Dolar Naik, Tak Usah Panik ............Pemerintah mengeluarkan - TopicsExpress



          

Dolar Naik, Tak Usah Panik ............Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk mencegah terjadinya krisis. Baru akan berdampak dalam jangka panjang. Fundamental ekonomi Indonesia kuat sehingga tak akan menyebabkan krisis seperti tahun 1997. Kuncinya: tidak panik. Sebuah pesan pendek masuk ke ponsel Menteri Keuangan, Chatib Basri, Jumat pekan lalu. Yang mengirim adalah seorang investor besar di London. "Saya senang, yang mengumumkan bukan presiden Anda. Ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak dalam masa krisis. Kalau kepala negara sampai mengumumkan situasi ekonominya, itu seperti Obama menyatakan kondisi perang. Dan buat kami, ini menunjukkan bahwa sistemnya jalan," demikian bunyi SMS yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu. Chatib menerima pesan pendek itu usai pengumuman empat paket kebijakan stabilisasi dalam pertumbuhan ekonomi. Chatib bersama Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, dan Menteri Perindustrian, M.S. Hidayat, mendampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, yang mengumumkan paket itu. Turut pula Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Suryo B. Sulisto, dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Empat paket itu adalah memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah, menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, menjaga tingkat inflasi, dan mempercepat investasi. Paket kebijakan ekonomi tersebut bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya krisis keuangan, mengingat gejolak di pasar keuangan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang makin mengkhawatirkan. Pelemahan rupiah maupun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) itu disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah sentimen atas rencana pengurangan stimulus moneter atau quantitative easing oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve alias The Fed. Rencana The Fed ini dipahami investor bahwa perekonomian Amerika makin membaik. Akibatnya, dana-dana asing di Asia, yang selama ini pindah dari Amerika saat krisis tahun 2008, ditarik kembali dari emerging market, termasuk Indonesia. Adapun faktor internalnya adalah neraca perdagangan Indonesia yang memble. Hingga semester I tahun ini, neraca perdagangan mengalami defisit US$ 3,3 milyar. Diperkirakan, hingga tahun ini akan bergerak sampai US$ 6 milyar. Neraca perdagangan yang negatif itu terjadi karena nilai impor lebih besar daripada ekspor. Kebutuhan dolar untuk impor membuat perburuan dolar meningkat, yang membuat rupiah terjerembap. Neraca perdagangan yang negatif itu makin membuat investor asing di pasar modal merasa kurang nyaman dan keluar dari Indonesia. Selain menuju Amerika, ada pilihan lain, yaitu peluang investasi di Eropa yang mulai membaik. Ketidaknyamanan investor itu diperparah oleh konsekuensi yang timbul dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Juni lalu, yang menyebabkan harga kebutuhan pokok meningkat. Bahkan beberapa kebutuhan pokok, seperti bawang putih dan daging, langka di pasaran, yang membuat harganya meroket. Kenaikan harga kebutuhan pokok itu mendorong naiknya inflasi jauh di atas batas yang didesain Bank Indonesia (BI). Target inflasi versi BI pada 2013 ini adalah 4,5%-5,5%. Kenyataannya, pada saat ini tingkat inflasi mencapai 8,41%. Kondisi ini akan menurunkan daya beli masyarakat dan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi ini pula yang kemudian membuat investor waswas. Chatib Basri mengakui bahwa sekarang sedang terjadi penurunan kinerja ekonomi. Namun Indonesia belum sampai pada krisis, karena fundamental ekonomi Indonesia bagus. "Kalau pertumbuhan Indonesia yang 6% dikatakan krisis, bagaimana menjelaskan Singapura yang pertumbuhannya satu koma, Brasil yang di bawah 3%, dan negara di Eropa yang target pertumbuhannya nol persen," katanya. Chatib meminta masyarakat, dunia usaha, dan investor tenang menyikapi situasi ekonomi saat ini. "Kalau melihat dengan perspektif kondisi di banyak negara, kita akan melihat dengan lebih tenang," ia menambahkan. Hingga Selasa pekan lalu, pengumuman empat kebijakan itu belum berefek positif terhadap rupiah dan IHSG. Baik rupiah maupun IHSG masih meneruskan tren negatif perdagangan pada pekan-pekan sebelumnya. Di pasar keuangan, rupiah sempat bertengger di atas Rp 11.000 per dolar pada sesi sebelum ditutup di level tipis di bawahnya. Berdasarkan kurs rupiah BI pada Selasa pekan lalu, kurs beli rupiah Rp 10.829 dan kurs jual Rp 10,937 per US$. Pada penutupan Jumat pekan lalu, kurs beli rupiah Rp 10.794 dan kurs jual Rp 10.902 per dolar Amerika (lihat: Kurs Rupiah Terhadap US$). IHSG juga makin menukik pada pekan ini. Pada penutupan perdagangan Selasa lalu, IHSG menukik ke 3.967 atau yang terburuk selama tahun ini. Pada perdagangan Jumat pekan lalu, IHSG masih berada di level 4.169. Adapun pada perdagangan Senin pekan lalu masih di posisi 4.313. Ekonom di Danareksa Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, menilai empat kebijakan pemerintah yang dirilis Jumat pekan lalu itu memang belum akan berpengaruh terhadap rupiah dalam jangka pendek. "Empat paket kebijakan itu sudah betul, tapi cenderung jangka panjang," katanya kepada GATRA. Untuk jangka pendeknya, kata Purbaya, BI harus mengembalikan likuiditas rupiah dalam jangka pendek. BI sendiri telah mengeluarkan lima kebijakan yang bersinergi dengan paket kebijakan pemerintah. Kebijakan itu adalah memperluas jangka waktu term deposit valuta asing (valas) yang saat ini tujuh, 14, dan 30 hari menjadi satu hari sampai 12 bulan; merelaksasi ketentuan pembelian valas bagi eksportir yang telah melakukan penjualan devisa hasil ekspor; menyesuaikan ketentuan transaksi forex swap bank dengan BI yang diperlakukan sebagai pass-on transaksi bank dengan pihak terkait. Selain itu, BI merelaksasi ketentuan utang luar negeri (ULN), dengan menambah jenis pengecualian ULN jangka pendek bank, berupa giro rupiah (VOSTRO) milik bukan penduduk yang menampung dana hasil divestasi yang berasal dari hasil penyertaan langsung, pembelian saham, dan atau obligasi korporasi Indonesia serta surat berharga negara (SBN). Adapun kebijakan lainnya, BI menerbitkan sertifikat deposito Bank Indonesia (SDBI). Purbaya menilai kelemahan kebijakan itu adalah BI yang bermain dengan pasar. Sehingga kondisinya, BI yang melawan pasar. "Harusnya BI mikir untuk menciptakan pasar rupiah sendiri. Jadi, yang main itu antara yang butuh dan yang punya dolar," katanya. Sebab, bila kebijakannya demikian, akhirnya beban bunga akan ditanggung BI. "Itu tidak kredibel karena ada cost ditanggung BI," ia menambahkan. Mengapa harus menciptakan pasar sendiri? Purbaya mengatakan, terdapat indikasi tidak ada pasar valas dalam negeri Indonesia. Pernyataan ini ia sampaikan berkaitan dengan apa yang dirasakan beberapa pemain besar atau perusahaan valas, yang menyatakan bahwa tidak ada pasar valas di Indonesia. "Itu harus diinvestigasi oleh bank sentral, ada apa dan kenapa ada anggapan seperti itu," ujarnya. Hal tersebut bisa saja terjadi karena terkadang BI intervensif pada harga valas yang diperjualbelikan di pasar. Hal lainnya, kata Purbaya, kadang-kadang pernyataan BI tidak sesuai dengan kondisi di pasar. Sehingga pernyataan BI itu "semu" dan membuat pasar seperti tidak jelas. "Dampaknya, dalam kondisi tertentu membuat pasar takut melakukan jual-beli valas," katanya. Sebagai gambaran, menurut Purbaya, sebenarnya sebagian besar eksportir memiliki valas. Namun, sekarang ini, valas agak tidak lancar. Kondisi ini membuat pemilik valas memilih posisi tidak ingin menjual. "Karena nggak mau jual, suplai dolar jadi berkurang, rupiah tertekan," ujarnya. Demikian pula dengan kebijakan forex swap, Purbaya mengatakan, seharusnya BI-lah yang menciptakan pasar swap dengan menjadi fasilitator. Artinya, bukan BI yang membuat swap dengan bank. Seharusnya pasar swap itu terjadi antara yang butuh dan yang memiliki dolar. Bila BI membuat swap, ungkap dia, BI yang akan membayar bunga yang nilainya tidak kecil. Sehingga BI-lah yang akan berhadapan dengan pasar. "Kalau ada spekulator, bisa dikerjain juga," tuturnya. Kalaupun BI mendapatkan dolar, pertanyaan selanjutnya, akan dikemanakan dolar itu? "Katakanlah swap dengan bank, kemudian bank memberikan dolar ke BI. Lalu dolar akan diapain sama BI?" katanya. Kalaupun diinvestasikan di luar negeri lewat bond dengan fluktuasi pasar dan jangka pendek dengan bunga lebih rendah, "Dia bayar bunga juga. Kalau misalnya diam di BI, bayar bunga merugikan. BI harus lebih kreatif dari sekarang," ia menegaskan. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Publik, Hariyadi Sukamdani, meminta semua pihak bekerja sama menciptakan situasi yang kondusif. "Kalau pasar panik, masyarakat panik, nanti jadi kacau semua," katanya kepada Adistya Prabawati dari GATRA. Haryadi memprediksi, kenaikan dolar tak akan bertahan lama. "Asalkan persepsi pasar positif, artinya Indonesia cukup confident, situasi akan mereda," ungkapnya. Pengusaha, kata Haryadi, juga telah mengambil tindakan tepat, yakni berkoordinasi dengan pemerintah. Pengusaha akan rugi jika bertentangan dengan pemerintah. "Jadi, sekarang hubungan pengusaha dengan pemerintah bagus, koordinasi juga bagus," katanya. Contohnya adalah rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang diikuti Kadin dan Apindo, Jumat pekan lalu. Sebelum rapat di kabinet terbatas itu, pengusaha dan tim ekonomi pemerintah melakukan rapat secara maraton selama lima hari. Hasil diskusi bersama inilah yang kemudian menghasilkan empat kebijakan ekonomi yang diumumkan Jumat pekan lalu.(IRIB Indonesia/Gatra).............indonesian.irib.ir/cakrawala/-/asset_publisher/Alv0/content/dolar-naik-tak-usah-panik?redirect=http%3A%2F%2Findonesian.irib.ir%2Fcakrawala%3Fp_p_id%3D101_INSTANCE_Alv0%26p_p_lifecycle%3D0%26p_p_state%3Dnormal%26p_p_mode%3Dview%26p_p_col_id%3D_118_INSTANCE_VbI8__column-1%26p_p_col_count%3D3
Posted on: Tue, 03 Sep 2013 07:26:22 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015