Chapter 7 The Endless Night Bunyi mesin tik tua itu masih saja - TopicsExpress



          

Chapter 7 The Endless Night Bunyi mesin tik tua itu masih saja terdengar bagai melodi tua yang mengiringi huruf demi huruf yang menceritakan kisah ini. Setiap huruf tercetak menyusupkan rasa dingin ke ujung jari-jemariku. Jangan tanya mengapa, mungkin apa yang akan kutuliskan terlalu kasar, terlalu sedih, atau terlalu pahit. Sepahit sebuah kabar baik yang tak pernah tersampaikan, sepahit seonggok cincin yang bersemayam rapi di kotaknya. Seolah enggan melingkar di jari manisku. Jariku berhenti seketika, membeku… entah apa yang membuatnya jadi begitu. Kucoba menarik nafas, menenangkan hati, mengusir rasa dingin yang rasanya sudah membungkus rapat ujung jariku. Butuh waktu bagiku untuk meredakan gejolak yang muncul begitu saja di kepalaku. Tentang sebuah malam yang bagaikan tanpa akhir. Tentang dia, tentang gadis itu, tentang aku… ===== And in the cold sad light Of the early morningtide, The dear dead girl came back And stood by his beside. ~Sir Arthur Conan Doyle – Passing~ Jalanan malam itu terasa lengang saat mobil yang dikendarai Nadya berhenti di halaman sebuah rumah yang difungsikan sebagai klinik. Nadya turun dari mobil dan bergegas melangkahkan kakinya memasuki klinik kecil yang terletak di pinggiran kota itu. Di klinik itu dulu kakaknya bekerja. Dan setelah sang kakak tiada, Nadya –yang memutuskan untuk mengikuti jejak kakak tercintanya sebagai psikolog dan dokter- melanjutkan yang biasa dilakukan oleh sang Kakak. Meski dia hanya membantu pada saat-saat darurat saja. Nadya masuk ke sebuah ruangan saat seorang dokter tua menyambutnya dengan raut wajah senang. “Syukurlah kau datang Nadya”, ujar dokter tua itu sambil merentangkan kedua tangannya. “Apa yang terjadi Dokter Oed?”, Nadya mencoba mencari tahu apa yang membuat Dokter Oed memanggilnya kemari tengah malam begini. “Sore tadi, seorang gadis datang bersama kakaknya ke sini. Sang adik memapah kakak perempuannya yang datang pada kami dengan darah mengalir di pahanya. Gadis itu datang pada saat yang kurang tepat, Ipus sedang ke luar kota, memberi beberapa perlengkapan obat”, Dokter Oed menceritakan dengan jelas dan tidak terburu-buru. Meski Nadya dapat melihat samar-samar, jari dokter tua itu bergetar. “Apa indikasinya?”, Nadya bertanya. “Candidal Vulvoganitis”, dokter Oed memelankan suaranya. “Dan beberapa infeksi akibat luka. Sepertinya gadis ini korban perkosaan, oleh karena itulah aku memanggilmu”. “Untuk menangkap pelaku?”, gadis itu mengernyitkan dahi. “Tidak…”, dokter tua itu menggeleng pelan. “untuk menenangkan psikis gadis itu. Dan membuatnya merasa nyaman”. “Hmm.. I see”, Nadya mengangguk mengerti. “kau sudah mengobatinya kan?, dimana gadis malang itu?”. Nadya masuk ke ruang istirahat klinik kecil itu, sebuah kursi sofa yang terlihat nyaman berjajar rapi. Sebuah tempat tidur pasien berada di samping kursi tersebut. Di atas ranjang pasien itu, seorang gadis tampak lemah, terbaring, pandangan matanya kosong. Kehadiran Nadya di ruangan itu menarik perhatian sang gadis. “Tidak perlu berdiri”, ujar Nadya sambil bergerak mendekati sang gadis. “masih terasa sakit?”, tanya psikiater cantik itu. Sang gadis hanya menggeleng lemah. “Maaf mengganggu istirahatmu, aku Nadya”, Nadya memperkenalkan diri sambil menjabat tangan gadis malang itu. “siapa namamu?”. Gadis itu masih diam, dia menatap mata Nadya dalam-dalam, Nadya tersenyum. “Tidak apa kalau kau tidak mau menjawab”, Nadya berkata sambil tetap tersenyum manis. “Angel…”, gadis itu menjawab dengan nada yang lemah, namun cukup untuk didengar oleh Nadya yang berada cukup dekat dengannya. *_*_* Beberapa menit yang lalu, Kantor Polisi. Halaman kantor polisi sama lengangnya dengan halaman klinik kecil di pinggir kota yang dikunjungi oleh Nadya. Hanya sebuah mobil sedan patroli yang baru saja datang. Seorang polisi muda tanpa seragam terlihat turun dari mobil. Langkah polisi itu tertahan saat Andre bergegas mendekatinya. “Dari mana aja Wa?”, tanya Andre sambil mulai menyalakan rokoknya. Polisi muda yang diajak bicara segera memberi hormat. Andre malah memberikan pukulan ringan ke perut sang polisi, membuat polisi muda itu sedikit membungkuk sambil memegangi perutnya. “Sudah berapa kali aku bilang, aku tak perlu hormat dari siapapun kecuali dari istriku nanti. Jangan kau tiru kebiasaan para pembesar lain yang gila hormat, Showa!!”, Andre menghisap rokoknya dalam-dalam setelah menyelesaikan kalimatnya. “Maaf komandan!, saya tadi disuruh Bu Nadya un…”, Showa terlihat sedikit gugup. “Ah sudahlah! Aku tahu itu. Sekarang kau siapkan mobil saja, kita akan melakukan penangkapan”, asap putih mengepul dari bibir Andre, menyembunyikan ekspresi pembicaranya. “Penangkapan?”, Showa terlihat terkejut. “Kalau kau punya pikiran bahwa aku akan mengajakmu menangkap belut, sebaiknya kau buang pikiran itu jauh-jauh”. Showa tidak menjawab, memang sempat terlintas di otaknya bahwa Andre akan mengajaknya menangkap belut, seperti yang biasa dia lakukan dengan rekannya Enya. Sebagai seorang polisi bagian investigasi, Showa memang kurang mampu melakukan analisa dengan cepat. Itu sebabnya Showa jarang diajak menangani kasus-kasus besar. Showa menyadari itu dan tidak menyerah, dia berusaha meningkatkan kemampuan analisisnya. Dimulai dari menganalisa tulisan yang ada dalam sebuah cerita panas di forum kesayangannya. Tanpa banyak kata Showa kembali membuka pintu mobil namun Andre mencegahnya. “kau mau buat buronan kita kabur begitu melihat mobil kita mendekat?”, ujar Andre ringan. “bawa SUV!”, perintahnya kemudian. *_*_* Nadya menghela nafas, pandangan matanya menyapu gadis muda di depannya yang tengah menangis sesenggukan. Sebuah seksual telah dialami oleh gadis muda yang telah mengambil jalan yang salah. Menyebabkan organ seksual dan psikologisnya sedikit terpukul. “Menangislah, itu akan membuatmu merasa lebih baik”, suara lembut Nadya tampak begitu halus dan menenangkan. Sebuah nada yang mampu membuat lawan bicaranya merasa seperti berada di rumah. Nadya berandak dari kursinya, mendekat dan memberikan pelukan hangat pada Angel yang masih sesenggukan. Saat itulah tanpa sadar dia menjatuhkan sesuatu dari sakunya, selembar foto. Angel memekik terkejut, raut wajahnya yang manis seketika berubah menjadi ketakutan. Pandangan matanya tak lepas dari selembar foto yang baru saja jatuh dari saku blazer Nadya, bibirnya bergetar penuh ketakutan. Nadya yang menangkap adanya perubahan itu segera mengambil foto yang jatuh tersebut. “Ada apa?, kamu kenal orang di foto ini?”, tanya Nadya sambil menatap mata Angel dalam-dalam, mencoba membaca apa yang ada di dalam di pikiran gadis malang itu. “it..itu…Tuan Mikail….”, Angel menjawab dengan terbata-bata, bibirnya tidak berhenti bergetar, seolah telah melihat sosok yang paling ditakuti. “Mikail?”, Nadya memandang foto Handi yang ada di tangannya. Tadinya dia mau menyimpan foto itu sebagai bahan review kasus seperti yang biasa dia lakukan saat menangani beberapa kasus terdahulu. “Apa orang ini yang melakukan hal kejam itu padamu?”. Angel mengangguk penuh ketakutan. Nadya terdiam sejenak, kenapa gadis ini memanggil Handi sebagai Mikail?, dan entah kenapa dia merasa nama Mikail tidaklah asing baginya. Sepertinya dia pernah mendengar nama itu sebelumnya, jauh sebelumnya. Nadya memasukkan kembali foto itu ke saku blazernya dan memejamkan matanya, mencoba mengorek ke dalam memorinya sendiri, mencari ingatan tentang ‘Mikail’. Mata Nadya terbuka cepat ketika dia berhasil mengingat tentang Mikail. Ingatan yang samar, namun Nadya tahu benar apa yang dia butuhkan untuk memperjelas ingatannya. Nadya beranjak dari ranjang tempat Angel beristirahat. “Semua akan baik-baik saja”, ucap Nadya dengan lembut, senyum menenangkan tersungging di wajahnya. “Aku akan pergi sebentar, kau istirahatlah Ngel”, tambahnya sambil melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu. “Bagaimana keadaannya?”, dokter Oed bertanya ketika melihat Nadya keluar dari ruangan. “Dia akan baik-baik saja, sudah mulai tenang sekarang. Ini bukan kasus pemerkosaan, hanya kekerasan seksual yang dilakukan pasangan saja”, Nadya menyembunyikan profesi asli Angel, bagaimanapun sebagai seorang psikologis, dia harus menjaga nama baik pasiennya, itu adalah kode etik untuk menjaga kepercayaan. “Terima kasih atas bantuanmu, Nadya”, dokter Oed mengucapkan terima kasihnya. “Ada sesuatu yang aku butuhkan, Paman….”, Nadya berhenti sejenak. “Ruanga kerja Mbak Vam masih seperti biasanya kan?”. “Ya, aku dan Ipus hanya membersihkan debu saja, kami tidak merubah tata letak ruangan, semua masih berada pada posisi yang sama, seperti yang kamu minta”, dokter Oed menjelaskan. “Ada yang kamu butuhkan di ruangan itu?”. “Aku pinjam ruangan itu, Paman. Ada sesuatu yang harus aku periksa”, Nadya berkata pelan sambil mengambil kunci ruangan yang tergantung di dinding. *_*_* SUV hitam milik kepolisian berhenti tepat di depan pagar besar yang jadi pembatas halaman rumah mewah. Kedua detektif kepolisian di dalamnya tidak segera turun dari mobil. Andre memandang tajam ke arah rumah mewah yang hanya terlihat atapnya saja, pandangannya seolah mencoba menjelajah tiap detail yang ada di dalam rumah itu. Seolah membuat rencana begitu dalam di benaknya. Andre menghentikan gerakan Showa yang hendak turun dari mobil. “Apa kau mau meninggalkan senjatamu, Showa?”, ucap Andre dingin, tanpa melepaskan pandangannya ke arah rumah mewah itu. Showa segera membuka dashboard mobil dan mengambil pistol USP Expert 45 buatan Heckler & Koch, sebuah pabrikan senjata ternama di Jerman. “Panggil bantuan, hubungi siapa saja untuk meluncur kemari. Ada yang aneh disini”, Andre menyiapkan Hi-Point 45 ACP, pistol buatan Amerika yang terkenal dengan akurasi tingginya. “Dengar Showa…”, Andre memeriksa cartridge senjatanya. “kita menghadapi kasus pembunuhan tingkat satu, dimana terjadi penyiksaan terhadap korban. Aku tidak akan terkejut kalau ada perlawanan dari tersangka atau jika tersangka memiliki senjata kelas berat”. Showa memasang wajah seriusnya, menyimak petunjuk yang diberikan Andre dengan seksama. Andre menahan keinginannya untuk tertawa saat melihat wajah serius Showa yang malah terlihat seperti seseorang yang sudah puluhan tahun menahan birahi seksual. “Waspada terhadap semua orang yang ada di dalam sana. Musuh mungkin tidak hanya satu. Dan… saksi kunci dari kasus ini juga ada di dalamnya. Prioritaskan keselamatannya. Kau paham kan?”. Showa sempat menggeleng sebelum akhirnya mengangguk. Andre menghela nafas panjang. “Pokoknya, jangan sampai mati, Oke?”, Andre mencoba mempermudah petunjuknya. “SIAP NDAN!!”, Showa berseru dengan gaya militer, membuat Andre terkejut dan lalu memukul kepala Showa dengan ujung senjatanya. “Kecilkan suaramu, Ndul!!”, bisiknya kesal. *_*_* Kediaman Handi, 1 jam yang lalu. Cahaya remang menerangi seisi kamar mewah itu, keadaan begitu hening. Sesosok gadis tampak terlelap tidur di balik selimut hangatnya. Begitu lelapnya hingga tak menyadari saat gagang pintu kamarnya bergerak perlahan tanpa suara. Gagang itu mencoba turun beberapa kali, pintu berbahan kayu mahoni itu tampak sedikit terdorong, namun tertahan karena terkunci. “Bangsat”, sosok di balik pintu itu mengumpat pelan saat dia menyadari bahwa pintu itu terkunci dari dalam. Sosok yang tengah mencoba masuk itu adalah Mikail. Jika saja Handi tidak meminta Thomas mencampuri minumannya dengan obat tidur dosis tinggi, mungkin Mikail sudah punya cukup tenaga untuk mendobrak pintu itu. “Kurang ajar kau, Handi…”. Desisnya penuh kekesalan. Mikail tidak menyerah, dia bukan tipe yang mudah dihalangi. Pria itu melangkahkan kakinya kembali ke kamarnya yang berada tepat di atas kamar Layla. Dan Mikail kembali mengumpat saat dia tidak menemukan kunci cadangan kamar Layla yang biasanya tergantung di belakang pintunya. ‘Pasti Thomas memindahkannya’, umpatnya dalam hati. Malam tanpa bintang adalah sebuah malam istimewa bagi Mikail, malam dimana dia punya kekuatan penuh untuk mengambil alih tubuh Handi dan melakukan apa saja yang dia mau tanpa invertensi dari Handi yang lemah. Di malam seperti inilah dia pertama kalinya bertemu dengan Layla kecil, di malam seperti inilah dia memperkosa dan menghabisi Vamola, gadis yang menjadi ancaman baginya. Di malam seperti inilah dia menghabisi orang tua Layla, dan kini… di malam tanpa bintang kali ini, dia akan menikmati tubuh dan jiwa Layla, gadis yang telah lama ditunggunya tanpa intervensi dari Handi yang selama ini mengganggunya. Mikail berjalan cepat ke kamar yang ditempati Thomas, tangannya menggenggam sebatang linggis, jika Thomas menolak menunjukkan dimana dia menyimpan kunci kamar Layla, bisa dipastikan otak tua milik Thomas akan berhamburan keluar kepalanya. Mikail sedang geram, dan tak ada satu hal pun yang dapat menghalanginya saat ini. Daun pintu terbuka ringan setelah beberapa ketukan, Thomas masih terlihat mengantuk, namun dia dapat dengan mudah mengenali Mikail, sorotan mata pria yang kini ada di depannya penuh kebengisan, penuh gairah dan penuh emosi yang meluap. “Jangan buat aku naik pitam, Thomas”, satu kalimat dari Mikail sudah cukup untuk membuat Thomas mengerti apa yang diinginkan Mikail. “Ampun, Tuan…”, nada suara Pak tua itu terdengar bergetar menahan ketakutan. Thomas bahkan tidak berani menatap mata Mikail. Pria tua itu bergerak mundur, meraih saku jaket yang tergantung di dinding dan menyerahkan sebuah kunci. “Keputusan yang bagus. Kau boleh menikmatinya setelah aku”, senyum bengis Mikail mengembang samar di keremangan lampu lima watt di kamar itu. Thomas memandang sosok Mikail yang menjauh, menatap diam tangan tuannya yang menggenggan sebatang linggis, dalam hatinya merasa lega, lega karena kepalanya masih utuh. Namun di satu sisi hatinya merasa bersalah, bersalah karena telah mengkhianati tuan-nya yang lain. *_*_* Bidadari muda yang cantik itu masih tertidur lelap di balik selimutnya saat pintu berbahan kayu mahoni terbuka pelan tanpa suara. Cahaya dari arah pintu menerangi kamar yang gelap itu. Mikail, dengan senyum bengisnya melangkah masuk, menutup kembali pintu dan menguncinya, masih dengan suara yang sangat pelan. Senyum bengis itu tidak juga pudar saat lampu kamar itu menyala, Layla masih terlelap dalam tidurnya, Mikail mendekati Layla dengan tenang, sebelum menyibak selimut dengan sangat kasar, membuat Layla seketika bangun dari tidurnya. Layla tidak sempat bergerak, ekspresi terkejut membuat mulutnya menganga tanpa suara. Sosok yang menyibak paksa selimutnya adalah Paman-nya sendiri. Tapi sorot mata itu berbeda dengan sorot mata Handi yang dikenalnya. “Jangan terkejut, cantik”, nada sinis yang berat keluar dari bibir Mikail. “Aku bukan Pamanmu, Handi juga bukan. Aku Mikail, akulah tuanmu cantik”, tambahnya bengis. Seketika itu juga intuisi Layla merasakan adanya bahaya, gadis cantik itu beranjak untuk lari, namun sebuah tinju menghentikan gerakannya, telak mengenai perut ratanya. Gadis itu kembali tersungkur di atas ranjang empuknya, menahan ngilu di perutnya. “Aku sudah menunggumu cukup lama jadi kuharap kau menikmati ini. Aku yakin tubuhmu pasti lebih nikmat dari tubuh Ibumu”, Mikail menindih tubuh Layla, merentangkan kedua tangan gadis itu dengan paksa, Layla menggeleng-geleng, menjerit, meronta, mencoba lepas dari iblis yang kini menyerangnya. Kata-kata Mikail, nada suaranya, seketika menghantarkan Layla pada sebuah ingatan, ingatan yang entah bagaimana telah hilang dari kepalanya. Dia ingat suara itu!, nada bengis itu!, helaan nafas yang kini terdengar jelas saat Mikail mulai menciumi leher jenjangnya. Pria yang kini menindih rapat tubuhnya, adalah pria yang saat itu menikmati tubuh Ibunya, beberapa menit sebelum membunuh ibunda malang-nya. “Lepaasss….”, Layla meronta dengan sisa tenaganya, namun percuma. Tenaga Iblis itu jauh lebih kuat darinya. Mikail mengecup lehernya, meninggalkan bekas-bekas merah di sana. Layla meronta beberapa saat, sebelum tenaganya terkuras, nafasnya terasa berat. Melihat buruannya melemah, Mikail tersenyum penuh kemenangan. Dengan tenang dia menggerakkan tangannya meremas payudara kanan Layla kencang-kencang. Tidak berhenti sampai disitu, iblis itu meraih kimono putih gadis itu dan membukanya paksa hingga tercabik di beberapa bagian. Layla menangis terisak saat Mikail melempar kimono itu menjauh, tubuh telanjang gadis muda itu kini menjadi santapan empuk sang Iblis. “Ahh…”, hanya desahan yang keluar dari mulut Layla saat dengan kasar Mikail memainkan jarinya di liang kewanitaan sang gadis. Tanpa ampun, Mikail memasukkan satu jarinya, merobek selaput dara sang gadis, darah perawan mengalir pelan di ruas jari tengah Mikail. Mikail memandang darah di jarinya, seringainya semakin lebar. Mata Layla terpejam menahan sakit saat Mikail menggerakkan jarinya keluar-masuk kewanitaannya dengan kasar, isak tangisnya diselingi jeritan-jeritan kesakitan. Di lain pihak, semakin sang bidadari terlihat kesakitan semakin lebar seringainya. Seolah dia tengah menikmati tiap rasa sakit yang diberikannya kepada sang bidadari. Kendati dalam paksaan, tubuh Layla masih layaknya tubuh wanita normal, air mata masih terus membasahi kelopak mata gadis malang itu, sedang di bagian lain, cairan kewanitaannya juga mulai membasahi vaginanya. “Sudah Paman….toloong”, Layla merintih diantara rasa sakit yang dideranya. “Rupanya sudah tidak sabar ya?”, Mikail tersenyum bengis, Layla menggeleng lemah saat sang iblis menarik jarinya keluar dari vaginanya. PLAKK!!. Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Layla, pandangan gadis itu berputar selama beberapa detik. Mikail beranjak dari ranjang, menelanjagi dirinya sendiri sambil memandangi gadis cantik impiannya. Dengan batang kejantanan yang sudah mengeras, Mikail merangkak pelan mendekati bidadari yang ketakutan. “Jang….. Ahhh!!”, rintihan kesakitan keluar dari mulut Layla saat Mikail menusuk-paksakan batang kejantanannya di liang kenikmatan Layla. Sempitnya vagina Layla membuat iblis itu melenguh, menarik nafas dan kembali berusaha menghujamkan penisnya lebih dalam lagi. Setelah batang kejantanannya tertanam sempurna, Mikail memacu tubuh muda gadis cantik itu tanpa belas kasihan. Layla merintih, tidak ada kenikmatan yang dia rasakan, hanya rasa perih dan rasa aneh yang kini menjalari tubuhnya. Rintihan Layla berangsur-angsur melemah, hanya deru nafasnya yang terdengar, berbaur dengan dengusan nafas Mikail yang kini menjadi laki-laki pertama yang menikmati tubuhnya. Mikail menghujam-hujamkan penisnya tanpa ampun, seakan tak ada lagi hari esok. “Ahh… akhirnya kunikmati juga kau, cantik”, celoteh Mikail sambil menghujam-hujamkan penisnya. “Kau lebih nikmat dari pelacur itu, Ibumu”. Mendadak Layla merasakan sakit kepala yang hebat, beberapa detik kemudian sesuatu terlintas di pikirannya. Bayangan darah, tawa seseorang, jeritan dan rintihan seorang wanita. Ibunya… kejadian ini membawa kembali ingatan Layla akan peristiwa keji di malam itu. “Akh!”, Layla memekik saat Mikail memberi satu rojokan keras ke vaginanya. Mikail mencabut penisnya, satu tamparan keras kembali mendarat di pipi Layla. “Berteriaklah!!, berteriaklah lebih kencang!!”, teriak Mikail seraya memberi satu tamparan lagi. Layla terlalu lemah untuk menjawab, tamparan-tamparan Mikail membuat pandangannya kabur. Mikail membalik tubuh telanjang bidadari cantik itu, membuatnya setengah merangkak sebelum kembali menghujamkan penisnya. “Akan kubuat kau mengandung anakku!”, ujar Mikail sebelum memacu tubuh indah Layla. *_*_* Andre dan Showa berdiri menatap pintu rumah mewah itu, sudah beberapa kali mereka menekan bel pintu, bahkan sempat menggedornya, namun tidak ada respon dari pemilik rumah. Intuisi polisi Andre merasakan ada ketidak beresan yang sedang terjadi, firasatnya semakin kuat saat dia melihat seekor gagak bermata merah menatapnya tajam dari atas pagar samping rumah mewah itu. “Sudah kau panggil bantuan?”, Andre mengeluarkan Hi-Point ACP 45-nya dan melepas kunci pengaman. Wajahnya mendadak menjadi sangat serius. “Radio panggilku ketinggalan di mobil, Ndan. Apa ada sesuatu yang gawat?”, Showa bertanya sambil ikut-ikutan menyiapkan senjatanya. “Firasatku buruk…”, Andre menghentikan kalimatnya sejenak, memandang bangunan mewah di hadapannya yang diam tak bergeming. “Kita harus masuk ke dalam dengan cara apapun”. “Pintu depan ini kelihatannya tangguh, Ndan. Apa kita dobrak dengan menabrakkan mobil ke pintu?”, ide penuh aksi muncul di kepala Showa. “Kau terlalu banyak nonton!!. Kita coba pintu samping atau belakang!”, Andre memberi isyarat pada Showa untuk mengikutinya. Untuk mencapai pintu samping atau belakang rumah mewah itu, mereka harus memanjat pagar dinding yang cukup tinggi, melintasi taman-taman yang sepi sebelum sampai ke sebuah pintu kecil di samping bangunan. “Bagaimana selanjutnya?”, tanya Showa sambil mengatur nafasnya yang memburu. Andre tidak segera menjawab, dia mengetuk pelan ke daun pintu di hadapan mereka. “Tidak terlalu tebal, yang ini bisa kita dobrak. Siapkan senjatamu!”, Andre mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. *_*_* Layla masih tak sadarkan diri saat Mikail beranjak dari ranjangnya, lelehan darah perawan gadis itu bercampur dengan lelehan benih dari laki-laki bengis yang baru saja menikmati tubuhnya. Mikail mengenakan pakaiannya kembali dengan tenang, lalu membuka pintu kamar yang telah diketuk berkali-kali. “Maaf tuan”, Thomas berkata sambil menunduk, menghindari tatapan buas Mikail. “Kita kedatangan tamu, dua orang polisi”, ujarnya tergagap-gagap. “Hmm?”, Mikail mengernyitkan kedua alisnya. “Datang selarut ini, jelas mereka tidak hanya berkunjung. Mungkin mereka sudah membawa surat penangkapan”, Mikail bicara dengan tenang, seolah dia sudah tahu ini akan terjadi. “Biar kuurus mereka, kebetulan aku sedang ingin memecahkan kepala seseorang”, senyum bengis kembali mengembang. “Dan sesuai janjiku, Thomas. Kau boleh menikmati Layla, dia cukup menjanjikan”. Mikail beranjak keluar kamar, sedang Thomas, sesuai apa yang diperintahkan padanya, masuk dan menutup pintu kamar Layla. Pria tua itu menggeleng iba saat melihat keadaan gadis cantik bertubuh molek dengan busana yang sudah tak karuan. Dalam hati, Thomas harus mengakui dia tergiur dengan kecantikan dan kemulusan tubuh gadis muda ini. Namun akal sehatnya masih cukup kuat, Thomas tua menggoyang tubuh Layla hingga gadis muda itu tersadar. “AHHH!!!”, Layla menjerit saat kesadarannya pulih. Jeritannya tertahan saat Thomas dengan cepat membekap mulut gadis cantik itu. Mata keduanya bertatapan sejenak, Thomas menggelengkan kepalanya, memberi isyarat agar gadis itu tidak menjerit. Setelah Layla kembali tenang, pelayan tua itu melepas bekapannya. “Pergilah Nona, cepat pakai ini”, Thomas menyambar pakaian Layla yang sempat tercabik saat Mikail memperkosa gadis cantik ini. Suara pelayan tua itu terdengar bergetar, sama gemetarnya dengan tangannya yang menyodorkan pakaian pada Layla. Layla tidak sempat bereaksi, dia memakai pakaiannya yang sudah tercabik di beberapa bagian. Thomas beranjak dari tempat tidur Layla, mendekat ke sebuah lemari kecil di sudut ruangan. Dengan sedikit bersusah payah pelayan tua itu menggeser lemari kecil itu, tersembunyi di bawah lemari itu, sebuah pintu persegi kecil. “Lewat sini, Nona”, ucap Thomas gemetar. *_*_* Andre dan Showa bergerak cepat dengan pistol di tangan mereka, keduanya bergerak masuk dari pintu belakang, keadaan rumah yang sepi seolah menjadi ancaman bagi mereka berdua. Meski samar, beberapa saat yang lalu mereka mendengar suara jeritan seorang gadis. Mereka yakin itu adalah Layla. Kedua polisi tak berseragam itu merapat ke dinding, beberapa meter dari mereka terdapat tangga ke lantai dua, tempat jeritan itu berasal. “Aku akan masuk”, Showa melepaskan pengaman pada pistolnya. “Jangan ceroboh”, Andre merentangkan tangannya menghalangi Showa. “Dia pasti mendengar saat kita mendobrak pintu. Kita bergerak bergantian, saling menjaga. Ikuti langkahku”. Andre berjalan pelan ke arah tangga, mengarahkan senjatanya ke atas namun dia tidak melihat apapun disana. Andre mulai melangkah menaiki satu persatu anak tangga, sambil tetap mengarahkan ujung senjatanya ke lantai dua. Showa mengikutinya, melakukan hal yang sama. Kedua polisi itu sampai di lantai dua, masih dengan satu keheningan yang mengancam, seolah malaikat maut sedang bersembunyi di dalam keheningan itu sendiri. Andre baru saja menjejakkan kakinya di lantai dua ketika secara mengejutkan, sebuah benda terbang ke arahnya. JLEBB!!! Andre memegangi kepalanya, sebuah kapak tajam menancap di dinding. Kapak yang cukup besar, siapapun yang melemparnya pasti memiliki tenaga di atas manusia rata-rata. Beruntun Andre berhasil menghindar dengan menunduk seketika. “Jangan bergerak!!”, Showa merangsek ke lantai dua, mengarahkan ujung pistolnya ke sesosok yang bersembunyi di kegelapan koridor. Sosok itu segera berlari masuk ke dalam koridor. “Hati-hati Showa!!”, Andre memungut kembali pistolnya yang sempat terlempar sebelum menyusul Showa yang sedang mengejar sosok itu. Baru beberapa langkah, suara jeritan Showa terdengar nyaring, Andre mempercepat langkahnya dan menemukan Showa yang berjalan terseok-seok sambil memegangi bahunya, darah segar terlihat merembes membasahi kemejanya. “Jangan banyak bergerak, Showa”, Andre membantu Showa bangkit tanpa menurunkan kesiagaannya. Sekilas matanya menangkap keberadaan saklar lampu di dinding, Andre segera menyalakan lampu, sekejap, ruangan itu menjadi terang. *_*_* Telepon di kantor polisi itu terus berdering, entah sudah beberapa kali telepon itu berdering, seorang polisi yang bertugas jaga malam itu menguap malas sambil bergegas menyeret kakinya ke arah telepon. “Kantor polisi, selamat malam”, ujarnya dengan suara yang sedikit parau. “Ini Nadya dari departemen forensik”, suara cantik Nadya terdengar di seberang, nada panik tersirat di tekanan ucapannya. “Oh!, bu Nadya, ada apa?”. “Dimana komandan Andre?, aku menghubungi ponselnya berkali-kali tidak ada jawaban. Apa dia ada disana?”. “Ehm… tidak Bu, Komandan pergi bersama Showa, membawa surat ijin penangkapan”. “Berdua?!, mereka hanya berdua saja?!”, nada suara Nadya semakin meninggi. “Iya Bu”. “Dengan siapa saya bicara?”, Nadya menanyakan petugas yang menerima teleponnya. “Saya Hulk, Bu”, petugas bernama Hulk menjawab. “Dengar, Hulk, ada kemungkinan Andre dan Showa sekarang tengah menghadapi bahaya. Orang yang mereka hadapi adalah penjahat yang sama dengan kasus sepuluh tahun yang lalu. Secepatnya kirimkan bantuan!”. Hulk terdiam sesaat, mencoba menyingkirkan rasa kantuk yang sempat menggerogoti kepalanya, kata ‘bahaya’ telah menyeretnya paksa kembali ke alam kesadaran. “Dimengerti Bu!, saya akan mengirim satu pasukan bersenjata kesana!”, jawabnya kemudian. Dr. Ipus, saudara kembar Dr. Oed baru saja kembali setelah berbelanja obat untuk klinik kecil mereka. Ipus sedikit terkejut saat Nadya dengan terburu-buru keluar dari ruang kerja Vamola dan bergegas mengambil jaketnya. “Ada sesuatu yang urgent?, Nadya”, tanya Ipus saat Nadya melewatinya. Nadya tidak menjawab, mengeluarkan sebuah pistol Hi-Point 45 ACP seperti milik Andre, mengisinya dan menyelipkan pistol itu ke pinggangnya. “Mikail!, pasien terakhir Vamola! Harusnya aku membaca catatan Vamola lebih rinci. Harusnya dari awal aku tahu Mikail itu adalah kepribadian ganda. Andre dalam bahaya, aku akan pergi dan menangkap pembunuh Vamola!”, jawab Nadya singkat sambil bergegas meninggalkan Dr. Oed dan Dr. Ipus yang kini saling berpandangan. *_*_* “Waspadalah, komandan”, Showa berbisik pelan sambil menahan luka di bahunya akibat ayunan benda tajam yang telak mengenainya. Andre berjalan pelan tanpa suara, jari-jemari di pistolnya seolah siap menarik pelatuk kapan saja. BRAKK!! Pintu sebuah kamar terbuka tiba-tiba saat Andre melewatinya, pintu berat itu menghantam tubuh Andre dengan telak, membuatnya terlempar beberapa sentimeter dari tempatnya berdiri. Pistol Hi-Point 45 ACP –nya terlempar beberapa langkah dari tempatnya jatuh. Tidak butuh waktu lama bagi Andre untuk melihat sosok yang keluar dari kamar itu, Mikail bergerak cepat ke arahnya, dengan sebilah kapak kecil di tangannya. Kapak yang beberapa detik kemudian terayun ke arah Andre. Latihan yang selama ini dijalaninya di kepolisian memberikan keuntungan bagi Andre, tubuhnya dapat bereaksi dengan cepat menghindari ayunan kapak Mikail. Dengan sigap pula dia berhasil melancarkan satu sapuan kaki ke arah betis Mikail, menyebabkan pria bengis itu kehilangan keseimbangan dan jatuh. Andre tidak berhenti disitu, dia tahu tidak ada gunanya memberi kesempatan bagi Mikail untuk melancarkan serangan balasan. Andre menerjang Mikail, menindihnya dan memberikan tiga pukulan ke arah pelipis Mikail. Tiga pukulan itu mengenai pelipis Mikail dengan telak, namun seolah mendapat kekuatan lebih, Mikail mampu berguling, Andre segera melompat menghindar ke belakang, menjaga jarak dari iblis yang mulai bangkit dari jatuhnya. Mikail mengangkat kapaknya sebelum kembali menerjang ke arah Andre. Serangan itu sudah dibaca oleh Andre, dia sudah menyiapkan sebuah serangan lain untuk mengantisipasi terjangan Mikail, satu tendangan diluncurkannya dengan cepat, mengenai perut sang iblis dengan telak. “Aarghh!!”, erangan keluar dari mulut Andre saat ayunan sebuah kapak mengoyak daging pahanya, dengan satu kaki Andre berguling ke belakang, darah mengucur dari paha komandan polisi itu. Seharusnya satu tendangan ke perut Mikail mampu menghentikan pergerakan Mikail, namun itu tidak terjadi, tubuh Mikail benar-benar seperti iblis ganas yang tidak merasakan sakit. Dan kini, iblis itu mendekat ke arah Andre, dengan kapak berlumuran darah di tangannya, siap mengirim sang komandan ke alam berikutnya. DORR! DORR! DORR!! Tiga letupan senjata menghentikan gerakan sang Iblis, tiga lubang di dadanya, darah merembes membasahi piyama yang dikenakan Mikail. Mikail sempat melirik ke belakang, ke arah Showa yang sedari tadi tertatih-tatih meraih pistol Hi-Point 45 ACP milik Andre. Tiga tembakan dilepaskan guna menghentikan Mikail. Showa bereaksi terlalu lamban menghadapi Iblis bernama Mikail yang tidak segera roboh meski tiga peluru menembus tubuhnya. Alih-alih roboh, kini Mikail mengangkat tangannya dan mengayunkannya ke bawah dengan cepat, membuat kapak di tangannya terlempar ke Arah Andre. Showa melepaskan tiga tembakan susulan, satu diantaranya menembus tengkorak kepala Mikail, membuatnya tersungkur seketika. Luka Showa di bahu kanan semakin terbuka, dengan tertatih petugas itu berjalan menuju Andre. “Komandan!, tidak…”, suara showa seolah tercekat saat melihat keadaan Andre, sebilah kapak yang dilempar oleh Mikail tepat membelah dahi sang komandan, darah terlihat mengucur. Showa terdiam, raut wajahnya tak bisa dibaca, seorang rekannya tewas di depan matanya, sejenak dia mengutuk dirinya sendiri yang gagal membidik ke bagian vital Mikail. Beberapa langkah dari mereka, sang Iblis Mikail tergeletak tak bernyawa. Pandangan Showa memudar saat samar-samar didengarnya sirene mobil polisi. *_*_* Aku terdiam, jari-jariku terdiam, seolah menolak apa yang baru saja aku ketikkan, seolah menolak apa yang kini telah terjadi. Ujung jariku seakan mati rasa, tak merasakan dinginnya AC ruangan ini, tak merasakan sentuhan udara di pori-pori jari, tidak terasa… bahkan saat ujung jariku mulai basah, tertetes bulir air mata yang jatuh dari pipiku. Malam itu, di malam tanpa bintang itu, aku memacu mobilku kencang-kencang. Seolah kencangnya laju mobilku dapat menepis firasat buruk yang terus berputar di kepalaku. Sesosok yang mendadak melompat ke tepi jalan membuatku terkejut, untungnya reflekku masih cukup baik dengan menginjak rem dan membanting kemudi mobil. Aku masih setengah tak percaya saat kulihat seorang tua berpakaian pelayan mendekat ke arah mobilku. Nafasnya masih berat, sepertinya dia telah berlari puluhan kilometer, aku semakin terkejut saat menemukan sosok yang kukenal tidak jauh di belakang orang tua itu. Malam itu, kutemukan Layla dan kepala pelayan Handi Leonidas –si tua Thomas- di tepi jalan, beberapa kilometer dari kediaman Handi Leonidas atau Mikail. Layla memelukku erat sambil menangis, pakaiannya tercabik di beberapa bagian, si tua Thomas menatap kami tanpa banyak bicara. Namun semua itu tidak mengubah kesedihanku kala tiba di kediaman Handi Leonidas. Dimana beberapa mobil polisi dan sebuah ambulan memenuhi jalan di depan rumah mewah itu. Aku masih ingat bagaimana Showa datang padaku dengan tangannya yang dibalut, bagaimana raut wajah Showa saat bibirnya bergetar, mengabarkan kabar yang hingga kini masih sulit untuk aku terima. Kuseka air mata yang jatuh, kubangkitkan kembali rasa percayaku pada Tuhan. Kehilangan seorang kekasih memang bukan akhir dari kehidupan, bukan alasan untuk meratap dan mengemis rasa prihatin dari siapapun. Mikail telah merenggut semuanya dariku, kekasihku dan bahkan kakak kandungku Vamola. Namun semua harus aku lewati dengan tegar. “Belum tidur, Kak?”, sebuah suara membuyarkan lamunanku. Kupalingkan pandanganku kepada sosok gadis muda yang kini tinggal bersamaku. Aku tersenyum memandang sosok Layla yang sangat cantik. Gadis ini telah melewati sebuah masa yang menyakitkan, begitu pula denganku. “Ini sudah selesai kok”, jawabku sambil tersenyum. Aku beranjak mendekat ke Layla. “Sudah selesai teleponnya?”. Layla mengangguk, sedikit tersipu menjawab pertanyaanku. Kini Layla tengah menjalin hubungan khusus dengan Showa yang pindah tugas ke Lampung, kabar terakhir, Showa sedang digadang-gadang sebagai calon AKP, setiap orang memang memiliki jalannya masing-masing. Kami berdua bergegas memasuki kamar tidur, sekilas, kupandang mesin ketik tua yang seolah menyimpan ribuan kenangan tentang malam. Entah kapan malam itu akan aku lupakan, entah kapan malam itu akan berakhir. Ah sudahlah… biarkan itu semua tersimpan, tersimpan rapi dalam sebuah malam tanpa bintang. Sebuah Malam Tanpa Akhir. Malam Tanpa Akhir - END
Posted on: Sun, 25 Aug 2013 05:24:15 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015