Dear Dylan Stephanie Zen part 6 Target 22 like #jacob_black Gue - TopicsExpress



          

Dear Dylan Stephanie Zen part 6 Target 22 like #jacob_black Gue mengalihkan tatapan dari Alice, agak bete karena ada yang mengganggu gue dari pacar sendiri. Ohh, si Daniel. “Wow wow wow! We got Dylan „Skillful‟ here!” Daniel, as known as VJ Daniel, menghampiri gue dan Alice, lalu menepuk bahu gue. “What’s up, man!” “Hai,” sapa gue. “And we also got Alice! Hello, Alice!” “Hai,” Alice tersenyum. “Okee, berhubung gue fashion police malam ini, gue harus menginterogasi kalian soal penampilan. Jas sama kemeja dari mana, Lan?” “ZARA.” “Alrite, ZARA! Favorit banyak seleb kita malam ini! Jins?” Dia menunjuk jins gue, yang, seperti biasa, gue pasangi aksesori rantai. “Levi‟s.” “Sipp!” Daniel mengacungkan jarinya tanda setuju atas penampilan gue, dan dalam hati gue bersyukur setengah mati karena Mbak Vita masih sempat memaksa gue memakai semua baju formal membosankan ini di tengah kegilaan pra-pernikahannya. Tadinya, gue nyaris datang ke sini pakai kemeja sisa syuting video klip terakhir plus celana jins gue yang biasa. Pastinya, Daniel nggak akan mengacungkan jempolnya kalau gue datang dengan penampilan kayak gitu. “And now, Alice! Wow, you look fabulous!” “Thanks.” Alice tersenyum lagi, dan gue ikut-ikutan nyengir. Fabulous? Iyalaaahh, cewek gue! Hehe! “Dress dari mana nih, Lice?” “Run & Ran,” jawab Alice, masih sambil mengembangkan senyumnya. “Waoowww, good choice! Stileto?” “Also Run & Ran.” Gue baru nyadar, senyum Alice makin sumringah setiap kali dia menyebut nama butik itu. Kenapa ya? “Mmm...” Daniel memandangi cewek gue, berusaha menemukan sesuatu untuk ditanyakan lagi. “Clutch?” Heh? Apa itu clutch? Gue memandang Alice, dan ternyata Daniel menunjuk tas kecil dalam genggaman cewek gue itu. Ooh, itu namanya clutch? “Dari lemari Mama, vintage punya!” Alice terkikik. Wow, tas ehh... clutch Alice yang lucu itu dari lemari mamanya? Dia bisa memanfaatkan barang yang ada untuk penampilannya, yang berarti dia nggak boros dan doyan belanja sanasini? Hey girl, you’ve just got one more point from me. Gue makin salut sama cewek gue! “Weits, keren abesh! So, vintage lookalike tonight?” Alice mengangguk. “Cool! Kalau boleh tahu, budget buat penampilan berapa nih?” Gue bengong. Nggak ingat berapa duit yang gue abisin buat beli jas sama celana jins ini. Gimana mau ingat, kalau gue masuk ke toko-toko itu setengah diseret Mbak Vita? Bayarnya juga pakai credit card, tinggal digesek terus tanda tangan, nggak ingat deh gue habis berapa. “Ah, lupa gue...” “Haha!” Daniel tertawa. “Khas cowok!” Dia menepuk-nepuk bahu gue.” Kalau Alice, gimana?” “Hmm... nggak banyak sih.” “Waah, dia main rahasia!” Daniel ngakak. “Okay, have a great night, guys! Silakan masuk, silakan...” Daniel memberi jalan pada gue dan Alice, lalu menyambut seleb lain lagi entah siapa yang berdiri di belakang kami. “Eh, Say, kamu habis berapa buat dress sama yang lain-lain ini?” bisik gue di telinga Alice setelah kami agak jauh dari Daniel dan segala kehebohan di depan sana. Gue penasaran juga. “Hmm... kasih tahu nggak, ya?” Alice tersenyum dan memutar bola matanya. “Yah, masa aku nggak dikasih tahu?” “Oke deehh... Aku nggak habis satu sen pun buat semua ini!” “Hah? Serius?” “Iyaa! Owner butiknya tuh temen kakaknya Grace, terus waktu aku bilang aku butuh gaun buat ke MTV Awards, tau-tau dia ngasih dress sama stileto gitu aja. Sama jepit bunga yang di rambutku ini juga,” tambahnya sambil menyentuh jepit yang ada di rambutnya. “Ooh, pantas kamu senyum-senyum tiap nyebutin nama butiknya tadi.” Alice nyengir lucu, dan gue merangkul pinggangnya menuju pintu ke venue MTV Awards. Di sini sudah nggak seramai di red carpet tadi, hanya ada beberapa seleb lalu-lalang, dan kru-kru yang sibuk berbicara pada mikrofon headset mereka. Hmm... berarti sekarang kami harus cari seat nih, kalau nggak salah sih Bang Budy bilang seat untuk Skillful di baris kedua di balkon, deretan tengah. “Hei, Dylan!” Seseorang menepuk bahu gue. Masa Daniel lagi sih? Apa dia... yah, mungkin mendadak ingat belum nanya sepatu gue mereknya apa? Tapi ternyata bukan Daniel? Yang ada di hadapan gue adalah seorang cowok yang sama sekali nggak gue kenal. “Sori, tapi... siapa ya?” “Lo nggak ngenalin gue?” tanya cowok itu lagi, dan gue langsung memutar otak. Biasanya, otak gue sangat jaga menyimpan memori (kecuali lirik-lirik lagu Skillful, yang kadang-kadang hanya merupakan baris kosong di otak gue saat konser), dan gue yakin, gue sama sekali nggak kenal cowok ini. Gue menggelen glalu menatap Alice, dan kelihatannya dia juga nggak mengenali cowok whoever lah dia yang ada di depan kami ini. “Gue Yopie, vokalis Excuse,” katanya dengan nada sok. Oooohhhh... jadi ini si artis karbitan? “Gue kira, lo udah ngenalin gue,” katanya lagi, dan gue makin nggak suka sama dia. Gaya bicaranya itu lho, seolah-olah fakta gue yang nggak tahu tampang dia merupakan dosa besar. Hah, yang bener aja! “Nggak. Gue nggak ngenalin lo.” “Ooh.” Dia kelihatan seolah baru ditonjok. Pasti pedenya yang selangit itu berantakan gara-gara omongan gue barusan. Dan, bukannya gue sombong nih, tapi apa bener dia dapat undangan buat lewat di red carpet ini? Bandnya kan baru tanda tangan kontrak sama label. Mereka... yah, boleh dibilang belum terkenal. Sekali lagi, bukannya gue nyombong lho. “Mmm, kalau boleh, gue sama cewek gue mau masuk dulu.” Gue berusaha senyum, dan menggandeng tangan Alice untuk masuk ke venue. Tapi dia memanggil gue lagi. “Dylan, tunggu!” Gue menoleh dengan bete. Apa lagi sih ni orang?! “Manajer lo... udah cerita kan, soal skenario Pak Leo?” “Ya, tapi gue nggak setuju,” jawab gue dingin. Gue merasakan tangan Alice gelisah dalam genggaman gue, dan waktu gue menatapnya, dia kelihatan benar-benar bingung. Ah, berarti nanti gue harus dengan jujur menjelaskan sama dia soal masalah ini, nggak bisa bohong lagi. Pasti nanti suasananya bakal nggak enak, dan ini semua gara-gara si artis karbitan yang berhasrat tinggi untuk masuk infotainment ini! “Tapi itu harus! Lebih cepat lebih baik!” si artis karbitan mengoceh lagi. Gue mulai habis kesabaran, apalagi orang-orang yang lewat di sekitar kami mulai curicuri pandang penasaran. Kalau orang yang harus gue tonjok tuh nyebelinnya selangit begini, gue nonjoknya nggak bakal pura-pura! Dengan sepenuh hati deh! “Dengar ya,” kata gue sambil berusaha sabar, “pertama kali gue dikasih tahu skenario sinting ini, gue nggak setuju. Apalagi setelah Pak Leo bilang alasan gue menonjok lo adalah karena lo ganggu Alice, gue makin KEBERATAN!” Ada pekik terkejut, dan gue dengan ngeri melihat Alice menutup mulutnya dengan tangan. Yeah, dia pasti dengar apa yang gue bilang ke si artis karbitan itu barusan. Oh damn, memang seharusnya gue cerita sama Alice sebelum ini, jadi dia nggak akan sekaget ini. “Tapi ini demi publikasi band gue...” “Emangnya gue pikirin?! Mau band lo ngetop kek, gagal kek, mengais-ngais tanah kek, gue nggak peduli!” Gue berbalik, dan berusaha secepat mungkin menggandeng Alice menuju pintu masuk venue, tapi Yopie masih terus mengoceh. “Cih, baru gitu ja udah sombong! Kalau tahu lo belagu begini, gue ganggu aja tuh cewek lo beneran!” Kalau ada yang mengatai gue vokalis band paling payah se-Indonesia sekalipun, gue nggak akan semarah ini. Omongan Yopie barusan benear-benar sudah bikin tembok pertahanan emosi gue berantakan. Tau-tau, tinju gue sudah mendarat di mukanya, dan dia mengaduh-aduh kesakitan di atas lantai pualam JHCC. Yeah, gue menang TKO. Haha. Saat mendongak, gue melihat sudah ada kerumunan kecil orang di sekitar gue, Alice, dan Yopie. Dan sekali lagi, jutaan blitz yang silaunya gila-gilaan itu berpendar di depan gue, dengan bunyi jeprat-jepret yang memualkan. MASUK INFOTAINMENT “DAN sekarang, Pemirsa, kita beralih pada kasus pemukulan yang dilakukan oleh Dylan „Skillful‟ kepada vokalis band pendatang baru Excuse, Yopie. Kejadian yang berlangsung di acara penghargaan sebuah televisi swasta tersebut tengah menjadi perbincangan hangat. Dylan, yang selama ini dikenal jauh dari gosip, lepas kendali pada acara tersebut, dan memukul Yopie saat akan memasuki ruang acara. Alice, kekasih Dylan yang juga hadir saat itu, disebut-sebut menjadi sumber pertikaian antara Dylan dan...” KLIK! Aku menekan tombol berwarna merah di remote TV-ku, dan gambar presenter infotainment yang hiperbola dan sok tahu itu langsung menghilang, digantikan dengan layar hitam yang kosong. “Gue masih nggak percaya Dylan masuk infotainment...,” ujar race sambil menyodorkan kantong potato chips-nya padaku, tapi kucuekin. Ini hari Minggu, sehari setelah kejadian “pemukulan” itu, dan semua infotainment sedang semangat-semangatnya memasang berita itu sebagai berita utama. Mood-ku hancur berantakan gara-gara semua pemberitaan itu, dan dengan kondisi kayak gini, akan lebih bijaksana kalau aku nongkrong di kamarku sendrii saja. “Dylan nggak salah, dia cuma ngebelain gue. Si Yopie itu yang kurang ajar...,” gumamku pada Grace. Dylan sudah cerita semua tentang apa yang disebutnya sebagai skenario-gila-pemilikrecording- label-dan-band-kunyuk-rindu-masuk-infotainment itu padaku, dan pada awalnya aku benarbenar nggak percaya. Karena skenario itu melibatkan aku! AKU! Benar-benar gila. Aku sama sekali nggak nyangka di industri musik ada politik semacam itu. Kepingin ngetop mendadak? Minta pemilik recording label-mu merancang skenario supaya kamu bisa ditonjok oleh artis lain dari label itu yang lebih terkenal, maka... simsalabim! Wajahmu akan langsung muncul di semua infotainment, dan kamu ngetop mendadak! Sangat mudah bukan? Yang lebih gila lagi, menurut skenario itu harusnya Dylan hanya perlu pura-pura menonjok Yopie (yang disebabkan Yopie menggangguku), tapi gara-gara semua ocehan Yopie kemarin, Dylan yang tadinya ngak setuju sama rencana itu tiba-tiba sudah melayangkan tinju ke muka Yopie, dan cowok tengil itu terjatuh di lantai sambil merengek-rengek kayak anak kecil. Tahu rasa! Aku ngak pernah tahu Dylan ternyata jago menonjok orang. Dia hebat banget! Ehh... maksudku, aku bisa mengerti kenapa Dylan sampai kehilangan kontrol. Si Yopie itu orangnya belagu banget sih! Udah SKSD sama Dylan, gaya ngomongnya sok jago, lagi! Kayaknya memang dia udah berhasrat banget kepingin masuk infotainment! Yeah, you got what you want, jerk. Dan cowokkulah yang disalah-salahkan di infotainment. Dibilang high-temper lah, nggak bisa menahan diri lah, emosian lah, meledak-ledak lah. Mereka nggak tahu aja gimana brengseknya Yopie. Cuma orang tuli atau bego yang akan diam saja kalau mendengar semua omongannya ke Dylan kemarin. Masalahnya sekarang, orang lebih percaya apa kata infotainment. Apalagi orang macam Bu Parno. Infotainment jelas panduan hidup baginya. Keterangan dari orang yang benar-benar berada di lokasi kejadian macam aku sih nggak bakal dipedulikan. Tentu saja, karena aku pacar Dylan, orang-orang akan beranggapan aku melindungi dia. Kasihan Dylan, dia pasti stres banget sekarang. Kemarin dalam perjalanan pulang dari JHCC aja, dia diam terus... Dan dia diam kayak gitu hanya kalau punya masalah yang superberat. “Yah, bukan mau dia masuk infotainment, Grace,” akhirnya aku menanggapi komentar Grace. “Lo kan udah gue ceritain kalau semua itu akal-akalan manajemen band Yopie sama recording label-nya. Dylan cuma... korban.” Grace manggut-manggut, padahal tadi dia heboh banget waktu mendengar ceritaku. Dia bilang, owner recording label sinting yang mengarang semua skenario itu salah profesi, karena seharusnya dia jadi penulis novel, penulis skenario, atau perancang strategi kampanye parpol aja, karena cocok sama otaknya yang dipenuhi ide gila. Aku amat sangat setuju! Tapi yah, sekarang kami nggak bisa mengubah apa pun, kan? Image cowokku, yang tadinya sangat sempurna, sekarang hancur berantakan di depan publik. Huh, aku bakal senang banget sandainya AKU yang ditugaskan untuk menghadiahi si Yopie itu bogem mentah! Dan aku nggak akan sebaik hati Dylan, yang cuma membogem cowok brengsek itu sekali. Aku bakal menghajarnya habis-habisan, karena beraninya dia merusak image cowokku demi band busuknya itu. Biar aja kami dilihatin seluruh undangan MTV Awards, aku nggak peduli. Ehh... tapi kalau aku melakukan itu, image Dylan juga bakal tercoreng, ya? Dia akan dijuluki vokalis-band-yang-nggak-bisa-mengendalikan-pacarnya-yang-ternyata-berbakat-jadi-petinjuprofesional. Ah, sudahlah. * * * “Mmm... iya, jadi dia emang gangguin gue... Ngomongnya nggak sopan... Terus Dylan marah... Udah negur dia, tapi nggak didengerin... Ya udah, akhirnya dia nonjok...” “Berarti Dylan kayak gitu karena ngebelain lo?” “Iyaa... Gue jadi nggak enak banget, ini semua gara-gara gue...” “Ah, jangan bilang kayak gitu. Lo kan pacar Dylan, memang seharusnya Dylan ngejagain dan ngebelain lo. Gue sebenernya kaget banget sih lihat berita di infotainment tadi pagi, tapi gue langsung mikir kalau Dylan nggak mungkin berbuat kayak gitu kalau dia nggak punya alasan kuat.” “Iya. Thanks ya, Del.” “Yep, sama-sama. Take care, ya, Lice. Salam buat Dylan. Anak-anak juga pada nitip salam semua tuh.” “Iya, thanks lho... Salamin balik ke anak-anak yaa...” Aku memutus sambungan telepon yang baru saja terjadi via HP-ku. Tadi itu Ardelia, salah satu fans Skillful yang cukup akrab sama aku, plus sering curhat-curhat juga. Dia menelepon karena penasaran gimana sebenernya kejadian pemukulan Dylan vs. Yopie, dan tentu saja aku harus cerita yang sebenarnya. Yah... yang bisa kulakukan sekarang kan cuma itu, menyelamatkan sisa-sisa image baik Dylan di depan para fansnya... Ngomong-ngomong, kok Dylan sendiri belum menghubungiku? Ah... mungkin dia masih shock gara-gara semua kejadian ini, dan butuh waktu untuk menenangkan diri sebentar. Aku memencet tombol speed dial nomor Dylan pada HP-ku, dan mengaktifkan loudspeaker. “Nomor yang Anda tuju sedang sibuk atau berada di luar...” Kenapa dia mematikan HP-nya??? Aku mencoba sekali lagi, tapi ternyata tetap tersambung ke mailbox. Berarti Dylan memang benar mematikan HP-nya, satu hal yang jarang banget dia lakukan. Perasaanku jadi makin nggak enak. Apa ada sesuatu lagi yang udah terjadi tanpa setahuku? Mungkin Yopie si artis karbitan kepingin lebih banyak dapat sorotan media lagi, dan memutuskan untuk sok-sok ngadu ke polisi? Omigod! Jangan sampai dia melakukan itu... Dylan nggak boleh berurusan dengan hukum... Dia nggak salah apa-apa... Aku haurs menelepon Dylan. Harus! Tapi kalau HP-nya mati...? Oh iya! Telepon rumahnya saja! Telepon rumahnya! Aku mencari-cari nomor telepon rumah Dylan di phonebook, dan memencet tombol OK. Seumur-umur, baru kali ini aku telepon ke rumah Dylan. Biasanya aku selalu langsung menghubungi HP-nya. Oh ya ampun, nggak ada yang mengangkat JUGA? Ke mana sih semua orang??? “Halo?” “Thanks God, Mbak Vita!” Aku langsung lega mendengar suara yang kukenal baik itu menjawab panggilan teleponku. “Eh? Alice? Ini Alice?” “Iya, Mbak, ini aku! Dylan ada? HP-nya dimatiin... aku nggak bisa telepon dia...” “Oh, dia...” Mbak Vita terdengar gelisah. Apa dia menyembunyikan sesuatu? “Mbak, ada apa? Nggak ada... nggak ada sesuatu yang buruk terjadi, kan?” “Mmm... Dylan lagi nggak di rumah, Lice.” Aneh sekali, Mbak Vita nggak menjawab pertanyaanku. Tapi lebih penting untuk tahu di mana Dylan sekarang. “Dia ke mana?” “Tadi dia dapat telepon dari kantor manajemen, terus buru-buru pergi...” Kantor manajemen??? “Aduuhh... Mbak, tolong jujur sama aku dong... Nggak ada masalah yang lebih gawat lagi, kan?” “Gue nggak tahu, Lice. Tadi Dylan nggak bilang apa-apa, dia langsung pergi gitu aja habis terima telepon.” “Tapi ekspresinya... apa dia kelihatan baru dapat bad news?” “Mmm... kayaknya sih...” Kadar kekhawatiranku naik lagi setingkat. Aku nggak bisa diam saja di rumah dan jadi orang yang paling ketinggalan berita. Aku harus memastikan Dylan nggak dapat masalah tambahan! “Mbak, aku mau ke kantor manajemen!” “Hah?” Mbak Vita terdengar superkaget. “Lo mau ngapain ke sana?” “Aku harus cari tahu Dylan kenapa, Mbak... Dia belum telepon atau SMS aku sekali pun sepagian ini... Aku khawatir...” “Tapi lo kan nggak usah ke kantor manajemen, Lice. Kita nggak tahu apa yang terjadi di sana, nanti malah...” “Justru karena nggak tahu itu, aku harus cari tahu...” Mbak Vita terdiam, mungkin dia setuju dengan usulku. “Mbak?” “Lice, gue tetap berpikir kalau lo sebaiknya nggak ke kantor manajemen.” Aku menelan ludah. Ternyata argumenku sangat lemah, sampai Mbak Vita pun nggak bisa terbujuk. “Lo... lo tunggu di rumah aja dulu ya. Gue janji, nanti begitu Dylan pulang, atau telepon... pokoknya begitu ada kabar dari dia, gue bakal langsung ngabarin lo.” Aku nggak rela untuk mengiyakan usul Mbak Vita, tapi mau gimana lagi? Dylan dan Bang Tora pernah bilang, di antara mereka semua, Mbak Vita lah yang logikanya paling jalan, yang paling bijaksana. Mereka sering minta saran dari Mbak Vita kalau ada masalah, dan biasanya saran itu selalu tokcer. Mungkin kali ini aku harus memercayai omongan Dylan dan Bang Tora itu... “Oke, Mbak. Please, kalau udah ada kabar dari Dylan, aku dikasih tahu ya...” SENSASI KELEWATAN BANG BUDY kayaknya udah ketularan penyakit gila Pak Leo. Tadi pagi-pagi, dia telepon dan langsung nyerocos di telinga gue kayak orang yang waktu hidupnya tinggal sepersekian detik saja. Gue sampai terpaksa menginterupsi ocehannya itu, upaya terakhir gue mencegah dia mengocehkan segala hal yang sama sekali tidak gue mengerti. Kayak dia nggak tahu aja antara otak dan panca indra gue nggak pernah sinkron kalau gue baru bangun tidur dan belum minum kopi. Lucunya, begitu gue selesai menginterupsi, Bang Budy mematikan telepon. Gue terpaksa memutar otak, berusaha mengingat apa ada potongan informasi yang bisa gue tangkap dari ocehan Bang Budy sebelum dia mematikan teleponnya tadi. Samar-samar gue bisa mengingat dia mengocehkan sesuatu yang kedengarannya seperti “datang ke kantor manajemen”, “Pak Leo”, dan “laporan polisi”. Begitu berhasil mengingat semua itu dan merangkainya jadi satu, gue langsung meloncat turun dari tempat tidur, dan ngacir ke kamar mandi. Dalam sepuluh menit, gue sudah berlari melintasi ruang tamu, menuju garasi untuk mengambil motor. Mama sempat menghentikan gue sebelum gue mencapai pintu depan. “Dylan, kamu mau k emana?” tanya Mama, berlari mengejar gue dari arah ruang makan, dengan Mbak Vita mengikuti di belakangnya. Wajah Mama terlihat pucat. “Mau ke kantor manajemen, Ma.” “Kamu... kamu ada di semua infotainment pagi ini, Lan,” kata Mama dengan suara bergetar, dan gue rasanya kepingin menonjok Yopie si artis karbitan itu sepuluh kali lagi. Gue nggak pernah membuat Mama sampai sepucat ini, tapi gara-gara Yopie tengik itu... “Aku bisa jelasin itu nanti, Ma. Aku janji aku bakal jelasin. Sekarang aku... harus buruburu ke kantor manajemen...” Dan sekarang, saat gue sudah berada di ruang rapat di kantor manajemen, plus sudah mendengar ulang semua yang ternyata diocehkan Bang Budy di telepon tadi, gue yakin nggak akan sanggup menjelaskan ke Mama nanti. Yopie sialan itu sudah memasukkan laporan ke Polda Metro Jaya. Dia melaporkan GUE, atas tuduhan tindak kekerasan dan perbuatan tidak menyenangkan! Gue kepingin tahu, apa bisa melaporkan dia balik dengan tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik! Benar-benar gila, Bang Budy kan nggak pernah menyebutkan kami bakal bawa-bawa polisi dalam skenario sinting ini! “Kenapa kita harus melibatkan polisi?” protes gue. “Ini kan pada dasarnya hanya sandiwara, untuk MENCARI SENSASI supaya Excuse bisa dikenal masyarakat, kenapa sekarang malah bawa-bawa polisi?!” Gue dengan emosi menekankan pada kata “mencari sensasi”. Orang yang baru gue tahu adalah manajer Excuse, yang duduk di seberang meja sana, wajahnya memucat dalam sekejap. Mungkin dia mengira vokalis Skillful adalah orang jinak yang bisa dikendalikan dengan mudah oleh recording label dan manajemen. Pasti dia nggak mengira gue bisa memprotes sekeras ini. You’re wrong, stupid. “Ini karena semuanya terjadi tidak sesuai rencana, Dylan,” Pak Leo angkat bicara, dan gue menatapnya dengan pandangan benci yang teramat sangat. SEumur-umur, gue nggak pernah berurusan dengan polisi, bahkan dalam urusan sepele macam tilang sekalipun. Karena gue mahasiswa fakultas hukum, gue tahu betapa pentingnya bagi masyarakat untuk taat pada hukum. Tapi sekarang, gara-gara semua skenario sinting ini, gue berpeluang untuk punya catatan kriminal! “Apanya yang di luar rencana?” tanya gue berang. “Saya sudah melakukan apa yang Pak Leo mau, kan? Saya sudah cari gara-gara dengan vokalis Excuse, supaya mereka bisa masuk infotainment! Apa lagi yang di luar rencana?!” “Seharusnya, kamu tidak melakukan itu di MTV Awards kemarin,” kata Pak Leo tenang, melipat tangan di atas perutnya yang buncit. “Memangnya amarah saya bisa ditunda?! Saya dari awal nggak setuju dengan rencana ini, dan menolak melakukannya! Tapi dia,” gue menunjuk Yopie, “mendatangi saya di MTV Awards kemarin, dan mengatakan hal-hal yang tidak sopan! Hanya orang idiot dan tuli yang akan diam saja kalau mendengar omongannya kemarin!” Seluruh ruangan sunyi senyap, yang terdengar hanya napas gue yang tersengal, berusaha menahan diri untuk nggak menjungkirkan meja di ruang rapat ini. Pak Leo menatap gue dengan mata melotot. “Dylan, sabar...,” kata Bang Budy di telinga gue, tapi gue memelototinya dengan geram. Gimana sih Bang Budy? Kenapa dia jadi melempem gini? Biasanya dia yang paling nggak bisa terima kalau ada hal-hal di luar album atau prestasi Skillful yang masuk infotainment! Biasanya dia yang paling meledak kalau manajemen Skillful diobok-obok sama orang luar! Apa dia sudah dicuci otak sama Pak Leo?! “Maslaahnya,” kata Pak Leo, kelihatan jelas berusaha meredakan kekagetannya atas kata-kata gue tadi, “publisitas yang saya....... Next
Posted on: Thu, 12 Sep 2013 13:48:00 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015