Cinta Tanpa Syarat Malam tahun baru 1999 adalah awal malapetaka - TopicsExpress



          

Cinta Tanpa Syarat Malam tahun baru 1999 adalah awal malapetaka bagi saya. Saya mengalami kecelakaan hebat setelah motor yang saya kendarai bertabrakan dengan sebuah mobil taft. Sempat sadar setelah terjatuh, saya melihat darah berceceran di sekitar lokasi. Gagal mencoba berdiri, saya baru menyadari bahwa kaki kanan saya terluka cukup parah. Urat besar di bawah lutut saya putus. Setelah dioperasi di Rumah Sakit Mekar Sari, Bekasi Timur, saya diharuskan istirahat total. Sejak saat itu saya harus menghadapi kenyataan pahit, kaki kanan saya pincang. Ya, saya cacat. Hari-hari pada proses pemulihan kondisi terasa amat berat. Betapa tersiksanya ketika saya harus merangkak menuju kamar mandi untuk sekadar buang hajat. Dan sejak saat itu saya sadar bahwa karunia Allah atas kesehatan dan kesempurnaan pada tubuh kita begitu besar. Dan orang yang rela menemani hari-hari berat itu dan merawat saya adalah ibu. Beliau membasuh darah yang kadang masih keluar dari kaki saya dan membasuh seluruh tubuh saya sebagai ganti mandi. Berbulan-bulan sakit itu hingga saya diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Kasih sayang beliau tak berkurang sedikit pun meski saya cacat. *** Alkisah, ada seorang pemuda yang dikirim ke medan perang. Dia prajurit muda. Setelah sekian lama bertempur, dia akhirnya diperbolehkan pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, pemuda itu menelepon kedua orang tuanya terlebih dahulu. ”Ibu, Ayah, aku sedang menuju pulang. Tapi, sebelum sampai, aku ingin menanyakan satu hal. Aku punya seorang teman yang ingin kubawa pulang bersamaku. Bolehkah?” ”Tentu. Kami sangat senang bertemu dengan temanmu itu,” jawab kedua orang tuanya. “Tapi, ada satu hal yang harus Ibu dan Ayah ketahui. Temanku ini sedang terluka akibat perang. Dia kehilangan satu kaki dan satu tangannya. Dia tak tahu ke mana harus pulang. Aku ingin dia tinggal bersama kita,” ujar sang pemuda. “Kasihan sekali. Mungkin kita bisa mencarikan tempat untuk temanmu tersebut,” tutur kedua orang tua pemuda itu. “Tidak. Aku ingin dia tinggal bersama kita,” tegas si pemuda. “Anakku, kamu tak tahu apa yang sedang kamu minta. Seorang yang cacat akan menjadi beban bagi kita. Kita punya kehidupan sendiri. Dan sesuatu seperti ini tidak bisa mencampuri kehidupan kita,” jawab ayah pemuda itu. “Menurut Ayah, sebaiknya kamu pulang dan lupakan saja temanmu itu. Dia pasti menemukan cara sendiri untuk hidup,” lanjut sang ayah. Prajurit muda itu terdiam sejenak. Lalu, dia menutup telepon. Beberapa hari kemudian, ayah dan ibu prajurit muda tersebut mendapatkan kabar dari polisi bahwa ada seorang pemuda yang bunuh diri dengan cara melompat dari puncak gedung. Berdasar identitasnya, diketahui bahwa pemuda itu adalah anak lelaki mereka. Dengan perasaan duka dan sedih, kedua orang tua itu datang ke tempat kejadian perkara untuk memastikan kabar itu. Ketika berada di dekat jenazah, kedua orang tua tersebut yakin bahwa jasad lelaki itu adalah putra mereka. Namun, yang membuat mereka sangat terkejut adalah jenazah itu hanya memiliki satu tangan dan satu kaki. *** Sering kali, tanpa kita sadari, kita kerap terpesona oleh penampilan luar seseorang. Ada seorang guru yang hanya suka terhadap murid yang pintar. Bahkan, ada seseorang yang hanya menghormati orang yang cantik, tampan, kaya, dan segala sesuatu yang bagus-bagus saja. Berapa banyak kata cinta yang terlontar dan kita dengar dalam sehari? Kata cinta dapat dengan mudah kita jumpai di majalah, surat kabar, televisi, radio, atau ponsel. Kata cinta juga gampang dijumpai di rumah, tempat umum, rumah sakit, atau diari sekalipun. Mudah saja seorang pria mengucapkan kata cinta kepada gadis yang cantik rupawan. Mudah saja seorang ibu mengucapkan cinta kepada anak yang lucu menggemaskan. Mudah saja seorang guru bilang cinta kepada murid yang rajin dan pintar. Mudah saja seorang bos menuturkan cinta kepada anak buah yang produktif dan kinerjanya baik. Namun, mudahkah kita mengucapkan cinta kepada seseorang yang tak secantik, serupawan, selucu, sepintar, dan serajin yang kita bayangkan? Apakah seorang pria akan tetap mengutarakan cinta apabila si gadis tak lagi cantik dan memesona? Apakah seorang guru tetap mengasihi jika muridnya malas dan membangkang? Tanpa disadari, kita acapkali hanya mau mencintai dan hidup bersama orang yang sempurna di mata kita. Namun, kita tak senang hidup dengan orang yang membuat kita tidak nyaman. Seperti kisah prajurit muda tadi, kedua orang tua itu mencintai dengan tidak tulus, harus dengan syarat. Mereka gagal dalam ujian keikhlasan. Dan untuk seorang ibu yang rela merawat dan membesarkan hati saya ketika saya merasa down, hanyalah doa agar Allah senantiasa menjaga dan memudahkan segala urusannya ketika kami tidak lagi bersama saat ini. Posted by Kasidah Cinta at 7:46 AM No comments: Terbang Ke Syurga “Anak-anak, coba renungkan apa yang paling kamu inginkan dalam hidup ini ?” begitulah pertanyaan sorang ustadz yang sehari-hari mendampingi para santri kelas satu sebuah sekolah menengah pertama boardingschool di Bandung. Aghil (keponakan suamiku ) menjawab “saya ingin terbang ke surga”. Teman-temannyapun tertawa, karena mereka pada umumnya menjawab sewajarnya anak-anak belia “ke mall, ke luar negeri, ketemu artis, dll”. Sang ustadz pun menanyakan kembali dengan pertanyaan yang sama. Jawaban aghil juga sama “aku ingin terbang ke surga”. Hingga diulangi untuk yang ketiga kalinya bocah berusia 12 tahaun itu masih menjawab dengan jawaban yang sama dan wajahnya tidak menunjukkan bercanda. Kisah diatas dituturkan sang ustadz pada saat melayat Aghil. Tidak ada yang menyangka kepergiannya begitu cepat. Setelah satu minggu di rumah sakit, penyakitnya baru terdiagnosa “tumor ganas kalenjar getah bening”. Malam seteleh terdiagnosa dia muntah darah dan mengelurkan darah dari hidungnya. Pagi sebelum sholat subuh Allah telah memannggilnya. Suasana menjadi mengharukan bukan karena dia mati muda tapi proses menuju dia meninggal insyaAllah adalah perjalanan yang khusnul khotimah. Teman-temannya bercerita bahwa hampir setiap malam di pesantrennya dia sering menagis karena giginya seperti mau lepas. Hinggga ketika sudah tidak tahan merasakan sakit barulah pulang dan opname. Saat masa mendiagnosis penyakitnya, Aghil mengeluarkan segala isi hati yang menjadikan rasa bersalah dan penyesalan kedua orangtuanya. ” Bu, Aghil mau curhat, sakitnya Aghil ini karena Azab. Aghil sebenarnya tidak mau masuk pesantren, jadi di pesantren Aghil bertemannya sama anak-anak yang nakal, anak-anak yang bodoh. Aghil minta maaf ya bu kalau Aghil salah”. Ibunya pun berurai air mata, bukan karena kesalahan sang anak, tapi karena menyesal tidak mengetahui keinginan sang anak, menyesal karena anaknya sampai takut menyampaikan isi hatinya, menyesal karena tidak memenuhi janjinya. Sebelumnya mereka pernah berjanji memenuhi keinginan Aghil untuk les gitar saat SMP. Tapi janji itu ditunda menungggu prestasi Aghil di pesantren. Seiring perjalanan di pesantren Aghilpun berkata ”Pak, saya ndak usah les gitar, mahal, nanti juga bisa dikeluarkan dari pesantren”. Aghil yang sehari-hari terlihat kekanak-kanakan menjadi begitu dewasa menjelang akhir hidupnya. Dia diberi kesempatan bertaubat, meminta maaf pada orangtuanya, menyampaikan cita-cita tertinggginya. Cita-cita yang mengalahkan keinginannnya untuk menjadi artis dan dapat uang banyak (Cita-cita inilah yang mengkhawatirkan sang Ibu). Sebelum sakit Sang Ibu merasa Aghil jauh dari dunianya (kedua orangtuanya pendidik). Sang Ibu tidak memiliki jiwanya sebagaimana sang ibu bisa menjiwai kedua kakaknya. Sang Ibu yang menyesal mengapa semasa kecil Ia begitu nyaman menitipkan Aghil pada khodimat. Khodimat yang menurutnya sangat baik. Khodimat yang akhirnya menguasai jiwa Aghil. Saat sang Ibu bisa mengerti isi hatinya, Ia diberi pilihan berdoa ”Antara mendokan bertahan hidup atau menyerahkan semuanya pada Sang Pemilik ruh” . Menjelang tengah malam Ia masih berdoa agar Aghil diberi kesembuhan, namun ketika melihat kondisi Aghil yang kesakitan, darah yang terus keluar, hatinyapun luruh, doanya berubah “Ya Allah berilah yang terbaik untuk anakkku”. Doa di pertiga malam terakhir ini dijawab menjelang subuh, aghil dijemput sang Jibril. Innalillahi wa innna ilaihi roji’un. InsyaAllah Aghil meninggal dengan jalan khusnul Khotimah, InsyaAllah keinginannnya untuk terbang ke surga tercapai. Ayah Aghil berusaha menegarkan keluarga. “Jika kita ingin bergandengan tangan dengan Aghil di surga maka kita kita harus sekualitas dia”. Pun Sang Ibu selalu mewanti-wanti pada keluarga dan kerabat ”rawatlah anakmu baik-baik jangan serahkan dia pada orang lain, pahami keinginannya jangan paksakan dia pahami keinginan kita”. Posted by Kasidah Cinta at 7:45 AM No comments: Menyepelekan Dosa Kecil Sudah menikah mas? Tanya seorang wanita yang duduk disampingnya, ketika menumpangi Pesawat Saudia penerbangan Indonesia-Saudi Arabia. Belum. Jawabnya enteng. Pemuda ini menceritakan kisahnya selama di pesawat yang duduk bersebelahan dengan seorang wanita, yang ternyata juga berprofesi sebagai pramugari. Saya cukup tersentak dengan cerita teman dari suamiku itu. Sontak saya menjawab. Kenapa sich nggak jujur aja kalau udah punya istri?. Kan kasihan istrinya disana. Ya bukannya apa-apa, kan kalau kita bilang kita udah nikah, nanti ngobrolnya nggak nyambung. Astagrfirullahal`azhiim, Aku beristigrfar mendengar jawaban teman itu. Bukan sekedar heran karena dia adalah seorang mahasiswa indonesia yang menuntut ilmu di Madinah, bahkan satu-satunya mahasiswa Asia yang lulus melanjutkan ke S2 dalam ujian beberapa waktu yang lalu. Ada persoalan yang lebih mendasar yang terpikir olehku. Segampang inikah seseorang melakukan kebohongan. Aku percaya dia tidak punya niat sama sekali untuk menyakiti perasaan istrinya. Meskipun kalau istrinya tahu, ini tentu hal yang menyakitkan. Istri mana yang tidak terluka hatinya jika mendengar suaminya mengaku-ngaku masih lajang kepada orang lain. Tapi kembali lagi, ada persoalan yang lebih mendasar. Ya bukannya apa-apa, kan kalau kita bilang kita udah nikah, nanti ngobrolnya nggak nyambung. Kata-kata yang mengalir seolah tanpa beban. Semudah itukah manusia melakukan dosa kecil. Bahkan untuk alasan yang juga sangat seserhana. Hanya sekedar agar obrolan berjalan menyenangkan. Ya Allah, Tidak sadarah bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang dibenci oleh Allah, tidak terpikirkah ada Zat yang tidak pernah berhenti mengawasi. Saya jadi teringat kata-kata yang populer di tengah-tengah akhwat masa-masa gadis dulu. Jangan lihat sekecil apa dosa yang engkau lakukan, tapi lihat sebesar apa Zat yang engkau tentang. Tanpa sadar, kita begitu sering menyepelekan dosa kecil. Mungkin awalnya hanya sekali, dua kali. Tapi ingat, dosa sekecil apapun, jika ia tidak dibersihkan dengan Taubat, maka ia akan tumbuh menjadi kebiasaan. Kita punya hati nurani. Ketika kita melakukan dosa, hati nurani itu akan menentang, memberontak. Tapi jika bisikan nurani itu juga tidak kita hiraukan, maka lama-kelamaan bisikan itu juga tidak akan kedenaran lagi. Karena ruang hati kita sudah dipenuhi oleh bisikan-bisikan syaiton. Dosa-dosa kecil yang kita lakukan seakan menjadi hal sepele, ringan tanpa beban. Atau perumpamaan lain yang sering kita dengar, Hati ibarat cermin. Jika ada noda dosa yang menempel lalu kita bersihkan dengan taubat, maka kesuciannya akan tetap terjaga. Namun jika noda-noda kecil itu kita biarkan, lama-kelamaan cermin hati itu akan berkarat, dan inilah yang menghijabi antara kita dengan Allah. Ketika kita melakukan dosa, kita seolah tidak bisa melihat cahaya Allah, karena dosa yang berkarat itu telah menutup cahaya itu untuk masuk. Maka berhati-hatilah dengan dosa kecil. Karena jika ia dibiarkan, maka ia akan bersarang dan menjadi virus yang mematikan hati kita. wallahu a`lam Bisshowab. Semoga bermanfa`at. Posted by Kasidah Cinta at 7:43 AM No comments: Diludahi Karena Berdakwah Syekh Solah Karim-nama samaran-adalah seorang Dosen di sebuah Universitas Islam terkemuka. Beliau telah menekuni bidang Sejarah Islam selama belasan tahun. Bisa dikatakan beliau adalah pakar dalam bidang Sejarah Islam dan Sunnah Rasulullah Shallallahu `alahi wa sallam. Disamping kesibukan sebagai Dosen beliau juga sering diminta menjadi pembicara dalam berbagai acara seminar, dialog, bedah buku, dan setiap minggu mengisi acara Sirah Nabawiyah disalah satu stasiun radio islam. Beliau juga aktif dan produktif menulis tentang Sirah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Suatu ketika beberapa orang anak muda datang ke rumah beliau. Anak-anak muda tersebut biasa mengadakan kunjungan mingguan ke rumah-rumah kaum muslimin dalam rangka silaturahmi dan berdakwah pada Allah `azza wa jalla. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Syekh Solah. Setelah sedikit bercengkrama, para pemuda tersebut mengutarakan maksud kedatangan mereka, yakni ingin mengundang syekh Solah untuk menjadi pembicara di mesjid tempat biasa mereka beraktifitas. Syekh Solah menyambut baik permintaan mereka. Dalam hal ilmu beliau memang tipe seorang dermawan. Beliau tak pernah minta imbalan setiap usai mengisi sebuah acara. Ketika ditanya sebab penolakan tersebut beliau menjawab, “Saya ingin berbuat karena Allah ta`ala, saya ingin mengikuti jejak pendahulu saya sebagaimana para Rasul dan Nabi.” Acara hari itu berlangsung dari setelah ashar sampai maghrib . Dan seperti biasa usai penyampaian materi keutamaan berdakwah di jalan Allah mereka mengadakan silaturahmi ke rumah-rumah kaum muslimin. Menjelang berangkat mereka menentukan siapa yang akan menjadi penunjuk jalan, yang akan ikut keluar, dan pembicara. Untuk menjadi pembicara mereka selalu memilih orang-orang yang alim diantara mereka. Pada waktu itu, Syekh Solah diminta untuk menjadi pembicara. Beliau pun dengan senang hati menerima permohonan mereka. Ketika telah sampai di sebuah rumah yang akan mereka kunjungi, salah seorang dari para pemuda mengetok pintu rumah tersebut. Setelah beberapa lama menunggu, keluarlah seorang laki-laki, kemudian dia bertanya, “Ada perlu apa kalian datang kesini?”. Salah seorang dari mereka berkata, “Kami datang dengan maksud untuk silaturahmi dengan anda.” Dengan nada marah dan kesal laki-laki itu berkata, Saya tidak sudi menerima kedatangan orang-orang seperti kalian, pergi dari sini!. Ia berkata sambil menyemburkan air ludahnya, dan air ludah tersebut tepat mengenai muka syekh Solah. Para pemuda merasa sangat bersalah pada syekh Solah. Mereka membantu syekh Solah membersihkan air ludah yang berserakan di wajah beliau. Mereka meminta ma`af pada beliau, karena sebab merekalah beliau diludahi oleh laki-laki tadi. Mereka menjelaskan bahwa laki-laki tersebut adalah seorang preman dan gemar berjudi, mereka datang padanya dengan harapan bisa mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Syekh Solah hanya tersenyum, kemudian beliau berkata, “Anak-anakku, terima kasih kalian telah mengajarkan satu hal penting untuk saya saat ini. Pada hari ini saya telah menyadari dan merasakan bagaimana berat, susah, dan sulitnya perjuangan Rasulullah Shallallahu `alahi wa sallam dalam menyerukan dakwah islam. Selama ini saya hanya menulis dan sering berbicara dihadapan orang banyak tentang Sirah dan Sunnah Rasulullah. Saya hampir tidak pernah terjun langsung ke lapangan.” “Dan hari ini telah tersingkap hakikat dihadapan saya, betapa dakwah bilqalam (dengan pena) begitu mudah dan betapa dakwah bilqadam (dengan berjalan kaki, mendatangi objek dakwah) begitu berat. Ya, betapa menulis di atas lembaran kertas sangatlah gampang sedangkan menulis di dalam lembaran amal sangatlah berat, butuh kesabaran, serta perjuangan tangguh.” Semoga kisah diatas bisa menjadi renungan kita bersama, insya Allah. Posted by Kasidah Cinta at 7:42 AM No comments: Ampuni Aku Yaa Rabb Aku duduk sambil tersungut di pojok beranda masjid. Hatiku geram. Sesekali gemerutuk gigi-gigi geraham yang bertubrukan menggoyang-goyang pipiku. Hembusan nafas antara putus asa dan rasa marah kulempar berulangkali. Kalau saja bukan karena di masjid, ingin segera kutumpahkan segala caci maki dan kejengkelanku sampai aku puas. Puas menumpahkan emosi kepada siapa yang telah menzalimi diriku. Pandanganku menyapu tangga masjid tua itu sekali lagi. Dari satu pojok ke pojok yang lain. Dari satu tangga ke tangga yang lain. Bahkan rak sepatu dan sandal di sisi tempat penitipan barang telah aku periksa berungkali. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya aku menerima kehilangan itu dengan terpaksa. Terpaksa menahan marah, jengkel, kecewa di ”Rumah” Tuhan. Terpaksa pula kehilangan kesabaran karena dizalimi di ”Rumah” Tuhan. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang kakek tua berjubah putih telah duduk persis di samping kananku. Aku setengah takjub. Belum hilang rasa jengkelku karena kecurian, kedatangan pria yang seolah misterius ini menambah kalut mesin beripikir di kepalaku. Meskipun begitu, sejenak aku terhibur. Ia tersenyum amat berwibawa. Wajahnya berseri. Janggutnya yang lebat rapih menyihirku. Ia menatapku dalam menghujam. ”Apa yang Engkau risaukan, anak muda?”, sapanya. Suaranya khas sekali. Berat dan kharismatik. ”Bapak, siapa?”, kujawab sapaannya dengan balik bertanya. ”Sama seperti kamu, anak muda. Hamba Tuhan. Mengapa wajahmu kelihatan marah dan tertekan?”, ia kembali bertanya tentang perasaanku. ”Saya kehilangan sandal. Sandal seharga duaratus limapuluh ribu. Baru saya pakai sakali ini”, jawab saya datar tidak seperti lahar kejengkelan yang membara sebelum bertemu laki-laki sepuh ini. ”Cuma sandal?”, ia balik bertanya mendengara jawaban saya. ”Ya, memang cuma sandal. Tapi harganya cukup mahal”, kilahku. ”Duaratus limapuluh ribu, itu harga yang murah. Belum sebanding”, kali ini pernyataannya lebih ditekan. Perasaanku ikut tertekan. Sejurus, lelaki sepuh berjubah putih itu berdiri. Tangannya diulurkan ke arahku. Anggukan kepalnya memberi isyarat, agar aku mengikuti langkahnya. Aku menurut saja. ”Mari saya carikan obat”. Obat? Aku tak butuh obat pikirku. Kalaupun yang kubutuhkan sekarang adalah sandalku kembali. Aku juga butuh tahu siapa orang yang telah mencurinya. Kalau perlu aku akan menghajarnya karena telah mengambil milik orang yang bukan haknya. Aku terus mengikutinya hingga sampai di suatu tempat yang mirip pasar tradisional tapi lengang. Aku dibawanya mampir ke sebuah toko. Susana di sekitar toko itu pun sepi. Hanya ada satu dua orang saja yang melintas dan melihat-lihat barang yang dijual. Kesepiannya mengantarku seperti tengah berada di negeri asing. Suasana dan orang-orang yang kujumpai asing. Orang yang mengajakku pun asing. Lalu, Aku ditunjukkan pada pemilik toko yang juga asing. Aku kemudian tahu, ia menjual sepatu dan sandal-sandal bekas. ”Anak muda, singgahlah sebentar dan tumpahkan kekesalanmu pada pemilik toko ini. Mudah-mudahan hatimu ridha atas sandalmu. Sandalmu belum sebanding”. Aku belum tetap mengerti maksud ucapan ”belum sabanding” lelaki sepuh itu. Aku ingin menanyakannya, tetapi ia keburu menghilang. Entah kemana. Tapak kakiku terasa panasperih. Kerikil dan tanah kering yang terbakar terik matahari, leluasa menusuk-nusuk hingga ke ujung jari kakiku yang tak lagi bersandal. Kakiku tersiksa oleh keculasan si pencuri. Dia telah memecah-mecah tumitnya hingga menyisakan garis-garis hitam. Jelek dan kusam. Yang kumaki kini bukan lagi si pencuri sandal, tapi juga kuratapi nasib kedua kakiku. Kuhampiri lebih dekat toko itu. Lebih dekat, kulihat sosok laki-laki bersurban duduk bersila di atas dipan. Gamisnya menutup tubuhnya hingga kedua kakinyapun tersembunyi. Melihat kedatanganku dan mendekat, laki-laki itu tersenyum dan menyambut hangat. Tapi sedikitpun ia tidak bergeser dari duduknya. Hanya mempersilahkan aku melihat-lihat barang bekasnya. ”Silahkan anak muda. Barangkali ada yang berkenan di hatimu”, laki-laki itu menyapa dan menawarkan dagangannya. Aku merasa ada baiknya memilih sepasang. ” Terima kasih. Kalau bukan karena pencuri sialan itu, mungkin saya tidak akan sampai di sini”. Aku mulai memaki lagi nasib buruk beberapa saat lalu. Tanpa terasa keluhan atas semua kesialanku tertumpah. Kumaki habis pencuri sandal mahalku itu seolah ia tepat di depanku. Suaraku geram, mataku jalang dan lidah kemarahanku menyambar-nyambar dinding caci maki dan menumpahkannya sebanyak mungkin sampai aku capek sendiri. ”Inna lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Sebegitu marah dan kecewanyakah Engkau anak muda?”, tiba-tiba laki-laki pemilik toko itu bicara. Segera Aku sepenuhnya sadar, bahwa pemilik toko itu menangkap semua emosi yang kutumpahkan. Umpat, caci maki dan seribu kata keji mungkin ia tangkap pula seluruhnya. Menatap matanya, aku malu. Mendengar responnya, aku membisu. ”Marah dan kata-kata kasarmu tidak sebanding dengan sandalmu yang dicuri. Jika si pencuri itu hadir di matamu, luka hatinya atas cacianmu tidak sepadan dengan luka memar di kakimu itu. Padahal kamu belum tahu alasan mengapa ia mencuri”, pemilik toko itu menghujam ulu hatiku dengan ucapannya yang tajam lagi datar. Aku terperangah dengan muka memerah. Kini aku jadi bulan-bulanan atas mulutku sendiri. Laki-laki itu melanjutkan, ” padahal bisa jadi ia mencuri karena terpaksa, bukan semata-mata karena kebiasaannya mencuri. Mungkin karena lapar, anak dan isterinya juga kelaparan atau karena satu dan lain hal sehingga memaksanya mengambil milik orang lain”. ”Tapi, mungkin juga karena memang orang itu terbiasa mencuri, bukan? Bahkan dilakukannya di masjid, Rumah Tuhan”, Aku mencoba membela diri. ”Mungkin juga. Bahkan karena nekatnya, di masjid pun ia lakukan. Namun, sikapmu menerima situasi demikian tidak pantas Anak Muda. Caci dan makianmu tidak mengembalikan sandalmu yang hilang, sementara mulutmu telah tidak sadar kau kotori dengan dosa oleh cacianmu itu”. Ulu hatiku semakin sakit. Aku yang tengah dirundung sial terus terpojok. Aku membatin. Tapi, kata-kata penjaga toko itu perlahan mempengaruhi kesadaranku. Ego dan amarahku hampir redup disiram bijak kata-katanya, meskipun letupan-letupan dendam kesumat kecil masih timbul tenggelam di ujung nafsu amarah. ”Sandal itu cukup mahal bagi saya. Dua ratus lima puluh ribu hampir seperdelapan dari gaji saya setiap bulan untuk harganya. Lagi pula, baru sekali ini saya pakai. Wajar kan jika saya kecewa dan marah?”, Aku masih mencoba bertahan di antara sisa-sisa ke-Aku-an yang kian padam. Laki-laki pemilik toko itu hanya tersenyum mendengar pembelaanku. Kepalanya menggeleng-geleng ritmis. Alisnya yang bertaut bergerak ke atas mengikuti gerak tubuhnya yang bergeser mendekati tepi dipan. “ Engkau masih beruntung, Anak muda. Karena cuma sandalmu yang hilang. Harga dirimu tidak koyak, rasa malumu tetap terjaga dan kepercayaan dirimu masih utuh. Kamu masih patut bersyukur sebab masih dapat berjalan tegak meskipun tanpa sandal. Kamu tidak pantas menjadi laki-laki rapuh dihantam marah hanya karena kehilangan harga dua ratus lima puluh ribu saja. Lihatlah keadaanku”. Laki-laki itu menyingkap ujung bawah gamisnya. Aku terkesiap. Ya Tuhan, dua kakinya buntung sebatas pergelangan. Aku merinding disergap ngeri. Tenggorokanku kering kerontang seketika. Inikah arti dari ucapan ”belum sebanding” orang sepuh beberapa saat lalu? ”Aku kehilangan dua pergelangan kaki, Anak muda. Aku juga tidak tahu berapa harga kedua kaki itu. Yang kuingat bahwa kecelakaan kerja yang kualami lima tahun lalu merenggut keduanya. Aku masih bersyukur nyawaku selamat. Allah masih menyayangiku. Lagi pula Aku tidak pernah membayar untuk sepasang kaki itu. Gratis. Kecelakaan itu adalah sunnatullah bahwa Yang Maha Memberi, meminta kaki yang dititipkan padaku dikembalikan pada-Nya. Kamu masih lebih beruntung berlipat-lipat. Allah hanya meminta sandalmu, bukan kakimu. Lihatlah, kakimu masih menapak dengan jemarinya yang masih utuh”. Aku membatu dalam kebisuan. Hancur lebur sudah kemarahan yang sejak tadi kumanjakan. Gemuruh dadaku berubah warna dari merah membara menjadi putih kebiruan. Sejuk, lumer dan dan akhirnya kerdil. ” Anak muda, jangan pernah berpikir absolut bahwa apa yang selama ini kita genggam adalah milik kita. Semua hal yang Kau pandang sebagai kekayaan, apapun wujudnya, hakikatnya hanya titipan. Manusia hanya sebatas diberi hak untuk memanfaatkan dalam kebaikan. Bukan memiliki sekehendak hati, apalagi dengan membabi buta seperti orang yang lupa bahwa dunai ini pun akan ditinggalkannya. Kalau hanya sekedar sandal saja Engkau sudah begitu takabur, bagaimana dengan kehidupanmu yang kelak juga akan diambil-Nya?”. Habis sudah diriku. Habis sudah egoku. Air hangat meleleh dari kedua kelopak mataku. Dadaku sesak oleh luapan tangis yang kutahan sedapat mungkin. Tagi guncangannya tak kuat kutahan. Sampai kemudian aku sadar sesadar sadarnya. ”Ayah, bangun Yah, sudah jam empat”. Antara jaga dan tidur aku merasakan sentuhan lembut di pundaku. Suara yang amat kukenal membangunkanku dari selimut malam dan menghentikan dengkurnya. Aku bangun dengan kelopak mata yang basah. Aku menangis dalam tidur, tapi air mata dan penggalan mimpi terbawa di alam jaga. Aku benar-benar hanyut. Jauh, jauh sekali. Ya Allah mimpi apa itu? Apakah Engkau tengah menegurku sebab beberapa minggu lalu Aku sempat mengeluh lama karena kehilangan telepon genggam untuk yang kedua kali? Alhamdulillah, Aku masih hidup dan masih diberi kesempatan menghirup udara pagi. Ya Allah, rizki yang kau beri memang datang dan pergi silih berganti. Ampuni Aku Ya Rabb. Posted by Kasidah Cinta at 7:39 AM No comments: Pelajaran Tauhid Di Waktu Fajar “Lihat, purnama nak!” Seruku pada anak-anakku yang masih berada di dalam rumah. Aku berdiri di teras, memandang ke atas, terkagum-kagum pada salah satu kreasi Allah Yang Maha Agung. Anak-anakku berhamburan lari ke luar. Sudah lengkap dengan perlengkapan sholat. Mereka semua mengucapkan tasbih, menyaksikan keindahan purnama yang tersisa di saat fajar. Hari itu memang salah satu dari hari-hari ayyaamul bidh, hari-hari pertengahan di bulan qomariyah. Bulan sedang berada pada puncak keindahannya. Keindahan mempesona yang masih tersisa saat fajar merekah. Kami sekeluarga baru saja sahur bersama, dan dengan penuh semangat hendak berangkat ke Musholla untuk sholat shubuh berjamaah. Istriku yang masih hamil muda memutuskan sholat di rumah. Si bungsu memilih ikut ibunya saja. Sepanjang jalan tak henti-henti anak-anak bertanya seputar peredaran bulan, orbit, dan peredaran matahari. Mengapa bulan seolah berjalan mengikuti kita, dan dimana posisi matahari saat bulan muncul. Aku menjawab dengan ingatan yang terbatas, terkadang bisa cukup meyakinkan, saat yang lain aku cukup menjawab, ”nanti kita cari di google ya ..!” Aku sholat, menghadap kepada Allah, dengan hati diliputi perasaan begitu kecil tak berarti. Bayangkan, menghadap kepada Allah, Yang Menciptakan bulan, menciptakan alam semesta, bahkan juga menciptakan diriku ini. Dia begitu dekat, lebih dekat dari urat leher. Dia Maha Melihat, bahkan melihat gerak batinku. Dia Maha Kuasa, dengan kuasa tak berbatas. Dia Maha Berkehendak, namun juga Maha Bijaksana. Bertemu dengan direktur perusahaan saja aku harus menyesuaikan diri, penampilan, sikap dan tutur kata! Apalagi menghadap ’Direktur Alam Semesta’! Sungguh, begitu banyak kelalaian yang telah hambaMu ini lakukan Ya Allah! Usai sholat, diskusi kami masih berlanjut. Kali ini di lapangan Musholla, di mana kami bisa menyaksikan langit luas, rembulan, dan beberapa bintang yang tersisa. Kututurkan kepada anak-anakku, betapa luar biasanya Dzat yang mampu menciptakan itu semua. ”Betapa luar biasanya Allah, Yang Mampu Menciptakan ini semua ...” Namun berdiskusi dengan anak-anak tentu harus sesuai dengan usia mereka. Berbeda dengan menyampaikan hal ini kepada orang-orang tua, yang umumnya akan merenung, dan duduk terpekur, meresapi kebesaran Allah Swt. Menyampaikan hal ini kepada anak-anak tidaklah mengurangi kecerewetan dan kelincahan mereka. Sambil melonjak-lonjak, si sulung yang hampir ABG mengatakan bahwa dia akan mencoba semakin khusyu dan rajin meminta kepada Allah, terutama saat sholat dhuha, agar naskah novel yang ia kirim ke penerbit bisa segera diterbitkan. Yang nomor dua masih ribut menanyakan tentang bagaimana sebenarnya siklus peredaran bulan dan matahari. Aku tersenyum saja, menikmati antusiasme mereka. Namun kucoba terus menanamkan ke dalam pikiran mereka, bahwa menyadari kebesaran Allah adalah sesuatu yang akan mengantarkan kita kepada khusyu’ nya sholat. Saat sholat, rasakan betul bahwa kita tengah menghadap Rabb Yang Menguasai segalanya. Kalau sudah seperti ini, mungkin kita akan gemetar, minimal hati kita bergetar, kekhusyuan akan mengalir, dan permohonan ampun serta berbagai permintaan dapat kita ajukan dengan penuh kesyahduan dan keyakinan. Apakah ini topik yang terlalu dini bagi anak-anak? Aku yakin tidak. Mengenal Allah adalah pelajaran paling dini yang mestinya ditanamkan oleh para orang tua kepada anak-anaknya. Walaupun - sayangnya - pengetahuanku sendiri amatlah terbatas, dan masih banyak orang-orang lain yang lebih faham dan sholeh dari pada diriku dalam mengajarkan hal ini, namun aku adalah ayah mereka. Artinya akulah yang paling bertanggung jawab, meski aku bukan orang yang paling alim. Akulah yang sehari-hari mereka lihat, dan akhlaqku pula yang akan mewarnai akhlaq mereka dan bahkan akhlaq ibu mereka. ”Maaf Bi, kemarin aku enggak sempet sholat dhuha di sekolah, enggak sempet!” kata si nomor dua dengan mimik serius. Anak sembilan tahun ini memang berusaha melazimkan sholat dhuha di sekolahnya, dengan cara ’mencuri 10 menit’ jatah bermainnya di sekolah. Bahkan ia berhasil ’mempengaruhi’ beberapa orang temannya untuk mengikuti jejaknya melazimkan sholat dhuha. ”Tapi kemarin tilawahku selesai kok, satu juz,” katanya lagi, seolah-olah membela diri. Dan aku pun tersenyum, menegaskan persetujuan, dukungan, dan rasa sayangku, tanpa kata. Sementara jauh di dalam hatiku menetes air mata syukur, dan doa penuh harap, agar Dia memelihara kami, berkenan menjadikan kami sebagai kekasih-kekasih-Nya. Posted by Kasidah Cinta at 7:37 AM No comments: Suami Yang Mudah Terpancing Emosi Beberapa hari yang lalu dalam suatu kesempatan seseorang bercerita pada saya tentang curhat seorang temannya. Kisah yang begitu membuat hati saya terenyuh dan larut dalam kesedihan. Saya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu, apalagi usia pernikahan saya yang masih muda belum membuat saya berani untuk memberikan saran dan masukan. Namun rasa peduli dan iba yang muncul dalam hati membuat saya ingin mencoba untuk sedikit berbagi pengalaman. Ia bercerita, “Rahma-nama samaran- adalah seorang wanita yang tidak berlatar belakang pendidikan agama (pesantren). Ia dinikahi oleh seorang pria yang di kampungnya dikenal sebagai seorang ustadz yang sangat ramah dan berpengetahuan luas dalam hal agama. Awalnya Rahma sangat berharap akan hidup bahagia dengan menjadi istri bagi seorang ustadz yang sangat dikagumi dan dihormati oleh masyarakat di kampungnya. Dan memang, sebelum dia dipersunting oleh sang ustadz, dia sangat simpati pada ustadz tersebut karena disetiap pengajian dan ceramah yang disampaikannya, mampu menyejukkan hati para pendengarnya, dan dia mengira dan berharap sang ustadz akan mengamalkan semua apa yang disampaikannya pada masyarakat. Pernikahan mereka baru berusia tiga tahun, namun selama ini rahma merasa seolah-olah ucapan dan sikap sang suami sangat berbeda. Ketika di luar rumah, sang suami kelihatan ramah, lembut, dan sangat penyayang, sehingga masyarakat sangat menghormatinya. Namun sebaliknya, ketika di rumah, sang suami bersikap keras dan sangat mudah terpancing emosinya. Hati Rahma sangat terpukul ketika suaminya berkata kepadanya, “Dasar istri (maaf) anjing.” Ketika mendengar kata-kata itu perasaan Rahma sangat terpukul dan merasa sedih sekali. Gara-garanya rahma mengkritik sang suami dengan berkata, Ketika ceramah kamu berkata begini dan begitu, namun giliran di rumah kamu selalu menghardik dan berkata kasar kepada istri.” Menurut Rahma, walaupun dia tak tahu banyak soal agama, namun dia tahu bagaimana seharusnya sikap seorang suami kepada istrinya. Awalnya rahma berharap, suaminya akan memperlakukannya dengan lemah lembut, mengecup keningnya, mengucapkan salam dan menanyakan kabar istri ketika masuk rumah, menolong pekerjaan istri, dsbnya, sebagaimana cerita indah pasangan suami istri para sahabat nabi, terutama Rasulullah. Namun seolah-olah itu hanya tinggal impian belaka. Selama ini dia merasa sudah melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang istri dan ibu, walaupun masih ada beberapa kekeliruan dan kesalahan kecil yang sebenarnya masih bisa ditegur dengan cara baik-baik. Dia merasa, sikap suaminya tersebut bukan malah menyadarinya dari kesalahan-kesalahannya, namun malah menambah sakit hati pada sang suami.” Saya bisa maklum bahwa pernikahan tidak selalu bahagia. Ada saat dimana gejolak dan benturan-benturan mencoba mengolengkan bahtera rumah tangga. Namun sesulit apapun kondisi yang menghadang, jika dihadapi dengan pikiran jernih, hati yang bersih, dan azam yang kuat, cepat atau lambat jalan keluar akan nampak juga. Belajar dari kisah Rahma diatas ada hal penting yang patut kita perhatikan, terutama bagi yang ingin menikah, bahwa sangat penting sekali sebelum melangkah pada jenjang pernikahan seseorang harus tahu dan mengenal watak, karakter, dan pribadi orang yang akan ia jadikan teman hidupnya. Umpama seseorang akan melakukan perjalanan jauh, ia harus bijak dan pandai memilih kawan agar tidak sengsara dalam perjalanan nantinya. Memilih kawan yang jujur, amanah, se-ide, dan berhati baik. Dalam upaya untuk mengenal lebih jauh kepribadian calon pasangan tetap harus dalam koridor syar`i dan bukan dengan cara pacaran yang banyak digandrungi muda-mudi saat ini yang cenderung membawa pada kemudharatan dan pelampiasan syahwat sesaat. Terkadang, sebagian orang terlena dengan penampilan sesaat yang cukup mengesankan, namun di dalam diri orang tersebut ada sikap tidak baik yang berusaha ia tutupi dari orang lain. Ibarat seseorang yang menjadi artis, dalam film ia begitu anggun, berjilbab, sopan, ramah, ya begitu memikat hati, menjadi idola, dan kebanggaan banyak orang. Tapi di luar film, dalam keseharian, banyak prilakunya yang jauh dari tuntunan agama. Dalam upaya mengenal kepribadian calon pasangan, jalan yang bisa kita tempuh adalah: Pertama, dengan meminta petunjuk pada Allah melalui shalat Istikharah dan shalat Hajat. Allah yang Maha Mengetahui akan menunjukkan jalan dan memberikan ketenangan kepada hati terhadap pilihan kita. Kedua, dengan meminta tolong pada pihak terdekat dengan calon, seperti kedua orang tuanya, saudara/inya, teman-temannya, dllnya. Atau dalam istilah lain bermusyawarah dengan mereka tentang pribadi calon tersebut. Menanyakan kesehariannya, kebiasaannya yang positif dan negatif, prilakunya, wataknya, dan seterusnya. Sehingga itu menjadi pertimbangan sebelum menjatuhkan pilihan. Apabila kita sudah istikharah, hati merasa mantap, dan setelah bermusyarah hati semakin yakin, insya Allah teruslah melangkah, itu menjadi petunjuk bahwa pilihan tersebut adalah yang tepat dan sesuai saat ini. Walau nanti setelah berumah tangga akan ada masalah yang terjadi itu adalah hal yang wajar. Karena ibarat kita mengarungi samudera yang luas, tidak selamanya akan tenang, akan ada ombak yang akan mencoba menggoncang bahtera rumah tangga. Sehingga setiap individu diharapkan untuk tetap berpikiran jernih, berbaik sangka, dan tenang walau dalam kondisi sesulit apapun. Ketika terjadi konflik dalam rumah tangga, suami suka berkata kasar dan menyakiti hati istri, ada dua faktor yang mungkin menjadi pemicu; internal dan eksternal. Internalnya adalah istri, ia harus melakukan introspeksi diri. Bagaimanapun juga hal itu harus dilakukan dengan pikiran yang jernih dan keinginan yang jujur. Apakah selama ini kata-kata dan sikapnya pernah melukai dan menyinggung hati suaminya. Jika setelah diteliti hal itu tidak ia temukan, dan istri merasa yakin bahwa sikapnya selama ini masih wajar dan tidak berlebihan, maka pemicunya mungkin berasal dari eksternal, yaitu suami. Sebagai seorang istri yang menginginkan kebaikan dan keutuhan rumah tangga ia harus mencoba bertanya pada suaminya dengan tenang, sabar dan lembut, melalui lisan (langsung) atau tulisan jika secara lisan tidak memungkinkan. Apa yang menjadi penyebab sikap suaminya begitu kasar. Apakah selama ini ia telah berlaku tidak baik, tidak sopan, dan tidak menyenangkan. Apa saja sikapnya yang tidak disukai suami selama ini. Jika suami mengatakan ada, dan ia menyebutkan, maka minta maaflah padanya, dan berjanjilah untuk segera merubahnya. Namun jika setelah ditanya secara jujur ia mengatakan tidak ada, barangkali sang suami sedang menghadapi permasalahan, baik itu pribadi atau dengan orang lain. Untuk hal ini coba dengan baik-baik menanyakan pada suami. Dan utarakan bahwa apa yang menjadi beban suami, juga menjadi bebannya, dan katakan bahwa ia akan selalu siap, setia, dan membantu segala kesulitan suaminya. Bila suami enggan untuk memberi jawaban/bercerita, cari tahulah orang terdekat dengannya, mungkin orang tua, saudara/i dan lainnya. Orang yang ia segani dan ia dengar kata-katanya. Coba tanyakan pada orang tersebut adakah suaminya bercerita tentang dirinya/rumah tangganya atau permasalahannya, jika tidak ada, coba utarakan pada orang terdekat itu kondisi yang kini tengah ia hadapi dengan suaminya dan meminta tolong untuk menyelesaikan permasalahan itu. Baik secara person atau mempertemukan kedua belah pihak untuk mendamaikan. Dibawah ini ada kiat-kiat untuk meraih kasih sayang dan melunakkan hati suami : 1. Selalulah berdoa pada Allah agar diberikan ketabahan terhadap ujian yang tengah menimpa rumah tangga, memohon pada Allah agar menjaga keutuhan rumah tangga, meminta ampun atas dosa-dosanya dan dosa-dosa suaminya, dan memberi petunjuk pada suaminya untuk merubah sikapnya. 2. Sekali-kali (jika sering sangat baik), bangunlah di malam hari untuk berdoa pada Allah seusai shalat Tahajud, dan alangkah indahnya ketika seorang istri berdoa di keheningan malam dengan deraian air mata tulus di hadapan Allah, berdoa untuk keutuhan keluarga dan kebaikan suaminya. Apalagi kalau hal itu tanpa ia sadari diketahui suaminya, dengan izin Allah, suami akan terharu, meneteskan airmata, dan menyadari kekeliruannya. Sedikit cerita dari seorang teman saya dari Yaman. Kisahnya tidak jauh beda dengan Rahma. Sang istri tersebut selalu bangun tengah malam sendiri. Dalam shalat dan doanya ia menangis panjang dan hal itu tanpa ia sadari diketahui oleh suaminya. Suaminya terharu, ikut menangis, dan sejak saat itu kehidupan rumah tangganya menjadi harmonis, sakinah dan penuh mawaddah. 3. Bagaimanapun kasar dan kerasnya perlakuan suami, cobalah untuk tetap tenang, sabar dan tersenyum. Selalu memberikan perhatian tulus dan pelayanan terbaik pada suami. Yakinlah bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan kesabaran hamba-Nya. Dan yakinlah bahwa hati yang keras suatu saat akan luluh juga dengan keistiqamahan kita dalam kebaikan. 4. Berilah selalu penghormatan yang tulus. Mudah tersenyum. Berikan perhatian tulus pada suami, tanyakan apa keinginannya, lakukan apa yang ia perintahkan, sambut mesra ketika ia pulang ke rumah, dan tanya keadaannya. Jika ia bekerja di luar rumah, secara rutin, teleponlah ia, tanyakan kabarnya, kesehatannya, sudah makan, sedang apa, dsbnya. 5. Jangan bosan untuk mengatakan, “Aku cinta padamu”, “Aku rindu padamu kanda”, “Dinda sayang pada kanda.” Dan ungkapan-ungkapan mesra lainnya. 6. Sekali-kali ajaklah ia berjalan-jalan/bertamasya, dalam perjalanan itu katakanlah dengan tulus sambil menggenggam erat tangannya, “Kanda aku sangat mencintaimu, seperti seorang bidadari sorga yang mencintai suaminya”. “Kanda aku bahagia hidup bersamamu”, dan kata-kata mesra lainnya. 7. Selalulah berhias di hadapannya, gunakan parfum yang ia sukai, ya selalulah tampil anggun, bersih dan rapi ketika bergaul dengannya. Buatlah diri selalu menarik di hadapannya, rawatlah selalu kesegaran dan kecantikan wajah serta tubuh. Jika ia berada dirumah jadikan hatinya paling senang jika berada di rumah, buatlah rumah senyaman mungkin dengan tata ruang yang manis, rapi, dan indah menawan. 8. Sekali-kali candailah ia, ajak ia tertawa dan bawakan cerita-cerita yang membuatnya tersenyum dan terhibur. Pujilah ia, hargai pendapatnya dan berikan ia dorongan ketika ragu untuk melangkah pada kebaikan. Semangati ia bahwa ia akan selalu ada disampingnya. 9. Jika ia salah dan keliru, mudahlah memberi maaf dan balaslah dengan kebaikan. Jangan egois dan selalu mementingkan keinginan sendiri. Terbukalah padanya, jangan menutup-nutupi sesuatu darinya . Jangan langsung marah jika menemukan sesuatu yang tidak disukai darinya. Tetapi ajaklah ia berdiskusi, dan mintalah saran, dan pendapat darinya. Dan berilah pengertian kepadanya bahwa apa yang dilakukannya akan berdampak buruk bagi keutuhan kehidupan berumah tangga. 10. Jika ia butuh bantuan, segeralah memenuhinya. Jadilah orang yang selalu perhatian terhadap kebutuhannya. Dan sangat banyak hal lainnya yang bisa dilakukan. Tak lupa juga untuk membaca kisah-kisah istri teladan yang telah mengharumkan sejarah. Sebagai seorang hamba Allah kita harus tetap sabar, tenang, berbaik sangka, optimis, dan yakin bahwa seberat apapun ujian dan kesulitan yang menimpa seorang hamba, Allah juga telah menyiapkan jalan keluarnya. Semua itu merupakan medan ujian guna meningkatkan kualitas iman dan ladang amal untuk memanen pahala. Kita harus selalu percaya bahwa Allah selalu beserta hamba-Nya yang sabar dan tawakal dalam menjalani hidup dan selalu memohon pertolongan-Nya. Semoga tulisan yang sederhana ini memberi manfaat buat kita semua, insya Allah. Wallahu a`lam bish-showab. Posted by Kasidah Cinta at 7:36 AM No commen
Posted on: Sun, 03 Nov 2013 03:37:40 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015