Dear Dylan Stephanie Zen part 18 Target 25 - TopicsExpress



          

Dear Dylan Stephanie Zen part 18 Target 25 like #jacob_black gue mencium lo di bandara di Batam. Gue menyuruh dia mengirim gambar itu pada wartawan infotainment yang dikenalnya via e-mail... dan... dan... infotainment melakukan sisanya...” Regina menangis meraung-raung setelah semua pengakuannya. Astaga! Dia BENAR-BENAR merencanakan semua itu??? Gila! “Tapi gue melakukan itu karena gue nggak mau kehilangan lo, Dylan... Karena gue cinta sama lo... Gue...” Regina bangkit dari duduknya dan berusaha memeluk gue, masih sambil menangis sesenggukan, tapi gue langsung menepis tangannya. “Shut up!” Gue membentaknya. Terserah kalau ada yang mengatai gue nggak berperasaan karena berlaku kasar sama cewek. Mereka nggak merasakan frustrasinya gue karena sempat kehilangan Alice! Dan mendadak gue teringat sesuatu... “Kenapa waktu di bar... waktu di hotel, lo menyuruh gue kembali ke Jakarta dan mengajak Alice bicara? Kalau lo memang mau memisahkan gue dan Alice, kenapa lo menyarankan gue mengajak Alice baikan?” Gue kepingin tahu apa itu juga bagian dari rencananya! Regina menggeleng berkali-kali, dan meraih tangan gue. “Lo masih nggak ngerti?” tanyanya sedih. “Gue melakukan itu, karena... gue ingin punya image baik di mata lo, Dylan... Lo nggak tergoda dengan semua kelakuan gue sebelumnya, dan gue sadar gue sudah salah jalan... satu-satunya cara mendapat perhatian lo adalah dengan menunjukkan seolah gue peduli pada masalah lo dan Alice, meskipun dalam hati gue sakit banget... meskipun dalam hati gue berharap sebaliknya...” Sekarang gue bener-bener merasa gue orang tergoblok sedunia! “Lo gila, Gin.” Gue menarik tangan gue dari genggamannya. “I am.” Regina menggigit bibirnya dengan getir. “I’m mad about you...” Minta ampun deh! “Alasan lain kenapa gue menyuruh lo kembali ke Jakarta... adalah karena gue harus memastikan lo dan Alice putus secepatnya...” Regina menutup wajahnya dengan tangan, dan menangis semakin keras. “Gue tahu akan seperti apa reaksi Alice jika dia melihat gosip itu di infotainment, lalu tiba-tiba lo muncul, dan berusaha menjelaskan itu nggak benar... Alice justru akan semakin percaya gosip itu benar! Ya, ya, gue tahu itu... Dia akan mengira lo khawatir karena rahasia lo sudah terbongkar oleh infotainment, lalu lo mencoba membujuknya... Gue yakin dia akan langsung minta putus...” Regina tersenyum pahit. Gue berdiri dengan napas tersengal. Gue masih nggak percaya ada orang yang begitu jahat merencanakan semua itu! Mungkin gue juga nggak akan kaget kalau mendengar Regina mengaku dialah dalang kerusuhan di konser-konser Skillful! Tapi entah kenapa, gue yakin dia nggak terlibat dalam hal itu. Feeling gue mengatakan dia nggak tahu apa-apa tentang itu. Dia hanya berusaha memisahkan gue dan Alice, dia nggak akan ambil pusing dengan Skillful. Nggak ada untungnya bagi dia kalau Skillful dilarang menggelar show. “Jadi selama ini... lo mengatur semuanya? Lo memperhitungkan semuanya?” Regina sesenggukan beberapa kali. “Iya... tapi, Dylan... gue melakukan itu karena gue benar-benar nggak tahu harus gimana untuk merebut perhatian lo... Gue tahu lo nggak akan melihat gue kalau masih ada Alice di sisi lo... dan gue memanfaatkan sifat Alice yang gampang cemburu... Gampang terpancing. Dia terlihat marah sekali waktu melihat gue menyentuh lo sedikit saja di PIM dulu... Gue tahu apa yang akan terjadi kalau dia melihat ada gosip antara gue dan lo di infotainment... Gue tahu akan seperti apa reaksinya kalau dia mendapati gue yang mengangkat teleponnya di HP lo... Gue muak mendengar lo mengigau memanggil dia dalam tidur lo saat lo demam, Lan... Itu membuat gue sadar, lo masih mengharapkan dia... Tapi kalau lo mendapati dia nggak lagi peduli... lo akan kecewa dan membenci dia... Gue akan punya peluang untuk merebut lo...” Regina semakin histeris dengan tangisannya, dan belum pernah gue kepingin menghajar orang sampai seperti ini! Tapi gue tahu, itu nggak akan menyelesaikan masalah. Gue nggak butuh masuk infotainment sekali lagi karena mematahkan batang leher Regina Helmy. Lagi pula, gue sudah mendapatkan apa yang gue butuhkan. “Makasih, Gin. Makasih buat pengakuan lo.” Sambil berkata begitu, gue menekan tombol stop pada program recorder di HP yang sedari tadi ada dalam genggaman gue. Dengan puas gue menyadari, semua pengakuan Regina terekam dengan sempurna di sana. Gue tahu, Alice nggak akan percaya kalau gue hanya menjelaskan padanya gue dan Regina nggak ada hubungan apa-apa. Gue sudah belajar tentang itu saat dia menolak percaya pada penjelasan gue dulu dan malah memutuskan gue. Satu-satunya cara supaya Alice percaya, hanya dengan memaksa Regina mengaku di depannya. Atau, dengan memperdengarkan rekaman pengakuan Regina ini padanya. Bertahun-tahun mengenal Mbak Vita, gue akhirnya belajar dari calon kakak ipar gue itu, bagaimana bertindak dengan menggunakan logika. Gue mendongak menatap Regina, dan menyadari bias ketakutan sudah menyebar luas di seluruh wajahnya. “Lo... lo merekam... semua kata-kata gue tadi?” tanyanya tergagap. “Yep. Gue harus memperdengarkan pengakuan lo ke Alice, kan?” Regina menggeleng cepat. “Jangan, Dylan, jangan... Lo nggak tahu apa yang lo lakukan...” “Oh, gue tahu kok. Gue tahu pasti apa yang gue lakukan.” “Jangan, Dylan, gue mohon... Alice bisa tahu gue... gue yang merencanakan semuanya... Dia nggak boleh tahu...” “Dia memang harus tahu.” “Nggak! Pokoknya nggak! Kalian nggak boleh sampai balikan!” Regina sekarang berteriak seolah kesetanan. Dia kelihatan sanggup melakukan apa saja, dan gue yakin dia akan melakukannya. “Hapus rekaman itu, Dylan... Hapus!!!” Regina berusaha merebut HP dari tangan gue, tapi gue berkelit dengan cepat. Regina menabrak ambang pintu, dan mengaduh kesakitan di lantai. Dia bodoh, gue jelas nggak akan menghancurkan satu-satunya kesempatan gue untuk mendapatkan Alice kembali! “Sori, tapi supaya lo tahu, usaha lo untuk mendapatkan nilai baik di mata gue gagal total. Gue bodoh, bisa-bisanya dulu gue respek sama lo, mengira lo cewek yang baik dan perhatian. Lo sama sekali nggak seperti itu! Lo cewek dengan kepribadian terburuk yang gue kenal!” Gue berbalik dan akan langsung melangkah menuju lift lantai apartemen Regina, waktu gue mendengar dia bicara lagi. “Lan, gue mohon jangan pergi, Lan... Kenapa... Kenapa lo sebegitu sayangnya sama Alice, Lan? Kenapa? Gue lebih segalanya dari dia...” Regina tersungkur di lantai, dan menatap gue dengan tatapan sedih. Sori aja deh, gue nggak akan tertipu angelic face-nya lagi! Dan berani-beraninya dia mengaku lebih segalanya dari Alice! “Ngaca dulu sana!” bentak gue. Tanpa membuang waktu lagi, gue berjalan menuju lift, dan turun menuju basement tempat gue memarkir motor. * * * “Iya... tapi, Dylan... gue melakukan itu karena gue benar-benar nggak tahu harus gimana untuk merebut perhatian lo... Gue tahu lo nggak akan melihat gue kalau masih ada Alice di sisi lo... dan gue memanfaatkan sifat Alice yang gampang cemburu... Gampang terpancing. Dia terlihat marah sekali waktu melihat gue menyentuh lo sedikit saja di PIM dulu... Gue tahu apa yang akan terjadi kalau dia melihat ada gosip antara gue dan lo di infotainment... Gue tahu akan seperti apa reaksinya kalau dia mendapati gue yang mengangkat teleponnya di HP lo... Gue muak mendengar lo mengigau memanggil dia dalam tidur lo saat lo demam, Lan... Itu membuat gue sadar, lo masih mengharapkan dia... Tapi kalau lo mendapati dia nggak lagi peduli... lo akan kecewa dan membenci dia... Gue akan punya peluang untuk merebut lo...” Rekaman itu selesai berputar, dan gue mendongak menatap wajah Alice dengan perasaan nggak keruan. Akan seperti apa responsnya? Apa dia akan memaafkan gue setelah ini? Apa dia akan percaya kalau gue mengaku gue menyesali kebodohan gue yang menganggapnya sebagai cewek sombong yang nggak peduli lagi pada gue, hanya karena gue mengira dia nggak menelepon? “Maafin gue, Lice...” Akhirnya gue bisa bicara juga, setelah sepuluh menit lidah gue beku karena deg-degan menunggu reaksi Alice. “Gue yang salah. Gue bego, nggak sadar sudah masuk perangkap Regina...” Alice diam saja. Dia cuma menatap gue lurus-lurus. Duuuuhhh, ngomong kek! Nggak tahu apa gue nyaris gila nunggu reaksi lo?! “Gue salah, gue sempat meragukan lo... dan... dan gue sama sekali nggak tahu Regina mengangkat telepon dari lo itu... dia nggak bilang, Lice... Lo dengar sendiri kan di rekaman tadi? Dia mengakui semuanya, dia mengaku dia menyusun rencana supaya kita berpisah...” Alice masih saja diam. Kayaknya gue bakal mati kalau dalam satu menit ke depan dia nggak bereaksi! Apa dia masih meragukan gue? Gue berdoa diam-diam dalam hati. Tuhan, tolonglah supaya Alice mau percaya pada saya lagi, Tuhan... saya janji saya nggak akan menyakiti dia lagi... saya janji akan menjaga dia, menjaga perasaannya... saya sudah kehilangan dia dua kali, Tuhan, saya nggak mau kehilangan dia lagi... Saya janji nggak akan merokok, nggak akan memaki-maki orang, nggak akan mengomel, nggak akan mengatai Bang Budy lagi... saya janji akan jadi anak yang baik... Saat gue mendongak lagi, Alice sudah beranjak dari sofa yang didudukinya, dan berjalan menuju bagian dalam rumah. Selesai sudah. Dia nggak percaya sama gue lagi. Bahkan setelah mendengar semua pengakuan Regina pun, dia nggak bisa memercayai gue lagi. Memang gue yang bodoh, menyia-nyiakan Alice.... Gue bangun dari sofa, dan berjalan menuju pintu. Nggak ada gunanya lagi gue di sini, toh Alice sudah nggak percaya sama gue. “Hei! Tunggu!” Gue menoleh dengan penuh harap. Apa Alice mau memaafkan gue ya? Apa dia mau meminta supaya gue jangan pergi? Tapi gue cuma bisa bengong, dan menangkap benda yang dilemparkan Alice pada gue. Bungkusan bajunya yang gue bawakan tadi siang. Ah, fool me. Kenapa gue bisa berharap dia mau memaafkan gue?Sekarang dia bahkan mengembalikan baju ini, pasti dia mau bilang dia menolak jadi penerima tamu di pesta Tora, karena nggak mau ngeliat muka gue lagi.... “Tolong bilang ke Tante Ana, bagian pinggangnya kebesaran tiga senti.” Gue menoleh dengan cepat. Apa ini berarti...? Alice bersedekap, menatap gue. “Gue jadi kurus gara-gara mikirin lo terus, tau!” Gue ternganga, tapi sedetik kemudian tersenyum lebar. Tuhan mengabulkan doa gue. * * * Satu bulan kemudian... “Aku nggak bisa ke sana sekarang, Bang. Aku lagi siap-siap mau ke Gereja! Pemberkatan Tora mulai jam sepuluh nanti!” “Sebentar saja, Dylan. Nggak akan lama.” “Tapi, Bang, aku jadi best man-nya, aku nggak mungkin ke sana sekarang! Di atas jam dua belas aja, ya? Jam segitu acaranya selesai.” “Nggak bisa, Lan, kamu harus ke sini sekarang!” Gue mengertakkan gigi, dan hampir mulai mengatai Bang Budy lagi, waktu gue ingat janji gue saat berdoa di rumah Alice dulu. Gue nggak mau cuma karena gue melanggar janji gue dengan mengatai Bang Budy, gue kehilangan Alice lagi. No way! Tapi beneran deh, Bang Budy ini kenapa sih? Masa abang gue mau nikah, tapi gue malah disuruh ke kantor manajemen? Kayaknya habis ini gue harus mengajari Bang Budy yang namanya “skala prioritas”! “Bang, nggak bisa nanti aja, ya? Serius nih, aku nggak bisa!” Sekarang gue berbisik di telepon, karena beberapa anggota keluarga sudah menatap gue dengan pandangan ingin tahu. Alice juga. Ohh, dia cantik BANGET tapi hari ini! Gaun yang dijahitkan untuknya ternyata gaun putih panjang menjuntai yang berleher V, cocok banget buat dia! Dan dia pakai jepit bunga lili yang dipakainya di MTV Awards dulu! “Lan, ini nggak bisa menunggu!” “Apa sih yang nggak bisa menunggu???” tanya gue nggak sabar. Kalau yang dimaksud Bang Budy adalah Pak Leo, gue bakal menggetok kepala bos besar itu dengan keranjang confetti yang seharusnya dibawa Christie, keponakan Mbak Vita yang berumur lima tahun, saat jadi pengiring di pesta nanti! Ah, tapi itu juga bakal melanggar janji gue ke Tuhan untuk jadi anak baik... masa gue harus kehilangan Alice lagi hanya karena menggetok kepala Pak Leo dengan keranjang confetti?! Minta ampun deh, Pak Leo is not worth that much! “Bang, udah deh, Abang kasih tahu aja apa yang sebegitu PENTING-nya sampai aku harus ke sana sekarang. Kalau memang benar penting, aku bakal langsung ke sana!” Gue sudah habis kesabaran. Bang Budy sekarang kalau ngomong suka muter-muter nggak jelas! Suka sok rahasia, pula! “Oke, oke. Kamu pasti mau tahu siapa dalang di balik rusuhnya konser-konser kita, kan? Dia sudah tertangkap.” * * * Bang Budy kampret! Ternyata dari kantor manajemen, kami masih harus menuju Polres Jakarta Selatan! Tahu begini, kenapa dia nggak ngajak ketemuan di sini aja? Gue kan nggak perlu muter dulu ke kantor manajemen! Kayaknya Mama bakal bener-bener menghabisi gue karena terlambat ke pemberkatan Tora nanti! Ah, sudahlah. Jadi ngata-ngatain Bang Budy deh! Gue kelepasan! Sekarang, yang penting, gue tahu siapa dalan di balik semua kerusuhan gila itu! Bang Budy berjalan paling depan, sementara gue, Ernest, Dudy, Dovan, dan Rey mengekor di belakang. Nggak ada seoran gpun di antara kami yang sudah tahu siapa orang gila yang merancang rencana kotor itu. Lucunya, Rey terheran-heran mengetahui gue mau datang juga dengan jas dan dasi begini. Haha. Kayak dia lagi nggak pakai jas dan dasi aja! Semuanya kan juga lagi siap-siap untuk ke pemberkatan Tora! Kami berbelok di koridor yang panjang, dan sampai di ruang tunggu. Petugas polisi yang mengantar kami keluar lagi, dan beberapa saat kemudian muncul petugas-petugas lain, menggiring sekelompok orang. Orang-orang yang gue lihat di rekaman video di kantor manajemen sebulan lalu. Gue menatap mereka semua sambil menggeleng. Semuanya enam orang, dan nggak ada satu pun yang gue kenal. Gue menoleh, dan melihat anak-anak juga memasang ekspresi bingung. Siapa dalangnya? Yang mana? Petugas polisi terakhir masuk, menggiring seorang lagi, dan gue melongo begitu lebarnya sampai rahang gue terasa tergang. HUGO???? “Brengsek lo!!!” Gue menoleh, dan melihat Dudy sedang meronta di antara Bang Budy dan Dovan yang berusaha menahannya untuk nggak mendekati Hugo. “Dia? Dalangnya?” tanya gue nggak percaya. “Kami mendapatkan pengakuan yang sama dari keenam pelaku, bahwa mereka dibayar untuk memancing kerusuhan pada konser Skillful. Pihak yang membayar mereka untuk melakukan hal tersebut, adalah Saudara Hugo Fernandez.” Gue menelan ludah. Ini benar-benar nggak bisa dipercaya! Hugo membayar semua orang ini untuk merusuh di konser Skillful? Untuk merusak image band gue? Tapi kenapa? Gue berjalan mendekati Hugo. Dia sama sekali nggak terlihat merasa bersalah. Dia malah membalas tatapan gue dengan angkuh dan penuh kebencian. “Lepasin gue! Biar gue hajar dia! Dasar brengsek! Harusnya dari dulu-dulu gue hancurin muka lo!” Dudy berteriak-teriak dari tempatnya tadi, mukanya merah padam karena amarah, tapi Bang Budy dan Dovan masih menahannya kuat-kuat. “Kenapa?” tanya gue saat berada persis di depan Hugo. “Kenapa lo lakuin ini semua? Band gue punya salah apa sama band lo?” Hugo meronta sedikit, tapi petugas polisi yang menanganinya terlihat dilatih dengan sangat baik. Dia langsung menekuk tangan Hugo pada posisi tertentu, mengakibatkan Hugo merintih kesakitan. “Guenggak tahu kenapa lo bisa melakukan semua ini...” “Nggak tahu?” Hugo menatap gue dengan penuh kebencian, lalu meludah ke lantai. “Lo kira, gue akan diam saja setelah kejadian di Surabaya dulu?” Gue mundur dua langkah. Bukan karena takut Hugo tiba-tiba bakal menyerang gue, tapi karena terenyak. Dia melakukan ini semua, karena merasa eXisT kalah dari Skillful? Karena Skillful, menurut dia, mendapat perlakuan lebih istimewa? Karena Skillful menjadi penutup konser, dan bukannya eXisT? Dia melakukan semua ini hanya karena hal-hal itu? Hugo Fernandez benar-benar orang paling tolol sedunia! “Kalau lo belum belajar dari penjara saat kasus narkoba lo itu, gue harap kali ini lo belajar,” kata gue dingin. Hugo sekali lagi berusaha melepaskan diri untuk menghajar gue, tapi petugas yang memeganginya mengulangi gerakan menekuk tangan yang tadi, dan Hugo meringis menahan sakit. Gue menoleh menatap Bang Budy. “Aku boleh pergi nggak sekarang?” Bang Budy mengangguk, di sela usahanya untuk menahan Dudy menyerang Hugo. “Kita pergi sama-sama.” Lalu kami semua keluar dari ruangan itu, meninggalkan Hugo dan masa depannya, yang, sekali lagi, telah dia hancurkan sendiri. THE WEDDING “SAYA, Taura Daniel Siregar, mengambil engkau Shellovita Elizabeth, sebagai istriku. Saya berjanji di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya, bahwa saya akan setia kepadamu, dan mengasihi engkau, dalam susah maupun senang, sakit maupun sehat, miskin maupun kaya, sebagaimana wajib diperbuat seorang suami yang beriman kepada Yesus Kristus.” Aku menatap Mbak Vita dan Bang Tora yang berdiri di depan sana dengan terpesona, sementara Mbak Vita bergantian mengucapkan janji yang sama pada Bang Tora. Rasanya indaaaaahhh sekali! Romantis! Yeah, aku tahu aku memang norak, tapi aku benar-benar terharu! Mbak Vita terlihat amatsangat- super-duper-cantik-sekali dalam gaun dan cadar pengantinnya. Aku sampai nyaris nggak mengenalinya waktu dia turun dari mobil pengantin tadi! Kapan ya aku bakal mengalami hal yang sama? Jadi pengantin yang cantik... mengucapkan janji setia di Gereja... Sekarang aku jadi benar-benar kepingin nangis karena terharu! Tante Ana saja sudah menangis di depan sana (saking bahagianya, tentu saja!), sementara Oom Benny merangkul bahu beliau. Satu-satunya pemberkatan nikah yang pernah membuatku menangis saking terharunya adalah pemberkatan yang kutonton di film A Walk to Remember, antara Landon Carter dan Jamie Sullivan. Aku serius! Waktu nonton film itu bersama Grace dulu, aku banjir air mata. Grace juga. Lalu seperti anak kelas enam SD pada umumnya, kami menangis bersama-sama. Sayang, sekarang aku nggak bisa melakukan hal yang sama. Grace ada di bangku belakang sana, duduk bersama orangtuaku, sementara aku duduk di deret nomor dua dari depan, bersama Tata dan Ina, para sepupu Dylan yang juga menjadi penerima tamu. Aku nggak mungkin tibatiba memeluk mereka lalu menangis, bisa-bisa aku dikira gila! Dan ngomong-ngomong soal Dylan, anak itu ke mana sih??? Satu jam sebelum pemberkatan, dia terima telepon di HP-nya, dan minta izin untuk pergi sebentar. Tapi sampai kami akan berangkat untuk menjemput Mbak Vita di rumahnya, Dylan belum juga kembali. Tante Ana meneleponnya berkali-kali, tapi nggak diangkat! Seperti biasa, dia mendadak sok nggak bisa dihubungi! Dasar penyakit lama! Terpaksa, salah satu sepupu Dylan menggantikannya sebagai best man. Dylan dudul, apa sih yang lebih penting dibanding acara pemberkatan nikah abangnya? Jangan-jangan Reg... Ah, kok bisa-bisanya aku kepikiran Regina Helmy lagi?? Aku yakin, Dylan sudah ilfil total sama cewek itu setelah semua pengakuannya bahwa dia memang berencana memisahkan aku dan Dylan! Dan Dylan kan sudah berjanji segala macam padaku, kalau dia nggak akan pernah melirik cewek lain lagi. Memang nggak pernah kok, katanya waktu itu. Aku saja yang terlalu parno, mengira dia ada apa-apa sama Regina. Huh, tapi dugaanku benar kan, kalau Regina mengincar dia? Susah memang punya cowok seganteng Dylan. Eeehh... tapi tetap saja, biarpun ganteng, tapi kalau suka menghilang dan sok nggak bisa dihubungi begini, aku nggak sukaaa! Awas saja kalau dia muncul nanti! Lihat saja nanti! “Taura, kamu bisa memasangkan cincin di jari Vita.” Aku mendongak, dan menghela napas melihat acara pemasangan cincin sudah dimulai, tapi Dylan belum juga datang. Ke mana dia? “Dengan kuasa yang diberikan oleh Gereja, aku menyatakan kalian sebagai suami-istri. Taura, kamu boleh memberikan ciuman kasih untuk istrimu sekarang.” Bang Tora membuka cadar Mbak Vita, dan mencium keningnya. Ohhh so sweeeeettttt! “Hai!” Aku menoleh, dan melihat Dylan sudah duduk di sebelahku! Rupanya dia memutar dari bangku belakang tadi, jadi aku nggak melihatnya! “Dari mana aja kamu?” Aku keheranan menatap dahinya yang bersimbah keringat. “Nanti aku ceritain.” “Dylaaann... kamu kan sudah janji...” “Sssttt... nggak boleh ribut di gereja!” Dylan berbisik di telingaku. “Aku kan bukannya nggak mau cerita, tapi menunda saja. Aku nggak mau melewatkan prosesi pernikahan abangku!” “Huuu... kamu sudah melewatkannya dari tadi, tau!” Aku manyun, tapi Dylan pura-pura nggak melihat. Dia yang bertepuk tangan paling keras setelah Bang Tora mencium kening Mbak Vita. * * * “Dan inilah dia... SKILLFUL!” Dylan setengah berlari menaiki panggung, sementara personel-personel Skillful lainnya mengambil instrumen mereka dari para kru yang tadi menyiapkan semua instrumen itu. Semua yang hadir di ballroom ini bertepuk tangan keras sekali. Skillful memang bersedia manggung di resepsi Bang Tora dan Mbak Vita ini, sebagai hadiah untuk mereka, tanpa dibayar! Hihi... tentu saja ya, personelnya kan adik si mempelai sendiri! Memang sih, tadi Dylan bilang semua show Skillful harus melalui manajemen, nggak segampang yang kukira, hanya dengan kesediaan personelnya. Tapi Bang Budy ternyata sangat setuju begitu mendengar rencana ini. Dia malah menyuruh Skillful jadi wedding band! Haha, lumayan kan untuk menghemat budget! Bang Tora, nggak perlu sewa wedding singer! Untunglah tugasku sebagai penerima tamu sudah selesai, jadi aku bisa nonton Dylan nyanyi. Capek juga ternyata jadi penerima tamu, tapi seru banget! Tata dan Ina, yang satu meja denganku (ada dua meja penerima tamu, meja satunya dijaga tiga sepupu Dylan yang lain), nggak habishabisnya mengajakku ngobrol. Aku terbahak saat dua saudara kembar itu berdebat sendiri, juga saat Tata mengeluh karena keinginannya pakai gaun H-I-T-A-M di pesta ini nggak terwujud, dan Ina memandangnya dengan tatapan mencemooh! Ya ampun, asli konyol! Dylan mengoceh sebentar di atas panggung sebelum mulai menyanyi. Anehnya, kali ini dia cukup lancar, bukannya berceloteh nggak jelas seperti biasanya. Mungkin karena yang menonton dia kali ini orang-orang yang dikenalnya, ya? Keluarganya, teman-temannya... Mungkin karena itu......... Next
Posted on: Sun, 15 Sep 2013 13:35:27 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015