Dr. Kurtubi: UU Migas Harus Dicabut Berapa sebetulnya biaya - TopicsExpress



          

Dr. Kurtubi: UU Migas Harus Dicabut Berapa sebetulnya biaya yang dibutuhkan hingga minyak bisa dikonsumsi? Ini akan sangat bergantung pada eksplorasinya, apakah di darat ataukah di laut, apakah di daerah yang sulit dijangkau ataukah mudah. Ini sangat mempengaruhi biaya. Biaya perbarel juga dipengaruhi oleh jumlah cadangan yang ditemukan. Kalau sumur minyak di perut bumi yang ditemukan itu relatif kecil maka jatuhnya biaya perbarelnya akan lebih besar. Mengapa BBM sering langka di masyarakat? Apakah ada kesalahan kebijakan? Itu karena produksi kita sangat kurang. Pertama: produksi minyak mentah di sektor hulu saat ini sekitar 910.000 barel perhari untuk 2007. Turun sekali dibandingkan dengan produksi tahun 1998, misalnya, yang masih 1,6 juta barel perhari. Kedua: Kapasitas kilang minyak Indonesia juga stagnan, tidak pernah naik dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Kapasitas kilang minyak Indonesia adalah 1.050.000 barel perhari. Ini hanya mampu memenuhi 2/3 BBM kebutuhan nasional. Jadi, 1/3-nya harus impor. Di kilang Cilacap dan Balikpapan, sebagian minyak yang diolah itu adalah hasil impor. Mengapa produksi minyak mentah Indonesia semakin menurun? Karena produksi minyak kita mengandalkan lapangan-lapangan minyak tua. Dalam 8 tahun terakhir ini, nyaris tidak ditemukan lapangan-lapangan baru. Mengapa, Pak? Karena kegiatan atau investasi pencarian cadangan baru atau investasi eksplorasi sejak tahun 1999 anjlok. Contoh kongkrit, tahun 1998 atau tahun 70–80 an, rata-rata pertahun jumlah sumur eksplorasi antara 250 – 300 sumur. Namun, sejak 1999, anjlok hanya menjadi 90 sumur; tahun 2000 anjlok menjadi 70 sumur; tahun 2001 menjadi 60 sumur; tahun 2003 menjadi sekitar 30 sumur. Jadi, menurun terus. Kegiatan ekplorasi terus menurun juga disebabkan oleh kekeliruan Indonesia dalam membuat UU, yaitu UU Migas No 22 tahun 2001. Dengan UU Migas ini, prosedur investasi di bidang migas menjadi berbelit-belit. Selain itu, adanya BP Migas merupakan titik lemah dari industri perminyakan nasional. Ia telah menyebabkan potensi kerugian negara yang luar biasa besar. Sebab, minyak dan gas yang bagian Negara yang berasal dari lapangan-lapangan minyak perusahaan asing itu tidak bisa dijual langsung oleh BP Migas. Padahal minyak dan gas itu milik Negara. Namun, minyak itu tidak bisa diuangkan oleh BP Migas karena dia bukan merupakan perusahaan. Minyak dan gas itu harus dijual melalui pihak ketiga. Inilah yang menyebabkan negara rugi miliaran dolar. Pihak ketiga itu siapa? Ya, para pemain, para trader, pemburu rente atau calo itu… Seperti lapangan gas Tangguh di Irian jaya, pihak ketiga yang ditugasi menjual gas ke luar negeri adalah British Petroleum (BP). Kita ketahui bahwa hasil jual mereka dengan harga super murah. Sebab, sekalipun telah dinegosiasikan ulang, pada tahap pertama mereka menjual hanya $2,25 per-mmbtu, dengan patokan harga minyak mentah $25. Lalu, setelah di desak, patokan minyak mentah yang awalnya $25 menjadi $38/barel sehingga harga jual gas tangguh naik menjadi $3,35 per-mmbtu. Itu merupakan harga jual selama 25 tahun yang akan datang. Padahal orang desa bahkan orang gunung sekalipun sudah tahu bahwa saat ini harga minyak sudah $100 perbarel. Nah, Indonesia dizalimi oleh BP. Pihak ketiga ini bisa Pertamina dan Perusahaan asing? Ya, betul. Namun, selama ini tidak pernah tunjuk Pertamina. Mengapa demikian, Pak? Sebagai contoh, Blok Cepu. Blok Cepu sebenarnya ladang yang sudah ditemukan jauh sebelum keluarnya UU Migas. Jadi, tadinya adalah wilayah kerja Pertamina. Entah bagaimana ceritanya, kepemilikan berpindah pada Humpuss. Sewaktu diberikan kepada Humpus disebutkan, kalau Humpus mau melepaskan blok tersebut maka harus dikembalikan dulu kepada Pertamina baru dijual kepada orang lain. Ada yang bermain di sini. Oleh perusahaan Australia ini akhirnya dijual ke Exxon. Bersamaan dengan itu UU yang lama dicabut, diganti yang baru. Dengan UU Migas yang baru, Pertamina statusnya sama dengan Exxon. Aneh bin ajaib! UU menyebut, perusahaan BUMN-nya sendiri sebagai ‘perusahaan asing’. Pertamina tidak mempunyai hak istimewa di Blok Cepu lagi. Adakah tekanan dari asing dalam pembuatan UU Migas ini? Penyusunan UU Migas ini adalah perintah IMF. Inti UU ini memang liberalisasi. Negara tidak lagi turut campur dalam pengelolaan sumberdaya migasnya. Karenanya, Pertamina diubah menjadi PT. Jika sudah menjadi PT, Pertamina bisa juga dijual. Soal belum dijual, itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Apakah liberalisasi ini by design? Memang dari awalnya begitu, yakni privatisasi. Padahal sejak dari awal seyogyanya Pemerintah tetap mengacu pada pasal 33 agar seluruh kekayaan alamnya dikelola sendiri, dimana harus ada BUMN yang secara khusus mengelola kekayaan alamnya. Oleh karenanya, UU Migas ini harus dicabut. [Gus Uwik]
Posted on: Tue, 12 Nov 2013 17:28:10 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015