Editorial harian MEGAPOS hari ini (Rabu,25/9): Socrates, Rambut - TopicsExpress



          

Editorial harian MEGAPOS hari ini (Rabu,25/9): Socrates, Rambut dan Rokok Antara Socrates dan rambut, kemudian sebatang rokok, tentu tidak ada hubungannya. Socrates adalah filsuf kenamaan dunia. Rambut, bagi kaum hawa merupakan mahkota. Bagi laki-laki, bisa saja ‘ia’ sebuah asesoris. Buktinya, kini dicat warna-warni. Sedangkan rokok, pada sebagian orang, konon akan menambah keren penampilan. Atau dijuluki si pejantan. Lantas apa kaitan ketiganya? Ini lah yang mesti kita selami dan cermati. Dan, kita awali dengan sosok Socrates. Siapapun tahu nama Socrates. “Sang Pembujuk dari Athena” itu, merupakan salah satu filsuf terbesar dunia yang pernah dikenal. Bagi mahasiswa Fakultas Hukum atau orang berkecimpung di dunia hukum. So, pasti kenal dengan figur yang tersohor ini. Buku karangannya menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa. Khususnya, dalam mata kuliah filsafat hukum. Yang special dari Socrates adalah dia sanggup berbuat sesuatu yang hanya segelintir pria di sepanjang sejarah mampu melakukannya. Dan kini, berabad-abad setelah kematiannya, Socrates diberi penghormatan sebagai salah satu pembujuk paling bijaksana yang pernah mempengaruhi dunia. Metodenya? Apa dia menyampaikan pada seseorang bahwa mereka itu salah? Oh, tidak, bukan Socrates, jika melakukan itu. Keseluruhan tekniknya, yang kini disebut “Metode Socrates” adalah berdasarkan npada perolehan jawaban “Ya”. Dia mengajukan pertanyaan, yang lawan bicaranya mau tak mau harus menyatakan setuju. Pada akhirnya hampir tak sadar, lawannya menerima kesimpulan yang beberapa menit sebelumnya ia sangkal dengan keras. Lain waktu, bila kita tergoda menyatakan pada seseorang bahwa dia salah, mari kita ingat si tua Socrates. Namun Cina punya juga pepatah kuno, yang disebut kebijakan dari Timur. Bunyinya: “Dia yang menapak dengan lembut akan memperoleh jarak lebih jauh.” Bangsa Cina yang berbudaya itu, telah mengumpulkan banyak sekali ketajaman tentang pandangan hidup. Kira-kira lima ribu tahun silam. Saya pun punya pengalaman, waktu masih berstatus murid SMA. Suatu hari di sekolah, kontroversi merebak antara para guru dan murid. Para murid berpandangan, memotong rambut tidak perlu terlalu dipersoalkan. Mereka kesal kalau harus memotong rambut segala. Sebagai pimpinan, kepala sekolah pasti diduga akan berteriak dan mengancam atas ketidakpatuhan para muridnya. Namun tidak, sebagai gantinya, kepala sekolah memilih untuk menyampaikan maksud secara tidak langsung. “Anak-anaku,” katanya memulai, “Kalian adalah calon pemimpin. Kalian akan jauh lebih efektif, apabila menjadi contoh. Kalian harus menjadia contoh bagi anak-anak sekolah lainnya.” Ia melanjutkan, “Kalian tahu, apa yang disebut dalam peraturan sekolah mengenai memotong rambut. Saya akan memotong rambut saya hari ini, meskipun rambut saya masih terlalu pendek untuk menjadi contoh yang baik. Kami akan mengatur waktunya untuk kalian mengunjungi tukang cukur.” Hasilnya sudah dapat ditebak. Beberapa murid mengaca di depan cermin dan pergi ke tukang cukur sore itu. Para murid menerima peraturan memotong rambut dengan tulus dan tanpa paksaan. Esoknya, kepala sekolah berkomentar bahwa dia sudah melihat pengembangan dari kualitas kepemimpinan pada sebagian murid didiknya. Meski, kepala sendiri terlanjur diplontos. Ada lagi kisah lain. Yang mengajarkan kepada saya, bahwa dengan menerima kesalahan sendiri tatkala seseorang belum mengoreksinya dapat membantu menyakinkan seseorang guna mengubah perilakunya. Suatu hari, saya memergoki putra lelaki saya yang berusia 15 tahun sedang coba-coba merokok. Waktu itu dia masih duduk di bangku SMA. Sudah sewajarnya, kalau saya tidak ingin anak saya merokok. Tapi, saya adalah perokok berat. Dan memberi dia contoh yang buruk. Saya menjelaskan kepadanya, bagaimana saya mulaimerokok pada usia yang hampir sama dengannya. Dan bagaimana nikotinnya telah merenggut yang terbaik dari diri saya. Kini, sudah hampir tidak mungkin bagi saya untuk berhenti. Saya ingatkan, betapa buruknya batuk saya dan betapa dia selalu menegur saya untuk berhenti merokok. Yang pasti, saya tahu diri. Saya tidak mendesaknya untuk berhenti merokok, mengancam atau memperingatkan tentang bahayanya. Semua yang saya lakukan adalah menunjukkan bahwa saya sudah menjadi tergantung pada rokok. Dan apa artinya hal itu bagi kesehatan saya. Dia berpikir sejenak. Lalu memutuskan untuk tidak akan merokok sampai dia telah tamat sekolah menengah. Tatkala tahun-tahun berlalu, dia tidak pernah mulai merokok. Dan tidak punya keinginan untuk melakukannya. Dia malah berkata,” Asapnya saja, saya tidak tahan. Mau muntah rasanya.” Sebagai hasil dari percakapan itu, saya sendiri kemudian membuat keputusan untuk berhenti merokok. Dan dengan dukungan keluarga, saya pun bertekad berhenti merokok. Namun, saya gagal. Hanya terhenti dalam hitungan hari. *
Posted on: Wed, 25 Sep 2013 13:12:37 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015