Doa Tasbih (Doa Batin) dalam Tradisi Gereja Orthodox Setiap - TopicsExpress



          

Doa Tasbih (Doa Batin) dalam Tradisi Gereja Orthodox Setiap agama-agama besar dunia, di dalam kehidupan spiritualitasnya mengenal aspek esoterik maupun eksoterik. Dalam semua agama besar kita dapat menemukan aspek esoterik (ke dalam) maupun eksoterik (ke luar). Aspek eksoterik menghasilkan doktrin khas, tata cara upacara agama dan penampilan luar dari suatu agama. Aspek esoterik menghasilkan pengalaman misteri dan mendorong orang untuk datang mencari kebenaran. Dalam aspek esoterik suatu agama kita dapat menemukan doa batin dan praktek meditasi. Di dalam setiap sistem spiritual utama, kita dapat melihat bagaimana meditasi dipraktekkan. Di dalam aspek esoterik agama-agama besar dunia inilah doa-doa tasbih juga digunakan. Disamping Doa dan Sholat, Gereja Orthodox juga mengenal semacam “samadhi” atau “berdzikir dengan tasbih Orthodox” yang disebut sebagai “Doa Puja Yesus” (“Doa Yesus”) dengan menggunakan semacam “tasbih” yang dirajut dari benang, disebut dalam bahasa Yunani sebagai “komboskini” (“Komboschoinia”; ” komvoschini”) atau “Chotki” dalam bahasa Rusia, yang dipintal dan berbiji 100, ada juga yang lebih pendek, terdiri dari 33 manik-manik. Untuk mengingat umur Yesus di muka bumi yaitu 33 tahun. Dan praktek yang dilakukan oleh kaum “sufi” Kristen Orthodox yang disebut kaum “hesykhastis”, “Hesychast” atau kaum “Quietists” yang disebut juga para rahib Cipto Hening (para Penghening), yaitu para praktisi “hesykhasme”, stillness, rest, quiet, silence = “keheningan”, “kesunyian”, “istirahat”, “ketenangan”, “diam”) atau “Sufisme Kristen Orthodox”, yaitu suatu aliran spiritualitas dan Kekristenan esoteris di Gereja Timur (Gereja Orthodox) yang didasarkan atas hesykhia (keheningan, teduh-diam, senyap) sebagai sarana untuk menjadi terpusat pada persatuan dengan Allah dalam doa tak kunjung putus. Kaum “hesykhastis” (Quietists) atau para rahib Cipto Hening (para Penghening), misalnya Js. Diadokhus dari Fotiki (400-kira-kira 486), Js. Yohanes Kassianus (kira-kira 360-435), Js. Yohanes Klimakos dari Gunung Sinai (sekitar 579-649), Js. Hesychios Sang Imam (kira-kira abad 8th), Js. Ioannikios Agung (754–846), Js. Simeon Sang Theolog Baru (949–1022), Js. Gregorius Palamas, Episkop Agung Tesalonika (1296–1359), Js. Serafim dari Sarov (1759-1853), St. Theophanes sang Penyendiri ( 1867), Js. Nikolai Velimirovich (1880-1956), dll. Hesykhasme mendapat bentuknya yang definitif dan kemudian tersebar ke semua daerah Orthodox. Doa Yesus ditemukan pada pusat dari segala spiritualitas hesykhasme ini. Doa Yesus disebut juga Doa Batin/Doa Hati/Doa Qolbu (“Noera Prosevkhee”; doa “Budi Rohani”) yang secara khusus menunjuk kepada “Doa Puja Yesus” dari Gereja Timur (Gereja Orthodox). Pengaruh Hesykhasme antara lain disebarluaskan oleh sebuah buku yang dikenal dengan nama “Philokalia” Doa Yesus berasal dari Perjanjian Baru dan mempunyai tradisi penggunaan yang lama sekali. Doa Yesus bersandarkan pada nasehat Paulus Sang Rasul untuk Kaum Goyim (Bangsa non Yahudi), untuk berdoa tak kunjung putus: “Berdoalah tak kunjung putus” (“pray without ceasing”) (I Tes. 5:17 KJ Version) dan juga atas anjuran Tuhan Yesus sendiri pada para muridNya: Waspadalah dan berdoalah tak henti-hentinya …” (Luk. 21:36). Rumusan doa ini berdasarkan seruan si buta di Yerikho (Luk. 18:38; Mat. 20:30) dan doa si pemungut cukai (Luk. 18:13), yaitu: “Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah kasihanilah aku orang berdosa ini”, yang dalam bahasa Yunani berbunyi: “:“Kyrie Iesou Khriste Hyos Ton Theon, eleyson me ton amartolon” Rumusan ini juga bisa diperpendek berupa: “Kyrie Iesou Khriste, eleyson me” atau “Kyrie eleyson”. Doa ini seharusnya diulang dengan hening, dengan tidak tergesa-gesa, sementara menarik dan mengeluarkan nafas mengikuti rumusan doa ini. Tradisi doa ini dijumpai pada para Bapa Padang Gurun, yaitu para pertapa eremit pada tradisi monastisisme (kerahiban) di Mesir, Syria, Palestina sejak abad ke-2, walaupun pada mulanya rumusan doa ini tidak sistematis dan sama/seragam. Di Gurun Sinai dan Gunung Athos, para monakhos/rahib memperkembangkan suatu sistem tafakur yang utuh dan luas dengan doa yang sederhana ini, dipraktekkan dengan keheningan yang mutlak. Di antara para penulis rohani Yunani, pertama Js. Diadokhus dari Fotiki (pertengahan abad ke-5) dan kemudian Js. Yohanes Klimakos dari Gunung Sinai (sekitar 579-649) menyarankan, khususnya suatu bentuk doa yang amat bermanfaat, pengulang-ulangan atau mengingat-ingat terus-menerus akan “Nama Yesus”. Dengan berjalannya waktu Seruan akan Nama Tuhan ini menjadi terkristalkan dalam suatu bentuk kalimat pendek, yang dikenal sebagai Doa Puja Yesus: “Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah kasihanilah aku orang berdosa ini”. Menurut kebiasaan yang berasal dari abad pertengahan, doa Yesus didoakan para rahib dengan memakai tasbih Komboskini, yang diserahkan kepada mereka pada profesi (mengucapkan kaul kekal sebagai rahib) mereka. Metode tafakur berdasarkan nama Yesus ini dianggap berasal dari Js. Simeon Sang Theolog Baru (949–1022). Js. Gregorius Palamas, Episkop Agung Tesalonika (1296–1359), Bapa Gereja Agung yang terakhir, menjadi teladan utama dari kaum hesykhastis, karena perjuangannya melawan Barlaam dari Seminara atau Kalabria (1290-1350), seorang cendekiawan Yunani dari Italia Selatan, ia memenangkan suatu tempat yang tidak dapat dibantah untuk doa Puja Yesus ini. Pengajarannya diteguhkan oleh dua konsili yang diadakan di Konstantinopel pada tahun 1341 dan 1352, yang meskipun bersifat Konsili Lokal dan bukan Konsili Ekumenis, namun memiliki suatu kewibawaan doktrinal dalam theologia Orthodoxia yang sama sekali tidak lebih kecil dibanding apa yang dirumuskan dalam ke-7 Konsili Ekumenis itu sendiri. Tetapi Dunia Kristen Barat belum pernah secara resmi mengakui kedua konsili ini, meskipun banyak orang Kristen Barat yang secara pribadi menerima theologia dari Palamas ini. Pada abad keempat belas kita jumpai perdebatan theologia yang menarik di Gereja Timur, sekitar theologia Js. Gregorios Palamas. Dia adalah seorang rahib di Gunung Athos, dimana praktek Doa Yesus: ”Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah hamba orang berdosa ini” dengan menyatukan pikiran dan hati melalui disiplin tubuh yang ketat. dan berfokuskan pada “Nama Yesus” itu dilaksanakan. Sehingga mereka mengalami keteduhan batin (“hesykhia”) tenggelam dalam hadirat Roh Kudus dalam penyatuan dengan Yesus Kristus. Itulah sebabnya metode doa yang sampai sekarang tetap digunakan oleh ummat Orthodox ini, disebut sebagai “hesykhasme”. Banyak dari para rahib ini maupun ummat awam Orthodox dalam pengalaman doa mereka secara demikian mengalami persekutuan dan panunggalan yang nyata dengan Allah, termasuk mendapatkan penglihatan rohani akan Terang Ilahi yang Tak Tercipta., seperti yang dilihat para murid ketika Yesus dimuliakan di atas gunung. Pada tahun 1326 pengalaman melihat Terang Ilahi Tak Tercipta dalam praktek Doa Yesus itu dikecam oleh rahib Barlaam dari Kalabria atau dikenal sebagai Barlaam dari Seminara, Itali. Dia adalah orang Yunani namun yang mengikuti faham humanisme dari “renaissance” Gereja Barat yang menggunakan filsafat dan ide theologia Barat dimana kemungkinan bagi manusia untuk mengalami persekutuan dan pengalaman panunggalan dengan Allah itu disangkal. Kecaman dari Barlaam ini dihadapi oleh Js. Gregorios Palamas yang membela posisi Iman Kristen Orthodox bahwa manusia dapat mengalami persekutuan dan panunggalan dengan Allah secara sungguh-sungguh melalui Kristus dan oleh Roh Kudus di dalam Gereja. Suatu Konsili pada tahun 1346 mendukung pengajaran Js. Gregorios Palamas ini. Dalam pengajaran itu ditegaskan bahwa panunggalan yang dimaksud bukanlah panunggalan secara “pantheistis” seperti yang diajarkan filsafat kafir, namun panunggalan secara Kristologis, Pnevmatologis dan Ekklesiologis. Artinya oleh iman melalui baptisan kita manunggal dengan kematian dan kebangkitan Kristus artinya manunggal dalam kehidupan Kristus sendiri. Hidup Kristus itu disampaikan kepada manusia oleh Roh Kudus, dan pengalaman hidup Kristus, yang adalah Hidup Allah sendiri, oleh Roh Kudus itu dialami dalam pengalaman sakramental, ibadah dan doa dalam persekutuan Gereja. Dengan demikian kita mengalami hidup Allah tadi secara nyata. Menyatu pada hidup Allah bukanlah menyatu pada “Essensi” (Dzat-Hakekat) Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh filsafat “pantheisme” mistik, karena itu tidak mungkin. Namun menyatu dengan tindakan, hadirat dan energi Allah yang memang tak tercipta dan bersifat ilahi.( misalnya yang nampak dalam wujud terang ilahi tadi). Energi-energi Ilahi ini disalurkan atau dikaruniakan kepada manusia melalui Rahmat Ilahi atau Kasih Karunia Allah, dan terbuka bagi partisipasi, ma’rifat dan pengalaman manusia. Pada Konsili yang diadakan pada tahun 1347 dan 1351 sekali lagi posisi Gregorios Palamas ini diteguhkan persis seperti yang diajarkan Alkitab dan Tradisi Theologis Gereja Orthodox sepanjang segala abad. Sejak saat itu perbedaan theologis mengenai “Essensi, Supra-Essensi” (“Adi Dzat-Hakekat”) dan “Energi-energi” Ilahi menjadi bagian resmi dari Doktrin Gereja Orthodox. Banyak orang karena tak mengerti posisi Iman Kristen Orthodox akan perbedaan essensi dan energi ilahi ini menuduh Gereja Orthodox adalah Gereja Mistik, dalam arti pantheisme, yang juga amat ditolak oleh Gereja Orthodox. Gereja Orthodox adalah Gereja yang sangat kharismatis, dengan penekanannnya pada pengalaman Roh Kudus oleh Energi Ilahi secara nyata, namun dengan corak yang amat berbeda sekali dari penghayatan Gerakan Kharismatik modern. Doa Yesus (Doa Puja Yesus) mampu membawa kepada doa yang paling murni (pure prayer), yang tak boleh menimbulkan fantasi-fantasi, maupun teknik-teknik visualisasi, inkubasi, mimpi dan positive thinking dan semua teknik yang bersifat psikis dan pemaksaan kekuatan jiwani daripada memberi kebebasan karya Roh Kudus. Keadaan doa yang paling murni (Pure prayer) yang harus dicapai dalam Doa Puja Yesus itu justru untuk mencapai “apatheia” (ketiadaan ”pathos” atau “ketiadaan pamrih-pamrih kehendak dan nafsu”) yang kadang-kadang justru menjadi tujuan praktek-praktek meditasi lain dengan melakukan manipulasi psikis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Bahkan tujuan Doa Puja Yesus ini bukan untuk mendapatkan/mengejar karunia-karunia Roh Kudus (karena karunia-karunia Roh Kudus akan terhenti/tidak kekal – 1 Kor. 13:8-10), tetapi untuk bersatu dengan Roh Kudus, Sang Pemberi Hidup, sumber dan asal karunia-karunia Roh, yang adalah Allah yang kekal itu sendiri. Nama Yesus hanya merupakan sarana, yang harus membawa kepada pribadi Yesus sendiri, dan mengulang-ulang NamaNya tanpa membawa masuk ke hadiratNya tidak ada gunanya. Melalui Dzikir doa Puja Yesus ini, nama “Sang Sabda Menjelma”, yaitu Yesus Kristus diucapkan dengan penuh kekhusyukan, sujud hormat dan kedalaman iman sebagai sarana panunggalan secara batiniah denganNya sehingga melaluiNya manunggal dengan Allah Sang pemilik Sabda itu, yang satu Dzat hakekat dengan Sang Firman/SabdaNya. Inilah tujuan akhir dari keselamatan orang Kristen, yaitu mencapai Theosis atau Deifikasi atau Manunggaling Kawulo Gusti Rumusan Doa Yesus berabad-abad sampai saat ini tetap sama disetiap Gereja Orthodox dari yurisdiksi manapun di seluruh dunia. Dalam Gereja-gereja Orthodox yang berbahasa Yunani (Gereja Orthodox Patriarkhat Konstantinopel) rumusannya adalah: “Kyrie Iesou Khriste Hyos Ton Theon,eleyson me ton amartolon”, yang berbahasa Aramia (Gereja Orthodox Patriarkhat Antiokhia, Syria): Moran Yeshua meshiHa, bar Alaha ethraham al li, Hataya, yang berbahasa Ibrani (Gereja Orthodox Patriarkhat Yerusalem, Palestina): “Adonai Yoshua Ha-Masiakh, ben ha-Elohim, rehem na‘alay, ‘al ish khotea”, yang berbahasa Arab: Ayyuha-r-Rabbu Yasoo al-Maseeh, Ibnul-Laah, irhamnee anal-khaate”, “Ya Robbu Yesu Almasih, ibnullah, arhamna ‘ana al-khoti’a” atau“Ya, Robbu Arham”, Gereja-Gereja Orthodox berbahasa Slavonika, misalnya Gereja Orthodox Patriarkhat Moskow, Rusia: “Gospodi Iesuse Kristie, Tzinye Boziie, pamilui mya gresnago”, Sedang Gereja-Gereja Orthodox yang berbahasa Inggris: “O Lord Jesus Christ, Son of God, have mercy on me a sinner” atau “O Lord Jesus Christ, have mercy on me”. yang berbahasa Mandarin (Gereja Orthodox China): “Zhu Ye su ji du shang thi zhi zi qing lian min wo zhe ge zui ren zhu Ye su ji dud u, lian min wo”. Juga Doa Yesus ini bisa didaraskan dalam bahasa-bahasa daerah setempat, seperti bahasa Jawa: “Duh, Gusti Yesus Kristus Putrane Allah mugi melasi kulo tiyang doso meniko”, dll.Tetapi semua rumusan doa Yesus itu mempunyai arti yang sama: “Tuhan Yesus Kristus Anak Allah, kasihanilah hamba orang berdosa ini”. Seruan dan pendarasan Nama Kudus Yesus dalam Doa Yesus dari Gereja Orthodox Timur ini dikenal juga oleh Gereja Roma Katolik, Anglikan dan Protestan Lutheran, walaupun dalam bentuk yang berbeda, dengan makna yang berbeda dan pendalaman yang berbeda.. Inilah ”Sufisme Kristen Orthodox”. Inginkah Saudara mengalaminya? Oleh : Presbyter Rm.Kirill JSL (Omeц Кирилл Д.С.Л.) GEREJA ORTHODOX RUSIA di INDONESIA Js Jonah Mancuria di Surabaya
Posted on: Fri, 25 Oct 2013 05:48:11 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015