Cewek!!! esti kinasih Bab 26 Evan, yang mendapatkan tugas - TopicsExpress



          

Cewek!!! esti kinasih Bab 26 Evan, yang mendapatkan tugas untuk melakukan pengintaian sehubungan dengan kejanggalan yang muncul, kembali ke tempat teman-temannya menunggu dengan berita buruk. Langen dan Fani sempat terjatuh dan mendapatkan pertolongan dari musuh-musuh mereka, kemudian terjadu pembicaraan serius yang sayangnya tidak dapat dicuri dengar karena jaraknya terlalu jauh. Mereka luka? tanya Theo.Evan mengangkat bahu. Nggak tau. Jaraknya terlalu jauh. Luka nggak luka...., desis Iwan, yang jelas mereka pasti bener-bener sekarat sekarang! Yang gue liat tadi kayaknya begitu. Evan mengangguk cepat.Sementara Rei cs berleha-leha, Iwan cs berunding dengan cepat. Hasilnya, suara bulat kemudian memutuskan untuk mengakhiri perang terbuka itu. Saat ini juga! Theo, sang algojo, langsung mengeluarkan senjata rakitannya, yang khusus diciptakan untuk keperluan ini. Katapel dan batu pipih sebagai peluru. Setelah memeriksanya sesaat, dimasukkannya kedua benda itu ke salah satu saku celana lapangannya. Oke? tanya Iwan. Sip! Theo mengacungkan satu jempolnya. Lo tunggu di sini, Yud! ucap Iwan sambil menurunkan carrier-nya. Oke! Yudhi mengangguk. Evan dan Theo juga melepaskan carrier masing-masing. Ketiganya lalu bergegas menyeruak lebatnya pepohonan dan semak belukar. Meninggalkan Yudhi sendirian sebagai penjaga carrier. Sambil berjalan, Evan mengikatkan seutas pita merah dalam jarak-jarak yang terlihat ruang pandang.Ketiganya baru berhenti menyelinap di antara pohon dan semak-semak, setelah menemukan tempat mengintai yang tepat. Dari tempat itu Rei cs serta Langen dan Fani yang sedang beristirahat terlihat jelas. Namun posisi Rei cs yang berbaring berdampingan seperti jejeran ikan asin yang dijemur para nelayan, membuat eksekusi belum bisa dilakukan. Selain itu, posisi berbaring tidak akan memberikan hasil maksimal.Tidak ada pemandangan yang lebih exciting selain melihat tubuh sang target tersentak ke belakang dan akhirnya roboh! *** Akhirnya sepuluh menit waktu istirahat telah terlewat. Time is up! seru Rei, dan langsung bangkit berdiri. Bima dan Rangga mengikuti. Dengan gaya berlebihan, ketiganya lalu melakukan senam-senam ringan untuk melemaskan otot-otot tubuh. Langen dan Fani melirik dengan dongkol. Tubuh keduanya masih terasa luluh lantak dan break yang hanya sepuluh menit itu justru memperparah. Jangankan bersenam-senam seperti kubu lawan, untuk berdiri tegak saja mereka harus mengerahkan seluruh kekuatan.Di tempat lain, terhalang rimbunnya semak belukar, Theo bersiap-siap. Sepasang matanya mengikuti setiap gerakan calon korban. Sementara kedua tangannya merentangkan karet ketapel pelan-pelan. Hanya ada satu kali kesempatan. Jadi harus berhasil! Target tidak perlu terluka parah, karema serangan ini tanpa jaminan asuransi. Yang penting, perang terbuka ini berakhir. Setelah membersihkan mug dan memasukkannya kembali ke carrier, dengan nada tegas dan tanpa kompromi Rei memerintahkan kedua lawannya untuk bergerak. Bersamaan dengan itu, sebuah batu pipih dilepaskan dari rentangan maksimal sebuah ketapel. Berdesing menyibak daun-daun yang menghalangi dan bergerak cepat, lurus ke sasaran. Dan beberapa detik kemudian.....AAAKKKH!!!!Satu teriakan keras membelah keheningan belantara. Bima terkapar dengan lengan kiri berlumur darah! Sedetik semuanya hanya berdiri diam dalam keterperangahan dan kebingungan. Erangan Bima beberapa saat kemudian menyadarkan Rei dan Rangga. Serentak keduanya menghampiri Bima yang masih tergeletak di atas semak-semak yang patah karena tertimpa badan besarnya. Sesuatu telah merobek bukan hanya lengan kiri kemeja birunya, tapi juga daging di baliknya! Dan dari darah yang mengalir deras, luka sayatan yang menganga itu sepertinya cukup dalam. Langen dan Fani hanya bisa berdiri sambil terus ternganga-nganga selama Rei dan Rangga melakukan tindakan P3K terhadap Bima. Kedua cewek itu benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Begitu selesai membersihkan luka Bima dan membebatnya, dan bersama Rangga membantu cowok itu berdiri, Rei langsung balik badan. Kemeja kremnya bernoda darah. Cowok itu menghampiri Langen dengan kedua rahang mengatup keras.Lo pasti bisa jelasin, apa barusan itu tadi! ucap Rei dengan nada tajam.Bima kenapa? Langen malah bertanya bingung.Justru itu yang gue pengen tau! bentak Rei.Hah? Langen menatapnya dengan ekspresi semakin bingung. Kenapa nanya gue? Rei mendesis tajam. Benar-benar marah sekarang. Dicekalnya kedua lengan Langen kuat-kuat dan di tariknya mantan ceweknya itu rapat-rapat di depannya. Refleks Langen meletakkan kedua tangannya di dada Rei. Membuat jarak.Tapi Rei langsung mengenyahkan penghalang itu dari dadanya. Kemudian dipeluknya Langen sampai benar-benar tidak ada jarak, dengan kekuatan yang membuat Langen menggigit bibir menahan sakit.Nggak akan ada saksi mata kalo gue apa-apain lo di sini, La! ancamnya dengan gigi gemeretak.Mau lo apain juga, gue tetep nggak bisa bilang apa-apa. Gue bener-bener nggak tau! Lekatnya persahabatannya Rei dan Bima, kerap membuat keduanya mengaburkan batas benar dan tidak. Rei siap menjadi arca batu untuk apa pun tindakan Bima. Begitu pun sebaliknya. Karena itu, meskipun di depan mata Rei sedang mendekap Langen dengan begitu kuatnya, sampai-sampai siluet keduanya di atas permukaan tanah seperti menampakkan kembar siam yang hanya terpisah di kepala, Bima hanya menyaksikan tanpa memberikan reaksi apa-apa. Sementara Rangga, yang statusnya sahabat new comer, tentu saja harus mengikuti aturan main yang sudah ada. Di tempatnya berdiri, Fani hanya bisa pasrah. Tidak berani memberikan pertolongan karena sepasang mata Bima mengawasi setiap gerak-geriknya dengan tajam. Tidak perlu diperhitungkan satu tangan cowok itu yang terluka, karena tangannya yang lain sudah lebih dari cukup untuk mematahkan tulang-tulangnya, kalau dirinya berani nekat.Lo pilih ngomong, atau paru-paru lo jebol? desis Rei. Langen tidak bisa menjawab. Dia benar-benar sulit bernapas. Dekapan Rei membuat paru-parunya tidak bisa bergerak bahkan untuk mengambil sedikit saja udara.Oke.....gue.....akan.....ngomong...., ucap Langen akhirnya. Fani terperangah. Rei menyipitkan kedua matanya.Coba bilang sekali lagi! perintahnya.Gue.....akan.....ngomong..... Tolong.....lepas.....tangan lo...., pinta Langen dengan suara semakin terengah. Rei melepaskan kedua tangannya yang memeluk Langen. Begitu saja. Membuat Langen seketika terhuyung dan hampir tersungkur kalau tidak buru-buru ditahan Fani.Cewek itu membungkuk. Menekan dadanya dan terbatuk-batuk. Ditariknya napas panjang-panjang untuk mengisi paru-parunya yang seperti kosong.Cepet! bentak Rei, masih terus mengawasi Langen. Masih dengan satu tangannya menekan dada, Langen berusaha menegakkan badan. Tapi tidak bisa benar-benar tegak karena dadanya masih agak sakit. Kedua bola mata cokelatnya lalu menatap Rei, lurus dan tajam.Elo.....banci!!!Rei terperangah. Sementara tawa Bima kontan meledak keras. Di sebelahnya, Rangga geleng-geleng kepala, menatap Langen tak percaya.Dari awal udah gue kira, dia nggak bakal buka mulut, ucap Bima setelah tawanya reda. Bawa ke sini cewek gue. Kalo dia, gue yakin pasti akan bicara! Fani tersentak. Juga Langen. Keduanya langsung berpelukan kuat-kuat. Bima menepuk bahu Rangga. Segera Rangga menyusul Rei yang sedang berjalan ke arah kedua cewek itu. Dengan paksa kedua cowok itu kemudian melepaskan pelukan erat Langen dan Fani. Rangga langsung menyeret Fani menuju tempat Bima berdiri, sementara Rei berdiri di hadapan Langen, untuk menghalangi cewek itu menyelamatkan sahabatnya.Halo, Sayang..... Bima membungkukkan badannya dan menyapa Fani dengan lembut. Aku lagi sekarat nih. Peluk aku, ya? Mau, nggak? Refleks, Fani langsung geleng kepala kuat-kuat. Dia akan bergerak mundur, tapi bisa karena Rangga berdiri rapat di belakangnya dan mencekal kuat-kuat kedua lengannya. Bima tertawa geli dan mendongak menatap Rangga.Mana pernah dia mau meluk gue, katanya, lalu tatapannya kembali ke Fani. Tapi kalo jawab pertanyaan, mau, kan? Harus mau! Karena itu tadi, aku lagi sekarat. Jadi mumpung aku masih bernapas, kamu lebih baik koorperatif, supaya aku matinya nggak penasaran. Karena kalo sampe mati penasaran, nanti arwahku nggak tenang dan kamu aku gentayangin tiap malem. Dan yang namanya jurik itu nggak punya batas ruang. Jadi nggak ada gunanya kamu ngunci pintu atau ngumpet di dalam lemari.Tapi....tapi....gue nggak tau elo kenapa...., jawab Fani terbata.Oh, ya? Bima pura-pura kaget.Iya. Gue nggak tau. Bener! Fani mengangguk kuat-kuat. Iwan memang sengaja tidak memberitahu kedua cewek itu cara dia dan keempat temannya mengakhiri perang terbuka itu. Semata untuk melindungi keduanya dari kemungkinan tekanan pada saat interogasi, yang sudah pasti akan dilakukan di tempat dan sedetik setelah serangan terjadi. Tapi tetap itu tidak membuat Langen dan Fani terhindar dari situasi sulit.Mungkin dengan begini kamu jadi tau. Bima menatap lengan kirinya yang luka. Darah merembes dari balutan luka itu. Mengalir turun. Dengan jari telunjuk, ditahannya aliran darah itu sesaat, kemudian dioleskannya darah itu ke bibir Fani. Fani tersentak. Karena tidak bisa bergerak mundur juga tidak bisa menggerakkan kedua tangannya, dipalingkannya wajahnya. Tapi Bima langsung menghadapkan kembali wajah itu ke arahnya. Kembali dia oleskan darah lukanya ke bibir Fani. Cewek itu memejamkan mata rapat-rapat. Tidak tahan dengan bau anyirnya.Ini untuk mengenang Left Eye TLC...., ucap Bima sambil membuat garis darah di bawah mata kiri Fani. Kemudian dia membuat bulatan darah tepat di tengah-tengah dahi Fani. Left Eye dari India..... Langen menatap cemas tanpa mampu menolong. Di depannya Rei masih berdiri menjulang dengan ekspresi garang. Akhirnya Fani menyerah setelah Bima yang sedang bereksprimen sebagai make up artist dengan menggunakan darahnya sendiri mulai membuat bulatan-bulatan merah di kedua pipinya.Mau bilang? tanya Bima. Fani mengangguk cepat-cepat. Sweet girl..... Bima mengecupnya sekilas. Lepas, Ga! Rangga melepaskan cekalannya.Ng....tangan lo itu...Iya? Apa yang udah bikin tanganku jadi sobek begini?Ng....ituuu.... Fani berpikir keras mencari jawaban. Tiba-tiba dia melakukan dua gerakan dengan sangat cepat. Menyikut ulu hati Rangga kuat-kuat lalu memukul luka Bima keras-keras. Langen, yang bisa membaca gelagat itu sejak awal, di saat yang bersamaan meninju dada Rei dengan kedua tangan dan dengan seluruh kekuatan. Bersamaan dengan teriakan ketiga cowok itu, darah segar menyembur dari luka di lengan Bima yang masih menganga. Fani berlari menghampiri Langen lalu keduanya berdiri saling merapat.Kami bener-bener nggak tau! Sumpah! seru Langen saat Rei dan Ranga berjalan menghampiri dirinya dan Fani dengan marah. Sambil menekan kuat-kuat lukanya yang mengucurkan darah, Bima ikut mendekat.Sumpah! Langen mengulangi. Kali ini dengan kedua tangan terangkat. Demi Tuhan, kami bener-bener nggak tau! dan ketika ketiga cowok itu tetap bergerak maju, Langen meneruskan dengan sumpah yang benar-benar fatal. Kalo kami bohong, gue sama Fani nggak bakalan selamet sampe rumah!Jelas! Dan mau tau apa yang akan bikin lo berdua pulang dalam keadaan nggak selamet? desis Rei tajam. Dia benar-benar geram. Kalian harus kalahin kami! Kalau tidak.... Rei menghentikan langkahnya yang tinggal satu rentangan tangan. Bima dan Rangga ikut berhenti di sisi kiri-kanannya. Elo berdua akan kamu serahkan ke keluarga masing-masing.....dengan visum dokter! Langen menatap Rei dengan ekspresi takut tapi juga bingung.Maksudnya.....cacat? tanyanya terbata.Jelas! tandas Rei seketika.Ng.....maksudnya.....memar-memar, gitu? Atau patah kaki-tangan?Bukan..... Rei tersenyum dingin. Cacat yang paling ditakutin cewek!Muka Langen dan Fani kontan putih! *** Sementara itu di tempat lain, Iwan, Theo, dan Evan, jadi gelisah sekaligus berang menyaksikan peristiwa itu. Theo memukul-mukul kepala botaknya dengan kedua telapak tangan. Benar-benar menyesali kegagalannya.Goblok-goblok! desisnya berulang-ulang.Iwan menepuk bahunya. Mengingatkan bahwa ini di luar dugaan. Soalnya, apabila semua berjalan sesuai rencana, Theo akan melakukan tugasnya di sebuah tempat, di mana dia bisa mendekati sang calon korban sampai jaraknya yang cukup dekat, hingga bisa memilih bagian tubuh mana yang menjadi target katapelnya.Daripada fatal, ntar malah berabe urusannya!Jadi gimana sekarang? Lo liat tuh! tunjuk Theo dengan dagu, ke kejauhan di bawah. Begitu lebih baik?Jauh di bawah, dengan paksa Rangga merenggut Fani dari Langen lalu menyeretnya ke hadapan Bima.Jadi? tanya Iwan tanpa menoleh.Udah, kita ribut aja! Pengecut, tau nggak? Ngumpet-ngumpet begini!Setuju! Evan mengangguk.Iwan terdiam beberapa detik. Kemudian.....Oke. Yuk!Ketiganya meninggalkan tempat itu.Turun, Yud! ucap Theo begitu sampai di tempat Yudhi dan carrier-carrier mereka ditinggalkan. Turun? Yudhi memandang tak mengerti.Kacau! ucap Iwan sambil menyambar carrier-nya. Theo pilih ribut!Yeee...., sambil menyandang carrier-nya di punggung, Yudhi menatap ketiga temannya bergantian. Kenapa nggak dari kemaren-kemaren? Jadi nggak buang-buang waktu sama tenaga. Udah cabut kuliah pula.Keempatnya balik badan. Segera kembali ke arah semula. Inilah peperangan Langen dan Fani yang sesungguhnya.Iwan cs gagal memberikan pertolongan. Dan apabila kedua cewek itu sampai kalah, masa depan mereka akan hancur berantakan.Waktu baru berjalan lima belas menit, tapi Langen dan Fani telah terserang mountain sickness parah. Seperti ada jarum besar besi pasak tenda, dihunjamkan tepat di ubun-ubun kepala. Terasa seperti ada sesuatu yang ditusukkan dari pelipis yang satu menembus ke pelipis yang lain. Juga seperti ada sebuah benda yang mahaberat diletakkan tepat di dada, hingga terasa sangat sakit saat memaksa untuk menarik napas dalam-dalam. Keringat mengalir deras seperti alur sungai. Kaus yang dikenakan kedua cewek itu jadi melekat di badan dan membuat mereka tidak nyaman.Stop sebentar! ucap Bima tiba-tiba. Semuanya berhenti dan menatapnya. Bima menunjuk kemejanya yang ternyata juga kuyup karena keringat. Ganti baju dulu. Langen dan Fani saling pandang diam-diam. Ini memang yang mereka harapkan, tapi tidak sekarang. Waktunya tidak tepat. Lokasinya apalagi. Rei, Bima dan Rangga menurunkan carrier mereka dari punggung. Langen dan Fani segera mengikuti. Kesempatan untuk sejenak mengistirahatkan otot-otot bahu yang sakit. Ketiga cowok itu lalu melepas kemeja masing-masing. Tanpa sadar Langen dan Fani bergerak mundur, menjauh beberapa langkah sambil menyeret carrier masing-masing. Dada-dada telanjang itu, yang terlihat jelas terbentuk karena olah fisik yang rutin dan berat, juga lengan-lengan yang besar dan berotot, membuat keduanya merasa terancam.Nggak ganti baju? tanya Bima tiba-tiba. Dia lalu menoleh ke segala arah. Dan ketika didapatinya kondisi sekeliling yang tidak menyediakan tempat tertutup, pandangannya kembali ke Langen dan Fani, dengan seringai jail di bibir. Cuma soal waktu. Dan itu nggak lama lagi. ucapnya dengan nada seolah-olah dirinya turut prhiatin. Jadi nggak ada salahnya diperlihatkan dari sekarang. Terutama untuk Rei. Kalo gue nggak perlu, soalnya.....gue udah ngeliat. sepasang mata hitam yang dinaungi alias tebal itu kemudian terarah ke Fani. Bima lalu mengedipkan sebelah mata dan tertawa geli ketika tindakannya itu membuat muka Fani seketika jadi merah padam.Tapi...., Rangga menyambung, menatap ke arah Langen dan Fani, apa yang menurut lo berdua sangat berharga, tetep harus lo pertahankan. Kalo perlu sampai titik darah penghabisan! tapi detik berikutnya dia ngomong lain. Tapi kalo Bima sih udah jelas bakal jadi suami lo, Fan. Jadi lo nggak perlu nutup-nutupin lagi..... Rei dan Bima kontan tertawa geli. Keduanya menunda memakai kaus yang baru mereka keluarkan dari carrier. Sengaja berlama-lama memperlihatkan dada telanjang mereka, karena sepertinya itu membuat pihak lawan terintimidasi. Mendadak sifat iseng Bima kumat. Tiba-tiba, dibuatnya gerakan seolah-olah ingin memeluk Fani. Cewek itu kontan menjerit dan berlari ke belakang punggung Langen. Bima tertawa.Hm, ucapnya sambil melirik kedua sahabatnya. Kalo nanti ada yang menjerit-jerit, harap tutup telinga ya. Oke?Yang jelas gue nggak sempet ngurusin urusan elo, jawab Rei. Karena gue juga pasti lagi sibuk. Langen langsung jadi emosi. Dipungutnya sebuah batu dan dilemparnya ke arah Rei kuat-kuat. Dengan sigap cowok itu berkelit.Jangan ngomong sembarangan lo! Gue sama Fani belom kalah, tau!Ck ck ck! Rangga geleng-geleng kepala. Masih galak juga!Tenang, Rei menepuk bahu Rangga. Sebentar lagi akan gue bikin dia jadi semanis kelinci. Mendengar percakapan itu, Langen langsung naik pitam. Darah di kepalanya kontan mendidih. Seribu sumpah serapah sudah siap dilontarkan, tapi kemudian tersangkut di ujung lidah. Dia tidak terbiasa memaki, itu yang membuat sumpah serapah itu jadi tertahan. Gantinya, cewek itu lalu bicara dengan nada tinggi, Bisa nggak sih elo-elo nggak pake cara-cara intimidasi? Lo bertiha curang, tau nggak? Nggak fair! Naik gunung ya naik gunung aja! Nggak usah pake ngancem-ngancem! Ngomong ini-itu!Tapi sah-sah aja, kan? jawan Rei. Bima dan Rangga tertawa geli mendengar ucapan Rei. Tiba-tiba Langen bergerak maju. Rei cs tersentak kaget dan refleks bergerak mundur bersamaan. Ternyata cuma Rei yang diincar Langen. Penuh emosi cewek itu langsung menerjang Rei dan memukuli dada cowok itu.Wow! Wow! Rei berusaha menahan serangan Langen. Mulai menggunakan kekerasan nih! dengan sigap ditangkapnya pergelangan tangan. Dan segalanya berlangsung cepat. Di depan semua mata, Rei menarik Langen ke arahnya, lalu dengan tangan kirinya yang bebas, dipeluknya mantan ceweknya itu kuat-kuat. Kemudian cowok itu menundukkan kepala.....dan mencium sepasang bibir di bawahnya! Bisa dia rasakan, tubuh dalam pelukannya menegang dan seketika berontak, berusaha melepaskan diri. Tapi itu justru membuat Rei semakin mengetatkan dekapannya. Beberapa saat kemudian cowok itu mengakhiri ciumannya dengan satu bisikan tajam, tepat di telinga kiri Langen.Jangan harap lo bisa menang!Kemudian Rei melepaskan pelukannya dengan tiba-tiba. Cowok itu lalu melangkah mundur. Wajah Langen merah padam. Ditatapnya Rei seperti tidak percaya, cowok itu tega melakukan hal itu padanya. Rei membalas tatapan Langen dengan tenang.Nangis aja, kalo elo pengen nangis, ucapnya datar. Mati-matian Langen berusaha meredam kemarahan yang menggelegak di dadanya. Sementara itu Fani tetap berdiri di tempatnya. Masih terpaku dalam keterperangahan. Tidak disangkanya Rei bisa sadis begitu. Dan ini kali pertama disadarinya, Rei dan Bima ternyata mempunyai sifat yang hampir sama. Rei menggerakkan kedua tangannya, menepuk pelan bahu Bima dan Rangga yang berdiri di kiri-kanannya. Ketiga cowok itu lalu meraih kaus masing-masing dan memakainya, lalu meraih carrier dan menyadarinya.Bima dan Rangga langsung balik badan. Sementara Rei sejenak tanpa perasaan. Begitu ketiga cowok itu menghilang, Fani segera menghampiri Langen dan memeluknya. Didapatinya sepasang mata sahabatnya itu merebak.Gue baru tau, dia ternyata juga bajingan. Sama kayak cowok lo, desis Langen dengan gigi gemeretak. Fani mengusap-usap punggung sahabatnya.Kalo sifatnya nggak sama, nggak mungkin mereka bisa sohiban. Keduanya lalu terdiam. Napas Langen memburu, turun-naik dengan cepat karena menahan emosi. Fani hanya bisa menenangkan dengan cara terus memeluknya.Udah? tanyanya kemudian, dengan nada pelan dan hati-hati.Langen mengangguk. Cewek itu kemudian menghapus habis air matanya yang mengalir turun tanpa ada isak yang terdengar.Mereka kira kita udah kalah, desisnya geram.Biar aja mereka kira begitu.Lo siap, kan?Ah, elo! kembali Fani memeluk Langen. Kalo nggak siap, gue nggak akan sampe sini, lagi! Kembali keduanya terdiam. Langen memejamkan mata rapat-rapat. Menarik napas panjang dan dalam, berulang-ulang. Fani memeluknya dengan tangan kiri sementara tangan kananya menggenggam satu tangan Langen.Yuk! ucap Langen setelah beberapa detik yang hening. Fani mengangguk tegas. Keduanya kemudian meninggalkan tempat ini. *** Kedua alis Rei sesaat terangkat, saat ternyata lawan-lawannya muncul lebih cepat dari waktu yang dia perkirakan. Keduanya mata hitamnya yang ternyata lebih dingin dari Bima, menatap Langen lurus-lurus. Langen membalas tatapan itu sama tajamnya. Menegaskan meskipun tadi dia sempat menangis, bukan berarti dirinya telah kalah. Ketiga cowok itu kemudian balik badan tanpa bicara. Perang gender itu kembali berlanjut. Dengan atmosfer yang sangat berbeda. Rei cs kini tidak tidak lagi melangkah dengan standar mereka. Mereka kini melambat, mengikuti ritme langkah lawan-lawan mereka. Dan hening. Lima belas menit kemudian, mereka sampai di sebuah batu besar berbentuk oval. Tubuh Langen dan Fani seketika menegang. Batu besar ini.....adalah akhir.....dari perang gender ini! Menurut penjelasan Iwan saat briefing, tidak jauh dari sini ada tempat terbuka. Tidak begitu luas. Tempat para pendaki biasa berhenti untuk memasak atau sejenak beristirahat. Sayup-sayup memang terdengar suara orang berbicara. Saat itu juga Langen mengajak Fani melancarkan senjata pamungkas mereka. Gagasan yang tidak berani dikemukakannya di depan Iwan cs. Takut membuat kelima cowok itu jadi tersinggung karena merasa kehadiran mereka tidak dapat diandalkan. Soalnya, setiap rencana selalu ada kemungkinan untuk gagal. Dan menyiapkan antisipasi adalah yang terbaik. Selain itu, gagasannya ini memang bisa dibilang nekat. Tapi ketika gagasan ini dimunculkan___sepulangnya dari rumah Iwan waktu itu___Langen sudah meyakinkan Fani, bahwa ini antisipasi, dan berharap nggak sampai harus dijalani. Soalnya yang mereka hadapi juga orang-orang gila. Orang-orang sakit. Apalagi Bima.Aduh! Fani menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ditariknya napas panjang-panjang. Gue kena kutukan apa sih? Langen menepuk-nepuk bahu sobatnya, menenangkan.Sekarang kan elo malunya nggak sendirian. Berdua sama gue. Lagi pula...., sejenak dihelanya napas panjang, kita udah sampe sini. Nggak bisa mundur lagi. Dan pilihannya juga cuma satu.....harus menang! *** Terbukti kemudian, rencana cadangan itulah yang terpaksa harus dilaksanakan. Langen___yang tidak tahu bahwa Iwan cs telah gagal menghentikan jalannya pertempuran___melirik arlojinya tanpa kentara dan menemukan kenyataan baru dua puluh menit lagi bantuin akan datang. Sementara kondisi tubuhnya dan Fani tidak memungkinkan untuk bertahan sampai selama itu. Jika dipaksakan, bisa dipastikan dalam waktu tidak sampai sepuluh menit dia dan Fani akan terkapar.Boleh nggak kami permisi ganti baju sebentar? tanya Langen. Ketiga cowok di depannya berhenti berjalan lalu menoleh bersamaan. Sepasang mata Rei segera terarah ke batu besar berbentuk oval itu. Sesaat dia saling pandang dengan kedua sahabatnya. Dan peristiwa itu membuat sikapnya jadi melunak.Sepuluh menit, ucapnya, sengaja memberikan kelonggaran waktu. Tapi Langen menolaknya dengan nada dingin.Kelamaan. Lima menit cukup! kemudian dibaliknya badan dan berjalan dengan angkuh ke arah batu besar itu, diikuti Fani. Rei menatapnya tercengang, sementara Bima tertawa pelan.Kalo gue nih, punya cewek kayak gitu, udah gue beresin dari dulu, Rei, ucapnya. Rangga mengangguk setuju.Ngomong emang gampang. Lo mau ganti gue diberesin kakak-kakaknya? jawab Rei kesal. Begitu sampai di balik batu besar berbentuk oval itu, dan terhalang dari pandangan ketiga lawan, Langen dan Fani segera menurunkan carrier masing-masing. Wajah keduanya menegang. Dengan cepat keduanya menarik keluar tas plastik dari dalam carrier, dan memburaikan isinya di atas rumput.Gue ngerasa kita nggak ada bedanya sama Stella, La...., kata Fani sambil melepaskan kaus yang dipakainya.Sangat beda! bantah Langen seketika. Paha, perut, puser, sama dada, itu emang modal utamanya Stella. Dia nggak punya yang lain. Isi kepalanya nggak pernah dipake. Gue malah nggak yakin kepala tuh cewek ada isinya. Sementara kita..... kesibukan Langen mengencangkan ikat pinggangnya terhenti. Diangkatnya kedua alisnya tinggi-tinggi, lalu tersenyum bangga. Dari IP semester pertama kemaren yang udah tiga koma, ada kemungkinan kita bakalan lulus dengan predikat cumlaude! Dan kalo sekarang kita terpaksa pake cara begini...., kembali Langen mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, bukan salah kita kan, terlahir jadi perempuan?Iya sih..... Fani mendesah berat. Terpaksa setuju. Tapi yang sekarang gue takutin, kalo nggak ada yang turun, La. Kalo orang-orang itu semuanya mau puncak, gimana? Matilah kita. Nggak ada yang nolongin.Gue udah cek tadi di base camp. Ada beberapa tim yang naik kemarin siang. Berarti hari ini mereka turun.Kalo mereka lewat jalur ini lagi. Kalo lewat jalur lain?Paling enggak dua tim akan turun lewat jalan ini lagi. Soalnya mobil-mobil mereka diparkir di bawah..... Langen menepuk-nepuk bahu Fani. Tenang akan ada bantuan untuk kita! Oke?Okelah.... Fani mengangguk pasrah. Udah sampe sini, mau gimana lagi?Gimana penampilannya gue? Langen merentangkan kedua tangannya lalu berputar-putar.Seperti yang udah pernah kita tes. Dan seperti yang lo harapkan.Sip kalo gitu, ucapnya dengan nada cemas yang terdengar jelas. Lo udah siap?Udah. Fani mengangguk. Langen menatap berkeliling dan tatapannya terhenti di sebatang pohon yang tumbang. Rebah di atas semak belukar dalam bentuk beberapa patahan. “Bantuin gue.” Ditariknya tangan Fani. Berdua, mereka mengangkat patahan batang pohon itu dan meletakkannya dekat batu besar, sebagai pijakan. Kedua sahabat itu lalu saling pandang. Wajah keduanya semakin memucat karena tegang. “Show time!” desis Fani. Langen memeluknya. Fani memb alas pelukan itu. Ketika kemudian pelukan itu terurai, kebulatan tekad tercetak jelas di wajab keduanya. Kemudian mereka membalikkan badan. Menghadap ke arah hatu besar berbentuk oval itu. “Siap-siap!” desis Langen. Ditariknya napas panjang-panjang. Fani mengikuti. “Okeee... satu... dua... tiga!” Bersamaan, dengan menggunakan batang kayu tadi sebagai pijakan, keduanya melompat ke atas batu, dan berdiri tegak-tegak di sana, menentang tiupan angin dan melawan dekapan dingin. Rei, Bima, dan Rangga kontan terperangah. Benar-benar terperangah melihat penampilan terbaru kedua lawan mereka. Celana gunung Langen dan Fani telah berganti dengan jins biru ketat sebatas pinggul. Rambut keduanya yang tadi diikat ekor kuda, kini terurai lepas. Tapi bukan itu yang membuat Rei cs terbelalak dan mulut mereka menganga lebar. Melainkan T-shirt hitam yang membungkus tubuh kedua lawan. T-shirt itu berbahan seperti jala milik nelayan. Berluhang-lubang besar! Untuk pertama kalinya, Rei cs menyaksikan sccara langsung, apa yang selama ini tersembunyi di balik kaus, kemeja, atau jaket kedua cewek itu. Perut rata, pusar bertindik, dan black bra! Dan kulit Langen yang langsat serta kulit Fani yang putih, membuat semua itu terlihat semakin kontras. “La berdua apa-apaan sih!?” Rei berseru marab begitu sadar dan kekagetan. “Pake baju yang bener! Cepet!” Dia tidak mau munafik. Dia juga suka penasaran, ingin melihat yang tersembunyi. Tapi tentu saja dia tidak ingin orang lain juga bisa melihatnya. Meskipun itu sahabat-sahabatnya sendiri. Langen pura-pura tersinggung. “Itu pelanggaran HAM, tau nggak? Terserah gue dong, mau pake baju model apa. Bahkan kalo kami pengen telanjang pun, itu seratus persen hak kami. Nggak bisa diganggu gugat. Tapi kami belom sampe gitu kok. Cuma rada buka-bukaan doang. Iya kan, Fan?” Fani langsung mengiyakan. “Bener! Elo-elo aja yang otaknya pada kotor!” tandasnya. Sesaat ia menatap Bima, tapi Iangsung menghindar saat didapatinya tatapan cowok itu berkilat marah. Sama sekali berbeda dengan tatapannya yang dulu, saat Fani berada dalam kondisi yang jauh Iebih parah dan ini. “La, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” sekali lagi Rei berseru. Marah dan gusar. Dan sekali lagi Langen menanggapinya dengan santai. “Emangnya siapa yang lagi ngelawak sih? Orang kami berdua lagi berjemur...” “Di pantai, kali!” sambung Fani, membuat Langen tertawa geli. Tiba-tiba Rangga bersiul nyaring. Tatapannya masih terpaku pada tubuh-tubuh di balik jala itu. Rei dan Bima balik badan hampir bersamaan dan menatap Rangga tajam. Rangga bertolak pinggang dan balik menatap tajam. “Kenapa? Lo berdua mau nyuruh gue nutup mata?” Diangkatnya alis tinggi-tinggi. “Maaf, tidak bisa. Kesalahan bukan terletak di mata gue.” Kemudian dijulurkannya leher panjang-panjang, menatap Langen dan Fani dan atas kepala Rei dan Bima. “Kalo gue pindah kubu, boleh nggak?” serunya. Jawabannya diberikan Rei dan Bima saat itu juga. Rangga jatuh terjerembap ke semak, setelah dua telapak tangan mendarat keras di dadanya. Cowok itu tertawa geli, lalu meraih sebatang dahan untuk berdiri. “Tolong lo berdua pake sweter atau jaket” perintah Bima geram. Langen melotot. Pura-pura tersinggung. “Lo kira elo itu siapa sih? Sembarangan aja nyuruh-nyuruh orang. Nggak!” “Langen... please...,” ganti Rei memberikan perintah. Kali ini mulai bernada memohon, yang diucapkan dengan kedua rahang terkatup rapat. Langen menggeleng. “Nggak mau,” jawabnya kalem. “Orang gue sama Fani lagi mau buka-bukaan kok disuruh ditutup-tutup.” Kalimatnya seketika membuat Rangga menoleh ke belakang. Menyembunyikan seringai gelinya yang tidak bisa ditahan. Sadar perintah mereka sama sekali tidak diindahkan, Rei dan Bima kemudian berunding dengan suara pelan. Hasilnya, keduanya memutuskan untuk membiarkan Langen dan Fani di atas sana, sampai kedua cewek itu terserang hipotermia. Kalau perlu sampal tubuh mereka membeku kaku. Tapi otak Langen terlalu lihai untuk hal yang terlalu sederhana itu. Karena itu, untuk melakukan aksi buka-bukaan ini, dipilihnya momen menjelang mereka akan bertemu dengan kelompok-kelompok pendaki lain. Dan yang terjadi berikutnya benar-benar seperti yang dia dan Fani harapkan. Suara-suara orang berbicara, yang tadi hanya terdengar samar-samar, semakin larna sernakin jelas. Menandakan ada sekelompok pendaki yang saat ini tengah bergerak mendekat. Seketika, Rei dan Bima jadi panik. “Langen!” “Fani!” Keduanya berseru bersamaan. “Cepet pake jaket atau sweter!” perintah Bima, tapi tidak ditanggapi. Sambil mendesis gusar, cowok itu Lalu membuka carrier-nya. Dengan cepat Ia mengeluarkan sebuah jaket dari sana, dan melemparnya ke arah Fani. Langsung Fani mengambil jaket yang jatuh di dekat kakinya itu. “Kami juga punya, tau!” Dilemparnya kembali benda itu ke Bima. “Nggak butuh!” Bima menggeram. Benar-benar berang dan kelimpungan. Jauh di belakang, Rangga sampai membungkukkan badan rendah-rendah, tak sanggup menahan geli melihat adegan di depannya. Suara-suara langkah itu semakin dekat. Suara-suara orang mengobrol itu juga semakin jelas. Rei melangkah cepat mendatangi arah datangnya suara-suara itu. Sontak dia semakin panik, saat kedua matanya menangkap semak-semak bergerak di kejauhan. Bergegas dia melangkah mendekati Bima yang tengah berdiri di depan batu besar berbentuk oval itu. Tempat Langen dan Fani masih berdiri tegak memamerkan bodi. “Elo berdua tolong pake baju yang bener. Hawanya dingin. Nanti masuk angin.” Bima bicara dengan nada membujuk. “Eits, jangan salah. Kami tadi udah minum... jamu tolak angin!” Langen dan Fani menawab serentak, lalu terkekeh-kekeh geli. “Langen... Fani... tolong pake jaket. Please... ?“ Rei memohon dengan kedua tangan tertangkup di depan dada. “Please, Fan...,” Bima ikut memohon. “Tolong, La,” Rei mengulangi permohonannya. “Tolong pake baju yang bener.” Mendengar itu, Rangga menegakkan tubuh. Kedua matanya menyipit. Benar-benar tak bisa percaya dengan apa yang sedang terjadi di depannya. Memohon.. adalah bentuk kejatuhan kaum Adam yang paling mengenaskan. Dan sama sekali tidak disangkanya, dengan cara itulah kedua sahabatnya akan menyerah! Tapi permohonan itu sudah terlambat. Kelompok pendaki itu telah muncul, terdiri atas empat cowok. Dan keempatnya seketika terpana. Menatap tak percaya sekligus terpesona, pada dua “keindahan” yang sedang berdiri tegak di atas batu besar. Ini di tengah hutan belantara sebuah gunung. Di jalur pendakian dengan tingkat kesulitan tinggi pula. Siapa yang menyangka akan menemukan dua cewek cakep, seksi, memakai kaus jala pula. Melihat pemandangan asyik, tubuh mereka yang sangat letih mendadak jadi sangat segar. Ini benar-benar keajaiban dunia yang kedelapan! Rei dan Bima bergegas menghampiri lalu berdiri tepat di hadapan keempatnya. Sebisa mungkin meminimalis pandangan mereka pada Langen dan Fani. “Elo-elo bisa lanjut?” desis Bima tajam. Leader kelompok pendaki itu, cowok berkemeja flanel cokelat kotak-kotak, menatap Rei dan Bima dengan pandangan tidak senang. Dia lalu memiringkan kepala dan berseru ke arah Langen dan Fani. “Ini cowok-cowok kaIian?” Langen menatap Rei, Bima, dan Rangga bergantian. Saat kedua matanya bertumbukan dengan sepasang mata Rei, yang menatapnya dengan kilatan marah yang menusuk, Langen menaikkan sepasang alisnya. Mengisyaratkan tantangan! Sedetik kemudian, masih dengan sepasang matanya yang menentang kedua mata Rei lurus-lurus, Langen menggelengkan kepala. “Bukan!” Sama sekali bukan jawaban yang salah! Cowok berkemeja flanel cokelat kotak-kotak itu mengembalikan tatapannya pada Rei dan Bima. “Apa lo bilang tadi? Bisa nggak kami lanjut? Sori... nggak bisa!” Salah seorang temannya segera menyambung, “Sekarang tolong lo berdua menyingkir jauh-jauh, karena sangat merusak pemandangan!” “Kurang ajar!” geram Bima. Sedetik kemudian tinjunya melayang, menghantam telak rahang cowok yang baru saja menutup mulutnya itu, dan membuatnya terpelanting. Melihat salah seorang teman mereka terkapar di tanah, tiga yang lain jelas tidak terima. Salah seorang segera membantunya berdiri, sementara dua yang lain balas menyerang Rei dan Bima. Rangga langsung bersiap-siap seandainya kedua sobatnya itu butuh bantuan. Sementarai tu Langen dan Fani saling pandang dengan tersenyum puas. lnilah yang mereka harapkan. “Sekarang kita bisa duduk. Silakan.” Langen mempersilahkan Fani dengan sikap seakan-akan sahabatnya itu orang yang sangat agung dan terhormat, yang dengan segala kerendahan hati telah bersedia menemaninya. “Terima kasih. Terima kasih. Silakan duduk juga.” Keduanya lalu duduk. Langen duduk bersimpuh, sementara Fani duduk berlutut. “Gue mulai kedinginan, La,” bisik Fani. “Sama,” balas Langen. “Tapi jangan sampe keliatan.” “Keluarin air jahenya dong.” “Oh, iya. Eh, kipasnya dong.” “Oh, iya!” Keduanya meraih carrier masing-masing. Fani mengeluarkan dua kipas bulu. Satu berwarna merah dan berukuran kecil, diberikannya pada Langen. Satunya lagi berwarna biru dan berukuran agak besar, untuknya sendiri “Gimana kalo kita pake sarung tangan?” usul Langen. “Setuju!” sambut Fani seketika. Keduanya mengenakan sarung tangan untuk mengurangi rasa dingin yang menggigit. Panas tubuh memang lebih cepat terlepas melalui ujung-ujung jari. Sementara itu, terdorong emosi dan marah yang menggelegak karena tidak bisa menerima orang lain menikmati pemandangan gratis, Rei dan Bima dengan beringas menghajar keempat cowok itu. Di luar arena, Rangga mengawasi dengan sikap waspada. Di atas bongkahan batu besar berbentuk oval, yang kini tampak seperti singgasana raja, Langen menyaksikan prosesi bak-buk-bak-buk itu. Dia duduk dengan sikap anggun bak ratu legendaris Mesir Kuno, Cleopatra. Tangan kanannya yang menggenggam kipas bulu kecil warna merah, membuat gerakan mengipas dengan begitu perlahan dan tertata. Bahkan seekor semut pun tidak merasakan ada angin yang bergerak. Wajah dan kedua matanya memancarkan ekspresi dingin dan angkuh. Di sebelahnya duduk dengan posisi agak di belakang, Fani mengipasi “sang ratu” dengan kipas bulu berwarna biru, bagaikan dayang. Wajah dan sepasang matanya juga memancarkan ekspresi dingin dan angkuh. Seakan-akan apa yang sedang tcrjadi di depannya adalah pertunjukan yang dipersembahkan oleh para budak atau rakyat koloni jajahan, yang sama sekali tidak perlu diberikan apresiasi. Dengan cerdik, keduanya memanfaatkan setiap momen, sambil mencuri-curi kesempatan dengan segera meneguk air jahe hangat atau sekejap menyeluhungi tubuh mereka yang kedinginan dengan jaket tebal. Tak sampai sepuluh menit, prosesi bak-buk-bak-buk itu selesai. Rei dan Bima yang sedang kalap keluar sebagai pemenang. Dua orang lawan terkapar tidak jauh, satu terpelanting ke semak, dan satu lagi sedang mernbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut. Tapi akibatnya, luka Bima kembali terbuka dan mengucurkan darah. Rangga bergegas membuka carrier-nya dan mengeluarkan perlengkapan P3K. “Yaaah, gue cukup terkesan. Lawannya otot emang otot juga!” ucap Langen tiba-tiba, membuat Rei cs tersadar. Ketiganya menoleh bersamaan dan Langen menyambut dengan senyum manis. Dia lalu bertepuk tangan dengan gaya anggun. Di sebelahnya, Fani tetap mengipasi sambil tetap memasang ekspresi dingin dan angkuh. Seolah-olah dia tidak berhak ikut tersenyum atau berkomentar jika “sang ratu” tidak mengizinkan. Rei menggeram. Dia sudah akan melangkah mendekati batu besar itu Lalu melompat ke atasnya, tapi satu tangan Rangga segera mencekal bahunya. Cowok itu menggeleng tanpa matanya beralih dan luka Bima yang sedang dibebatnya. “Mendingan lo suruh pergi tuh orang-orang. Biarpun badan mereka bonyok, mata mereka nggak buta!” Rei memutar tubuhnya. “Sialan!” desisnya. Dia benar-benar berang saat keempat cowok itu ternyata masih berada tidak jauh darinya, masih memandangi Langen dan Fani dengan cara yang membuat darah Rei kembali mendidih. Dengan langkah-Iangkah panjang dan kedua rahang terkatup keras, dihampirinya keempat cowok itu. Keempatnya bergegas pergi sebelum Rei mencapai tempat mereka berdiri. Rei menghentikan langkah lalu rnenghadapkan tubuhnya ke arah Langen dan Fani. Kedua cewek itu masih berakting sebagai dayang dan ratu. “Bim!” panggilnya tanpa tatapannya beralih. Bima menoleh dan langsung paham apa yang ingin ditanyakan sobatnya itu. “Seret mereka turun” perintahnya. “Eit!” Langen langsung melompat berdiri diikuti Fani. “Jangan sampe gue menjerit sampe tujuh oktaf ya!” ancamnya. Dia gerakkan dagu ke arah suara-suara di kejauhan. “Jangan sampe gue sama Fani jerit gila-gilaan, yang akan bikin orang-orang itu lari ke sini! Karena kalo sampe itu terjadi, kami nggak bisa berbuat lain kecuali menunjukkan...” Langen menggantung kalimatnya. Ditatapnya Rei lurus dan tajam, menunjukkan keseriusan ancamannya. “...betapa perempuan itu selalu teraniaya, di mana pun keberadaannya! Dan kami berdua akan menangis terisak-isak, seakan-akan sesuatu yang begitu berharga telah direnggut dengan paksa!” “Sip!” Fani menjentikkan jari. “Kalo perlu kami tunjukkan ekspresi muka dan bahasa tubuh yang seakan-akan memperlihatkan bahwa kami sangat trauma! Bahwa peristiwa ini akan menghantui kami seumur hidup!” “Nah!” Langen bersiul. Menunjuk sahabatnya dengan jari telunjuk dan jempol membentuk pistol. “Setuju!” Rei cs tercengang. “Licik lo berdua!” desis Rei geram. “Lihai!” ralat Langen langsung. “Cepet tarik mereka turun! Nggak usah banyak ngomong lagi!” seru Bima keras. Dia jengkel dan berang. “Lo bantuin Rei, Ga! Biar gue bebat sendiri!” Rangga menyerahkan gulungan perban di tangannya, lalu melangkah cepat menyusul Rei. Langen dan Fani saling pandang dengan cemas. Dan tak dinyana, keduanya kemudian menjerit sekeras-kerasnya! Sekejap, suasana berubah jadi sangat hening. Tubuh Rei, Bima, dan Rarigga kontan membeku. Mereka tidak menyangka, kedua cewek itu akan membuktikan ancamannya. Suara-suara orang mengobrol di kejauhan pun ikut lenyap, berganti dengan suara orang-orang berlarian. Mendekat dan dalam jumlah banyak! “Elo...?” Rei menatap Langen dengan mata menyala. Tak lagi bisa bicara. “Kalo lo nggak mau mereka ngeliat gue dalam kondisi kayak gini...” Langen menyambar carrier-nya dan menarik keluar sebuah agenda. Dan bagian tengah agenda itu, ditariknya selembar kertas dan diulurkannya pada Rei. “Tanda tangan!” Rei membuka lipatan kertas itu dan tercengang. Baris paling atas, tepat di tengah, tertulis dalam huruf-huruf besar dan tebal. SURAT PERNYATAAN PENGAKUAN KEKALAHAN. Di bawahnya, tertulis dalam ukuran huruf yang lebih kecil, beberapa baris kalimat. Kalimat-kalimat yang membuat Bima dan Rangga, yang Iangsung bergabung begitu melihat ketercengangan Rei tadi, ikut tercengang juga. Kalimat-kalimat itu menerangkan dengan rinci, fakta yang diputar-balik dan apa yang saat mi tengah terjadi. Diawali pada paragraf pertama, dengan pencanturnan hari, tanggal, bulan, serta tahun, dan ditutup dengan lokasi. Paragraf kedua menerangkan bahwa di lokasi tersebut, telah terjadi pendakian bersama. Antara Tim Cewek (nama Iengkap Langen dan Fani tertulis dengan underline, juga nama lengkap Febi berikut dengan semua gelar kebangsawanannya), dan Tim Cowok (nama lengkap Rei cs juga tertera dengan underline). Paragraf ketiga menerangkan bagaimana pendakian tersebut kemudian terpaksa dihentikan, karena Tim Cowok tidak mampu lagi untuk meneruskan. Dengan berat hati, Tim Cewek terpaksa menyetujui untuk menghentikan pendakian, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, berkenaan dengan kondisi fisik Tim Cowok. Paragraf keempat, yang merupakan paragnaf terakhir, menerangkan bahwa isi surat pernyataan tersebut autentik, dipertegas dengan pembubuhan tanda tangan ketiga anggota Tim Cowok, di bagian paling bawah surat pemyataan tersebut. Begitu seluruh kalimat telah terbaca, kertas itu segera menjelma jadi gumpalan, karena diremas Rei dengan seluruh kekuatan. Ketika ketiga wajah itu mendongak, Langen dan Fani mendapati tiga pasang mata menatap dengan sinar kemarahan yang seperti sanggup menembus tengkorak. “Nggak masalah. Masih banyak cadangannya,” ucap Langen tenang. “Febi nggak ada!” tegas Rangga. “Gue, Fani, dan Febi, adalah satu paket. Ada nggak ada, tetep namanya harus dicantumkan,” Langen berkelit. “Cepet tanda tangan! Nggak usah banyak protes!” “Sayangnya, gue nggak bersedia!” ucap Rangga kalem. “Silakan lo berdua terus berdiri di atas sana sampe orang-orang itu dateng, dan gue akan bergabung dengan mereka.. .“ Cowok itu lalu tersenyum nakal. “Harus gue akuin, lo berdua... seksi. Sangat seksi!” Rei dan Bima menoleh bersamaan dan menatapnya tajam. Rangga mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. “Sori. Kali ini gue nggak bisa sejalan. Bener-bener penghinaan kalo gue hams tanda tangan.” “Nggak masalah,” jawab Langen tak acuh. Lalu dia menyambung dalam hati. Tunggu aja sampe Febi nongol di depan idung lo. Baru tau rasa! Sikap tegas Rangga seketika membuat Rei dan Bima bimbang. Keduanya menoleh ke arah suara-suara orang berlari di kejauhan, kemudian saling pandang. Mereka segera memperhitungkan apakah di sisa waktu yang benar-benar sempit mereka sanggup melumpuhkan kedua rival. Langen dan Fani seketika bergerak mundur. Tegak tepat di titik pusat batu oval. Mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan dilakukan Rei cs secara mendadak. Seperti mencekal pergelangan kaki, menarik tangan, atau tindakan-tindakan lain yang bisa membuat mereka berdua “terlempar” dan atas batu dan jadi pecundang. Benar saja. Dengan gerakan cepat, tiba-tiba Rei dan Bima bergerak ke dua arah yang berlawanan, lalu melompat ke atas batu dan sisi kiri dan kanan. Langen dan Fani terkesiap. Refleks mereka menyambar carrier masing-masing. Sekuat tenaga, mereka hantamkan carrier itu ke masing-masing lawan. Rei dan Bima, yang belum sempat menjejakkan kaki dengan benar, terlempar kembali ke bawah dan terkapar di sana. Rangga terperangah menyaksikan itu dan seketika geleng-geleng kepala dengan mulut ternganga. “Lo berdua gue kasih peringatan... Jangan macem- macem!” bentak Langen. “Tanda tangan atau gue terpaksa ngarang cerita yang akan bikin lo bertiga sekarat dihajar tuh orang-orang!” Rei bangkit berdiri dengan kedua tangan terkepal kuat. Kemarahan yang ditekan mati-matian membuat wajahnya merah padam. Sementara beberapa langkah di sebelahnya, Bima menatap Fani dengan sinar segarang Rei. “Lo kira lo siapa!?” Dengan sorot tajam, Langen menatap Rei dan Bima bergantian. “Arnold? Sylvester Stallone? Van Damme? Gue nggak ngeliat lo berdua punya pilihan lain... selain tanda tangan!” “Nggak ada tulang yang nggak bisa patah!” timpal Fani. Bima seketika mengepalkan tangan sampai seluruh buku-buku janinya memutih. Tapi itu malah membuat Fani semakin menantangnya, dengan cara menaikkan dagu tinggi-tinggi. “Dan tulang sangat diperlukan untuk menyangga otot-otot Hercules to itu, tau!” Tidak ada yang bergerak dan kedua kubu. Detik demi detik yang kemudian terlewat, benar-benar satu pertaruhan. Masing-masing kubu sama-sama berharap, di detik berikut berhasil mereka temukan celah untuk melumpuhkan Iawan. Ketegangan yang memuncak membuat Langen dan Fani tidak lagi merasakan dingin yang memeluk tubuh bagian atas mereka yang bisa dibilang semi telanjang. Bima juga sama sekali tidak menyadari bebatan lukanya melonggar dan rembesan darah tidak lagi tertahan. Gemuruh suara orang-orang berlari itu semakin dekat, dan semakin dekat, dan... semakin dekat! Rei mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Kemudian dipejamkannya kedua matanya rapat-rapat. Tidak ada yang harus dipertimbangkan. Saat ini saja dia sudah harus membagi apa yang seharusnya jadi miliknya sendiri, dengan kedua sahabatnya. Dan dari gemuruh derap kaki berlari yang terdengar, kemungkinan lebih dan lima belas orang sedang menuju ke sini sekarang. Ditariknya napas panjang-panjang. Kemudian dibukanya kedua matanya dan ditatapnya Langen lurus-lurus. “Mana surat pemyataannya?” Rangga terperangah. Begitupun Bima, tapi kali ini dia mengerti dan memahami tindakan Rei. “Apa?” Langen juga tercengang. Dia bertanya karena masih tak percaya. “Mana surat pemyataannya? Cepet!” sentak Rei. Akhirnya... salah satu kubu menyerah! Senyum kemenangan seketika tercetak di bibir Langen dan Fani. Cepat-cepat Langen meraih carrier, mengeluarkan agendanya, dan menarik selembar kertas dan sana. Diulurkannya kertas itu pada Rei dengan waspada. Jangan sampai cowok itu memanfaatkan peluang tersebut untuk menangkap tangannya lalu menariknya turun. “Sebentar,” ucap Langen. Rei yang akan melangkah menuju tempat Bima berdiri, seketika membatalkan langkahnya. “Jangan coba-coba nipu. Gue hafal tanda tangan to berdua. Jadi jangan coba-coba bikin tanda tangan palsu!” Sesaat sepasang mata Rei melumat Langen dalam kilat kemarahan yang memuncak. Sesudahnya, kembali dia meneruskan langkah mendekati Bima, meletakkan kertas itu di .punggung sahabatnya, dan mulai membubuhkan tanda tangan seperti permintaan pihak lawan. “Masukin kipas-kipasnya, Fan! Trus beresin carrier!” perintah Langen. Fani segera melaksanakan perintah itu. Dibereskannya carrier-nya juga carrier Langen, sementara Langen mengawasi dengan sikap waspada jalannya proses “pemindahan kekuasaan” yang terjadi di depannya. Lima detik kemudian, Surat Pernyataan Pengakuan Kekalahan itu selesai ditandatangani. Hanya dalam lima detik, kekuasaan Rei dan Bima yang selama mi hegitu mutlak dan absolut... berakhir! Langen menerima kertas yang diulurkan Rei, dan tersenyum puas saat melihat kedua tanda tangan yang tertera di sana, sama persis seperti yang sering dilihatnya. “Ini nanti mau gue laminating. Dan begitu elo-elo menyangkal atau melakukan hal-hal yang gue dan Fani nggak suka, kopi surat pemyataan ini akan langsung beredar di kampus!” ucapnya sambil melipat kertas itu dan menyelipkannya di antara halaman-halaman agenda. Langen dan Fani kemudian meraih jaket masing-masing, dan memakainya sambil meleletkan lidah panjang-panjang ke arah Rei dan Birna. Kedua cowok itu hanya bisa menatap sambil menahan rnarah dan gemas, tanpa bisa berbuat apa-apa. Di belakang keduanya, Rangga juga hanya bisa geleng-geleng kepala. Dengan cerdik kedua cewek itu tetap bertahan di atas batu. Baru setelah kelebat orang-orang yang berlanian itu terlihat di antara rirnbunnya pepohonan, keduanya melompat turun, dan berdiri dalam jarak arnan yang tidak terjangkau ketiga lawan. Dan menjelang orang yang berlari paling depan tiba di batas kerimbunan semak dan pepohonan, Langen cepat-cepat menghampiri Bima lalu menangis tenisak-isak di sebelahnya dengan kedua tangan menutupi muka. Rei cs kaget dan menatap Langen tak mengerti. Tapi hanya itu reaksi yang sempat mereka berikan. Karena sedetik kemudian sekelompok besar manusia berhamburan, menghampiri mereka dari arah jalan setapak. “Ada apa!? Ada apa!?” kerumunan orang yang berjumlah lebih dan sepuluh itu berseru bersamaan. Langen tenus terisak-isak di batik kedua telapak tangannya. Pertama, untuk meyakinkan para pendatang baru itu, bahwa dirinya sedang shock berat, jadi tidak bisa ditanya. Kedua, karena dia juga bingung mau jawab apa. Akibatnya, Birna yang jadi kelimpungan. “Tangan lo kenapa?” salah seorang cowok berkaus putih dengan kepala terikat slayer oranye bertanya cemas. “Oh, ini...” Birna mernaki dulu dalam hati. “Gue cuma agak lengah tadi. Nggak apa-apa.” “Nggak apa-apa girnana? Lo nggak lihat darahnya merembes gitu?” Bima mati kutu. Ditatapnya Rei dan Rangga hergantian, tapi kedua sobatnya itu juga belum menemukan jawaban yang tepat untuk rentetan pertanyaan tadi. “Coba gue lihat.” Cowok dcngan kepala terikat slayer itu menyentuh pelan luka di lengan Bima. “Nggak. Nggak usah!” Dengan senyum dipaksakan, Bima rnenjauhkan tangan itu dan lukanya. “Nggak terlalu parah.” “lya, mana coba gue lihat” Cowok berslayer itu memaksa. “Lo nggak lihat tuh, cewek lo nangisnya sampe begitu?” Mendengar itu sepasang mata Rei dan Bima kontan melebar. Sementara “tangis” Langen nyaris berhenti. Lewat sela-sela jari, bisa dilihatnya Fani nyaris terkikik. Orang-orang itu lalu mengerumuni Bima dan tak berapa lama terdengar seruan-seruan kaget. “Gila! Kenapa sih? Sampe parah gini lukanya!” “Kudu dijait nih! Lebar banget!” “Pantes aja darahnya sampe rnerembes gitu!” Ketika lewat sela-sela jari Langen melihat Birna telah menjadi pusat perhatian dan tidak rnungkin bisa melepaskan din, cepat-cepat dia turunkan kedua tangannya. Seketika didapatinya Rei tengah menatapnya tajarn dan luar kerurnunan. Langen mehirik ke segala arah, dan begitu mendapat kepastian semua mata saat ini sedang tertuju pada Birna, cewek itu mengembangkan senyurn manis tapi mengejek. Dengan gaya kenes, dia kedip-kedipkan kedua matanya yang ditutup dengan jari-jari yang melarnbai centil. Rei hanya bisa mendesis marah, geleng-geleng kepala, dan akhirnya mernalingkan tatapannya. Fani yang juga melihat kejadian itu menghampiri Langen sambil menahan tawa. Sementara itu Bima sedang mati-matian menahan sabar. Dengan suara yang dipaksa terdengar sesopan mungkin, dicobanya untuk mengusir orang-orang yang sedang mengerumuninya. “Thanks. Makasih banyak. Tapi sori kami buru-buru, rnau lanjut ke puncak.” Seketika seseorang berbicara dengan nada keras, “Jangan gila! Dengan luka kayak gitu, lo cuma nganter nyawa kalo rnaksa ke sana.” “Tau nih orang! Lo pendaki amatir, ya? Jadi lagi ngumpulin jam terbang, gitu?” yang lain rnenyambung. Tawa Langen dan Fani nyaris meledak mendengar itu. Bima pendaki amatir? Kejern banget tuh orang ngornongnya. Nggak tau apa kalo tuh monyet calon penerus takhta kepemimpinan Maranon? Salah seorang yang mengerurnuni Bima lalu menoleh ke I.angen, yang telah kembali memasang ekspresi takut dan cernas. “Bilangin cowok lo nih. Ngotot banget pengen lanjut ke puncak!” Langen meringis dalam hati. Lagi-lagi, ada kesempatan untuk mempermalukan lawan. Hari ini betul-hetul hari yang indah dan sangat sempurna! “Yaaah, gue sih bisa ngerti,” ucapnya lembut. Tatapannya terarah ke Bima, begitu lembut dan penuh pengertian. “Otot emang perlu menjejakkan dirinya di puncak. Karena kalau nggak begitu, keeksisannya akan abstrak. Tapi otak sama sekali nggak perlu begitu. Karena otak bisa merefleksikan puncak, di mana pun dia mau.” Kembahi Langen mengernbangkan senyumnya. “Tapi untuk bisa sampe ke puncak, jelas curna otot yang sehat. Otot sakit begitu kayaknya nggak rnungkin deh, Sayang. Nanti kamu malah mati, sebelom sampe sana....” Tawa Fani nyaris meledak. Buru-buru dia tekan hibirnya dengan satu tangan kuat-kuat. Dasar Langen gila! serunya dalam hati. Sementara orang-orang yang mengerumuni Bima memandang Langen dengan kening terlipat, karena tidak mengerti maksud kata-katanya. Bima menatap Langen dengan kilat kemarahan yang meletup. Mulutnya mendesiskan kata “kurang ajar” yang hanya bisa didengar olehnya sendiri. Rangga geleng-geleng kepala, tapi tidak lagi mampu menyembunyikan rasa salutnya. Untuk pertama kalinya Rei menyadari Langen memang lawan yang tangguh! “Tuh, cewek Lo aja tau. Udah turun aja. Lo kudu langsung ke rumah sakit. Ntar luka lo keburu infeksi. Bulan depan kami mau ke sini lagi. Kalo mau, gabung aja,” kata cowok yang berdiri di sebelah Bima persis. Bima tidak bergerak. Sepertinya masih tidak bisa menerima kenyataan kubunya telah kalah. Tapi Rei yang telah menyadari bahwa dia dan kedua sohatnya memang sudah kalah, menerima saran itu. Didekatinya Bima lalu dirangkulnya dengan satu tangan. “Oke, ayo turun!” Langen dan Fani saling pandang dan tak lagi mampu menyembunyikan tawa kemenangan mereka. Tanpa memedulikan sorot keheranan mata-mata di sekitarnya, Langen berseru keras ke arah sahabatnya. “Toss, Fan” Kedua cewek itu lalu ber-highfivc dengan suara keras. Kemudian dengan riang mengambil posisi di bagian depan. Empat orang menyaksikan peristiwa itu dan balik lebatnya semak belukar. Iwan cs minus Rizal, yang tadi ikut berlari di bagian paling belakang, lalu berhenti lebih dulu dan melepaskan diri dari barisan. Keempatnya tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang jelas, “pertempuran” itu telah selesai. Dan yang sama sekali tidak rnereka duga... Langen dan Fani berliasil keluar sebagai pemenang! *** Ibu Kartini, tokoh yang paling diidolakan Langen, bisa dipastikan akan murka melihat perjuangannya diteruskan dengan cara demikian. Tapi wanita atau perempuan atau cewek adalah makhluk yang diberikan keindahan. Dan kedua cewek itu, Langen dan Fani, berada dalam situasi yang benar-benar sulit. Benar-benar darurat, benar-benar apa boleh buat.. mereka terpaksa memanfaatkan anugerah keindahan itu. Hidup perempuan! Mungkin kata-kata itu sangat ingin diteriakkan Ibu Kartini kala itu. Seandainya tidak terhalang gelar Raden Ajeng, yang mewajibkannya untuk bertutur lembut dan bersikap patut. Hari ini, seratus tahun lebih sejak ia dilahirkan, tiga perempuan membantunya mengeluarkan teriakan yang hanya jadi gema di bilik-bilik hati yang paling dalam. Dengan kata yang sedikit berbeda karena perubahan zaman. “Hidup cewek!!!”
Posted on: Mon, 02 Dec 2013 08:45:09 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015