Dokter Indonesia VS Dokter Belanda Beberapa waktu lalu saya - TopicsExpress



          

Dokter Indonesia VS Dokter Belanda Beberapa waktu lalu saya mendapat pertanyaan dari pembaca mengenai kenapa dokter di Indonesia mudah sekali memberikan banyak obat, apa krn sekedar mencari keuntungan belaka ?? berbeda sekali dengan artiekl yg dia baca mengenai dokter belanda yg pelit kasih obat. Sebagai contoh saat demam 40 defajat dokter belanda hanya memerintahkan utk observasi saja tanpa memberi obat penurun panas. Sementara di Indonesia panas 38/39 derajat sdh disuruh memberikan penurun panas. Nah kali ini kita akan dibantu menjawab oleh de. Posma Siahaan, Sp.PD. Mengenai dokter di Belanda yang tidak mudah memberikan obat dan membandingkannya dengan dokter-dokter di tanah air, sayaanak perlu menanggapinya berkaca pada diri saya sendiri yang lebih 90% pasien saya berikan obat-obatan kalau berobat. 1. Sebagian besar pasien yang berobat di Indonesia dengan kondisi penyakit sudah kronis/parah. Pengalaman saya pasien datang berobat bila sudah banyak komplikasinya, kalau masih sakit ringan ditahan-tahan dahulu. Diabetes kalau datang jika sudah ada luka membusuk di kaki, sakit jantung datang kalau sudah tidak bisa berjalan lagi dan kalau demam kalau sudah mengigau.Biasanya sebelum ke dokter pasien sudah berobat sendiri dengan obat warung atau ke dukun, mantri, pengobatan alternatif dan belum sembuh juga baru ke dokter. Mungkin berbeda dengan di Belanda yang berobat kalau kondisi tubuh sedikit kurang ‘matching’ dan merasa perlu berkonsultasi ke dokter serta diberi nasehat tentang daya tahan tubuh dan lain-lain. 2. Prevalensi penyakit infeksi di Indonesia masih belum turun, sementara penyakit degeneratif mulai naik. Penyakit diare, demam beradarah, tuberkulosis, hepatitis dan tifus masih tinggi dan belum berhasil diturunkan karena memang program kesehatan belum maksimal diserap masyarakat secara pendidikan kesehatan maupun pemerataan pelayanan, sedangkan budaya konsumerisme membuat penyakit degeneratif sudah ikut meningkat seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, rematik dan penyakit-penyakit psikosomatik akibat peningkatan tekanan hidup. Sebagai gambaran di Eropa sangat jarang orang tes tuberkulin positif karena jarang sekali yang TBC, tetapi di Indonesia hampir semua tesnya positif akibat imunisasi BCG ataupun kalau tidak diimunisasi pasti satu waktu pernah kontak dengan pasien TBC di tempat umum. Begitupun tes widal untuk demam tifoid, sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin pernah kontak dengan kuman ini sehingga tes widalnya + 1/80, walaupun tidak sakit. Di Belanda mungkin 1 kasus tifoid bisa bikin heboh satu kampung. 3. Perbandingan dokter dan pasien yang berbeda antara Indonesia dan Belanda. Sebagai pembanding ada data tahun 2007 tentang rasio dokter:pasien di berbagai negara di dunia tahun itu. Berikut daftar lengkap: Kuba 170 Belarus 220 Belgia 220 Yunani 230 Rusia 230 Georgia 240 Italia 240 Turkmenistan 240 Ukraina 240 Lithuania 250 Uruguay 270 Bulgaria 280 Islandia 280 Kazakhstan 280 Swiss 280 Portugal 290 France 300 Jerman 300 Hungaria 300 Korea Selatan 300 Spanyol 300 Denmark 310 Swedia 310 Finlandia 320 Belanda 320 Norwegia 320 Argentina 330 Latvia 330 Irlandia 360 Uzbekistan 360 Mongolia 380 Amerika Serikat 390 Australia 400 Kirgizstan 400 Polandia 400 Selandia Baru 420 Great Britain 440 Qatar 450 Kanada 470 Jordan 490 Tajikistan 490 Jepang 500 Mexico 500 Venezuela 500 Rumania 550 Ekuador 650 Korea Utara 650 Panama 700 Suriah 700 Bosnia-H. 750 Kolombia 750 Libya 750 Oman 750 Saudi 750 Tunisia 750 Turki 750 Bolivia 800 Peru 850 Algeria 900 Bahrain 900 Brasil 900 Chili 900 Paraguay 900 Cina 950 Guatemala 1,100 Jamaika 1,200 Afrika Selatan 1,300 Malaysia 1,400 Pakistan 1,400 Irak 1,500 India 1,700 Laos 1,700 Honduras 1,800 Filipina 1,800 Sri Lanka 1,800 Mesir 1,900 Vietnam 1,900 Maroko 2,000 Iran 2,200 Suriname 2,200 Botswana 2,500 Nikaragua 2,700 Thailand 2,700 Myanmar 2,800 Yaman 3,000 Namibia 3,300 Madagaskar 3,400 Bangladesh 3,800 Haiti 4,000 Sudan 4,500 Nepal 4,800 Afghanistan 5,300 Kamerun 5,300 Kamboja 6,300 Zimbabwe 6,300 Kenia 7,100 Indonesia 7,700 Zambia 8,300 Kongo 9,100 Gambia 9,100 Mauritani 9,100 Angola 12,500 CAR 12,500 Mali 12,500 Uganda 12,500 Senegal 16,500 Bhutan 20,000 Eritrea 20,000 Lesotho 20,000 Papua NG 20,000 Rwanda 20,000 Benin 25,000 Chad 25,000 Niger 25,000 Somalia 25,000 Burundi 33,500 Ethiopia 33,500 Liberia 33,500 Mozambik 33,500 Malawi 50,000 Tanzania 50,000 Peta ini ditemukan di adsoftheworld. Dari data itu didapatkan perbandingan pasien dan dokter yang sangat timpang, Indonesia 1:7700, sementara Belanda 1: 320 di tahun 2007. Mungkin di tahun 2013 perbandingannya Indonesia 1:5000 dan Belanda 1: 250, jadi dokter Belanda lebih sedikit menghadapi pasien setiap harinya dari dokter di Indonesia. Ada teman saya yang tinggal di Belanda mengaku pernah bicara dengan dokter anak sampai satu setengah jam membicarakan penyakit anaknya. Sementara dokter di Indonesia tidak mungkin, karena di PUSKESMAS ada dokter umum harus mengobati 100 pasien sehari, terutama kalau dekat pilkada dan ada kampanye. Saya pribadi sehari membatasi maksimal 40 pasien sehari dengan waktu pemeriksaan 5-20 menit perpasien sesuai dengan beratnya penyakit. Pasien pernah marah dan mau mengamuk ketika disarankan tidak usah memakai obat dahulu dan dinasehatkan ini-itu. Meyakinkan pasien yang seperti ini mungkin perlu waktu lebih setengah jam, padahal pasien lain banyak menunggu di luar dengan kondisi yang berat, jadi sebagai langkah ‘taktis’ diberikanlah obat. 4. Pembayaran dokter yang berbeda. Di Belanda dokter biasanya gratis karena pajak di sana sangat tinggi dan efektif dipakai untuk pelayanan publik. Dokter sangat mudah memberikan keputusan tidak perlu memberikan obat, karena toh negara menggajinya dengan layak. Intinya dokter tidak takut kehilangan pasien, malah bersyukur kalau pasiennya sedikit karena gajinya sama saja. Di Indonesia, contohnya saya kalau pasien tidak saya kasih obat, pasti tidak akan mau lagi datang berobat dan dianggap ‘aneh’. Jadi minimal ada 4 alasan tersebut yang menyebabkan saya sebagai dokter di Indonesia sangat sering memberi pasien obat dan sangat jarang tidak memberikan obat. Apakah pasien-pasien saya jadi parah semua? Tidak jugalah, ada yang 11 tahun berobat dengan saya masih aman-aman saja kok. Bukan karena diberikan antibiotik, antidemam selama 5 hari setiap sakit semua pasien jadi gagal ginjal. Oke, semoga maklum! Penulis: dr. Posma Siahaan, Sp.Pd Sumber kompasiana: kesehatan.kompasiana/medis/2013/07/14/alasan-sayadokter-di-indonesia-begitu-mudah-memberikan-obat-kepada-pasien-573617.html Nb: pengalaman admin sendiri ketika anak demam sudah mencapai 40 derajat biasanya anak di Indonesia cenderung dpt mengalami kejang yg bs mempbahayakan anak, sementara di belanda bs jadi krn suhu lingkungannya yang sangat dingin mah bisa mentoleransi kondisi pasien tersebut. Berbeda halnya dengan teman saya yg tinggal di saudi arabia, utk penyakit tertentu seperti diare dimana disana diberikan sampai 4-5 jenis obat, justru diindonesia saya biasanya hanya kasih 2-3 obat.
Posted on: Sun, 04 Aug 2013 03:42:20 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015