Demokrasi Religius (22): Refleksi Kritis Gerakan Islam Jumat, 30 - TopicsExpress



          

Demokrasi Religius (22): Refleksi Kritis Gerakan Islam Jumat, 30 Agustus 2013 08:37 WIB (Serambi Indonesia/Aceh) Oleh Muhammad Azhar TULISAN ini tidaklah mengategorisasikan gerakan Islam yang bersifat organisasi kemasyarakatan maupun partai politik, namun lebih fokus pada substansi masalah yang dihadapi kedua arus pergerakan Islam tersebut. Secara sunnatullah, sukses tidaknya sebuah pergerakan Islam tentunya sangat tergantung pada pembumian nilai-nilai yang terkandung dalam Islam, sesuai dengan dinamika zaman yang mengitari pergerakan tersebut, pada periode tertentu. Beberapa problematika Dewasa ini ada beberapa problematika yang dihadapi pergerakan Islam. Pertama, masih kuatnya dominasi kaum tua dalam perjalanan pergerakan Islam. Ada kesan bahwa kaum tua cenderung belum memiliki kepercayaan yang cukup dalam mewariskan estafet kepemimpinan terhadap figur muda. Di sisi lain, banyak tokoh muda yang belum mampu membuktikan kapabilitas kepemimpinan yang memadai untuk mengelola sebuah pergerakan. Figur tua juga banyak yang meragukan tokoh muda dalam menjaga sustainabilitas pergerakan. Kedua, sering pula terjadi bahwa keaktifan dalam sebuah pergerakan hanya sekadar tempat ma’isyah saja, bersifat pragmatis-oportunis. Hanya segelintir pemimpin yang mau berkhidmat secara idealistik-humanistik dan transendental. Ketiga, tokoh pergerakan Islam juga umumnya masih terjebak pada romantisisme Islam masa lalu atau ‘logosentrisme’ keislaman klasik yang sudah out of date. Hal ini terlihat pada visi dan misi pergerakan yang stagnan, tanpa adanya perubahan yang berorientasi ke masa depan. Keempat, masih minimnya kearifan kaum muda dalam merespon pemikiran kaum tua yang konservatif, sehingga menimbulkan sikap like and dislike dari kaum tua. Figur-figur muda pergerakan akhirnya terpental dari orbit pergerakan dan berdiaspora dalam kelompok kecil semacam LSM yang tentunya merugikan pergerakan di arus utama. Potensi besar kaum muda menjadi mubazir. Kelima, sudah menjadi klise bahwa manajemen keuangan pergerakan Islam selalu kalah dibanding pergerakan lain. Untuk kasus Indonesia cukup dapat dipahami karena begitu banyak diferensiasi pergerakan Islam. Keenam, klise yang sama juga terjadi di bidang mediamassa, yang umumnya masih jauh dari jangkauan orbit pergerakan Islam. Ketujuh, beberapa pergerakan Islam yang tergolong minor, umumnya masih mengalami kendala berupa minimnya visi tentang wawasan kebangsaan (keislaman dan keindonesiaan). Hal yang sama terjadi pada pergerakan arus utama, khususnya pada aras grassroot pergerakan. Dalam beberapa hal, pimpinan pergerakan Islam mengalami hambatan dalam meretas kebuntuan ini. Kedelapan, yang tak kalah problematiknya adalah dimensi HAM yang umumnya kini masih terjadi kerumitan teologis dan epistemologis tentang bagaimana mensinergikan antara wawasan keislaman dan HAM yang oleh kebanyakan kaum pergerakan Islam sebagai sesuatu yang berbau western. Hal ini hampir menggejala di semua pergerakan Islam di dunia. Tawaran solutif Abdullahi Ahmed An-Na’im (Sudan) dan M Sa’id al-‘Asymawi (Mesir) belum begitu banyak mendapat apresiasi dari tokoh pergerakan. Kesembilan, dalam banyak hal, orientasi pergerakan Islam masih ideological-political oriented, dan cenderung melupakan jati diri pergerakan sebagai pelayan masyarakat. Perjuangan pergerakan Islam masih bersifat label-simbolik-formalistik ketimbang etik-substantif-transformatif. Kesepuluh, link pergerakan Islam dinilai masih lemah dalam aspek international networking. Eksistensi Organisasi Konferensi Islam (OKI), IIFTIHAR, Rabithah Alam Islami, dan sejenisnya masih belum bisa dimanfaatkan secara faktual dan maksimal oleh pelbagai pergerakan Islam khususnya di tanah air. Kesebelas, mayoritas pergerakan Islam juga masih gamang dengan contemporary issues. Dakwah-dakwah keislaman cenderung hedonis-entertaint dan lebih pada pemenuhan hasrat spiritual sesaat. Keduabelas, akhir-akhir ini orientasi pragmatis amal usaha keislaman mulai mengarah ke arah Islamic capitalism. Hal ini seiring dengan semakin memudarnya semangat berbagi (voluntary). Gejala munculnya dikotomi antara profesionalitas dan dimensi keikhlasan juga relevan di sini. Ketigabelas, pergerakan Islam juga masih belum serius mengelola potensi kelas menengah muslim, juga terhadap kaum elite (neo-al-maun atau neo-mustad’afin). Keempatbelas, pergerakan Islam kini mengalami krisis top figur yang populis-transformatif, juga krisis keteladanan. Secara eksternal, berbagai krisis di atas semakin diperparah oleh munculnya fenomena social distrust. Belum lagi gejala alergi tokoh pergerakan dengan berbagai temuan sosial-saintifik yang baru, di luar pergerakan. Prospek ke depan Untuk mencari solusi atas berbagai krisis pergerakan Islam di atas, perlu dipikirkan dua tawaran berikut: teoritik dan aplikatif. Untuk tawaran teoritik-metodologik seperti yang pernah dikemukakan Fazlur Rahman (konsep elan vital dan moral ideal) dari kitab suci menarik untuk dijadikan bahan renungan para aktivis Islam. Demikian pula perspektif “teologi sosial-transformatif” versi Asghar Ali Engineer dan Hassan Hanafi, cukup baik diajukan dalam merespons ketidakadilan sosial dan struktural. Demikian pula dengan konsep ‘Islamologi Terapan’ Mohammed Arkoun. Untuk menyegarkan pemikiran keislaman lainnya dapat pula mengadopsi pola pikir M Abed Al-Jabiri: Bayani (tekstual)-Burhani (rasional-empiris), dan Irfani (sufistik-spiritual). Demikian pula konsep lainnya tentang ‘aqidah (ideologis), ghanimah (kalkulasi pragmatis-ekonomis) dan ‘ashabiyyah (kepentingan kelompok/sekte) yang selalu mendera kehidupan umat. Aktivis Islam baik juga bila mencermati karya Abdullah Saeed (kaitan Alquran dengan contemporary Issues). Adapun bentuk tawaran aplikatif: maka pergerakan Islam harus memiliki komitmen untuk tetap bersih dari korupsi, ditandai dengan pemberian tindakan tegas bagi kader yang korup dan amoral, penguatan ekonomi kerakyatan terutama level masyarakat petani, nelayan, buruh. Juga tak kalah pentingnya masalah land reform, sosialisasi Islam sebagai rahmatan lil’alamin (nilai Islami) dengan mengedepankan konsep ‘Darussalam’, bukan ‘Darul Islam’. Wawasan tentang religious democracy juga sangat penting dimasyarakatkan sebagai pembeda dengan wacana liberal democracy. Juga perlu diseriusi mengenai seleksi figur yang populis-transformatif, pengembangan media untuk proyek pencitraan pergerakan Islam. Di masa depan, pergerakan Islam harus terus melakukan evaluasi periodik terhadap kader, anggota dan program melalui audit finansial serta “sertifikasi” kader secara berkala, terutama yang berpotensi menjadi leader. Pergerakan Islam juga perlu lebih menseriusi fungsionalisasi masjid sebagai pusat gerakan Islam, dengan menggali kearifan lokal dalam berbagai bidang. Langkah lainnya adalah saatnya semua pergerakan Islam melakukan regenerasi yang sehat, kontekstualisasi dan aktualisasi nilai-nilai Islam, penggalian potensi dana umat/Bazis/dana haji yang cukup melimpah, revitalisasi social trust, pengembangan sistem manajemen ikhlas-profesional dan selalu open mind. * Dr. Muhammad Azhar, MA, Dosen pada Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. Email: muazar@yahoo
Posted on: Sun, 01 Sep 2013 02:16:25 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015