Dangel karya : luna torashyngu part 18 “SEMUA pasukan - TopicsExpress



          

Dangel karya : luna torashyngu part 18 “SEMUA pasukan telah keluar, Jenderal!” “Bagus,” kata Duta. “Siap ambil langkah selanjutnya. Atur waktu peledakan lima belas menit dari sekarang!” *** “Seluruh pintu terkunci. Kita tidak dapat menerobos masuk!” AKP Syaiful Amdi meneliti sebuah pintu logam yang menghalangi perjalanan mereka. “Pakai segala cara! Bila perlu ledakkan!” perintahnya kemudian. *** Andika berusaha melewati pintu yang tertutup dengan merusak sirkuit elektroniknya. Sejauh ini berhasil, sampai dia berhadapan dengan koridor yang ditutupi serangkaian sinar laser. Dia lebih terkejut lagi saat menyadari koridor di belakangnya yang tadi dia lalui juga aktif rangkaian yang sama. Dia dan Bastian terjebak di tengah koridor. Andika tahu mereka nggak bisa terus dalam keadaan seperti ini. Dia ingin tahu laser jenis apa yang mengurungnya. Andika melepas jam tangannya dan melemparkan pada salah satu konfigurasi laser di depannya. Begitu menembus laser, jam tangan itu langsung terpotong menjadi beberapa bagian. Laser pemotong! batin Andika. Nggak ada jalan baginya untuk lolos. *** Di depan Fika tepat di seberang jembatan, berdiri Genoid No. 1. Darah tampak masih keluar dari perutnya, tapi dia berdiri tegak. Dan nggak cuma itu. Genoid No. 2 dan No. 5 ada di sisi kiri dan kanannya. Bangsat kau, Chiko! maki Fika dalam hati. Dia menyesali kebodohannya yang terlalu mudah memercayai ucapan orang begitu saja, termasuk orang yang telah membuatnya menderita. “Peringatan, inti menjadi tidak stabil… reaksi akan terjadi tiga puluh menit lagi…” “Kalian nggak cukup bodoh untuk menembak, kan?” teriak Fika pada para Genoid yang, kecuali No. 1, menodongkan senjata ke arahnya. Fika berharap para Genoid terpancing perkataannya, dan nggak mau mati terkena ledakan nuklir. No. 2 membuang senjatanya ke lantai, dan tanpa diduga tiba-tiba melompat ke jembatan dan maju menerjang Fika. “Bodoh…” gumam No. 1. Fika cepat mengarahkan pistol yang dipegangnya kepada No. 2. Tapi sebelum menembak, No. 5 yang masih memegang MP5-HK lebih dahulu menembaknya. Naluri Fika membuatnya cepat bertindak. Dia mengarahkan pistolnya ke tembakan yang dilepaskan No. 5. Dua peluru beradu di udara. Saat itulah Fika lengah. No. 2 udah berada di hadapannya dan langsung melancarkan tendangan ke arah tangannya yang memegang pistol. Pistol dalam genggaman Fika terlepas dan jatuh ke lantai. Belum sempat Fika bereaksi, No. 2 kembali melancarkan pukulan ke perutnya. Perut Fika serasa dihantam beban ribuan ton. Dia tersungkur ke lantai. No. 2 menunggu Fika bangkit. Perlahan-lahan gadis itu mencoba berdiri. No. 5 membidik ke arah Fika. Tapi belum sempat dia melepaskan tembakan, tangan No. 1 yang berdiri di sebelahnya mencegah. “Biarkan,” kata No. 1. Belum sempat Fika berdiri sempurna, kedua tangan No. 2 bergerak mencekik leher Fika. Tentu aja Fika jadi sulit bernapas. Fika mencoba melepaskan cekikan pada lehernya, tapi tenaga No. 2 yang tubuhnya paling besar di antara Genoid lainnya terlalu kuat untuk dilawan. Dengan menggunakan leher Fika sebagai pegangan, perlahan-lahan No. 2 mengangkat tubuh Fika. Tubuh gadis itu semakin lemas. Mukanya semakin membiru, sedang tenaganya makin melemah. “Jangan bunuh dia!” Suara lantang No. 1 membuat No. 2 menoleh. “Turunkan. Dia bagianku!” Walau merasa sedikit nggak senang dengan perintah No. 1, No. 2 nggak berani membantah. Dia melepaskan cekikannya. Tubuh Fika pun terjatuh lemas. Fika batuk-batuk. Dia mengambil napas dalam-dalam. Belum sempat bernapas lega, Fika merasakan cekalan tangan No. 2 pada tangan kirinya. No. 2 bermaksud menyeret Fika ke hadapan No. 1. Fika tentu nggak mau menyerah begitu aja. Dia melihat bagian kaki No. 2 terbuka untuk diserang. Tubuh Fika yang masih berada di lantai berputar, kaki kanannya menyapu kedua kaki No. 2, membuat No. 2 kehilangan keseimbangan. Fika segera mencoba berdiri. Tendangannya mendarat di bagian paling vital dari No. 2. Saat No. 2 mengerang kesakitan, Fika mendaratkan pukulan bertubi-tubi ke arah tubuhnya. “Jangan tembak! Kau ingin membunuh kita semua!?” No. 1 kembali memperingatkan No. 5 yang kembali membidik Fika. “Aku tidak akan gagal…” jawab No. 5 yang seperti No. 1 memiliki keahlian khusus menembak. “Jangan ambil risiko, peluangmu cuma lima puluh persen…” Fika terus melepaskan tendangan dan pukulan kepada No. 2, tapi Genoid itu belum pingsan juga. Celaka! Bisa berabe nih! batin Fika. Dia melihat kesadaran No. 2 lambat laun mulai pulih. Sementara itu, walau sejauh ini No. 1 dan No. 5 hanya mengamati dari jauh, mereka nggak mungkin membiarkan No. 2 dalam kesulitan. Puncaknya, No. 2 bisa menangkis pukulan Fika. Dia menangkap tangan kanan Fika dan memuntirnya ke belakang. Fika tentu nggak tinggal diam. Dua jari tangan kirinya bergerak mencolok mata No. 2, membuat Genoid itu meraung dan mundur kembali. Dengan satu tendangan, Fika mematahkan pembatas jembatan yang terbuat dari besi dan mengambil besi patahannya sebagai senjata. Pikir Fika, adu tenaga dia pasti kalah, lebih baik mencari kesempatan menusuk di bagian yang mematikan. Tapi rupanya apa yang dipikirkan Fika terbaca oleh No. 1. “Siasat lama!” teriak No. 1 sambil mencabut pisau dari kakinya. Pisau itu dilemparkannya ke arah Fika. Untung Fika melihatnya. Dia mengelak datangnya pisau. Serangannya ke arah No. 2 tertunda sejenak. No. 1 segera maju ke arena pertarungan. Bertarung di tempat yang sempit melawan dua orang yang kekuatannya hampir seimbang dengannya tentu membuat Fika kerepotan. Walau No. 1 terluka, gerakannya masih cepat dan berbahaya. Beberapa kali Fika terkena pukulannya. Kalau aja No. 5 ikut maju mengeroyok, habislah Fika. Untung No. 5 cuma diam di tempatnya sambil terus membidikkan senjatanya. Dia tahu tempat di sekitar reaktor nuklir terlalu sempit untuk ditambah satu orang lagi. *** Prajurit yang memasang C12 di pintu masuk udah kembali ke atas. “Semua! Tinggalkan tempat ini!” perintah Duta. Dia melihat jam tangannya. Sepuluh menit lagi! batinnya. *** Chiko masih termenung sambil duduk di balik meja kerjanya di depannya, lantai yang merupakan pintu masuk ke reaktor masih terbuka. Chiko mengira-ngira apa yang terjadi di dalam sana. Dia cuma tahu Fika udah menaikkan tekanan dalam reaktor hingga menyebabkan terjadinya reaksi fisik yang nggak stabil dan akan terjadi ledakan besar. Tapi kenapa baik Fika maupun tiga Genoid yang menyusulnya belum keluar, Chiko nggak tahu. sebetulnya di dalam reaktor terpasang kamera pengawas, dan Chiko bisa aja melihat apa yang terjadi melalui layar monitor yang ada di meja kerjanya. Tapi dia nggak melakukannya. Dia lebih suka mengira-ngira siapa yang akan memenangkan duel antar-Genoid tersebut. Walau Fika sendirian dan nggak sekuat Genoid-Genoid lain, Chiko nggak yakin Fika dapat ditaklukkan dengan mudah. Dia melihat ada sesuatu yang lain pada diri gadis itu. Sesuatu yang nggak dimiliki Genoid-Genoid ciptaannya. Sesuatu yang membuatnya dapat bertahan sejauh ini. Chiko menduga itu karena Fika tumbuh dan hidup di lingkungan manusia biasa, hingga DNA Genoid dalam dirinya mengalami evolusi, membuatnya menjadi Genoid paling sempurna yang pernah ditemuinya. Apalagi usia Fika masih muda. Kemampuannya masih bisa berkembang seiring dengan pertumbuhan umurnya. Chiko mengeluarkan selembar foto berukuran 4R dari balik saku bajunya. Itu foto dirinya bersama anak dan istrinya yang sekarang tinggal di Atlanta, Amerika Serikat. Maafkan Ayah, Nak! Ayah mungkin tidak bisa bertemu kalian lagi. Ayah harus bertanggung jawab atas segala perbuatan Ayah! batin Chiko sambil mengelus foto anak perempuannya yang masih kecil. *** “Perhatian… reaktor akan meledak dua puluh menit lagi! Harap segera meninggalkan laboratorium…” Peringatan itu nggak digubris tiga Genoid yang sedang bertarung mati-matian di dekat reaktor. Sementara itu guncangan kecil mulai terjadi. Fika berhasil memukul pelipis kanan No. 1 dengan batang besi yang dipegangnya. Tapi dia nyaris terkena bogem mentah No. 2. Celaka! Kalo begini gue bisa kalah! batin Fika. Tenaganya makin lama makin lemah, sementara kedua lawannya tampak masih segar bugar. Pada suatu kesempatan kedua tangan Fika bahkan berhasil ditangkap oleh No. 2 dari belakang. Untung aja sebelum terkunci dia sempat menendang, (lagi-lagi) bagian vital dari No. 2. Fika menunduk menghindari No. 2. Dia memilih menyingkirkan No. 1 yang udah terluka lebih dulu. Dan pada suatu ketika Fika mendapat kesempatan. Dia berdiri di antara No. 1 dan No. 2. Saat No. 2 memukulnya, Fika melakukan split, hingga badannya turun. Pukulan No. 2 kontan dengan telak mengenai wajah No. 1, membuatnya terhuyung. Hidungnya mengeluarkan darah. “Bodoh!” maki No. 1. Fika berputar sehingga saat berdiri dia berada di belakang No. 2 dan No. 1. Dengan sekuat tenaga Fika melompat sambil menendang ke arah No. 2. Tendangannya mungkin nggak akan membuat No. 2 kesakitan, tapi cukup untuk mendorong tubuhnya. Sasaran Fika adalah No. 1 yang berdiri di dekat pagar pembatas. Tubuh No. 2 terdorong karena tendangan Fika, dan otomatis mendorong No. 1 yang ada di depannya. “Shit!” umpat No. 1. Umpatan yang nggak ada gunanya, karena akibat dorongan itu tubuhnya terlempar melewati pagar pembatas. Sebelum tubuhnya jatuh ke bawah, No. 1 sempat meraih pagar pembatas. No. 2 juga ikut terlempar, dan dia meraih kaki No. 1 untuk mencegah dirinya jatuh. Kini kedua Genoid itu bergelantungan pada pagar pembatas. No. 5 tentu aja nggak tinggal diam melihat kedua rekannya di ujung maut. Tanpa pikir panjang lagi dia melepaskan tembakan yang sedari tadi ditahannya. Fika melompat menghindari tembakan beruntun yang menghujani dirinya. Akibatnya tembakan itu menyebar ke mana-mana. salah satunya memutus kabel yang berasal dari reaktor, menyebabkan keadaan menjadi gelap gulita, karena aliran listrik dari reaktor terputus. *** Satu menit sebelumnya… Andika yang sedari tadi mencari cara untuk keluar dari kepungan laser terkejut. Kedua laser yang satu sama lain berjarak sekitar dua puluh meter tiba-tiba maju mendekat. Kedua laser itu akan mengimpit tubuhnya dan Bastian di tengah-tengah. Makin lama kedua laser itu mendekat dengan kecepatan konstan. Andika nggak mempunyai jalan untuk meloloskan diri. Dia merasa kali ini nggak akan bisa selamat. Tubuhnya dan Bastian akan teriris-iris laser bagaikan roti yang teriris pisau yang sangat tajam. Yang bisa dilakukannya sekarang cuma menutupi tubuh Bastian agar anak itu nggak dapat melihat maut yang menjemputnya, serta berdoa semoga kematiannya dan kematian Bastian berlangsung cepat dan nggak menyakitkan. Semakin laser-laser tersebut mendekat, Andika menutup mata Bastian dengan telapak tangannya, sementara dia sendiri memejamkan mata. Sedetik, dua detik, tiga detik… Sinar laser itu belum mengiris tubuhnya. Padahal menurut perhitungan Andika, seharusnya tubuhnya udah teriris dari tadi. Andika membuka mata. Yang ditemuinya cuma keadaan koridor yang gelap gulita. Laser yang menuju ke arahnya lenyap nggak berbekas. Nggak berapa lama lampu koridor kembali menyala. Walau belum tahu apa yang terjadi, Andika nggak menyia-nyiakan hal ini. Dia segera bangkit dan berlari mencari jalan keluar. *** Lampu emang menyala kembali dengan sistem generator darurat. Tapi cuma lampu, nggak sistem keamanan lainnya. Pintu-pintu yang tadinya terkunci pun terbuka. Pasukan Detasemen 88 kembali bisa menerobos masuk. Dan mereka bertemu Andika yang sedang berlari. “Jangan bergerak!” Menyadari yang menodongnya adalah polisi, Andika nggak melawan. Dia menurunkan Bastian yang digendongnya. “Kita selamat! Bapak-bapak ini polisi,” ujar Andika lirih pada Bastian. Bastian sendiri nggak begitu percaya ucapan Andika. Bayangannya tentang polisi adalah memakai seragam cokelat dengan topi di kepalanya, bukan orang berseragam serbahitam dan mengenakan topeng yang menodongkan senjata ke arah mereka. Dia bahkan merasa mereka itu seperti orang-orang yang menyerbu desanya. “Kami bukan bagian dari mereka. Saya menyelamatkan anak ini. Dia saksi peristiwa di Papua yang akan dibunuh mereka…” kata Andika sambil menyodorkan Bastian ke depan. Polisi-polisi itu mana mau percaya. Mereka menyuruh Andika menjatuhkan senjata yang disandangnya dan mendekat. Setelah dekat, salah seorang dari anggota Detasemen 88 itu meringkus Andika dari belakang, sedang yang lain menarik Bastian dari pegangan Andika. “Tenang Bastian… kamu akan selamat…” kata Andika ketika Bastian mulai menangis dalam cekalan seorang anggota Detasemen 88. Tubuh Andika dijatuhkan ke lantai dan tangannya diborgol dengan kasar. “Apa Komisaris Oni bersama kalian? Saya ingin bertemu dengannya…” kata Andika. Ucapannya itu ternyata cukup ampuh. Perlakuan kasar pada dirinya berhenti. “Kau kenal Komisaris Oni?” tanya salah seorang yang mengenakan topeng. Dia adalah AKP Syaiful Amdi. “Saya yang mengirim pesan mengenai tempat ini padanya…” jawab Andika. “Dan sebaiknya kita segera keluar dari sini. Tempat ini akan meledak…” Suara Andika terputus suara gemuruh dari arah bawah. Seketika itu juga tempat itu bergetar hebat. Langit-langit mulai runtuh. “Tidak ada waktu! Cepat keluar!!” *** Akhirnya apa yang ditakutkan terjadi juga. Salah satu peluru mengenai reaktor yang berisi bahan radioaktif. Kebocoran pun nggak dapat dihindarkan. Tekanan meningkat dengan pesat. Perhitungan waktu ledakan menjadi nggak efektif lagi. Ledakan bisa terjadi kapan aja. “Sudah kubilang jangan menembak! Dasar bodoh!” umpat No. 1 yang masih tergantung dengan No. 2 di bawahnya. Dia mencoba naik, memanjat pagar pembatas. Tapi tubuhnya yang terluka membuatnya menjadi lemah, sementara tubuh No. 2 yang bergantungan dengan memegang kakinya membuatnya semakin berat. No. 1 menoleh ke arah No. 2. “Maaf, salah satu dari kita tidak boleh mati…” katanya, lalu tangan kirinya bergerak, melepas sepatu bot yang menjadi pegangan No. 2. “Jangan…” No. 2 memohon. Tapi bagi No. 1 permohonan itu nggak ada artinya. Sebelah sepatunya terlepas. Kedua tangan No. 2 kini berpegangan pada sebelah kaki No. 1 yang masih memakai sepatu. Dia mencoba merangkak naik, tapi No. 1 nggak membiarkannya. “Akan kubalaskan dendammu pada Genoid wanita itu, saudaraku…” kata No. 1 sambil melepas sepatu sebelahnya. Dan dengan diiringi jeritan memilukan, tubuh No. 2 meluncur ke bawah, ke arah limbah nuklir bersuhu lebih dari 1000o C itu. No. 1 merasa tubuhnya lebih ringan. Kini dia dapat naik. Tapi saat mencapai batas pagar ledakan keras dari reaktor pun terjadi. Tubuh No. 1 kontan tersapu udara panas yang keluar dari ledakan itu. Tubuhnya langsung meleleh tanpa sempat mengeluarkan satu suara pun. *** Saat tahu reaktor udah bocor, Fika memutuskan untuk cepat keluar. Dia nggak melayani No. 5 yang terus menembakinya. No. 5 yang melihat Fika akan keluar nggak membiarkannya. Dia menghadang di pintu keluar. Nggak ada jalan lain bagi Fika, dia harus berhadapan dengan No. 5. Untunglah saat itu amunisi No. 5 habis. Fika melihat itu sebagai peluang yang nggak boleh disia-siakan. Dia mencabut pisau dari kakinya dan melemparkannya ke arah No. 5. Nggak menyangka Fika akan melempar pisau ke arahnya, No. 5 mencoba menghindar, tapi jarak antara pisau itu dan dirinya terlalu dekat. Tanpa ampun pisau yang dilemparkan Fika menancap di antara kedua mata No. 5. “Maaf…” ujar Fika. Saat itulah reaktor meledak. Fika berlari secepat mungkin ke atas, berpacu dengan bara api ledakan yang dapat melelehkan tubuhnya. *** Sesampainya di ruang kerja Chiko, gadis itu sempat melihat pria itu tergeletak di kursi kerjanya. Di keningnya terdapat lubang peluru, dan sebuah pistol tergeletak dekat tangan kanannya. Tapi Fika nggak sempat memikirkan apakah Chiko bunuh diri atau dibunuh. Dia keluar meloncat saat ledakan dahsyat meluluhlantakkan ruang kerja Chiko. Bara api sempat mengenai tubuhnya. Akibat dari ledakan reaktor nuklir sangat luar biasa. Walau berukuran sangat kecil, ledakan itu menimbulkan reaksi ledakan berantai. Struktur bangunan laboratorium mulai roboh. Para personil lab yang masih tersisa berlarian menyelamatkan diri, mencari pintu keluar. Keadaan makin kacau saat ledakan reaktor disusul ledakan dari lantai atas di Pintu A yang diakibatkan oleh C12 yang dipasang militer. Nggak ada lagi tempat berpijak. Korban pun berjatuhan. Kalau nggak terbakar atau terkena ledakan, mereka menjadi korban karena terkena reruntuhan bangunan, atau terjatuh ke bawah. Fika meloncati bangunan yang masih tersisa. Dia menuju pintu B, pintu yang dia tahu agak jauh dari sumber ledakan. Jika beruntung, dia bisa sampai di sana sebelum tempat ini benar-benar hancur. Fika melompat ke arah sebidang lantai yang masih utuh yang jaraknya sekitar lima belas meter dari tempatnya berada. Dia berhasil menggapai bibir lantai, kemudian naik. Saat itu Fika melihat kejadian memilukan. Seorang staf wanita terperangkap di sebidang lantai yang kanan dan kirinya udah ambruk. Staf itu nggak berani melompat ke lantai terdekat yang cuma berjarak kurang-lebih lima meter. Entah kenapa saat itu timbul perasaan iba pada diri Fika. Staf wanita itu berusia kurang-lebih sama dengan mamanya. Dia merasa saat itu mamanya sedang memerlukan pertolongan. Fika segera melompat ke lantai tempat staf wanita tersebut. “Cepat lompat!” kata Fika. Bukannya mengikuti ucapan Fika, staf wanita tersebut malah menggeleng sambil menangis. Fika nggak punya banyak waktu. Dia meraih pinggang wanita itu, dan dengan sekuat tenaga melemparkannya ke lantai terdekat. Berhasil. Wanita itu terjatuh tepat di lantai yang masih aman. Tapi saat itu terjadi ledakan besar. Lantai di atas tempat Fika berdiri runtuh disertai bola api yang sangat panas, tanpa ampun menerjang ke bawah. Fika nggak sempat menghindar. Lantai tempatnya berada runtuh diterjang reruntuhan di atasnya, dengan Fika masih berada di antaranya. bersambung *Wiedey*
Posted on: Sat, 02 Nov 2013 15:34:14 +0000

Trending Topics



Linen and Ivory Hotel 5-piece King / Cal-king Comforter Cover
Be a model Take care of yourself! Features indicative of good
So last night was a pretty boss night opening for Huey Mack with
Some analysis of corruption in Pakistan that some citizens feel
In the wake of the tragic fire on Noyes Street that claimed the
A woman awakes during the night to find that her husband was not

Recently Viewed Topics




© 2015