Ekonomi dan Bisnis, 01-10-2013 Penyelenggaraan APEC 2013 di - TopicsExpress



          

Ekonomi dan Bisnis, 01-10-2013 Penyelenggaraan APEC 2013 di Bali Waspadai Hubungan Pemerintah dan Investor Asing di Balik Skema TPP AS Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Trans Pacific Partnership (TPP) sejak 2011, dicanangkan oleh Amerika Serikat sebagai blok perdagangan yang berskala lebih luas dibandingkan dengan blok ekonomi-perdagangan Asia Pasifik ala APEC atau Free Trade Area for the Asia Pacific Agreement di abad 21. Yang menjadi isu strategis yang diusung Amerika adalah Intellectual Property Right (IPR), Electronic Commerce dan Cross border data flow (Arus informasi lintas negara), Badan Usaha Milik Negara (State owned Enterprise), dan akses pasar bagi produk-produk tekstil dan garmen. Karena itu, gagasan utama yang mendasari disusunnya skema TPP AS adalah kebijakan proteksi terhadap aset-aset ekonomi dan produk-produk Amerika dalam persaingannnya dengan negara-negara lain. Terutama dengan Cina yang dipandang Washington sebagai pesaing utama di ranah ekonomi dan perdagangan. Khususnya dalam merebut pengaruh dan pangsa pasar di kawasan Asia Pasifik. Tak heran jika The United States Trade Representative (USTR) hanya bersedia membuka akses pasar kepada beberapa negara kepada beberapa sekutunya yang sepertinya setuju dengan skema TPP AS seperti Selandia Baru, Malaysia, Brunei dan Vietnam. Dan tentu saja kepada Meksiko dan Kanada yang selain sudah menjalin ikatan dengan Amerika terkait TPP, juga merupakan sekutu strategis AS sejak era Perang Dingin. Adapun Selandia Baru, Malaysia, Brunei dan Vietnam, negara-negara tersebut saat ini menaruh kekhawatiran yang amat kuat terhadap semakin menguatnya Cina di ranah ekonomi-perdagangan dan bahkan juga di bidang pertahanan. Sedangkan Australia, meski dikenal sekutu Amerika dan Inggris, dalam soal kebijakan ekonomi, nampaknya belum dianggap cukup solid mendukung skema TPP AS. Buktinya, Washington menutup akses pasar bagi ekspor gula Australia ke negara paman Sam. Aspek lain yang ditekankan Amerika melalui skema TPP adalah, penekannya pada hubungan dan kerjasama bilateral antar negara, dan menghindari kesepakatan-kesepakatan strategis melalui forum multi-lateral. Sehingga bisa menekan negara mitra dialognya baik secara offensive maupun defensive dalam rangka mengamankan kepentingan-kepentingan strategis perdagangan Amerika. Karenanya, salah satu isu krusial dalam beberapa perundingan antar negara-negara anggota TPP adalah: Soal pengaturan akses pasar bagi negara-negara TPP. Apakah direalisasikan lewat atas dasar kerangka pasar bersama (Common Market Access) antar sesama negara-negara anggota TPP, atau disepakati lewat kerjasama bilateral antara Amerika dan masing-masing negara anggota TPP terkait akses pasar (The Market Access Architecture). Menghadapi skema AS tersebut, beberapa negara lebih cenderung menerapkan kesepakatan Pasar Bersama yang tentunya kesepakatan yang dibangun berdasarkan kesepakatan yang bersifat multilateral. Sehingga kesepakatan strategis berlaku bagi semua negara-negara anggota TPP. Akar penyebab dari tidak mulusnya skema TPP AS tersebut karena Amerika pada dasarnya menggunakan skema TPP ini untuk melindungi atau menerapkan kebijakan proteksi terhadap sektor-sektor sensitif seperti Gula dan susu, gandum dan daging. Bisa dipahami jika Amerika sangat berkepentingan untuk mengamankan kebijakan-kebijakan perekonomian di sektor pertanian dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Beberapa sumber Global Future Institute menginformasikan bahwa USAID banyak merekrut lulusan-lulusan perguruan tinggi ternama di Indonesia dari fakultas Pertanian, untuk direkrut sebagai konsultan pertanian untuk melayani kepentingan-kepentingan strategis pertanian Amerika di Indonesia. Selain itu, asosiasi-asosia pebisnis di sektor industri dan jasa di Amerika, juga punya pertaruhan yang cukup besar di negara-negara kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, mengingat Cina semakin menguatnya pengaruh Cina yang saat ini semakin mengimbangi pengaruh Jepang dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Maka dari itu kepentingan-kepentingan para pebisnis di sektor industri dan jasa, pada perkembangannya akan menghadapi resistensi dari kalangan kelompok-kelompok perburuhan, lembaga-lembaga konsumen, dan kelompok-kelompok anti globalisasi yang memandang isu globalisasi identik dengan kolonialisme dan imperialisme terselubung. Karena itu, Global Future Institute merasa perlu mengingatkan para stakeholders kebijakan perekonomian nasional untuk mewaspadai salah satu isu krusial dari skema TPP tersebut yaitu: Pertikaian Hukum antara Pemerintah dan Investor Asing. Apalagi jika kemungkinan pertikaian tersebut berkaitan dengan akses air minum, pembangunan tambang di wilayah-wilayah yang melibatkan adat-istiadat setempat yang masih dianggap sacral (Indigenous sacred sites), larangan penggunaan bahan-bahan kimia., maupun peringatan kesehatan bagi para perokok (Health Warnings on cigarette packages). Apalagi ketika kenyataan saat ini isu pertikaian pemerintan dan investor asing tidak lagi sebatas di kalangan negara-negara yang tergabung dalam The North American Free Trade Agreement (NAFTA). Melainkan isu ini sudah meluas menjadi fenomena global, karena saat ini setidaknya ada 80 negara yang amat berkepentingan untuk memperjuangkan kesepakatan yang adil antara pemerintah dan investor asing. Sepertinya TPP ini bagi AS memang amat penting dan vital. Terbukti bahwa TPP ini dirancang berdasarkan gagasan membangun kemitraan lintas pasifik untuk membentuk kemitraan strategis di bidang ekonomi, yang nampaknya akan dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan kerjasama ekonomi yang semakin erat di bawah skema Pacific Agreement on Closer Economic Relations (PACER Plus). Nah melalui skema TPP maupun PACER Plus, masalah krusial yang patut diwaspadai adalah tentang hubungan antara pemerintah dan investor asing. Karena bukan tidak mungkin, agenda-agenda tersembunyi 600 korporasi AS akan menanam pengaruhnya melalui kesepakatan-kesepakatan hukum yang dibuat dengan negara-negara anggota TPP. Salah satu klausul yang harus diwaspadai adalah, kika terjadi pertikaian hukum antara pemerintah dan investor asing, pihak investor asing menolak untuk merujuk pada produk hukum nasional negara di mana pihak investor tersebut mengelola bisnisnya, melainkan akan memaksakan penyelesaian hukum melalui Badan Arbitrase Bisnis Internasional. Pada posisi tersebut, negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang akan terjerat dalam kesepakatan semacam ini, bisa dipastikan berada dalam posisi yang sangat lemah dan tidak berdaya.
Posted on: Wed, 02 Oct 2013 00:46:34 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015