Dikirimi photo keluarga melihat pohon Rambutan. Jadi teringat - TopicsExpress



          

Dikirimi photo keluarga melihat pohon Rambutan. Jadi teringat tulisan lama saya : Tentang Pohon Rambutan. Oleh : Mega Vristian*) pohon rambutan berdiri tegar dekat jendela kamarku rimbun daunnya, kutulisi puisi ada pusi buat mama, buat papa, buat kakek dan nenek juga puisi buat teman-teman suatu hari seorang kawan main ke rumah ingin memetik buah rambutan yang merah meranum "hati-hati memanjatnya, banyak puisi" matanya melotot, tubuhnya hampir melorot aku lantas tertawa cuma angin yang paham yang kumaksudkan sebab temanku bermain dalam khayalan Minggu kemarin di taman Victori, Hong Kong. Saya teringat puisi karya anak saya, Bima. Yang berjudul “Pohon rambutan”, saat seorang kawan memberikan sebuah rambutan, katanya oleh-oleh dari Tanah Air. “Mbak titip yo, tutupi jaketmu wae” Belum sempat rambutan saya makan, saya dikagetkan oleh seorang perempuan yang usianya jauh lebih tua dari saya yang mendadak menjatuhkan satu tas kresek besar kebetulan berisi rambutan ke pangkuan saya. Tanpa banyak bertanya saya langsung menutupinya dengan jaket yang sedari tadi saya letakkan di samping atas tas tangan saya. Dari jauh saya lihat beberapa petugas penertiban taman victori yang biasanya dipanggil ‘pak dhe” oleh penjual mingguan dari kalangan pekerja migran Indonesia. Mereka berjualan dengan maksud untuk menambah penghasilan walau sejujurnya dilarang oleh pemerintah Hong Kong. Hati saya was-was juga ketika petugas lewat di depan saya. Matanya galak mencari sesuatu yang dicurigai. Saya berlagak tenang membaca buku, kebetulan saya membawa setumpuk buku yang akan saya kembalikan ke perpustakaan yang dikelola kawan pekerja migran juga yang mangkalnya di taman Victori. Karena masih pagi perpustakaan belum buka, akhirnya saya duduk lesehan di pinggiran jalan tempat pasar mingguan, yang sering tiba-tiba harus bubar karena diserbu petugas. Saya suka berada di sana untuk melepas kangen makan, makanan daerah: gatot, tiwul, cenil dan klepon. Kurang lebih dua puluh menit, perempuan yang tadi menitipkan rambutan ke saya kembali, Napasnya ngos-ngosan. “Minum dulu mbak, sudah tak ada petugas kok” kata saya sambil menyodorkan sebotol air putih. “Saya sudah sering mengalami hal ini, tapi masih saja saya takut dan gugup” Saya sengaja tak memberinya komentar, karena dia pasti tahu risikonya dari berjualan di taman victori. “Baru hari ini saya mencoba jualan rambutan, minggu-minggu kemarin sih jualan rempeyek dan telor puyuh, tapi susah lakunya, banyak saingan. Ohya mbak, gak ada demo ya hari ini? Kok tulisan mbak lama gak muncul di Koran?” Ah! Saya tergagap dengan pertanyaannya. Saya tatap wajahnya, mungkin saya mengenalnya tapi lupa. “Mbak tidak kenal saya ya? Orang-orang yang sering ikut demo dan suka nulis saya hapal kok mbak. Saya kan jualannya keliling lapangan victori, jualan sepi istirahatnya ya baca-baca koran gratis. Oh ya demo teruuuuus, KJRI ra bosen yo? Didemo bertahun-tahun, mbok tuntutan-tuntutan yang demo itu dipenuhi saja, wong aslinya di Hong Kong ra onok aturan ngawur” Akhirnya saya mengetahui namanya, Rugiah. Berasal dari Tulung agung, anaknya tiga. Dia istri pertama. Suaminya baru saja menikah lagi, karena menghamili perempuan lain. Anak pertama perempuan setelah lulus dari perguruan tinggi di Surabaya dan kemudian bekerja di Kalimantan, anak kedua kuliah di Malang, tapi katanya tidak lulus-lulus, pintarnya minta kiriman uang terus dan berulang kali ganti hp dan lap top. Dengan alasan untuk keperluan kuliahnya. Sedang anak bungsunya meninggal karena korban tabrak lari ketika pulang sekolah. Kerja Rugiah cukup berat, majikannya kaya sekali tapi memperlakukannya seperti mesin. Dia nekat tidak mau ganti majikan karena menghindari potongan gaji yang dilakukan agen. Cerita duka terus mengalir dari Rugiah. "Kersane mbak, rayat kulo nikah malih, kulo mboten gugat cerai, mangke lak sadar piyambak, mboten nopo-nopo kulo soro tapi anak kulo mangke pinter lan urippe seneng, nyuwun pendongane anak kulo ndhang lulus kuliah nggih,” kata Rugiah yang artinya, biar saja mbak, suami saya menikah lagi, saya nggak menggugat cerai, nanti kan sadar sendiri. Ngga apa-apa saya sengsara tapi anak saya kelak pintar dan senang hidupnya, minta doanya agar anak saya cepat lulus. Sambil berkata dalam bahasa jawa, dia sodorkan rambutan yang sudah separuh dikupasnya, saya menerimanya dan tak mampu menolak. Sementara dia sibuk mengikat rambutan menjadi beberapa bagian untuk dijual, pikiran saya menerawang jauh. Saya punya banyak kawan- kawan di alam maya, yang saya kenal lemat grup-grup sastra atau fb, adakah di antara mereka anak dari Rugiah ini. Banyak kaum ibu yang menyembunyikan kedukaan hidupnya kepada anak atau keluarganya, karena tidak ingin menyusahkan pikiran mereka. Saya tinggalkan Rugiah, Setelah bersalaman dan memeluknya sebentar, taman Victori makin ramai dengan pekerja Indonesia yang sedang berlibur. Saya percaya nanti pasti akan ada cerita lagi yang mengalir, tinggal apakah saya masih punya kesempatan untuk menulisnya dalam buku harian saya atau tidak. Sebab kemarin pun lewat telpon ibu bercerita jika pohon rambutan sedang lebat meranum menunggu saya petik. *Mega Vristian, aktivis buruh migran, tinggal di Hong Kong
Posted on: Wed, 11 Sep 2013 13:24:39 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015