat dan tanpa henti, membuat seluruh saraf lapar jadi berdemontrasi gila-gilaan. Keduanya diam-diam saling lirik di saat ketiga cowok di depan mereka mulai menikmati isi piring masing-masing, sambil membicarakan seseorang yang sepertinya salah satu dosen mereka. Langen mengangguk samar. Serentak dia dan Fani meletakkan piring masing-masing yang cuma berkurang tak lebih dari dua sendok, lalu berdiri. Minya nggak enak! kata Langen dengan tampang malas. Kali dipaksain dimakan, pasti bikin sakit perut! Seketika Rei cs berhenti ngobrol dan mengunyah. Tiga pasang mata kini menatap Langen lurus-lurus. Bilang apa tadi? tanya Bima tajam. Mi masakan lo nggak enak! ulang Langen nekat. Pasti ntar bikin diare! Jadi sori aja.... disambarnya carriernya, yang langsung diikuti Fani, dan menaruhnya di punggung dengan cepat. Kami cabut duluan, oke? Met makan! Bye! Keduanya segera balik badan dan pergi tanpa menunggu jawaban. HEI!!! Rei dan Bima berteriak bersamaan. FANI!? FANIII!!! teriak Bima menggelegar.Tapi teriakan Bima tidak diacuhkan. Kedua cewek itu tetap meneruskan langkah dan akhirnya hilang ditelan rimbunnya pepohonan. Rei, Bima, dan Rangga terperangah. Sesaat ketiganya hanya bisa terdiam. Bima yang pertama tersadar. Cepet beresin! desisnya geram. Pasti ada apa-apa di depan! Masing-masing cowok itu lalu menyuapkan dua sendok munjung mi sekaligus. Sisa di piring terpaksa dibuang. Sambil mengunyah, mereka berkemas dengan cepat. Peralatan makan dan masak dimasukkan ke kantong terpal masing-masing, meskipun masih dalam keadaan panas dan kotor, lalu didesakkan ke dalam carrier. Mi instan, minuman-minuman sachet, dan semua logistik yang berserakan di salah satu sisi ponco, dimasukkan ke satu kantong plastik lain berikut sampah-sampahnya. Plastik itu juga dijejalkan ke dalam carrier, menyusul ponco yang dilipat sekenanya. Setelah menyambar sepatu masing-masing dan memakainya dengan cepat, langsung mereka kejar kedua lawan mereka yang melarikan diri itu. *** Begitu kerimbunan pepohonan menghalangi mereka dari pandangan ketiga lawan, Langen dan Fani langsung mengganti langkah-langkah tenang mereka dengan langkah-langkah lintang-pukang. Sekuat tenaga mereka berusaha menyusuri jalan setapak yang terus mendaki itu, secepat kemampuan kedua kaki mereka yang sudah sangat lelah. Sesekali mereka menoleh kebelakang untuk memastikan apakah mereka langsung dikejar. Tapi perut yang melilit karena lapar dan semua anggota badan yang sudah kelelahan memperberat usaha pelarian itu. Beberapa kali mereka terpaksa berhenti. Iwan cs terus mengawasi jalan setapak di bawah mereka dari satu tempat tersembunyi. Begitu melihat bayang keduanya timbul-tenggelam di antara rapatnya pepohonan, mereka langsung bergerak. Dengan cepat mereka menerobos pepohonan rapat yang menutupi jalur potong kompas, tidak peduli ranting dan daun melecuti kulit mereka. Nggak usah ditunggu! seru Iwan saat melihat ketiga temannya akan berhenti di mulut jalan. Jemput aja mereka! Keempat tiba di saat Langen dan Fani hampir tak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Tubuh keduanya sudah melambai-lambai parah.Yudhi bergegas melompat dan menyambar Fani yang hampir ambruk ke tanah. Sementara Langen terhuyung meraih sebatang pohon, lalu menyandarkan tubuhnya di sana. Terengah-engah kehabisan napas. Gue.....nggak kuat lagi, Wan...., ucapnya putus-putus saat Iwan sampai di sebelahnya. Lepas carrier lo! Langen melepaskan carrier-nya. Iwan langsung melempar carrier itu ke Theo. Sementara carriernya Fani langsung diambil alih Evan. Kedua pejuang emansipasi penerus perjuangan dan cita-cita Ibu Kartini yang sangat mulia kemudian terpaksa dipapah meninggalkan tempat itu. Di jalur potong kompas, Langen dan Fani yang sudah kehabisan tenaga, tidak mampu lagi menapaki medan yang keterjalannya jauh lebih parah. Iwan dan Yudhi terpaksa menarik keduanya dari satu pijakan ke pijakan berikut, sementara Evan dan Theo berjaga-jaga di belakang masing-masing cewek. Sesampainya di atas, dijalan setapak, Iwan dan Theo yang ikut perkumpulan bela diri, mendapatkan sedikit pengetahuan tentang pijat refleksi. Mereka segera mempraktikkannya pada Langen dan Fani. Tidak lama ketegangan dan keletihan kedua cewek itu berkurang. Iwan mengeluarkan satu kantong plastik ransum makanan siap santap. Arem-arem. Lo berdua punya waktu...., diliriknya jam tangannya, tujuh menit. Jadi manfaatin bener-bener. Dua kepala di depannya mengangguk tanpa suara, soalnya perut sudah kelaparan parah dan mulut sibuk mengunyah dengan rakus. Iwan menatap keduanya dengan kedua rahang terkatup keras. Kemudian ditepuknya bahu Theo pelan. Kayaknya jaraknya harus dideketin, Yo. Kondisinya parah. Kayaknya! Theo mengangguk dan langsung berdiri. Yuk, Van! Evan menyusul berdiri. Diberikannya untuk Langen dan Fani masing-masing sebutir kapsul. Doping untuk mendongkrak stamina keduanya. Setelah itu bergegas disusulnya Theo. Dalam rencana yang telah disusun, sebenarnya Iwan cs hanya membantu di jalur potong kompas saja, dan langsung pergi begitu tugas mereka selesai. Tapi melihat kondisi Langen dan Fani, Iwan jadi tidak tega dan akhrinya bersama Yudhi memutuskan untuk menemani. Sementara Evan dan Theo terpaksa membuat beberapa pijakan lagi di tebing tegak lurus yang sebentar lagi akan dilalui. Dari arah bawah, samar terdengar suara-suara orang berlari. Iwan dan Yudhi segera berdiri. Bertahan, ya? Tinggal sebentar lagi! Iwan membungkukkan badan dan menepuk bahu Langen dan Fani. Kedua cewek itu mengangguk. Karena cemas, Iwan dan Yudhi terus berdiri menemani. Baru setelah suara-suara orang berlari itu semakin dekat, mereka beranjak. Mengucapkan selamat berjuang dan bergegas pergi.Rei cs muncul di ujung jalan dengan ekspresi berang.Ada apa ini? desis Rei begitu sampai di hadapan kedua lawannya yang sedang duduk santai dan asyik mengunyah. Nggak ada apa-apa, jawab Langen tenang. Kami udah bawa arem-arem. Banyak. Makanya tadi males diajak makan. Kenapa nggak bilang? Orang nggak ditanya. Rei menyambar plastik hitam di sebelah Langen lalu membolak-balik isinya. Tak lama diletakkannya kembali plastik itu, karena tidak satu pun dari kumpulan arem-arem di dalamnya bisa mengatakan padanya apa yang telah terjadi sebenarnya. Sementara itu Bima dan Rangga langsung memeriksa areal di sekitar mereka. Keduanya bahkan sampai jauh masuk ke hutan. Agar tidak tersesat, bisa kembali ke jalan setapak, keduanya menggunakan metode yang hampir sama seperti yang digunakan Iwan cs. Masing-masing mengeluarkan segulung pita kuning terang, lalu menariknya sambil berjalan hingga membentuk seperti police line. Tapi sampai di pita senti terakhir, keduanya tetap tidak menemukan sesuatu mencurigakan. Akhirnya mereka kembali ke jalan setapak, lalu menghampiri Rei yang masih berdiri di hadapan Langen dan Fani dan sedang menguliti kedua cewek itu dengan tatap tajam. Tapi tanpa hasil. Dua orang yang dipelototinya tetap mengunyah arem-arem dengan santai. Bima lalu berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah. Persis di depan Fani. Disambarnya sisa arem-arem di tangan Fani lalu dilemparnya jauh-jauh ke tengah hutan. Ada apa, sayang? desisnya tajam. Nggak ada..... Gue nggak tanya elo, La! di potongnya kalimat Langen tanpa menoleh. Nggak ada apa-apa, jawab Fani. Angkat mukanya kalo ngomong! Perlahan Fani mengangkat kepala dan sepasang mata elang Bima langsung menghunjam. Ada yang nggak beres? Hm desis Bima dengan kedua alis terangkat tinggi. Nggak ada! Fani menjawab tandas. Kalo nggak ada, kenapa nggak makan bareng kami? Kenapa harus jalan duluan? Jauh pula jaraknya. Nggak ada apa-apa! tandas Fani sekali lagi. Kami nggak mau makan bareng elo-elo. Itu aja. Nggak ada alasan lain! Bima jelas tidak percaya. Kedua mata hitamnya menikam semakin tajam. Tapi Fani menentang tatapan itu dengan berani, terhasut kalimat yang diucapkan Langen begitu Iwan dan Yudhi pergi tadi. Inget! Lo udah ditelanjangin! Lo harus lawan dia. Jangan sampe kalah dua kali! Bima bukannya tidak tahu dari mana Fani mendapatkan keberanian itu. Hanya saja, keberadaan Rei membuatnya tidak bisa menyentuh Langen untuk mematahkan penentangan Fani. Setelah beberapa saat tikaman matanya tidak berhasil melumpuhkan Fani, akhirnya Bima berdiri. Ditatapnya Rei dan Rangga bergantian. Meskipun tidak berhasil membuat lawan-lawan mereka buka mulut, ada satu kejanggalan yang tertangkap sangat jelas. Kedua cewek ini bisa melangkah dua kali lebih cepat saat.....tidak bersama-sama mereka! *** Kejanggalan yang tertangkap jelas itu menyebabkan bencana. Rei cs kemudian memutuskan untuk tidak lagi membiarkan lawan mereka sendirian. Untuk alasan apa pun. Tapi itu sudah diduga Iwan cs. Karena itu pertemuan mereka dengan Langen dan Fani tadi adalah pertemuan terakhir. Satu lagi yang juga telah mereka prediksikan tidak akan ada lagi istirahat. Dan prediksi mereka tepat! Tidak akan ada lagi sesi istirahat atau break yang akan diberikan Rei cs untuk kedua lawan mereka. Sama sekali. Yang ada hanya.....menyerah, dengan multiple choice. Direct speech atau bicara langsung Kami kalah atau Kami menyerah. Atau indirect speech alias pingsan! Tapi tentu saja Iwan cs tidak akan membiarkan itu terjadi. Selepas tebing tegak lurus nanti, akan mereka hentikan perang ini setiap sepuluh menit, untuk memberikan kesempatan sejenak beristirahat bagi kedua cewek itu. Dan apabila telah mencapai target waktu, akan mereka hentikan perang terbuka ini. Sayangnya, bencana terbesar justru tidak terprediksi. Untuk mengetahui bagaimana kedua lawan mereka bisa melangkah lebih cepat pada saat tidak bersama-sama mereka, Rei cs memutuskan untuk meningkatkan kecepatan! Dan itu langsung terjadi begitu Bima memerintahkan kedua lawannya untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan, dengan intonasi seperti memerintahkan tawanan untuk cepat keluar dari sel dan memulai kerja paksa. Bisa ditebak, kecepatan yang ditingkatkan itu kemudian menelan energi yang dikumpulkan Langen dan Fani saat istirahat. Iwan cs, yang sedang mengecek kembali pijakan-pijakan yang mereka buat di lintasan tegak lurus yang sebentar lagi akan dilalui, kaget saat mendengar suara-suara langkah kai. Jauh lebih cepat dari waktu yang mereka perhitungkan. Bergegas mereka merambati tebing yang dipenuhi pepohonan itu, dan hilang di atas. Beberapa detik kemudian Rei cs, yang masih dalam kondisi prima, dan kedua lawannya yang telah kehilangan separuh energi yang dikumpulkan saat istirahat tadi, tiba. Sekali lagi gambaran kasar di atas kertas dengan realita di depan mata adalah dua hal yang benar-benar berbeda. Langen dan Fani kontan ternganga lebar. Tapi mereka cemas juga ketiga Rei cs menangkap kepanikan mereka. Mulut Langen dan Fani segera terkatup kembali. Etape berikut terbentang di depan mata. Sebuah tebing tanah tegak lurus. Pepohonan rapat menutupi seluruh permukaannya. Untuk melewatinya hanya ada satu cara. Memanjat dari dahan ke dahan! Dan tebing itu begitu tinggi, hingga seperti menyentuh langit, melukiskan dengan baik dan amat tepat sebuah lagu kanak-kanak yang dulu sekali kerap dinyanyikan. Naik, naik, ke puncak gunung. Tinggi....tinggi sekali..... Tebing ini akan menjadi tempat pembantaian. Bukan hanya Iwan cs, Rei cs ternyata juga telah merancang agar perang terbuka ini berlangsung singkat. Di kalangan pendaki, jalur ini dikenal dengan sebutan Jalan Setan. Tingkat kesulitannya yang cukup tinggi membuat jalur ini lebih sering digunakan untuk latihan fisik. Dan bisa ditebak, jumlah pendaki cewek yang pernah melewati jalur ini bisa dihitung dengan jari. Siap? tanya Rei. Sikap dan intonasi suaranya seakan-akan dia baru saja mendapatkan konfirmasi bahwa kedua lawan dipastikan akan menyerah di lintasan tegak lurus ini. Langen dan Fani tidak bisa memberikan jawaban lain selain mengangkat dagu tinggi-tinggi, membusungkan dada, dan menampilkan ekspresi ready to fight till the last blood! Berdiri ki kiri-kanan Rei, Bima dan Rangga juga mengamati kedua lawan mereka. Kelelahan kedua cewek itu sebenarnya terlihat sangat nyata. Sayangnya yang mereka ingin lihat adalah.....kejatuhan yang nyata! Gue lupa! Rei berdecak. Ini perang. Jadi harusnya nggak perlu basa-basi, kalimatnya membuat kedua sobatnya di kiri-kan kontan ketawa pelan. So, ladies first or gentlemen first? sambung Rei dengan nada sopan. Kenapa? Lo takut diem-diem kami balik badan terus ngibrit pulang? tanya Langen langsung. Dia pura-pura tersinggung. Padahal yang sebenarnya, dia perlu waktu untuk mencari pijakan-pijakan yang telah dibuat Iwan cs di antara cabang dan ranting pohon. Yang tidak mungkin bisa dilakukan di bawah pandangan ketiga lawan. Oke. Gentlemen first! Rei menepuk bahu kedua sobatnya. Begiru ketiga cowok itu balik badan, kedua mata Langen dan Fani kontan jelajatan. Menggerayangi seluruh permukaan tebing. Berusaha secepatnya menemukan tanda-tanda yang ditinggalkan Iwan cs, yang benar-benar tersembunyi seperti dalam lukisan tiga dimensi. Akhirnya mereka temukan tanda-tanda itu. Cabang dan ranting-ranting pohon yang telah dibentuk sedemikian rupa untuk memudahkan pemanjatan. Keduanya sejenak menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kuat-kuat. Saatnya untuk menyusul ketiga lawan..Dan pembantaian langsung terjadi!Di tebing tegak lurus dan tinggi ini, Langen dan Fani bukan saja dipaksa untuk melihat bukti bahwa gunung adalah dunia cowok, dan bahwa cowok adalah makhluk superior, tapi juga bahwa teori evolusi Charles Darwin kemungkinan bisa diyakini kebenarannya. Dengan lincah, seakan tubuh mereka sangat ringan, Rei, Bima, dan Rangga berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Melompat-lompat dan berayun-ayun. Persis seperti yang dilakukan kera. Sementara Langen dan Fani, mengingat proses evolusi telah berjalan jutaan tahun lamanya, tidak lagi yakin dalam tubuh mereka masih tersisa DNA kera.Dan memang tidak ada. Meskipun Theo dan Evan sudah membuat pijakan-pijakan tambahan hingga jarak satu dengan yang lain berdekatan, ternyata tetap tidak membuat pemanjatan itu menjadi mudah. Langen dan Fani berpindah dari satu dahan ke dahan lain dengan susah payah, dengan gerakan nyaris selambat kukang. Akibatnya.....jarak mulai terentang.Dengan napas terengah dan sambil memeluk sebatang dahan kuat-kuat, Langen mendongak. Kontan dia terkesiap. Ketiga lawannya telah lenyap! Fan! Fan! Buruan, Fan! Fani, yang cuma satu setengah meter di bawahnya, menjawab dengan suara terpurus-putus. Bu.....ruan? Lo nggak liat.....? Sekarang kita..... Ada di mana....? Tapi mereka udah nggak keliatan! Fani mendongak lalu menatap ke segala arah. Wah, iya! Gawat, La! Makanya buruan! Keduanya berusaha bergerak lebih cepat. Tapi saat ini mereka sedang berada di ketinggian. Tanpa pengaman. Tenpa perlindungan. Dan itu membuat kedua kaki mereka tidak bisa dipaksa untuk tidak gemetar. Sebenarnya Rei cs tidak berada terlalu jauh, tapi mereka sengaja bersembunyi di balik rimbunnya daun-daun, agar bisa leluasa mengawasi kedua lawan. Ketiganya saling pandang setelah beberapa saat mengamati bagaimana Langen dan Fanu berpindah dari satu dahan ke dahan berikut dengan begitu lambat. Mereka juga memerhatikan, Langen dan Fani sebentar-sebentar melongok ke bawah lalu langsung memeluk cabang pohon terdekat kuat-kuat dan memejamkan mata rapat-rapat, tubuh mereka gemetar ketakutan setiap kali akan berpindah tempat.Sama sekali nukan karena mereka lupa pake kostum Catwoman! ucap Bima. Rei seketika menoleh dan menatapnya, sementara Rangga nyaris meledak ketawa. Dulu gue pernah janji mau ngasih lo bukti. Bima membalas tatapan Rei tepat di bola mata. Ini buktinya! Bener-bener jelas, kan? Rei berdecak, sedikit kesal. Bim, emang gue segoblok itu? Nggak usah pake bukti gue juga tau. Yang gue masih bingung, gimana cara mereka bisa sampe puncak lebih ceper dari kita, dan lewat mana! Ganti Bima berdecak. Itu namanya kalo bukan goblok? Lo kira gimana caranya orang naek gunung sampe ke puncak? Waktu itu kita sama sekali nggak denger ada suara helikopter. Kita juga sama sekali nggak ngeliat Superman lewat. Berarti tinggal satu kemungkinan.....dengan kaki! Kalo cuma pake kaki mereka sendiri, jelas nggak mungkin. Bima menggerakkan kepalanya ke bawah. Ke arah Langen dan Fani yang masih setengah mati merambati tebing. Jadi diperlukan banyak kaki. Sampe di sini lo pasti ngerti dan bisa mengalkulasi, kira-kira diperlukan berapa kaki tambahan untuk bisa mencapai puncak dalam waktu cuma empat jam! Ketika beberapa detik terlewat dan Rei masih juga tak bersuara, masih terus menatapnya tapi dengan mata yang tidak terfokus, Bima berdecak kesal. Perlu nama? tanyanya gemas. Gue sebutin jumlah kaki tambahannya pun percuma, lo pasti akan tanya siapa-siapa aja mereka. Siapa? tanya Rei langsung. Bima geleng-geleng kepala, sementara Rangga tertawa tanpa suara. Iwan, Evan, Yudhi, Rizal, Theo! Kedua mata Rei kontan melebar. Mereka bukannya.... Tepat! Bima menjentikkan jari. Di depan mata, Rei! Belom pernah gue ngerasa idiot parah kayak gini! Dan lewat mana mereka, menurut lo? Kalo yang ini, jujur gue juga nggak tau. Makanya..... Kalimat Bima terpental. Tiba-tiba cowok itu berdiri lalu bergerak menuruni tebing dengan cepat. Melompati dahan demi dahan dan menerjang lebatnya daun dan ranting tanpa memedulikan kulitnya yang terluka karena sabetannya. Beberapa detik kemudian Rei dan Rangga tahu penyebabnya. Fani terjatuh. Tergelincir dari dahan tempatnya berpijak. Sementara Langen membantu dengan tubuh tegang dan wajah pucat. Tak mampu menolong.Secepat kilat Bima menyambar Fani sebelum tubuh cewek itu menghantam salah satu dahan. Dia bisa merasakan tubuh yang dipeluknya gemetar ketakutan. Sayangnya saat ini bukan momen yang tepat untuk memberinya lebih banyak pelukan menenangkan. Karenanya, begitu menemukan sebatang dahan yang kokoh, segera dilepaskannya pelukannya. Tak ada satu kata pun yang keluar. Bima hanya menatap tanpa bicara, memastikan cewek di depannya tidak menderita luka serius. Hanya beberapa luka gores yang memang tidak mungkin dihindari. Kemudian ditinggalkannya Fani dan dihampirinya Langen yang sama pucatnya. Perhatiin temen satu tim! Jangan jalan sendiri-sendiri! desis Bima tajam. Sekarang dia tanggung jawab elo. Bukan gue! Sori, jawab Langen pelan, merasa bersalah. Bima masih menatapnya tajam selama beberapa saat, kemudian kembali ke tempat Rei dan Rangga. Nggak apa-apa dia? tanya Rei langsung. Nggak. Cuma shock. Nggak apa-apa lo tinggal begitu? Mau gimana lagi? Lagi perang begini. Bima kembalu ke dahan tempat dia duduk tadi, lalu mengawasi ke arah bawah dengan waspada. Kedua sobatnya mengikuti. Sementara itu Langen menyingkirkan segerumbul daun yang menghalangi pandangannya ke Fani. Fan, panggilnya dengan suara serak. Lo nggak apa-apa? Sambil mencengkeram kuat-kuat beberapa ranting sekaligus, Fani menggeleng tanpa bicara. Dia belum bisa membuka mulut. Lo bisa ke sini, kan? Gue nggak bisa.... Langen melirik ke atas. Iya. Gue tau. Fani mengangguk. Meskipun tubuhnya masih lemas, Fani nekat memaksakan diri meniti dahan menuju tempat Langen berdiri. Ini perang, jadi dia tidak bisa terlalu lama membiarkan dirinya dicekam ketakutan. Kenapa bukan Langen yang jalan? di atas, Bima menggeram marah melihat itu. Dia tidak tahu, Langen tidak mungkin meninggalkan jalur pemanjatan yang telah dibuat Iwan cs. Di mana-mana anak buah ngikutin jenderal. Bukan sebalinya, kata Rangga. Begitu Fani sampai di sebelahnya, Langen langsung memeluk dan minta maaf. Keduanya kemudian meneruskan pemanjatan. Di atas, Rei cs masih terus mengawasi dengan waspada. Dugaan sekaligus harapan mereka tercapai. Karena terlalu khawatir dengan kondisi Fani, Langen jadi lengah. Ganti dia yang terpeleset. Kedua tangannya refleks meraih sesuatu untuk dipegang. Sayangnya dahan yang terpegang tidak cukup kuat. Dahan itu patah dan ikut jatuh bersama sang pemegang. Fani berusaha menolong tapi nyaris membuatnya ikut jatuh juga. Rei langsung bertidak begitu apa yang akan menimpa Langen masih berupa gelagat. Dituruninya tebing dengan cepat. Tak peduli ranting-ranting liat dan permukaan kasar dahan-dahan pohon membuat kulitnya yang tidak terlindung pakaian tergores. Disambarnya tubuh Langen dan dibawanya ke satu dahan yang kokoh, tidak jauh dari Fani yang memandang pucat pasi. Tanpa bicara Rei menatap sang mantan dalam-dalam. Sepasang mata milik Rei menatap Langen dengan banyak ekspresi. Ada senyum tertahan di sana. Ada kangen yang terbaca jelas. Ada kecemasan yang sarat. Ada permintaan untuk berhati-hati. Namun sepasang mata itu juga memancarkan sinar yang memerintahkan Langen untuk mengaku terus terang! Tatapan itu baru terputus setelah kedatangan Bima dan Rangga. Rei lalu menggabungkan diri dengan kedua sahabatnya itu.Ada satu hal yang harus kami beri tau, ucap Rei, Karena ini perang, jadi seharusnya kami tidak perlu memberikan pertolongan. Tapi kalo gue sama Bima nggak turun tangan waktu lo berdua jatoh tadi, urusannya bisa sampe ke kepolisian. Jadi terpaksa harus dibuat perjanjian..... Rei berhenti sejenak, menikmati sorot waswas di mata kedua lawannya. Ada tiga kali kesempatan untuk kelepeset kayak tadi. Bukan tiga kali kesempatan untuk masing-masing, karena itu jumlahnya jadi enam. Tiga kali kesempatan untuk lo berdua! Dia hentikan lagi kalimatnya untuk menciptakan situasi dramatis dan mencekam. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mempercepat kekalahan lawan. Dan kalimat Rei itu diteruskan Bima. Dan apabila sampai terjadi kalian kepeleset untuk yang ketiga kali, yang artinya untuk yang ketiga kalinya pula salah satu dari kami harus memberikan pertolongan, berarti....kalian kalah! Langen mendesis marah. Gimana bisa monyet-monyet ini bilang akan memberikan tiga kali kesempatan sementara yang dua telah terpakai? Seakan seperti bisa membaca pikiran Langen, Bima tersenyum lalu meminta maaf dengan sikap berlebihan.Maaf. Ada kesalahan teknis. Harusnya kami kasih tau dari awal tadi. Bukan begitu? Dia menoleh ke sobat-sobatnya yang mengangguk takzim tapi sambil menahan senyum. Puncak kepala Langen kontan berasap. Dengan gigi gemeletuk dia lalu bicara dengan penekanan penuh, Dan elo-elo pasti berharap akan ada yang ketiga, kan? Jangan harap! Lo bertiga silakan mimpi! Amin. Semoga lo berdua selalu ada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Rei, Bima, dan Rangga bicara bersamaan dan menganggukkan kepala juga bersamaan. Dengan sikap serius dan khidmat yang berlebihan. Membuat kedua lawan mereka ingin menjerit-jerit saking emosinya. Ayo, jalan! ajak Rangga kepada kedua sekutunya. Karena mereka nggak mungkin kepeleset lagi. Jadi kita tunggu aja di atas. Oh, iya. Untung lo ngomong, Ga! ucap Rei sambil menepuk dahi. Kembali dihadapkannya tubuhnya yang sudah sempat berbalik ke Langen dan Fani. Bima mengikuti. Ada satu hal lagi. Kasih tau, Bim! Oke! Bima bersiul dengan gaya menjengkelkan. Bicara soal nunggu di atas, sekali lagi karena ini perang, jadi kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa menunggu lamalama. Kalian akan kami tunggu selama sepuluh menit. Tidak lebih! Jadi kalau lewat dari sepuluh menit, meskipun cuma satu detik...., sepasang mata Bima menajam, menatap kedua lawannya bergantian, Kalian kalah! Senyum puas mengembang di bibir Rei cs saat kedua lawan mereeka terperangah mendengar dua ancaman mematikan itu. Tanpa bicara lagi ketiganya lalu balik badan. Merambati tebing dengan cepat dan hilang ditelan rapatnya dahan pohon dan dedaunan. Langen dan Fani masih tercengang. Pembicaraan itu dilakukan di ketinggian hampir lima belas meter! Nun jauh di bawah, batu-batu besar dan kecil bertonjolan di antara lebatnya semak belukar. Memberikan penegasan bahwa siapa pun yang terjatuh dan tidak segera mendapatkan pertolongan, maka dipastikan akan mendapatkan gelar di depan nama: in memoriam! Kesimpulannya, kalau tidak ingin terjatuh yang berbutut mendapatkan pertolongan, di mana pertolongan itu berarti kekalahan, maka kedua cewek itu harus sangat berhati-hati dalam meniti setiap langkah. Sedangkan jika ingin berhati-hati, mereka butuh waktu yang tidak sebentar. Sementara waktu yang disediakan oleh ketiga lawan hanya sepuluh menit.Ini benar-benar buah simalakama. Beracun pula!Ultimatun Rei cs kemudian membuat Langen dan Fani memutuskan untuk nekat. Daripada malu! Daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati berkalang tanah! desis Langen, mengutip pepatah lama. Tangan kanannya terkepal kuat. Setuju, La! Merdeka! Fani ikut mengepalkan tinju. Jangan ngeliat ke bawah! tegas Langen. Jangan ngeliat ke bawah! Fani membeo. Mengangguk kuat-kuat. Tempat ini nggak tinggi, dan di bawah nggak banyak batu! tegas Langen lagi. Tempat ini nggak tinggi, dan di bawah nggak banyak batu! kembali Fani membeo dengan penekanan suara kuat-kuat. Sip! Ayo, jalan! Oke! Semangat memang sanggup mengenyahkan jauh-jauh segala kelemahan. Rei cs serentak mengangkat alis tinggi-tinggi saat kedua lawan mereka tidak lagi bergerak selambat kukang. Keduanya bahkan dengan lihai menyelinap di antara dahan dan daun. Tidak lagi terlihat ketakutan, dan seakan tak pernah mengalami kejadian yang mengerikan sebelumnya. Ketiga cowok itu saling pandang. Tebing ini memang pernah menelan korban. Tidak ada catatam pasti berapa jumlah pendaki yang kehilangan nyawa di sini. Dan untuk saat ini memang bukan itu yang jadi fokus pikiran Rei cs. Bukan berapa banyak jumlah pendaki yang tewas di tempat ini. Tapi berapa banyak jumlah arwah yang sedang bergentayangan saat ini. Karena dari perubahan yang benar-benar sangat dratis ini, tidak diragukan lagi, Langen dan Fani sudah pasti sedang kerasukan! Apa pun tudingan Rei cs, kerasukan atau kerusupan, Langen dan Fani berhasil mencapai puncak tebing dengan selamat. Dan dengan waktu dibawah target ketiga lawan. 10 menit kurang 5 detik! 10 menit kurang 5 detik yang begitu spektakuler dan mencengangkan, sekaligus 10 menit kurang 5 detik yang menelan habis seluruh cadangan kekuatan. Kedua cewek itu berdiri di puncak tebing, di hadapan ketiga lawan mereka. Tapi tidak lagi dengan tubuh tegak sempurna. Keduanya sudah tidak mampu lagi menutupi kenyataan, stamina mereka telah merosot dratis. Nyaris di titik nol! Dengan pasrah mereka terpaksa membiarkan tubuh mereka yang melambai-lambai bak batang-batang nyiur di tepi pantai, terlihat ketiga lawan. Namun Rei cs angkat topi dengan ketangguhan lawan-lawan mereka. Kali ini mau tidak mau mereka harus berhenti untuk beristirahat sejenak. Musuh sudah dipastikan akan kalah. Jadi tidak perlu mencemarkan piala kemenangan dengan kata-kata tidak fair. Break sepuluh menit! ucap Rei.Break sepuluh menit yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Tubuh tidak mungkin mampu memulihkan diri dalam waktu sesingkat itu. Yang diperlukan Langen dan Fani adalah break yang lamanya bisa dipergunakan untuk tidur, memanggil tukang pijit, atau pingsan! Sepuluh menit waktu istirahat itu kemudian dilewati Rei cs dengan berleha-leha. Ketiganya tidur-tiduran berbantal carrier. Untuk mengusir udara yang jadi terasa sangat dingin pada saat tidak bergerak, di tangan masing-masing cowok, dalam mug biru langit bertuliskan My soul belongs to mountains, mengepul susu jahe panas yang dinikmati bersama potongan-potongan cake cokelat. Masih ada lagi. Sementara mulut mengunyah, kedua mata mereka menatap berkeliling. Menikmati pemandangan yang indah. Yang jadi terasa semakin indah manakala mata melirik, dan lawan-lawan yang sedang sekarat berada tidak jauh di sebelah.Betul-betul hari yang sama sekali tidak berminat untuk membagi makanan dan minuman yang sedang mereka nikmati dengan kedua lawan. Bukan karena mereka kejam apalagi pelit, tapi karena orang yang sedang sekarat lebih membutuhkan doa ketimbang susu jahe panasdan kue cokelat. Dan hal yang terpenting, kedua cewek itu harus merenungi semua perbuatan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Misalnya, melakukan kebohongan dan pengkhianatan. Nanti setelah perang gender ini selesai, setelah bibir kedua warrior girls itu memberikan pengakuan yang gamblang, lengkap, mendetail, jelas, jujur, dan tentu saja harus diakhiri dengan permohonan maaf dari lubuk hati yang paling dalam, keduanya akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih panas daripada segelas susu jahe!
Posted on: Mon, 02 Dec 2013 08:43:06 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015