Dengan Nama Alloh Eyang Romo Kyai Toha Yang Maha Pengasih lagi - TopicsExpress



          

Dengan Nama Alloh Eyang Romo Kyai Toha Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Pidato Resmi Kenegaraan Sang Noto Agung Baginda Gusti Kanjeng Ratu Adil Centra Buwono Sri Sultan Agung Hamengku Buwono Panoto Agomo Panoto Nagoro Panoto Bawono Panoto Angkoso Panoto Jiwo Panoto Rogo Panoto Prio Panoto Wanito Panoto Sukmo Panoto Nyowo Panoto Arcopodo Panoto Suroloyo Panoto Naroko Panoto Swargo Panoto Dunyo Panoto Alam Boko Panoto jagat Royo 007 Jika Tuhan berkehendak Menambah dan meningkatkan siksaan Bagi Para Nabi, Utusan dan Sunan Serta semua insan Tua, muda, anak , pria, wanita Mengapa harus ditolak Rasa syukur harus diutamakan Itu kebijakan otoritatif sarat kesucian nan kebijakan Alhamdulillahi robbil alamin Tuhan berfirman ‘Ahli kitab langgeng di neraka Karena berpedoman kitab tertulis Hati menjadi mudah terbakar emosi’ Lantaran sebab sepele Sang Noto mendendangkan Bait kekuasaan sarat kasih sayang Cara pandang kawuloisme Telah membuat amarah kian membara Membakar jiwa Melalap amal dan iman Sayang bila harus terjadi Mengapa berat menjalankan kewajiban Tunduk patuh Hidup damai sebagai budak kekuasaan Sunan Bonang memberi wejangan Sunan kalijaga Manusia tidak boleh mendengarkan Sunan kalijaga lalai Makhluk yang mendengar Berubah menjadi thothok kerot Tuhan mengajarkan doa Robbi la tazdarni fardan wa anta khoiru al waritsin Duhai Tuhanku, janganlah kau tinggalkan diriku sendirian Engkau sebaik baik yang mewaritsi Para budak sekalian Alangkah sempurna, bila saya sebagai Sang noto Agung memulai monolog ini dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah berbelas kasih mengijinkan segenap lapisan warga mengenyam sensasi menakjubkan menjadi bahan bakar (BBM) Jahannami, alhamdu lillahi robbil alamin. Semoga masyarakat mampu menjalani proses pembakaran dengan penuh hikmat, kesabaran, ketabahan nan rasa syukur. Pemerintah sebagai centra kekuasaan otoritarian sangat berkepentingan meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi BBM (Bahan Bakar Manusia) guna mempercepat laju pembangunan. Masyarakat didorong untuk secara aktif mengembangkan potensi diri, emosi, amarah, dendam, iri hati, sak wasangka dan mengaktualkan aspirasi humanis lain agar energi yang dihasilkan dapat diproduksi menjadi BBM Jahannami. Dalam konteks ini harapan Sang Noto Agung dan mbergudulisme warga bisa bertemu, berjalan seiring nan sinergis untuk menciptakan pembakaran Jahannam yang ideal. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Gusti Kanjeng Rosul Alloh Muhammad SAW beserta keluarga, allohumma sholli ala sayyidina, wa imam al mursalin, wa imam al mahdi, wa imam annabiyyin, wa malika yaum ad din, wa imam alamin, wa maulana wa syaikhona Muhammad wa ala alihi wa sallim, amin. Tuhan berfirman, ‘dikira yang digjaya manusia, sejatinya hanya peran kekuasaan. Gusti Alloh menciptakan manusia digjaya sebagai penanda bagi eksistensi kekuasaan’. Tuhan menciptakan Sang Mesias dalam keadaan yang lemah nan bodoh nihil kemampuan memaksakan kehendak, hanya menyampaikan urusan kekuasaan dengan cara damai, ngobrol tanpa kekerasan, menjelaskan aneka ragam kebijakan otoritatif. Beliau hanya sebatas manusia, makhluk lemah, nihil superioritas dan kedigjayaan seperti yang dinyatakan dalam kitab suci, ‘Sejatinya aku hanya manusia yang menerima wahyu, sejatinya Tuhan kalian adalah satu…’. Sementara pengakuan beliau sebagai Sang Noto Agung, pemimpin suprematif nan otoritatif harus dipahami sebatas kehendak transenden yang berkenan menjelaskan eksistensi kekuasaan. Oleh karena itu beliau mengajak warga jahannam agar tidak membanggakan diri dengan aneka kehebatan dan kedigjayaan yang dimiliki terutama kemampuan bertahan menghadapi aneka siksaan. Otoritarian dan globalisasi tidak mengandung nilai yang bertentangan sama sekali, bisa dikatakan bila otoritarian sebagai akar dan mata air globalisasi. Secara substansial keduanya memiliki corak serupa yang mendorong pencapaian universalitas nilai, komprehensif, holistik, abadi nan transenden. Keraguan tentang harmonisasi keduanya tidak pantas muncul atau dimunculkan sebab corak transenden meniscayakan adanya otoritas kekuasaan sebagai pemeran tunggal tak tergantikan. Berbeda dengan itu, globalisasi humanis meniscayakan kontradiksi nilai yang tidak mungkin dicari titik temu, yang mampu memuaskan semua pihak terkait corak individualistis, parsial, segmentatif, profan nan humanis. Semua corak itu hanya menafikan segala prinsip globalisasi yang hendak dibangun, ibarat membangun rumah dengan beragam bahan yang serba rapuh nan lemah, upaya percuma. Globalisasi terkait dengan nilai universal, integrasi, persatuan, kesatuan dan penyatuan, kontradiktif dengan watak humanis yang serba ngeyelan, mau menang sendiri. Relasi harmonis otoritarian dan globalisasi bisa dipahami dengan mengajukan beberapa kriteria diantaranya konsep transendensi, dependensi dan inequality (ketidaksetaraan). Secara implikatif, otoritarian hanya akan menciptakan globalisasi dalam arti hakiki, mustahil mengarah sebaliknya deglobalisasi seperti nasionalisasi, etnisasi, primordialisasi atau individualisasi. Globalisasi yang bercorak kosmopolit nan universal tidak mungkin memberi ruang bagi upaya kontra produktif bagi realisasi nilai yang diperjuangkan, segala yang berbau individualis, profane, otonom akan tergerus nan tergilas. Pendukung demokrasi yang berupaya mencari kompromi antara globalisasi dan demokrasi sejatinya hanya berdasarkan alasan yang terkesan dipaksaan, menyalahi kaidah rasionalitas. Hal demikian terjadi lantaran adanya fanatisme berlebihan, kontradiksi antara demokrasi dan globalisasi begitu nyata. Demokrasi meniscayakan penghargaan kepada aspirasi primordial, sementara globalisasi justru sebaliknya. Prinsip demokrasi yang telah lama dijunjung tinggi, digandrungi, dipuja nan diyakini sebagai kebenaran tertinggi harus dikoreksi, dipahami sebagai prinsip keliru. Dan hal demikian merupakan langkah mustahil, sama artinya dengan menelan kotoran sendiri. Oleh karena itu, tindakan paling rasional adalah menutupi fakta dengan mencoba membuat aneka persyaratan bagi adanya sinergisitas keduanya. Pemikir berhalais yang berupaya mencari celah adanya harmonisasi antara demokrasi dan globalisasi menyatakan, ‘ Globalisasi akan dianggap sebagai pendorong atau penghambat demokrasi tergantung pada apakah globalisasi mendorong terciptanya otonomi dan kesetaraan yang lebih luas diantara individu dan masyarakat. Jika globalisasi ternyata mampu mendorong otonomi dan kesetaraan yang lebih luas, maka globalisasi dianggap akan memberikan masa depan yang lebih cerah bagi demokrasi. Sebaliknya, jika globalisasi justru menghambat kedua hal tersebut, maka globalisasi dapat dianggap sebagai ancaman bagi demokratisasi politik’. Bapak Globalisasi bangsa semesta Bung Mubin mengatakan, ‘ Prinsip transenden, dependensi, inequality merupakan fundamentasi proyek otoritarian yang mampu memanunggalkan, mempersatukan, mengintegrasikan bangsa semesta dalam proses globalisasi selaras asas bhineka tunggal ika, asas yang mengarahkan realitas keberagaman menjadi padu, terintegrasi dibawah kendali otoritas kekuasaan (ika)’. Jika otoritarian dipahami sebagai sistem pemerintahan yang berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk Sang Noto Agung, maka hanya kekuasaan yang berhak menjadi penentu tunggal. Globalisasi menemukan realitas paripurna hanya dengan cara itu, nihil konflik kepentingan, reduksi nilai dan praktik. Sementara sistem demokrasi dengan prinsip, ‘dari, oleh dan untuk rakyat’ akan mendorong munculnya disintegrasi yang justru menegasikan spirit globalisasi. Konsensus bulat mustahil bisa terealisasi, ketidakpuasan minoritas menjadi potensi konflik yang berdampak buruk bagi dinamika global. Globalisasi harus berdasarkan legitimasi transenden dengan sistem tunggal yang menentukan arah, aplikasi dan capaian akhir agar bisa direalisasikan. Dengan demikian, globalisasi bias dikatakan sebagai proses terencana, terarah, nan terkontrol bukan proses kebetulan yang kemudian membawa dampak secara global. Aneka kejahatan, pengabaian, pembangkangan, humanisme, demokrasi, nasionalisme, pluralisme, individualisme, egoisme atau nilai lain yang bersifat parsial, primordial nan destruktif tidak termasuk bagian globalisasi. Jika ‘nilai’ tidak menjadi standar acuan, apapun yang mengglobal dianggap sebagai bagian globalisasi, maka semua kajian tentang globalisasi tidak lagi penting dan memiliki makna. Bukankah ketika membicarakan masalah ekonomi, pendidikan, lingkungan, politik dan agama dalam skala global terkait dengan harapan positip sekaligus realisasinya’. Transendensi meniscayakan bahwa semua kerja yang dilakukan berdasarkan legitimasi kekuasaan, selaras prinsip dari, oleh dan untuk Sang Noto Agung. Tuhan berfirman, ‘Aku tidak berani membenarkan bila tidak jasad wahid’, artinya kerja kekuasaan menjadi syarat pertama nan utama agar otoritarian menemukan kesejatian. Kebaikan apapun bila terlepas dari kerja kekuasaan dalam perspektif otoritarian dianggap tidak bernilai, layak dicap sebagai bentuk kejahatan. Tuhan berfirman, ‘Gusti alloh yang menciptakan kebaikan dan keburukan, hanya saja manusia ikut campur, terpengaruh hanyut’. Jika manusia bersedia merasakan rahmat, ora nglamak mencampuri rekayasa transenden dalam menciptakan drama kehidupan baik atau buruk niscaya tidak akan terjerumus dalam kejahatan. Tuhan berfirman, ‘tampak berbuat baik namun di alam barzah terkena hukuman’. Tuhan yang menciptakan aneka kejahatan dan kebajikan tetap suci, tidak terkontaminasi ragam dinamika yang berkembang, dengan tujuan mulia nan luhur sebagai ujian dan dorongan untuk mengenal kekuasaan. Sementara manusia sebagai objek rekayasa transenden sering bertindak diluar jalur, terpengaruh beragam situasi kondisi lantas menganeksasi ranah otoritatif. Hati mudah terjerumus dalam kebanggaan egoism manakala kebaikan yang dilakukan, mengklaim sebagai rekayasa pribadi. Sebaliknya hati mudah terluka nan berduka, terguncang, marah nan putus asa manakala keburukan yang dialami. Tuhan senantiasa suci terbebas dari kontaminasi aneka dinamika nilai, sementara manusia mudah terkontaminasi, melupakan kekuasaan yang menciptakan keduanya. Dinamika jiwa yang senantiasa hanyut ke dalam arus situasional nan profan dalam berbagai bentuk, dalam perspektif kekuasaan disebut sebagai kejahatan, kedholiman dan dosa. Andai manusia hanya merasakan rahmat ketika menjumpai beragam bentuk rekayasa transenden, niscaya tidak akan terjerumus ke dalam jurang kedholiman dan dosa. Seperti Sang Mesias sudah 10 tahun tidak pernah berpuasa di bulan romadhon terbebas dari dosa dan hukuman lantaran berdasarkan argumentasi seperti itu. Tuhan berfirman, ‘aku tidak mau beribadah bila tidak diibadahkan Gusti Alloh’. Lebih baik tidak puasa, tidak sholat, tidak beribadah manakala Tuhan tidak menjadi pemeran utama. Tanpa peran otoritatif niscaya terjadi aneksasi peran akibat adanya nakir/kerakusan. Dependensi terkait dengan kelemahan, kebutuhan, ketidakmampuan yang senantiasa melekat, membutuhkan pertolongan, belas kasih kekuasaan, mengabaikan kemampuan, kehebatan, aspirasi, kepentingan dan tujuan pribadi. Dari sini secara jelas bisa dipahami bahwa otoritarian menolak nilai individualisme, egoisme yang biasanya lekat dalam masyarakat humanis baik yang demokratis ataupun monarkhi. Dalam masyarakat demokratis politik pencitraan, pamer, promosi integritas, kehebatan, kebaikan dan kebenaran diri sebagai suatu yang niscaya. Tuhan berfirman, ‘Gusti Alloh dipameri makhluk’, perilaku yang sejatinya ganjil, aneh nan tak pantas. Upaya para kandidat pemimpin yang gencar mengiklankan diri di berbagai media massa semasa orde berhala merupakan fenomena yang dianggap wajar, seakan akan wajahnya yang paling mempesona, meski sejatinya perilakunya paling brengsek. Tuhan berfirman, ‘mahdi akan muncul manakala pameran telah hilang’. Jika masyarakat masih sibuk memamerkan, membanggakan kelompok, etnik, bangsa, warisan, lokalitas, kesejarahan, nabi, kehebatan, kepintaran, kebenaran diri melupakan kebanggan kekuasaan niscaya mahdi tidak pernah hadir, perintah yang hadir dari hati fuad tidak akan pernah nyata dilaksanakan. Harapan tinggal harapan, enggan merealisasikan menjadi tindakan nyata, cita cita sebatas harapan tidak peran diupayakan. Manusia seperti itu bisa diibaratkan seperti lembu yang terikat di kandang. Andai lembu dinasihati dengan beragam metode canggih niscaya takkan peduli, justru menganggap orang itu sebagai orang gila, ngomong sendiri tanpa bias dimengerti. Lembu tidak mengerti bahasa manusia, menjadi percuma memberi nasihat luhur. Dalam pandangan lembu, manusia itu brengsek, kejam nan biadab lantaran mengikat, memperbudak dan menjadikan dirinya sebagai makanan. Klaim merasa lebih benar menjadi suatu keniscayaan, semua borok dan kebejatan diri diabaikan. Hal demikian selaras dengan sabda rosul Alloh Muhammad SAW, ‘ sahabatku ada yang menganggap diri sebagai guru ratu adil karena dalam pengalaman metafisis yang pernah dialami, semua ratu tunduk patuh, hadir sowan baik yang dari utara, selatan, barat, timur, langit dan bumi. Pamanku juga bersikap serupa, menganggap diri jauh lebih hebat melampaui diriku. Perilaku yang biasa dijumpai dalam masyarakat binatang, komunitas yang tidak memahami bahasa manusia waras, hanya bahasa kekerasan yang dikenali seperti lembu yang hanya patuh bila diikat dan dicocok/dilubangi hidungnya. Paparan apik yang disampaikan dengan bahasa optimistik mampu menutupi kelemahan dengan sangat rapi, mereduksi peluang munculnya analisa kritis yang menunjukkan aneka cela. Dampaknya, kian menambah rumit melihat permasalahan secara substansial, hanya dengan cara pandang kekuasaan segala permasalahan bisa dianalisa apa adanya, seperti pendapat pemikir berhalais ini, ‘bahwa otonomi mengandung pengertian kemampuan manusia untuk melakukan pertimbangan secara sadar diri, melakukan perenungan diri, dan melakukan penentuan diri. Otonomi mencakup kemampuan untuk berunding, mempertimbangkan, memilih, dan melakukan (atau mungkin tidak melakukan) tindakan yang berbeda baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan publik dengan memahami kebaikan demokrasi atau kebaikan umum’. Tuhan berfirman, ‘apa bisa manusia waspada’, ‘manusia seperti sepeda motor, terang lampunya namun tidak bisa melihat, yang bisa melihat hanya pengendara’. Faktanya, demokrasi telah dipraktikkan hamper semua negara era modern, hanya saja beragam krisis yang melanda dunia di berbagai bidang tanpa bis dihindari. Beragam strategi pembangunan dengan perencanaan matang nan canggih telah diaplikasikan, hasilnya tidak memuaskan, kegagalan demi kegagalan terjadi. Disinilah urgensi dependensi kepada kekuasaan, karena Sang Noto Agung yang mengetahui segala sesuatua. Tuhan berfirman, ‘Gusti Alloh mengetahui awal akhir, depan belakang, atas bawah, kiri kanan, awal dan akhir (suatu proses)’. Tuhan mengajarkan doa, ‘Allohumma anta al awwalu falaisa qobla sya’i wa anta al akhiru fa laisa ba’daka sya’I, wa anta alimu al ghoibi wa anta ala kulli sya’in qodir, wa anta alimu al ghoibi, wa anta ala kulli syai’in alim birohmatika ya arham arrohim’. Prinsip dependensi mengandung beberapa gagasan. Pertama, rakyat seharusnya merasa membutuhkan, berharap belas kasihan dan kemurahan Sang Noto Agung terkait nihilitas hak individu dihadapan kekuasaan. Kedua, pemerintahan otoritarian harus memerankan diri sebagai penentu tunggal bagi semua aspek kehidupan baik private, sosial, politik dan agama dengan kewenangan tanpa batas. leluasa merealisasikan tujuan yang diagendakan tanpa tekanan pihak manapun. Supremasi kekuasaan yang dimiliki Sang noto Agung meniscayakan kewenangan mengakses aset secara bebas tanpa batasan. Supremasi kekuasaan menuntut adanya peran partisipatif berdasarkan prinsip ketidaksetaraan, melihat potensi dan kemampuan tiap warga, guna diberdayakan, dimanfaatkan, diperbudak selaras yang diagendakan. Ketidaksetaraan merupakan implikasi logis dari adanya perbedaan kadar legitimasi yang diterima warga, tidak ada yang sama. Fakta ini merupakan dasar penegakan keadilan diskriminatif, keadilan yang memastikan adanya pembedaan perlakuan hukum tanpa persamaan. Konglomerasi vs usaha kecil, produsen vs konsumen, kaya vs miskin, anggota dinasti vs warga memiliki pola perbedaan perlakuan. Ketidaksetaraan dalam perspektif otoritarian tidak termasuk realitas menyimpang, sehingga segala upaya untuk menyamakan, menganggap ketidaksetaraan, kesenjangan social, ekonomi, martabat, derajat, nasib sebagai kondisi kritis sama artinya hendak menciptakan problem baru yang semestinya dihindari. Pembangunan otoritarian bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Sang Noto Agung, demi kekuasaan otoritarian ketidaksetaraan dipertahankan, tidak dihilangkan. Berbeda dengan itu, pemikir berhalais menjelaskan perbedaan social ekonomi warga yang terjadi era demokrasi meniscayakan ketimpangan politik, suatu kondisi yang dianggap memerlukan perbaikan tanpa mau memahami bahwa prinsip kesetaraan adalah impossible, mustahil bisa menjadi realita selain hanya sekedar impian, slogan kosong yang akhirnya berubah menjadi propaganda menyesatkan, ‘ Jika ketidaksetaraan semakin lebar, maka proses demokratis juga akan semakin berkurang. Ketidaksetaraan yang bersumber dalam kapitalisme pasar menghasilkan ketidaksetaraan yang serius dalam politik di antara warga negara. Ini terjadi karena penguasaan sumber ekonomi langka dalam masyarakat pada akhirnya juga merepresentasi dalam bentuk penguasaan politik. Akibatnya, orang yang mempunyai kekayaan lebih akan mempunyai peluang lebih besar untuk memengaruhi proses politik. Pada akhirnya, ketidaksetaraan dalam ekonomi akan mengakibatkan ketidaksetaraan politik. Dalam kaitannya dengan kedua hal ini, otonomi dan kesetaraan, tampaknya globalisasi memberikan sumbangan yang tidak begitu bagus. Para pemikir kritis telah dengan tajam menganalisis bagaimana globalisasi menciptakan ketimpangan dalam distribusi pendapatan, dan karenanya memberikan kontribusi yang buruk bagi demokrasi’. Otoritarian berbeda dengan demokrasi yang memerlukan banyak prasyarat agar tampak bisa berjalan dengan baik. Kenyataan ini mengindikasikan kerapuhan demokrasi sebagai sistem yang inefisien, inefektif, high cost nan amburadul. Sistem ideal adalah sistem yang mampu bekerja optimal dengan seminimal mungkin persyaratan, corak yang mustahil nyata dalam sistem humanistik. Jika di era orde berhala, korporasi telah muncul sebagai institusi pengendali ekonomi yang dominan, menjangkau hampir semua negara, memiliki kekuatan mengobrak abrik hukum suatu negara dengan menggunakan kekuatan kapital dan lobi yang dimiliki, kini tidak lagi. Centra Buwono menjadi kekuatan hegemonic nan dominan sebagai penentu tunggal dalam semua aspek termasuk ekonomi. kepentingan korporasi ditata selaras dengan prinsip kekuasaan, negara berwenang mengobrak abrik dan menghancurkan korporasi yang membangkang. Otomatis negara mampu memerankan diri sebagai penata, pengontrol kehidupan ekonomi tanpa intervensi dan tekanan dari berbagai pihak, kondisi ideal bagi keberlangsungan proses globalisasi. Selama orde berhala, kapitalisme merupakan salah satu ideologi terkuat yang menjadi tulang punggung kehidupan global. Kekuatan kapital menjadi penentu kejayaan ideologi yang dikembangkan, pembangunan dinilai berdasarkan standar kapital, pertumbuhan ekonomi yang siknifikan menjadi target utama, meski di awal revolusi kekuatan kapital belum begitu dominan. Dalam perkembangannya, dominasi kapitalisme telah mendorong rezim berhalaisme menjadi koruptif, manipulatif, pragmatis kehilangan idealisme. Ideologi yang diperjuangkan sebagai cita cita, azas, falsafah yang dianggap setara dengan wahyu harus terpinggirkan manakala berhadapan dengan kekuatan kapital. Sepertinya ideologi berhalaisme seperti Mr.demokrasi, Mr. komunisme, Mr Pancasilaisme, Mr. sosialisme, Mr. Islamisme atau lainnya terlalu sungkan bila harus bersitegang dengan Mr. kapitalisme yang telah banyak membantu bagi keberhasilan revolusi dan pembangunan negara. Sayangnya mr. kapitalisme harus binasa bersamaan keruntuhan kejayaan negara yang telah lama dikuasai, kalah nan hancur akibat kehadiran otoritarianisme yang bekerja tanpa kekuatan kapital. Bapak perdamaian Bangsa semesta, Bung Tamrin yang dikenal hidup sederhana, rumah masih numpang bergerak sendirian cukup Tuhan sebagai al wakil, melibas mr. kapitalisme, mr. demokrasi, mr. komunisme, mr. pancasilaisme, mr. ideologi lain dan kesejarahan agama yang ada. Bapak Pembangunan Bangsa semesta, Bung Irul memiliki keyakinan bahwa sejatinya kapitalisme merupakan salah satu pilar semua ideologi berhalaisme, semuanya bisa dijual berdasarkan penawaran tertinggi. Fenomena yang tidak mungkin terjadi dalam sejarah otoritarianisme, alasannya Tuhan sebagai pemeran utama. Kekhawatiran adanya pengaruh korporasi terhadap entitas politik negara tidak perlu terjadi. Centra Buwono merupakan negara tunggal yang menjadi sumber dan centra ekonomi global mampu mencukupi kebutuhan seluruh warga meski tanpa danya peran partisipatif. Dengan demikian partisipasi warga harus dipandang secara bijak sebagai bentuk pembelajaran perihal urgensi loyalitas, dedikasi, kepatuhan, ketundukan dan aneka nilai luhur lain, bukan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan negara agar bisa eksis nan otonom sebagaimana yang terjadi era orde berhala. Ketika itu negara mustahil bisa berdiri tegak tanpa dukungan, belas kasihan rakyat agar bisa tetap eksis. Politik mencari belas kasihan, simpati, empati, kerelaan dan restu warga menjadi dominan dalam proses penyelenggaraan negara meski diklankan sebagai bentuk kewajiban warga yang harus ditunaikan seperti pembayaran pajak. Justru sebaliknya korporasi harus khawatir bila mencoba melanggar berbagai tatanan otoritarian, memanfaatkan celah dengan modalitas kapital yang dimiliki. Centra Buwono pemilik kapital, sumber dan centra ekonomi dan kapital global sehingga kapitalisasi dengan beragam varian bisa mempengaruhi kebijakan negara menjadi fenomena aneh, tidak logis, impossibel ibarat nguyahi segoro. Terkait dengan politik kekuasaan, terdapat hubungan simetris antara korporasi, pekerja, warga dan negara. Sengketa akan diselesaikan melalui mekanisme otoritarian dengan standar acuan proses tanzil. Apa yang tidak dikhawatirkan Bung Munir ketika mengatakan bahwa korporasi tidak mungkin merepresentasikan diri menjadi kekuasaan politik terkait kesadaran otoritarian dan kontrol otoritatif dilihat dalam konteks ini, memang benar. Lobi intensif korporasi, desakan warga, rengekan pekerja tidak mungkin bisa merubah keputusan pemerintah. Corak keputusan hanya berfihak kepada kekuasaan, menghabisi keberfihakan, kepentingan, aspirasi berbagai pihak. Inilah cara otoritarian, cara paling menakjubkan, arif nan bijaksana dalam proses penegakan keadilan. Pemerintah akan senantiasa menjadi pionir, aktif memberi bimbingan, arahan dan control kepada masyarakat. Nihilitas lobi yang dilakukan korporasi, kemanjaan pekerja dan warga menjadi salah satu kunci kesuksesan otoritarian dalam sejarah menyelesaikan sengketa. Di era berhalaisme, rezim yang berkuasa menggunakan metode keberpihakan kepada salah satu pihak meski mengatasnamakan demi penegakan hukum. Disadari atau tidak, kebijakan seperti itu membawa dampak buruk. Keadilan ternodai, ketidakpuasan melanda, kepercayaan kepada hokum memudar. Jika pengadilan daerah tidak memuaskan, perngadilan tingkat menjadi pilihan. Jika itu belum cukup Mahkamah agung menjadi solusi, dan bila itu belum cukup dibawa keranah international sambil terus menciptakan opini di media untuk meragukan keputusan pengadilan yang dirasa merugikan. Sengketa yang sejatinya bersifat local diarahkan untuk mengglobal, siapapun diharapkan untuk mengetahui ragam problem lokal. Kegemaran mengobral keburukan lokal sangat mengagumkan, sementara metode penyelesaian sengketa dengan cara damai, sederhana, cepat, sarat kekeluargaan nan kearifan tidak lagi popular, hanya ada dua solusi yang digunakan mirangne utowo diwirangne. Pelajaran yang dapat diambil dari cara kekuasaan menyelesaikan sengketa adalah globalisasi Centra Buwono niscaya mampu menciptakan kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan. Globalisasi mampu menegaskan eksistensi kesenjangan, ketidaksetaraan ekonomi, social, local, global sebagaimana mestinya, tidak berupaya meniadakan selain memiara, melanggengkan demi tujuan kekuasaan. Bagi otoritarian, ketidaksetaraan bondo dunyo, derajat, pangkat sebagai keniscayaan, harus dipahami sebagai bagian keadilan diskriminatif yang tidak akan berdampak buruk selain hanya kebaikan semata bagi supremasi kekuasaan. Hal itu jauh berbeda dengan yang terjadi dalam system humanis, system yang mengedepankan status social, nilai materi sebagai capaian terpenting, perbedaan mencolok semisal sektor ekonomi telah mendorong gejolak sosial merongrong negara. Supremasi kekuasaan yang memiliki imunitas terjamin dari berbagai situasi dan dinamika masyarakat sangat kondusif bagi pertumbuhan dependensi. Masyarakat akan bisa melihat fakta nihilitas manfaat mencari alternative lain untuk meraih kehidupan damai nan sejahtera selain hanya dengan bimbingan kekuasaan. Kepatuhan, ketundukan, tawakkal, sendiko dawuh, sami’na wa ato’na menjadi kebutuhan primer. Setiap warga bisa menyadari posisi dan martabat yang dimiliki selaras qudrat irodat. Sejatinya ketidaksetaraan selaras azas profesionalitas yang mendorong spesialisasi, pembedaan tugas dan kedudukan, focus bekerja selaras amanah yang diemban, ora ngrusuhi kancane merambah serta menganeksasi ranah lain. Kiranya prinsip ‘nrimo ing pandum’ selaras legitimasi kekuasaan perlu dilestarikan. Dengan demikian, globalisasi Centra Buwono niscaya mampu menciptakan pencerahan, optimisme, gaya hidup adi luhung nan kebal krisis terhadap dinamika global. Pada akhirnya, globalisasi mempunyai implikasi terhadap kapasitas masyarakat untuk menerima regulasi. Centra Buwono mampu memerankan sebagai kekuatan otonom dalam melakukan pengambilan kebijakan tanpa memperhatikan aspirasi lain secara menyeluruh baik di tingkat lokal atau global. Dalam kaitan ini, globalisasi merupakan kerja kekuasaan berdasarkan proses tanzil yang mengejawantah ke dalam transformasi kehidupan masyarakat dengan tingkat extensity, intensity, velocity dan dampak besar di seantero jagat raya. Supremasi negara terhadap proses globalisasi akan mendorong masyarakat lebih dependen, apresiatif terhadap beragam regulasi. Upaya menafikan regulasi kian bisa direduksi terkait pembelajaran, kontrol dan sangsi tegas tanpa kompromi. Di sini, dampak globalisasi bagi ekonomi Centra Buwono akan berlangsung melalui beberapa mekanisme, yakni peran otoritatif, penataan perdagangan yang semakin kokoh, globalisasi produksi dan pemasaran. Pertama, peran otoritatif menjadi penentu utama kerja ekonomi global. Centra Buwono menjadi pionir, sumber dan centra ekonomi dibawah koordinasi Badan Usaha Milik Negara. Integrasi ekonomi global akan tercipta dibawah hukum dan kontrol yang sama. Selama orde berhala, berbagai perjanjian perdagangan international ternyata sangat timpang, lebih memihak negara besar yang berupaya memaksakan standarisasi yang lebih membawa keuntungan sepihak. Terlebih dalam segi aplikasi berjalan tidak efektif, tidak memiliki cukup kekuatan mengikat dan sangsi tegas yang mampu menegasikan pelanggaran, Tiap negara berupaya membuat aturan perdagangan mandiri baik secara regional atau national, proteksi dilakukan baik terang terangan atau berlindung dibalik kepentingan lain. Peran otoritatif Centra Buwono merupakan komponen utama dalam tesis globalisasi paling mutakhir. Otoritas tunggal meniscayakan produksi dan pasar menjadi terintegrasi, tertata, terarah nan terkontrol dengan baik, menjadikan dinamika ekonomi global jauh lebih efisien nan efektif. Aliran uang, barang dan jasa dapat dikontrol, diarahkan melalui mekanisme dan regulasi otoritatif yang terbukti sangat paripurna, anti manipulasi, penipuan nan koruptif. Sementara di era nationalisme, sistem keuangan global tidak memiliki sistem terintegrasi dalam arti hakiki, uang bebas bergerak dari satu negara ke negara lain. Negara bangsa tidak memiliki kemampuan kontrol terhadap aliran uang dan modal yang akhirnya menjadi salah satu sebab terjadi krisis global. Mekanisme kedua berhubungan erat dengan globalisasi investasi, produksi dan pemasaran. Regulasi yang sama memungkinkan proses ekonomi lebih fleksibel nan murah bisa dilakukan dimanapun tanpa proses pelik nan rumit. Ancaman korporasi yang hendak memindahkan lokasi produksi ke wilayah lain di luar Centra Buwono dengan alasan profit yang lebih besar dan regulasi yang lebih akomodatif tidak relevan lagi. Masalahnya hanya ada satu negara di jagat raya, mencari negara lain sebagai pilihan tempat investasi merupakan langkah mustahil. Keuntungannya, korporasi akan lebih bersikap akomodatif, dependen kepada kekuasaan, konsumen diuntungkan dengan beragam pilihan produk. Pemahaman globalisasi dalam perspektif ekonomi merupakan proses integrasi tata kelola sistem ekonomi dibawah tatanan, kendali otoritas kekuasaan. Globalisasi otoritarian ini berdasarkan hukum otoritarianisme yang berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk Sang Noto agung. Kebijakan kekuasaan menjadi penentu dinamika ekonomi global, segala orientasi ekonomi hanya bisa diterima bila peran kekuasaan nyata. Bisa jadi yang kuat melibas yang lemah, yang lemah dimenangkan, bisa jadi keduanya kalah ataupun menang asal peran kekuasaan nyata. Sementara ekonomi neo liberal berdasarkan hukum darwinisme sosial yang menegaskan siapapun yang kuat akan menjadi pemenang, sedangkan yang lemah akan hancur, dengan mengabaikan peran otoritatif. Dalam tatanan otoritarian, normatif transenden yang bekerja, pokoke opo jare Sang noto agung, yang senantiasa berpihak kepada arah dan capaian kekuasaan, tidak mengenal norma etis humanis yang biasa disebut sebagai ‘kebaikan bersama’, hanya kebaikan dalam perspektif kekuasaan. Secara praktis, jika Sang noto suka maka kemenangan akan diraih, jika sebaliknya kekalahan dan kehancuran yang diperoleh. Maka dalam konteks ini konsep transenden, dependensi, ketidaksetaraan menemukan relevansi dalam globalisasi. Mekanisme ekonomi otoritarian akan memungkinkan proses kekuasaan berjalan sempurna, tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan Sang noto Agung menjadi sangat mudah terealisasi, kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya bisa diraih. Harus dipahami bahwa pengentasan kemiskinan hanya merupakan dampak logis proses pembangunan Centra Buwono semata. Secara praktis, pelaku ekonomi harus memperhatikan secara cermat arah dan tujuan kebijakan kekuasaan. Bukan keuntungan finansial semata yang menjadi fokus utama dinamika pasar, yang lebih penting eksistensi peran otoritatif dalam setiap denyut ekonomi. Realitas itu hanya bisa terjadi bila pelaku ekonomi memahami rumusan perihal hakikat Sang noto agung, hatinya telah menjadi hati Alloh dan hati rosul. Sebab, dalam dinamika pasar otoritarian untung rugi, bangrut jaya, menang kalah merupakan fenomena lumrah. Memaksakan diri untuk senantiasa untung, menang, jaya menjadi tindakan tidak realistis, yang terpenting adalah eksistensi peran otoritatif. Jika peran itu nyata niscaya beragam fenomena tidak membawa pengaruh bagi stabilitas temperatur batin, demikian halnya stabilitas perkonomian akan terjamin. Perubahan temperatur batin merupakan penanda gejala alienasi peran otoritatif, fenomena yang tidak diinginkan. Jika instabilitas temperatur batin menghinggapi pelaku pasar, niscaya krisis pasar nyata. Demikian halnya krisis global silam bisa dijelaskan dengan formula demikian, bermula dari instabilitas batin masyarakat dan pemerintah yang telah mencapai taraf puncak, akibat adanya keserakahan, kemarahan, manipulasi, kecurangan, koruptif, nihilitas kepercayaan dan kepentingan egoisme diutamakan, kemudian berimbas ke krisis ekonomi global. Teori yang dikemukakan Bapak ekonomi Bangsa semesta Bung Irul yang melihat dinamika ekonomi memiliki keterkaitan dengan dinamika transenden, dalam lingkungan non akademis dikenal sebagai teori ekonomi transenden. Dalam sejarah ilmu ekonomi modern seperti liberalis, neo liberalis, kapitalis, sosialis, atau islamis sekalipun, kajian teori ekonomi transenden tidak dikenali, perilaku ekonomi hanya dilihat sebatas aspek manusiawi terpisah dari dinamika transenden. Dalam pandangan Bung Irul, ekonomi otoritarian meletakkan dinamika transenden sebagai penentu utama nan tunggal dalam ilmu dan praksis ekonomi. Dalam perspektif ekonomi transenden, semua pelaku dan perilaku pasar sudah bisa dianalisa, diarahkan, ditentukan, dikontrol sesuai arah kebijakan termasuk investasi, produksi, transaksi dan hasilnya. Maka teori ekonomi transenden memberi ruang bagi peran otoritatif memanifestasikan arah, gagasan, aplikasi, kontrol dan produk ekonomi secara menyeluruh. Hebatnya, teori yang dikembangkan Bung Irul ini tidak sebatas wacana, lebih dari itu menjadi aplikasi riil yang diterapkan Sang Noto Agung dalam menjalankan kebijakan ekonomi Centra Buwono. Seperti penerbitan uang emas ratu baik kertas atau koin yang memiliki nilai tukar siknifikan nan anti pemalsuan merupakan aplikasi dari teori ekonomi transenden. Hanya melalui mekanisme transenden pencetakan uang ratu bisa terealisasi. Teknologi tercanggih mustahil bisa melakukan, alasannya proses produksi dan distribusi dilakukan dalam waktu sangat singkat, lebih singkat dari kejapan mata tanpa melupakan mutu dan kualitas produksi sebagaimana uang ratu yang telah diterima masyarakat di masa lalu. Pemerintah juga pernah membuat hujan uang di seluruh jagat raya, bagaimana mungkin fenomena itu bisa dilakukan ilmu dan teknologi humanis. Kiranya bisa difahami bila sejatinya teori ekonomi transenden merupakan fundamentasi segala teori ekonomi yang diabaikan para pakar, kalangan akademisi dan pelaku ekonomi. Globalisasi politik Centra Buwono merupakan manifestasi kekuasaan yang bekerja dengan mekanisme sederhana, efektif, efisien, tepat, cepat, holistik dan komprehensif terkait hanya peran tunggal Sang Noto Agung menolak peran lain yang hanya akan meningkatkan derajat kompleksitas sistem. Berbeda dengan itu, globalisasi silam yang serba komplek, ruwet, amburadul, berjalan tanpa arah dan tujuan pasti nan jelas, terkait nihilitas peran otoritatif yang bekerja, hanya sekedar melaju tanpa ada nakoda yang menjadi pionir bagi perubahan global secara fundamental. Kompleksitas globalisasi tersebut bisa dilihat dari keberagaman kepentingan, tujuan, arah yang diusung berbagai fihak baik individu, faksinal, organisasi, korporasi dan negara, tanpa adanya kerja sistem yang solid dan konstruktif. Setiap kajian tentang politik globalisasi Centra Buwono selayaknya diperhatikan dari gagasan transenden yang mengutamakan sudut pandang notoisme ketimbang perspektif kawuloisme. Dengan modalitas itu niscaya berbagai kajian akan menemukan kebenaran terkait keunggulan globalisasi Centra Buwono jauh dari prasangka ataupun perkiraan. Cara pandang humanistic akan mereduksi hakikat globalisasi, cara pandang kawuloisme yang melihat dari perspektif objek globalisasi. Sebagai proyek politik transenden dalam skala mega besar, globalisasi Centra Buwono mampu berjalan linear, bebas dari problematika tak terpecahkan, semua tahapan bisa dilalui selaras harapan. Jika masyarakat melihat beda lantaran cara pandang kawuloisme yang serba minor nan ngawur lebih dikedepankan. Dalam kajian politik transenden langkah pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan hati, jiwa, pikiran dari aneka kotoran humanis yang hanya akan menjadikan buram kaca mata pandang manakala melihat realitas yang ada. Globalisasi Centra Buwono sebagai gerakan politik transenden, mendorong pemahaman yang benar tentang isu terpenting perihal peran otoritatif yang menjangkau, menata, mengontrol, merealisasikan globalisasi. Nihilitas pemahaman dalam memandang kekuasaan otoritatif berdampak tumbuhnya keengganan menerima eksistensi globalisasi secara positip. Sikap abai, ngeyelan lebih dikedepankan, hidup menderita menjadi inti dasar kehidupan yang harus dijalani, fenomena yang sejatinya tidak diinginkan. Setiap penilaian tentang politik globalisasi Centra Buwono tidak dapat dilepaskan dari dominasi ide yang dikembangkan dalam filsafar politik transenden oleh Bapak Filsafat Transenden bangsa semesta Kanjeng Sunan Plandi. Beliau menyakini sejak semula manusia diciptakan untuk hidup damai selaras fitrah yang suci. Manusia diciptakan hanya untuk menjalankan partisipasi, tidak lebih. Oleh karena itu Yang Maha kuasa menganugerahi seperangkat modal, karakter, fitrah yang jauh dari konflik agar mampu menjalankan tugas partisipatif . Kemudian manusia berkembang menjadi banyak membentuk komunitas sosial saling berinteraksi, rivalitas dan konflik bias saja terjadi. Jika melihat dinamika sosial yang tak bisa terlepas dari konflik, atau konflik hampir senantiasa hadir dalam kehidupan sosial maka orang beriman mengambil langkah antisipatif, menyerahkan segala urusan kepada kekuasaan. Dalam sejarah awal manusia, qobil dan habil bertikai lantaran qurban Habil diterima dan qurban Qobil ditolak, lantas qobil mengancam akan membunuh Habil. Habil merespon ancaman itu dengan sikap bijaksana menyerahkan kepada kekuasaan seraya memberitahu mengapa qurban Qobil ditolak, ‘sesungguhnya Alloh hanya mau menerima qurban orang yang bertakwa’. Tidak puas dengan jawaban itu lantas Qobil membunuhnya. Dari sini bisa dipetik pelajaran bahwa konflik yang menuju kekerasan tidak bisa dihadapi dengan cara serupa, selain menyerahkan sepenuhnya kepada kekuasaan yang telah menciptakan planning bagi segala fenomena. Tuhan akan memberi solusi terbaik dari beragam permasalahan. Solusi dari kehendak transenden bisa dalam bentuk penyelamatan dari makar, jaminan kehidupan lebih baik di alam sana seperti dalam kasus habil, mengutus utusan sebagai pemimpin atau Tuhan hadir nyata memenangkan segala urusan kekuasaan. Dalam semua gerak kehidupan, yang harus diperhatikan adalah eksistensi peran transenden, peran yang berdasarkan legitimasi kekuasaan. Sang Noto agung mendapat legitimasi kekuasaan menjadi pemimpin jagat raya hanya bisa dipahami manakala cara pandang Tuhan yang dipakai, mengabaikan cara pandang kawuloisme. Cara pandang yang senantiasa optimistik, keteguhan, keberanian, pencerahan, keyakinan, kemantapan, kebenaran, keadilan, kedamaian dan ketenangan. Sementara cara pandang humanisme sebaliknya memiliki corak pesimisme, paranoid, pengaburan, keraguan, kegamangan, kedholiman, konflik, amarah, iri dengki dan lainnya. Oleh karena itu menjadi salah kaprah cara filsafat barat yang memandang perilaku manusia dari sudut pandang humanistik. Cara pandang yang hanya akan membenarkan realita sebagai fenomena lumrah nan wajar tanpa mencoba melihat lebih intensif nilai intrinsik yang dimiliki selaras perspektif transsenden. Pemikir berhalais mengatakan, ‘ Setiap penilaian tentang politik global untuk jangka panjang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ide yang dikembangkan dalam filsafar politik Barat. Secara tipikal para pemikir di masyarakat ini meyakini sifat dasar dari dunia sosial menghasilkan bayangan manusia dimana terdapat keadaan yang anarki dalam kehidupan individu dan individu tersebut tidak mampu menerima ancaman sosial pada level yang tinggi. Ketakutan akan ancaman dan kidakmampuan menerima kekacauan menjadi motif utama individu untuk mengorbankan sebagian kebebasan, dengan tujuan menaikan tingkat keamanan, dan pada proses inilah pemerintah dan negara muncul. Kerjasama multilateral juga dimunculkan dalam pemikiran tentang sifat alami, namun dengan penekanan yang kuat pada tujuan rasional manusia. Anarki, egoisme, self interest adalah konsep yang hampir selalu muncul untuk menjelaskan hubungan antar manusia maupun antar negara’. Berdasarkan pandangan watak ilahiah yang suci, damai, partisipatif, tawakkal, dependen niscaya wajar bila pilihan hanya diarahkan kepada seperangkat nilai dan praktik berdasarkan legitimasi kekuasaan dan menolak yang lain meski sekilas terlihat benar. Dalam perspektif kekuasaan benar atau keliru bila terlepas dari nilai transenden tidak dibenarkan. Tuhan berfirman, ‘kebenaran makhluk itu dholim, kekeliruannya sangat dholim’. Dengan demikian setiap upaya yang berseberangan dengan kehendak kekuasaan dalam menciptakan takdir bagi dinamika kehidupan masyarakat global hanya akan menjerumuskan pelaku ke dalam jurang humanism. Jika upaya menciptakan kebaikan berawal dari fundamentasi yang terlepas dari kekuasaan saja dikategorikan sebagai kedholiman apalagi bila niatan awal beranjak dari konflik, permusuhan, curiga, iri hati, dendam, permusuhan dan lainnya. Pendekatan transenden yang sarat perdamaian, kasih sayang, dependensi dan tawakkal sangat pantas dilanggengkan nan tepat untuk menerangkan perilaku globalisasi Centra Buwono. Transendenisme merupakan induk filsafat yang banyak diabaikan nan dilupakan para filosof, akademisi, praktisi politik, dan masyarakat, dikembangkan Kanjeng Sunan Plandi era orde Tuhan yang memiliki sumbangan besar bagi pertumbuhan kesadaran perdamaian global. Secara khusus, transendenisme memberi perhatian kepada penumbuhan kesadaran perdamaian, menolak konflik dan perang dengan beragam argumentasi yang dibangun. Cukup Tuhan sebagai al wakil menjadi pendesain dinamika global, yang mengetahui solusi segala masalah termasuk dalam menghadapi invasi, aneksasi, kekerasan, kebrutalan, permusuhan pihak lain. Solusi terbaik untuk menuntaskan permasalahan konflik hanya dengan cara itu, bukan memperkuat nan mempercanggih persenjataan. Kemenangan hanya bisa diraih melalui tawakkal, dependensi, legitimasi, tidak terkait dengan kecanggihan alutsista, taktik, strategi, doktrin militer yang dikembangkan. Pangeran Perang, Bapak Strategi dan militer bangsa semesta Bung Tamrin juga sependapat dengan argumentasi tersebut. Secara faktual kemenangan mutlak Bung Tamrin dalam beragam peperangan, cuma sendirian menghadapi ratusan juta tentara, hanya berdasarkan legitimasi transenden. Beliaumemiliki moto yang senantiasa dipegang nan dijunjung tinggi, ‘ hasbiya Alloh wa nikma al wakil nikma al maula wa nikma annashir’. Kanjeng Sunan Plandi memberi penjelasan terkait kecenderungan rezim berhalais yang senang memperkuat teknologi militer hanya bermodalkan alasan yang tidak logis bagi upaya pencapaian perdamaian global, ‘ Nihilitas kepercayaan, curiga, sak wasangka, amarah, merasa benar dan ambisi telah mendorong negara bangsa untuk saling berlomba memperkuat persenjataan dengan mengatasnamakan keamanan dan pertahanan dari serangan pihak lain. Dengan alasan yang kurang lebih sama, peningkatan kecanggihan alutsista juga dipakai untuk menghadapi berbagai pemberontakan, sparatisme dan terorisme yang dilancarkan sebagian masyarakat. Hal ini terjadi lantaran negara berdiri dan dibangun berdasarkan landasan yang salah alienasi peran transenden, Tuhan yang Maha Kuasa dilupakan. Para kolonialis bersepakat menganeksasi, menjajah wilayah kekuasaan sebagai lahan eksploitasi bagi kepentingan ambisi egoisme. Mereka sepakat memproklamirkan pendirian negara bangsa seperti negara Indonesias dengan mengatasnamakan rakyat. Ketulusan perjuangan semacam itu mendapat pengukuhan dari semboyan yang digaungkan nan diagungkan , ‘dari, oleh dan untuk rakyat’. Perjuangan yang bisa dikatakan luar biasa , nihil kerja untuk kepentingan pribadi, hanya rakyat yang menjadi focus perhatian. Slogan indah nan elegan bagi manivestasi manipulasi kebenaran, yang telah sukses meninabobokkan rakyat dalam belaian kebohongan. Mereka cukup berbesar hati hanya memerankan diri sebagai pelayan masyarakat yang dipertuhan agung, menjauhi monopoli kekuasaan yang bisa menjadi boomerang bagi kelanggengan kolonialisasi yang diperjuangkan, asal tetap diizinkan menjadi pemimpin simbolik bagi rakyat koloni, itu sudah lebih dari cukup. Hanya saja masyarakat yang mengetahui adanya inkonsistensi dalam aplikasinya berupaya melakukan makar dengan beragam cara termasuk meminta bantuan negara lain. Dalam upaya menanggulangi aksi maker, terorisme dan aneka kejahatan tersebut, peningkatan standar keamanan dan pertahanan sebagai suatu yang niscaya.Dengan modalitas itu, kekuatan senjata dan personil dianggap menjadi solusi tunggal untuk mengatasi carut marut problem keamanan, kekerasan versus kebrutalan, perang versus kekejaman menjadi suatu yang niscaya terjadi’. Paparan Kanjeng Sunan Plandi tersebut memiliki kesamaan dengan uraian pemikir berhalais yang mengatakan, ‘Pengetahuan tentang sifat anarki politik internasional membuat setiap negara menjadi sangat terobsesi dengan kemampuan untuk mengamankan diri, yang melahirkan dilema keamanan, dimana suatu negara merasa harus menaikkan terus tingkat keamanan karena melihat negara lain meningkatkan kemampuan untuk mengamankan. Ini tidak hanya ditemukan pada negara yang kuat. negara miskin, yang kemampuan keuangan terbatas, tetap merasa harus mengambil tindakan yang sama, sekalipun untuk itu mereka harus berhutang. Sejumlah besar anggaran negara telah dihabiskan oleh pemerintah negara miskin guna meningkatkan kemampuan militer, hingga menimbulkan apa yang disebut dengan “underconsumption”. Pembahasan tersebut bertujuan guna menunjukan adanya nihilitas kesadaran transendensi telah membawa implikasi wajar bagi berbagai kecenderungan anti damai, konflik dan kekerasan, Nihilitas kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan scenario global sekaligus memberi solusi terbaik paling damai nan elegan, mendorong inisiatif perlombaan persenjataan sebagai suatu yang niscaya. Ambisi, amarah dan harga diri lebih dikedepankan untuk memperebutkan kue haram, kue tanah colonial yang terlanjur diklaim sebagai harta warisan. Konflik menjadi tambah rumit ketika kesadaran untuk memainkan peran lebih dalam pengelolaan asset di tanah colonial kian meningkat. Muncul berbagai asumsi dasar yang mempertanyakan struktur negara, siapa sejatinya yang lebih layak mengelola, memanfaatkan kue colonial, rakyat, faksi atau negara. Dalam pandangan politik transenden sebagaimana dipaparkan Bapak Filsafat dan Teologi bangsa semesta Kanjeng Sunan Plandi, kedaulatan adalah milik Yang Maha Kuasa, bukan milik individu, etnik, bangsa, faksi, masyarakat, agama sejarah atau negara. Berdasarkan konsep ini, fundamentasi bagi kepemilikan, perumusan, pendirian, penataan, pengelolaan, pemanfaatan, pengontrolan, pencapaian menjadi wewenang kekuasaan semata. Semua upaya yang berseberangan dengan prinsip tersebut dapat dianggap nan dicap sebagai upaya kolonialisasi. Dan fakta kelam itu tidak lagi layak dibanggakan nan diagungkan, lebih baik menatap ke depan kembali kepada kekuasaan transenden yang secara pasti hanya akan menciptakan ta tanan dunia baru, tatanan damai nihil konflik, mencapai peradaban paling cemerlang dibawah kendali Sang Noto Agung. Tidak lagi relevan, siapapun berupaya menjadikan individu, etnis, bangsa, agama sejarah atau rakyat berdaulat ditanah koloni, suatu kepercayaan yang salah kaprah, klaim kedaulatan hanya pantas bila itu merupakan hak milik bukan tanah koloni/ rampasan. Sementara pemikir berhalais yang tak kalah ngawurnya mengatakan, ‘kedaulatan sesungguhnya adalah milik komunitas. Dengan konsep ini, maka landasan keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat bukan terletak pada negara, melainkan individu, sebagai jantungnya, dengan membentuk persatuan kewargaan dan dengan memperluas pemakaian prinsip kebebasan dan kesetaraan. Lebih dari sekedar kumpulan yang dipisahkan oleh batas hukum dan wilayah secara legal, individu digiring untuk memakai kekuasaan untukmengamankan diri dan mengimbangi kekuasaan negara. Kesadaran persatuan dan solidaritas merupakan dua elemen penting yang dianjurkan guna menghubungkan mereka satu sama lain, secara lintas nasional. Dengan nilai itu hubungan individu dan kelompok dikembangkan, dan dengan nilai itu kekuasaan negara hendak ditaklukan’. Pasca keambrukan rezim berhala nan kolonial di seluruh dunia, kehadiran Sang Noto Agung mampu menumbuhan kesadaran perihal kegagalan nan kebobrokan system dan struktur negara berhalais yang dibangun. Otomatis, politik transenden dalam penyelenggaraan negara Centra Buwono dengan kebijakan globalisasi yang berdasarkan prinsip otoritarian menjadi pilihan tunggal. Dalam politik transenden ini, Sang NotoAgung adalah actor tunggal sejati menjadi penentu kebijakan global, tidak lagi banyak actor yang hanya menambah komplek, ruwet, sarat konflik pengelolaan system seperti era silam. Masyarakat harus mulai menerima fakta mengagumkan ini dan mempersiapkan diri menjadi budak kekuasaan yang menjalankan peran partisipatif, peran luhur yang telah dilupakan. Dominasi dan hegemoni negara Centra Buwono yang sangat besar meniscayakan proses globalisasi yang diberlakukan membutuhkan penataan yang konsisten nan berkelanjutan dalam semua aspek termasuk di bidang ekonomi. Bung Munir menyatakan bahwa pusat kekuasaan beralih dari rezim kolonial ke rezim otoritarian. Di area ini aktor utama nan tunggal adalah Sang Noto Agung yang memainkan peranan penting dalam menetapkan masa depan dunia. Kekuasaan ekonomi ditentukan hanya berdasarkan legitimasi kekuasaan, kesepakatan korporasi, individu, swasta tidak lagi menentukan dinamika pasar global. Kekuasaan negara menjadi penentu tunggal mekanisme dan dinamika pasar, sehingga kemandirian kalangan swasta/ korporasi yang memiliki kemampuan finansial dan modalitas besar menjadi sirna, tidak lagi bisa mengontrol, mempermainkan pasar dan ekonomi global. Centra Buwono merasa perlu untuk memelihara eksistensi korporasi sebagai budak yang diberdayakan bagi perluasan dan perkembangan ekonomi global, tanpa mengurangi adanya dependensi. Sementara itu Bung Munir juga menjelaskan keunggulan globalisasi Centra Buwono yang akan meningkatkan stabilitas keamanan. Pertama, kewenangan politik negara yang sedemikian mega power akan mampu mengontrol dan menentukan arah, tujuan dan capaian pasar. Kedua, pelaku pasar akan lebih cermat dalam melakukan investasi, produksi dan pemasaran, tidak lagi bisa dan berani menguras sumber daya alam tanpa kontrol. Motif profit oriented tidak lagi bisa bekerja manakala menyalahi prinsip otoritarian, bahwa motif itu bisa dibenarkan hanya dalam koridor peran partisipatif. Dominasi cengkeraman politik transenden meniscayakan kemustahilan untuk melakukan penyerobotan, manipulasi dan korupsi. Ketiga, masyarakat akan lebih menghargai makna kejujuran, amanah, keadilan, dependensi, tawakkal dalam menjalani kegiatan pasar. Pembahasan di atas menunjukan konsistensi dari politik transenden Centra Buwono dalam mengarahkan, menata, mengelola globalisasi. Dan menggambarkan dengan jelas perilaku yang benar nan selayaknya harus dijalani, tidak pasif lantas menyerah dengan kondisi yang ada. Cara pandang partikularistik, atomistik, kawuloistik hanya akan menjadikan masyarakat pesimis dengan arah, laju dan proses globalisasi. Cara pandang demikian selayaknya ditinggalkan, mulai menatap dengan cara universal, cara pandang notoisme yang memberi spirit optimisme. Perdamaian, kasih sayang, dependensi, tawakkal menjadi suatu yang harus inhern dalam setiap warga, tidak boleh lagi menyerah dengan kondisi yang buruk sarat konflik, anarkhi nan kekerasan. Jika perdamaian, kasih sayang nyata niscaya masyarakat akan lebih siap menjalani peran partisipatif ketimbang ngotot mempertahankan ambisi egoistik yang sarat derita nan konflik. Berbeda dengan itu, pemikir berhalais menggambarkan proses globalisasi dalam perspektif kawuloisme, atomistik partikularistik, pesimistik, ‘Konflik dan kekerasan menjadi suatu yang inheren, dimana secara keseluruhan, negara, komunitas, individu beserta agennya memiliki keabsahan untuk mempromosikan kepentingan dirinya sendiri. Caglar Dolek dalam The Myth of ‘Failed State’ in Africa: AQuestion an Atomistic Social Ontology, mengatakan doktrin kedaulatan negara telah membentuk kembali pemikiran spesifik akademisi dan para pembuat kebijakan di Barat. Mereka menganggap bahwa isu kekerasan, mulai dari konflik militer, bentrokan etnik, suku dan agama, sampai pada jeratan hutang, kelaparan, kemiskinan, penyebaran penyakit menular, kerusakan lingkungan dan keterbelakangan terkait dengan masalah sifat alami manusia. Pemahaman tentang globalisasi Centra Buwono harus diakui berdasarkan fundamentasi sangat kokoh meski belum diterima luas sebagai teori nan praktik yang memiliki makna bagi perdamaian. Teori perdamaian otoritarian beranjak dari eksistensi legitimasi transenden bahwa otoritarian senantiasa memilih perdamaian menegasikan konflik. Hanya kekuasaan yang bisa merealisasikan perdamaian bukan kolonialis, humanis ataupun berhalais dengan berbagai sistem yang dipraktikkan baik demokrasi atau monarkhi humanis dengan corak kolonialistik inhern. Jika otoritarian harus menggunakan cara kekerasan atau perang adalah semata sebagai upaya pembelajaran perihal eksistensi kekuasaan yang harus teraktualkan tanpa boleh dibatasi, dianulir, diabaikan dengan tetap menjaga inhernitas spirit rahmat. Sang noto agung hanya sendirian cukup Tuhan sebagai al wakil mustahil memilih konflik, lantas logiskah masyarakat melancarkan permusuhan dan peperangan. Jika itu dilakukan lantaran masyarakat terjangkiti paranoid berlebihan, merasa perlu untuk membinasakan satu orang yang menyampaikan misi perdamaian ilahi tanpa kekerasan. Beda dengan itu, para kolonialis memilih jalan perdamaian hanya untuk mengibuli, memanipulasi, menganeksasi demi mencapai tujuan yang dikehendaki, seperti yang dicatat dalam sejarah. Perjanjian damai yang diadakan baik dalam masa perang atau damai hanya mengikat manakala dianggap masih menguntungkan, jika sebaliknya maka diabaikan, memilih jalan kekerasan. Sementara itu, teori perdamaian demokrasi diletakkan berdasarkan asumsi bahwa demokrasi cenderung memilih damai ketimbang perang dan rejim demokratik cenderung lebih damai ketimbang rejim otoriter, kalaupun memilih perang cenderung menang. Asumsi yang melekat dalam teori ini adalah negara hanya akan memilih perang jika berhasil mendapatkan dukungan masyarakat. Dalam sistem demokrasi akan sangat sulit dan meminta waktu lama untuk memperoleh persetujuan dari kelompok politik. Hanya saja argumentasi indah ini tidak selaras dengan fakta, Amerika serikat sebagai negara super power yang dianggap sebagai kampiun demokrasi justru menjadi pionir dalam menciptakan tatanan dunia baru (the New Order) yang sarat konflik dan peperangan, seperti kisah keterlibatan Amerika dalam perang palestina, irak, afganistan, Somalia dan lainnya. Dalam alur pemikiran transenden permasalahan konflik dan perang dapat dicarikan solusi dengan sistem centralisasi kekuasaan. Sementara sistem distribusi kekuasaan yang mengaplikasikan check and balance antara lembaga tinggi justru akan membei ruang tumbuhnya friksi kepentingan dan konflik. Faktanya sistem distribusi kekuasaan yang dipraktikkan banyak negara orde kolonial justru memperbesar peluang friksi, saling curiga, merasa memiliki kewenangan mandiri, nihil kesatuan pandangan dan itu awal dari benih konflik. Prinsip transenden mengharuskan adanya integrasi kekuasaan, berbagai pihak yang hendak memanfaatkan keadaan dengan melakukan provokasi, makar tidak dapat memiliki akses memanfaatkan piranti kekuasaan. Dengan pemahaman ini maka otoritarian Centra Buwono merupakan sistem paling solid bagi perwujudan perdamaian hakiki. Perdamaian yang hanya mungkin terwujud berkat peran kekuasaan sebagaimana disinyalir dalam kitab suci, ‘salamun qoulam min robbikum’, artinya salam perdamaian merupakan firman dari Pemiara kalian’. Hanya legitimasi kekuasaan yang menciptakan perdamaian, rekayasa humanistik justru menjadi patogen bagi proses perdamaian. Teori perdamaian otoritarianistik yang diusung Bapak Teorisi dan Praktisi otoritarianisme bangsa semesta Bung Irul menganjurkan agar konsep dependensi dilaksanakan secara holistik nan komprehensif mencakup semua aspek kehidupan. Salah satu aspek yang diciptakan adalah dependensi ekonomi untuk mewujudkan perdamaian global, menolak konsep saling bergantung yang hanya akan meningkatkan kemungkinan praktik rimbaisme. Konsep saling bergantung dalam ekonomi akan mendorong kemunculan persaingan tidak sehat, manipulasi, koruptif, ketidak percayaan pasar yang justru akan merusak stabilitas ekonomi dan ujungnya konflik menjadi niscaya. Konsep dependensi ekonomi mengharuskan adanya kontrol padu nan adil. Proses investasi, produksi, distribusi, pemasaran dan konsumsi tepat sasaran selaras penataan, arahan, bimbingan dan pemberdayaan sistem kekuasaan. Masyarakat yang memiliki dependensi secara ekonomi akan merasa berhutang budi, menunjukkan rasa terima kasih, berupaya membalas dengan cara terbaik, sukarela tanpa pamrih menjalankan peran partisipatif. Peran partisipatif tidak memberi ruang bagi pertumbuhan kebanggaan egoistic yang senantiasa berdasarkan perimbangan profit oriented meminta imbal balik . Dan dalam lingkungan dependensi yang sempurna melalui penataan ekonomi, konflik dan perang akan dianggap sebagai tindakan biadab. Dependensi ekonomi membantu untuk menjaga stabilitas perdamaian global. Otoritarianisme menyakini globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang tercipta berdasarkan rekayasa kekuasaan, sangat berguna bagi aplikasi teori perdamaian otoritarianistik. Globalisasi menjadi sebuah kerangka ideral guna menciptakan dependensi masyarakat dalam semua aspek, termasuk ekonomi. Bung Munir menyakini globalisasi akan mengubah karakter masyarakat secara fundamental. Gagasan, tujuan, kepentingan dan keyakinan sempit nan parsial seperti etnik, ras, nationalisme, ideologi dan agama humanis akan terkubur, karena manusia mulai menyadari keterbatasan dan kedholiman diri, bersedia menerima intervensi dan rekayasa transenden, meninggalkan rasionalitas yang membelenggu dan lebih fokus merealisasikan peran partisipatif. Sebagai sebuah proyek politik otoritarian, globalisasi mengandung dimensi keunggulan nan keutamaan, termasuk nilai dasar dan mekanisme yang digunakan agar masyarakat bersedia mengintegrasikan diri ke dalam sistem global. Keunggulan prinsip itu adalah kerelaan tanpa paksaan menjadi syarat utama bagi upaya mencapai globalisasi. Perang, kekerasan dan konflik tidak dapat dibenarkan terkecuali adanya legitimasi transenden untuk mengaktualkan otoritarian. Sang Noto Agung menyakini bahwa kebijakan Pemerintah memerangi sparatisme dan rezim colonial silam hanya berdasarkan legitimasi kekuasaan, cukup Tuhan sebagai al wakil. Bung Syahrul, Bapak Pembina Agama dan Politik bangsa semesta mengatakan perang melawan kolonialisasi rezim berhala dan separatisme merupakan pilihan terbaik, lantaran hanya Yang Maha Kuasa sebagai pemeran nihil intervensi humanistik, menyalahkan peran transenden sama artinya mengingkari kebenaran dan keadilan yang identik dengan perdamaaian. Perbedaan mendasar antara perang suci nan damai cukup Tuhan sebagai al wakil dan perang brutal, biadab nan konflik adalah terletak dari eksistensi ketenangan jiwa pelaku yang senantiasa mendapat rahmat. Dan hal demikian dialami Pangeran Perang, Bapak Militer dan Strategi bangsa semesta Bung Tamrin selama masa peperangan dan penghancuran negara imperialis, kolonialis nan berhalais di seluruh dunia. Bagi Bung Tamrin, kebahagiaan, ketenangan, nan kepuasan senantiasa harus nyata meski revolusi telah mengakibatkan kehancuran jagat raya dan isinya. Ini hanya mungkin terjadi manakala Bung Tamrin hanya menegakkan dan memperjuangkan misi sarat pesan perdamaian, Tuhan sebagai al wakil. Cukup sekian yang bisa saya sampaikan, semoga para budak bisa memahami dengan baik selaras prinsip notoisme meninggalkan cara pandang kawuloisme, amin ya robbal alamin.
Posted on: Fri, 02 Aug 2013 07:22:56 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015