Edensor (39-40) by. Andrea Hirata MOZAIK 39: Cinta, di - TopicsExpress



          

Edensor (39-40) by. Andrea Hirata MOZAIK 39: Cinta, di Mana-Mana Cinta Tepat tengah malam, kereta murahan yang kami tumpangi dari Gmunden berhenti di Venesia. Stasiun Venesia berada di semacam semenanjung sehingga ia seperti pulau. Air, di mana-mana air. Dari jendela kereta kulihat ratusan backpacker bergelimpangan tidur di platform stasiun. Di antaranya backpacker yang selalu kukagumi, backpacker Kanada! Kami telah melintasi Rusia dari ujung ke ujung, tapi cerita backpacker Kanada mencengangkan. Mereka melintasi Siberia, berangkat ke Beijing dari Moskwa dengan kereta ekonomi yang terus melaju selama tiga minggu. Seorang perempuan muda, Denyah Wilson namanya, tampak lebih cocok menjadi penjaga pameran mobil mewah, menjadi pentolan kelompok itu. Denyah seorang French Canadian dan mahasiswi antropologi di Cjuebec, bagian dari Kanada yang berbahasa Prancis. Ia hanya tinggal punya enam jari kaki, jemari lainnya terpaksa ia kerat sendiri dengan pisau komando karena frostbite. Ia mengisahkannya seperti kehilangan kaus kaki saja, namun mereka menunjukkan sedikit respek pada kami demi mendengar kami membiayai perjalanan sebagai pengamen ikan duyung. Fantastic1. kata mereka, tak tahu karena kagum atau geli. Bagaimana kalian bisa melakukan semua itu? kalimat pujian itu Denyah alamatkan sambil mengunyah senyum, maka kupastikan: karena geli. Kami diam saja, sebab tiga hari tiga malam tak kan cukup untuk menceritakannya. Hati-hati backpack-mu, Kawan, saran Denyah. Peluk backpack-mu kalau tidur. Rupanya di Stasiun Venesia banyak pencoleng. Polisi berjaga-jaga. Seperti di Jerman, polisi Italia menghormati tradisi backpacking. Di luar lingkar lampu-lampu tinggi stasiun, kulihat gerak-gerik mencurigakan. Para pencoleng itu serupa rubah mengincar telur camar. Lengah sedikit saja, backpack melayang. Ini satu sisi gelap Italia yang hanya diketahui backpacker. Namun, semua kecemasan sirna begitu matahari merekah dan kami mendapati diri dikelilingi air yang terhampar seperti permadani cahaya, beriak-riak menggenangi sudut-sudut Venesia. Kanal-kanal kecil berkilauan, meliuk-liuk menyelingi rumah tua penduduk. Gondola meluncur syahdu. Venesia, secara keseluruhan tampak seperti repli-ka, seperti negeri buatan. Lalu riuh rendah teriakan. Grazie Amore Ciao Pria wanita berkerumun di kafe-kafe dengan gerak laku seperti sedang bermain sandiwara. Dialek mereka mengalun seumpama nyanyian dan kadang meledak-ledak. Pria-pria berseliweran, membawa bunga atau bicara romantis dengan seorang wanita, di samping scooter berwarna kuning, meyakinkan wanitanya betapa ia mencintainya, dan bahwa semalam ia tak pergi dengan perempuan lain. Sang wanita bersikap dramatis persis di film-film. Tangannya bersilat-silat. Orang Italia, melihat hidup sebagai seni. Mereka merayakan kehidupan dan jatuh hati pada setiap sendinya. Italiano mendamba kekasihnya lebih dari mendamba dirinya sendiri. Mereka tak sungkan menangis, membaca puisi, dan berdoa mengekspresikan cintanya, meskipun se-dang berada di pasar ikan. Tak pernah, di mana pun, kusaksikan pemandangan semacam ini. Italia menyajikan tandscape yang memesona dihiasi adegan-adegan cinta yang memukau. Benar, seperti kubaca di buku. Pria Italia sungguh flamboyan dan mereka passionate: penuh gairah. Kaum lelaki selalu berlagak agar perempuan di dekatnya terkesan. Agak sedikit norak barangkali. Jika ada wanita cantik lewat, mereka bersuit-suit. Kelakuan ini mengingatkanku pada Yogyakarta. Tapi tak pernah kulihat suatu komunitas di mana kaum pria rata-rata berwajah rupawan. Hanya Italia yang seperti itu. Tukang parkir, penjaga toko, masinis kereta, calo, tukang pos, nelayan, pengemis, kondektur, sopir bus, bahkan pencopet, semuanya ganteng. *** Penampilan kami yang paling mengesankan adalah di Fontana de Trevi, Roma. Dua ekor ikan duyung menghiasi air mancur terindah di planet ini. Ini yang disebut maestro seni jalanan Famke Somers sebagai pemilihan lokasi untuk meraih efek teatrikal. Di sudut sana, manusia patung lain menyaru sebagai tiga pendekar The Three Musketeers dan santa-santa, semakin mengentalkan nuansa seni sore itu. Kami telah menampilkan seni patung ratusan kali hampir di seluruh Eropa. Barangkali sudah cukup pantas kami menyebut diri profesional. Sekarang kami pandai berimprovisasi, tak lagi sekadar paduan ibu ikan duyung dan anaknya yang merana, tapi lebih kreatif, yaitu sebagai putri duyung yang nakal menggoda, putri duyung malu-malu kucing, putri duyung cemberut, putri duyung penurut. Bisa juga putri duyung musim panas, putri duyung musim hujan, putri duyung banyak uang, putri duyung banyak utang, putri duyung perawan, putri duyung janda kembang, atau putri duyung mata duitan, semuanya piawai kami lakoni. Kadang kami tak peduli apakah akan ditonton, difoto, dipuji, dimaki, atau diberi uang. Kami telah pandai menikmati daya tarik seni patung, yaitu sensasi teatrikal dari keseluruhan konteks artistiknya. Jika sampai pada sensasi itu, aku merasa menjadi elemen keindahan dalam arsitektur kosmos. Menggetarkan, bukan? Jika memasuki sebuah kota, kami tak serta-merta berdandan dan tampil, namun, demi menciptakan efek teatrikal tadi, kami berkeliling dulu, menilai keadaan, mempelajari selera setempat, mencari-cari inspirasi, dan mereka-reka lakon. Di Verona, inspirasi itu adalah Romeo dan Juliette. *** Jika ada sesuatu yang paling absurd di muka bumi ini, itu adalah cinta. Aku melihatnya sendiri di Verona. Tak jauh dari Colosseum Verona, ada sebuah rumah tua. Rumah tua yang biasa saja, namun dulu, William Shakespeare, jauh-jauh datang dari London untuk kost di rumah itu, tentu saja demi suatu ilusi suci yang disebut kaum seniman sebagai inspirasi. Shakespeare ingin menyerap gairah cinta Italia. Di rumah tua itulah ia menulis kisah cinta terbesar dalam sejarah umat: Romeo and Juliette. Kota Praja Verona serta-merta memanipulasi kesintingan manusia akan cinta menjadi peluang bisnis. Rumah tua itu dijadikan objek wisata. Pamor rumah itu hampir mengalahkan Colosseum Verona. Aku memasuki kamar di tingkat dua yang disebut sebagai kamar Shakespeare. Di luar kamar itu ada balkon. Waktu menulis adegan Romeo memanjat kamar dengan gordijn yang dijulurkan Juliette, Shakespeare pasti terinspirasi oleh balkon itu. Berbondong-bondonglah para turis, terutama yang sedang kasmaran mengunjungi balkon yang kondang dengan sebutan Juliette Balcony. Lebih indah lagi, mereka boleh menuliskan ikrar cintanya di sana. Awalnya hanya di balkon. Namun karena semakin banyak turis yang datang, mereka dibolehkan menulis ikrar asmara di seluruh dinding luar rumah. Agar lebih dramatis, di bawah balkon didirikan patung perunggu Juliette dalam pose berdiri. Ia kemayu, matanya penuh cinta, namun bermuram durja, dan tubuhnya sedikit terbuka. Dengan sangat jeli karena tahu cinta itu absurd. Petugas kota praja, atau tak tahu siapa, mendengungkan kabar yang sedikit melankoli bahwa jika romansa ingin langgeng, pasangan yang sedang dimabuk cinta harus mengusap dada patung Juliette. Kawan, sering kudengar kabar tentang sintingnya cinta namun baru di Juliette Balcony kubuktikan semuanya. Jutaan, ya, jutaan kekasih telah mengusap dada kanan Juliette sehingga mengilap seperti diamplas, sedang bagian tubuhnya yang lain tetap segelap perunggu. Kasihan aku melihat Juliette. Lalu para sejoli yang mabuk kepayang menulis ikrar cinta mereka. Puluhan, mungkin ratusan juta ikrar cinta dalam ratusan bahasa asing menghiasi tembok. Tembok tak cukup, mereka menulis di lantai, di bangku-bangku taman, di pilar, di tiang-tiang, bahkan di plafon. Pun Arai tak lupa, karena sudah tak ada tempat, ia menulis di kusen jendela: Arai Zakiah Nurmala. Aku menulis cinta sahabatku Jimbron dan istrinya: Jimbron loves Laksmi kutulis di tungku. Aku sendiri tak mau kalah, dekat talang air kutulis namaku, nama A Ling, dan gambar hati yang besar. Satu lagi, namaku dan Katya, tapi gambar hati-nya lebih kecil nakal sekali. Karena kejelian kota praja memanipulasi kekonyolan cinta, Verona menjadi salah satu wilayah terkaya di Italia. Blessing in disguise, berkah terselubung dari turis-turis mabuk kepayang yang sudah tak lurus lagi akalnya. Padahal banyak ahli sejarah yang meragukan apakah William Shakespeare menulis Romeo and Juliette di Verona dan pernah tinggal di rumah itu. Lebih dari itu, Romeo dan Juliette hanyalah sebuah fiksi. Pencitraan dan representasi, itulah inti persoalan di sini. Kami ingin tampil merepresentasikan Juliette. *** Di pelataran Colosseum Verona aku dan Arai mengambil pose persis patung perunggu Juliette. Seperti nasib buruk cinta Juliette, kami menjadi ikan duyung yang merana karena cinta terlarang. Ekspresi kami penuh romansa sekaligus putus asa. Sungguh suatu pertimbangan estetika yang sempurna. Dalam waktu singkat kami dikelilingi pasangan-pasangan yang sedang jatuh hati, rapat berlapis-lapis. Koin-koin Euro tumpah ruah. Bencana pun datang. Mulanya sepasang kekasih berbahasa Mandarin mendekat. Mereka sudah tak muda, barangkali empat puluh lima tahun. Keduanya tampak tergila-gila satu sama lain. Dari penampilannya, aku menduga sang pria baru saja mengakhiri jabatannya sebagai bujang lapuk dan mendapatkan kekasih melalui biro jodoh atau lewat kencan buta. Sang perempuan, mungkin sudah lima kali kawin dengan empat belas anak dan akhirnya menemukan a hve for a lifetime. Tiba-tiba, dengan satu gerakan yang sama sekali tak kuduga, perempuan itu menjangkau dan mengusap dada kananku. Aku kaget tapi tak mungkin bereaksi. Aku adalah manusia patung profesional dan Famke Somers dengan tegas berpesan bahwa manusia patung tak boleh bereaksi, meski diprovokasi sekalipun. Celaka, tindakan perempuan Tionghoa itu diikuti pasangan lainnya. Penonton menghampiri dan tanpa sungkan mengusap dadaku dan Arai seolah kami patung Juliette. Silih berganti, puluhan orang meraba dada kananku, sebagian mengusap, ada yang mencubit, bahkan meremas sambil cekikikan. Aku kesakitan, dadaku panas, merah, dan perih. Setiap kali seseorang membekapkan tangannya ke dadaku rasanya aku ingin terkencing-kencing. Pasangan kekasih tua, muda, setengah baya, homo, lesbi, hetero, satu per satu menggasak dada kami. Aku sudah tak tahan. Kulihat ekspresi Arai berubah dari putri ikan duyung Juliette yang jelita menjadi ikan duyung meringis. Sungguh besar cobaan menjadi seniman manusia patung. Akhirnya, satu jam berakhir dan kami cepat-cepat ambil langkah seribu dari Verona. Malamnya kami baru bisa tidur setelah mengompres dada dengan es. Cinta memang edan. *** MOZAIK 40: Galliano Ia lebih cantik dari segala hal yang ada di Milan. Bahkan kolibri yang meracau-racau di pucuk-pucuk sibbaldia, bungkam waktu melihatnya berlari terpantul-pantul. Ia manis seperti madu dan baru saja melompat dari Ferrari merah marun. Pintu mobilnya dibukakan seorang pria A fro-Amerika berjas lengkap dengan dasi serasi. Wajah pria itu menunjukkan kesediaan sepenuh hati mengumpankan tubuhnya sendiri pada peluru, jika ada seorang penggemar obsesif menembak majikannya. Ia berbusana serba putih. Kemeja tipisnya melayang-layang melapisi t-shirt kasual. Ia memasuki gedung dengan tulisan Why Not di atas pintunya. Apakah ia A Ling? Di Internet ia adalah Roxane Ling. Kurang jelas apakah ia pemegang saham, desainer, atau model di Why Not sebuah agensi bagi para supermodel. Aku masuk untuk menemuinya. Resepsionis menanyaiku, Apakah sudah punya janji? Belum. Gadis itu mengangkat gagang interkom. ROK, seseorang ingin berjumpa denganmu. Tak ada jawaban. Interkom ditutup. Kulirik sudut langit-langit yang dipasangi kamera-kamera CCTV. Aku tahu Roxane sedang mengamatiku. Tiba-tiba pria Afro body guard tadi datang. Bergaya sedikit over acting ia mengecek situasi. Ah, hanya seorang pria toioi yang ingin berfoto, pasti begitu pikirnya. Ia bicara pada CCTV. Ok, Babe, clear. Roxane Ling keluar dari ruangan, berjalan menghampiriku. Aku gugup karena ia sangat mirip A Ling, tapi ia bukan A Ling. Tak dapat kusembunyikan kecewaku. Lama aku berbincang dengan Roxane, ia membesarkan hatiku. Kalau yang kaucari cinta, kau akan menemukannya, bujuknya bijak. Percayalah ucapanku ini, kau akan menemukannya di Afrika. Aku merinding. Tak pernah kuberi tahu siapa pun bahwa di Internet aku menemukan seseorang yang gambaran dan namanya serupa A Ling di Zaire, Afrika. Aku menatap Roxane. Ia serius. Ia sangat yakin akan kata-katanya. Sedetik aku dikuasai keyakinannya itu. Aku percaya, tapi detik berikutnya, aku ragu. Aku mohon diri. Di ambang pintu aku menoleh pada Roxane, air mukanya tak sedikit pun berubah. Afrika, katanya pasti. *** Malam-malam di Milan kami lewatkan dengan berlindung di gereja, karena Milan ternyata kota yang berbahaya. Berbulan-bulan hidup sebagai backpacker hidup di jalanan dan tidur di sembarang tempat kami telah pandai menimbang keadaan rawan. Taman adalah tempat tidur yang paling tidak aman. Lewat tengah malam, taman-taman di Eropa menjadi sanctum bagi para psikopat. Emper toko tempat berisiko tinggi. Terminal dan stasiun jauh lebih aman. Benda yang paling berharga bukanlah uang, tapi paspor. Paspor yang dipalsukan berharga fantastik di pasar gelap, dan ke-nalan yang terlalu ramah adalah kenalan yang paling jahat. Banyak kota yang berkarakter seperti orang tua: melindungi warga seperti anak, menghormati tetangga, dan menyambut pendatang. Namun, ada pula kota yang berperangai seperti bandar judi: mencandu kemewahan, memberi kesempatan pada siapa saja untuk mempertaruhkan apa saja, lalu mencampakkan yang kalah tanpa ampun. Milan adalah kota semacam itu. Di Milan pertempuran antarimigran gelap Maroko dan India yang bersengkongkol dengan orang-orang buangan dari Balkan telah akut bertahun-tahun. Siapa pun yang berada di jalanan saat larut malam sangat mungkin celaka jika terperangkap dalam pertempuran itu. Beberapa kali aku dan Arai mengalaminya. Mereka bertarung memperebutkan pekerjaan kasar mengais sampah atau soal parkir. Dalam keadaan ini, tak ada tempat yang lebih aman selain gereja Masih di Milan, di depan sebuah butik bernama Eternita, aku tertarik menyaksikan sekelompok orang berpakaian seperti Elvis Presley. Rupanya mereka anggota klub penggemar Elvis yang berkumpul untuk meresmikan galeri memorabilia artis pujaannya itu. Aku mendatangi gedung itu. Di lobi, seorang perempuan sepuh menghampiriku. Ia menyapa dan menyalamiku. Rupanya ia pemilik klub itu. Peresmian dimulai. Seorang pria berpidato menggebu dalam bahasa Italia. Kupahami sedikit bahwa ia memuji perempuan kaya yang tadi menyapaku karena ia telah menyumbangkan rumahnya untuk dijadikan galeri. Tepuk tangan bergemuruh ketika nama perempuan murah hati itu disebut. Hadirin, tepuk tangan yang meriah untuk Andrea Gallianooooo ...! Aku terempas di atas tempat duduk. Dulu, waktu ayahku kehabisan nama untukku, aku menemukan potongan berita di majalah Aktuit tentang wanita Italia yang mengancam terjun dari tiang telepon jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Nama perempuan itu Andrea Galliano. Nama depannya itu kuambil sendiri menjadi namaku. Dengan logika apa pun tak dapat kujelaskan bahwa beberapa menit yang lalu aku baru saja bersalaman dengan Andrea Galliano. Di tempat yang sangat jauh dari rumahku, di sudut Milan, kutemukan lagi sepotong kecil mozaik hidupku. Peristiwa dengan Andrea Galliano membuatku seperti melihat cahaya yang meyakinkanku bahwa sekecil apa pun hal terjadi memang karena suatu alasan. Karena itu, aku tak ragu menuju ke Florence. Aku tahu, hal yang menakjubkan bisa saja terjadi lagi padaku di sana, tanpa pernah kuduga dari mana arah datangnya. ***
Posted on: Thu, 21 Nov 2013 04:27:04 +0000

Recently Viewed Topics




© 2015