FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI INDONESIA (Prespektif Gereja - TopicsExpress



          

FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI INDONESIA (Prespektif Gereja Katolik) Bertholomeus Bolong,OCD* Abstrac: Formalization discourses on Syariat Islam in Indonesia today, has called for serious discussions from the different categories of people. And various opinions have been put forward, either pro or con. Differences in opinion are normal fact, because ??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????? religious life in Indonesia, admitted and protected by the law and constitution. As a part of Indonesian society, Catholic people are called to give their opinion or ideas. ???????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????? religious life in Indonesia. Kata-kata Kunci: Formalisasi, Syariaat islam, gereja katholik. I. Pendahuluan Mencuatnya keinginan masyarakat muslim di tanah air untuk menerapkan syariat Islam merupakan gejala yang menarik untuk diamati, bukan hanya dalam hal penerapan bersifat teknis, melainkan dalam mengungkapkan dimensi yang hilang dalam wacana syariat Islam bagi umat muslim. Setidaknya terdapat ruang yang lebar untuk memahami kembali syariat Islam yang selama ini hanya identik dengan istilah ’Penerapan dan formalisasi” (tathbiq)1. Arus reformasi dan demokratisasi yang menghembus *Bertholomeus Bolong, OCD, adalah seorang Pastor. Bertugas sebagai Rektor Rumah Bina Seminari Tinggi Biara Karmel Tidak Berkasut Yogyakarta. Sekarang sedang menyelesaikan studi doctor pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1 Zuhairi Misrawi, Tafsir Humanis atas Syariat Islam, Artikel: 9 Januari 2007. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 147 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … dahsyat pasca totalitarianisme Orde baru telah mengilhami keterbukaan dan kebebasan untuk mendiskusikan wacana keagamaan yang selama ini ada dalam keterkungkungan. Hal tersebut dimaklumi sebagai sebuah proses yang wajar untuk mencapai pemahaman yang otentik. Hanya saja dalam kaitannya dengan syariat Islam, bukanlah hal yang sepele. Ini dikarenakan: pertama, perdebatan syariat Islam bukan wacana baru, akan tetapi merupakan beban sejarah yang sampai detik ini belum tuntas, sewaktu-waktu akan menjadi bom yang siap meledak dan sekaligus menjadi hambatan terciptanya wacana kebangsaan yang kukuh. Kedua, adanya pemahaman yang artifisialistik dan reduksionis, tatkala syariat Islam dipersempit pada aras ketentuan- ketentuan hukum yang kaku dan rigit, sehingga yang mengemuka wajah terseram yang menampilkan cover terburuk dari syariat Islam. Ketiga, kecendrungan memahami syariaat islam sebagai solusi dan jalan hidup yang bersifat totalistik (qath’i), tanpa mempetimbangakan aspek historisitas dan kontekstualitas, sehingga berakibat pada pendangkalan nilai-nilai universal syariat Islam yang sejatinya menghidangkan menu kearifan, kedamaian, keadaban dan pandangan hidup yang dinamis2. Ketiga hal tersebut dapat dijadikan titik tolak untuk menyingkap tirai syariat Islam yang masi misterius dan tidak memiliki performance yang jelas. Di samping secara tegas masi terdapat kontradiksi antara nilai-nilai ideal agama yang mengajarkan keseimbangan, keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan dengan penerapan syariat dalam tataran praktis yang meniscayakan permusuhan dan pemutusan dengan yang non-muslim, kekerasan dan pemberlakuan hukum yang hegemonic bahkan tidak humanis3. Tulisan ini merupakan sorotan khusus gagasan formaslisasian syariat Islam dari sudut pandang katholik. Apa yang diuraikan dalam tulisan ini bukan merupakan pendapat umum atau sebagai perwakilan masyarakat katholik Indonesia, tetapi merupakan sebuah pandangan pribadi yang dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk dialog tidak langsung dan dapat juga menjadi wacana untuk menjadi bahan diskusi.. II. Syariat agama Islam Islam bukan sekadar agama dalam pengertian ritual. Islam bukan hanya aturan cara menyembah Allah. Islam adalah Addin4. Din al-Islam di dalam bahasa Arab berarti Undang-undang (nidhamul hayah), tatanan 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Charles Le Gai Eaton. 2000. Menghampiri Islam,Terj: Satrio Wahono. (Jakarta: Serambi). hal.284. 148 Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … atau sistim untuk mengatur hidup manusia. Di dalam AlQur’an Allah menyatakan’”waradhitu lakumul Islamadina” (aku ridha Islam sebagai Din bagimu). Artinya Islam sebagai undang-undang atau peraturan hidup5. Di dalam AlQur’an terdapat kalimat Dinul Malik, maksudnya bukan agama raja, tetapi undang-undang raja untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Karena itu Islam tidak hanya mengajarkan tatacara menyembah, tatacara shalat, zikir6. Islam juga mengatur tatacara perkawinan, mulai dengan cara melamar calon istri/suami, bagaimana cara dalam pergaulan, hak suami dan isri, perceraian, hidup berdamai dengan yang non-muslim, cara mengatur negara, menyelenggarakan pemerintahan, dan lain-lain7. Semua peraturan, hukum, atau tatacara keagamaan sebagai pedoman kehidupan umat muslim itu disebut syariat. Apa makna syariat itu bagi seorang muslim? Tiga buah ayat berikut ini cukup memadai kita jadikan sebagai rujukan untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan syariat menurut sorotan ayat –ayat AlQur’an. “Dan kami telah turun kepada mu AlQur’an dengan membawa kebenaran membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kamu berikan aturan dan syariat (jalan) yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja) tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu8. (AlQur’an, 5:48). “Dia telah mengsyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kamu wahyukan kepadamu dan apa yang telah kamu wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Allah menarik kepada agama itu orang-orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada agamaNya orang-orang yang kembali kepadaNya (AlQur’an 42:13)9.” “Kemudian kami jadikan kamu berada di atas satu syariat (peraturan) dari urusan agama, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti 5 Muhamad Ali. 2003. Teologi Pluralis Multi Kultural, (Jakarta: Kompas), hal, 102. 6Ibid. 103. 7 Forum Swara muslim.net., Diskusi Politik Siyasah Ekonomi, Desember 2006. 8 H.Nadri Saaduddin,Syariat Islam Pemahaman dan Penerapannya, Artikel:30 Agustus 2006. 9Ibid. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 149 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui 10 “ (AlQur’an 45:18). Dari ketiga ayat AlQur’an di atas dapat digeneralisir bahwa syariat bisa diartikan dengan “jalan yang ditempuh umat beragama”, baik itu dari kalangan umat Islam, umat Kristen, atau umat beragama lainnya. Syariat Islam berarti “jalan yang dilalui dan ditempuh oleh umat islam”. Secara jelas AlQur’an menyebutkan bahwa masing-masing agama samawi telah memiliki syariatnya sendiri11. Syariat Islam merupakan ajaran Islam yang membicarakan amal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah. Setiap syariat atau jalan yang dilalui oleh setiap pemeluk agama, selalu dalam bingkai ajaran agama yang bersangkutan. Demikian pula kalau berbicara tentang syariat Islam, tidak bisa keluar dari ajaran Islam. Menerapkan syariat islam berarti mengamalkan syariat Islam. Pada tahap ini hendaklah dibedakan antara syariat Islam, pemahaman terhadap syariat Islam, dan implementasi terhadap pemahaman syariat islam itu sendiri. Tiga kerangka pokok pikiran Islam ini hendaklah dipahami dan dimengerti sebelum berbicara tentang penerapan syariat. Di sini juga kita akan melihat adanya perbedaan yang sangat mendasar antara syariat, fikih, dan tathbiku ahqamil fiqh. Syariat murni Ilahi adalah wahyu dan berasal dari Tuhan, sedangkan fikih dan tahbiqu ahkamil fikih bersifat manusiawi. Syariat murni berasal dari Tuhan dan absolut. Sedangkan fikih dan tathbiqu ahkamil fiqh seutuhnya dari manusia dan itu bersifat relatif. Syariat tidak akan perna salah. Sedangkan fikih dan tathbiku ahqamil fikih sering salah kapra, banyak salah, kebablasan atau bahkan salah sama sekali12. Karenanya penerapan terhadap pemahaman syariat Islam yang dinamakan fikih itu tak lain adalah satu penerapan pandangan manusia yang penuh dengan keterbatasan terhadap ajaran syariat Islam yang mutlak dan absolut. Penerapan terhadap fikih inilah yang diistilahkan dalam ilmu fikih dengan tathbiqu ahkamil fiqh (penerapan terhadap hukum-hukum fiqih)13. Fikih adalah hasil kreasi dari penalaran manusia yang bertujuan memahami syariat yang sarat dengan nuansa perbedaan dan pergulatan terus menerus sepanjang zaman. Berbeda dengan syariat yang tunggal dan tetap dalam satu agama yang termaktub dalam kitab suci, maka fikih terbagi dalam banyak aliran dan mazhap. Ada mazhab syafi’iyah, hanafiyah, Malikiah, Hambaliyah, Dzahiriyah, Jafariah, dan sebagainya14. Baik syariat maupun fikih yang terbagi dalam aliran dan mazhap itu, semua pengalaman dan penghayatannya tetap terbagi dalam tiga aspek 10Ibid. 11 Syariat Islam, http:/id.wikipeda.org/wiki/Syaria_Islam, 31-1-2007. 12Ibid. 13Ibid. 14Ibid. 150 Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … yakni iman ,Islam dan insani15. Dan pada gilirannya ketiga aspek tersebut mewujudkan tiga macam orientasi keagamaan dalam epistemology Islam. Memang pada masa Nabi Muhamad dan para sahabatnya belum begitu terasa hal yang demikian, sebab pada masa itu kaum muslim masi merupakan satu masyarakat etis yang berlandaskan doktrin-doktrin yang jelas tentang Tuhan dan hari akhir serta kewajiban-kewajiban keagamaan yang praktis16. Tetapi setelah kegiatan intelektual dan perkenalan dengan cara-cara pembahasan filosofis semakin meningkat, mulai terasa pembidangan baik pemahaman, pengalaman, maupun penghayatan islam di kalangan kaum muslim17. Dalam pandangan Islam, semua nilai-nilai islam dalam bentuk apapun, akan lebih efektif dijalankan kalau menggunakan kekuasaan negara, dengan formalisasi nilai -nilai Islam dalam undang-undang18. Hal ini sudah dijalankan sejak zaman Nabi Muhammad dan diteruskan sampai sekarang pada beberapa negara penganut mayoritas muslim di dunia. Sedangkan di Indonesia, meskipun negara mayoritas muslim, formalisasi syariat islam secara utuh melalui undang-undang masi merupakan gagasan yang terus diperjuangkan oleh sebagian masyarakat muslim. III. Hubungan Agama dan Negara di Indonesia Indonesia bukanlah Negara agama, melainkan Negara beragama atau berketuhanan. Negara memberi kebebasan dan menjamin setiap warga untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menegaskan:” Negara berdasarkan atas Ketuhahan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu”19. Dalam praktek keagamaan atau kepercayaannya itu setiap umat beragama berjalan secara bebas tanpa takut, dan tanpa dipaksa oleh pihak manapun. Sebagaimana yang dituangkan dalam UUD 1945 pasal 28E: ayat 1 dan 2 :” setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran……………Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”20. Berdasarkan ayat ini maka kalau ada 15 IstiQro, Jurnal Penelitian Islam Indonesia, Diterbitkan Diterktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Jakarta,Vol. 03, No.01, 2004, hal. 50-51. 16Ibid, hal. 54-56. 17 Abdurahman Wahid, at.al. 1994. Moralitas pembangunan. (Yogyakarta: LKPSM). hal.23. 18 James Turner Johnson. 2002. Ide Perang Suci. (Yogyakarta: Qalam). hal. 211 -214. 19 Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Amandemennya,(Surakarta: pustaka Mandiri, 2004), hal. 42. 20Ibid. 44. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 151 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … kelompok yang menakut-nakuti atau memaksakan keyakinannya kepada pihak lain merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang- undang. Setiap umat atau kelompok keagamaan wajib saling menghormati kelompok agama atau umat keprcayaan lain. Menghormati perbedaan dan saling bekerja sama atau berdialog dalam kesamaan. Adalah tidak benar jika salah satu kelompok agama tertentu melarang atau menghambat kelompok agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasa 28F ayat 1 dan 2 yang menegaskan: “setiap orang wajib menghormati hak azasi orang lain dalam tertip kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setip orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertipan umum dalam satu masyarakat demokratis”21. Rumusan sila pertama pancasila dan pasal 29 UUD 1945 ayat 1 memberikan sifat yang khas pada negara Indonesia, bukan negara sekuler yang memisahkan negara dan agama dan bukan pula negara yang berdasarkan atas agama tertentu22. Negara pancasila menjamin kebebasan beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur dari setiap warga negara berdasarkan nilai-nilai pancasila. Dalam negara pancasila, agama dan nasionalisme berkembang dan didukung oleh negara. Negara pancasila mampu menyatukan beragam kelompok yang bertentangan. Sebagai kompromi politik, negara mendukung perkembangan agama sebagai agama negara. Dengan negara pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistim hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan prespektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti penyediaan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkahlaku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Itu karena negara pancasila adalah negara non-sektarian, bukan non-religius. Dengan demikian Indonesia tidak perlu menjadi negara sekuler dalam arti pemisahan total antara agama dan negara, atau negara yang hidup berdasarkan atas dasar idiologi agama tertentu. Dengan negara pancasila, ciri-ciri negara sekuler seperti kebebasan beragama, kewarganegaraan, demokrasi, pluralisme, multikulturalisme, anti komunalisme, antisektarianisme, 21Ibid 39. 22 M.Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultural. (Yogyakarta: Pilar Media). hal. 34-35. 152 Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … dan anti diskriminasi dapat diterapkan23. Ciri-ciri positif negara relegius seperti pembangunan moral agama juga didukung oleh negara sejauh tidak bersifat diskriminatif dan dalam kerangka menjaga kemaslahatan seluruh warga negara. Karena pancasila sudah terbukti menjamin kerukunan dan kekukuhan bangsa dan di dalamnya terkandung makna kebebasan beragama, maka pancasila tidak boleh diganti oleh kekuatan politik, atau idiologi manapun. Fatwah MUI di Ponorogo akhir Mei 2006 menegaskan kembali perlunya pancasilan dan NKRI jadi prinsip negara Indonesia. Pancasila tiada lain adalah rumusan Indonesia untuk kehidupan negara yang berketuhanan. Rumusan itu ditegaskan pasal- pasal UUD 1945. Dalam kaitan dengan Islam sebagai kelompok agama mayoritas, walaupun tujuh kata Piagam Jakarta ditiadakan dalam pembukaan, hukum Islam tetap diakui sebagai salah satu sumber hukum nasional karena telah hidup di tengah masyarakat Indonesia24. Umat Islam sebagaimana umat beragama lain di Indonesia sejauh tidak mengganggu kelompok lain dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan pancasila, diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menghayati ajaran keagamaannya secara utuh, tanpa dihalang-halangi oleh kelompok manapun termasuk oleh negara. Hadirnya Tuhan yang Maha Esa yang aktif dan sumber energi ini dalam sanubari setiap masyarakat Indonesia , apa lagi pemimpin dan para elite, penting untuk melestarikan dan melipatgandakan perjuangan untuk merealisasikan kemanusiaan yang adil dan beradab, untuk melestarikan persatuan bangsa, untuk melaksanakan musawara dalam hikmah kebijaksanaan perwakilan dan untuk menegakan keadilan sosial bagi segenap rakyat Indonesia25. Berkaitan dengan kebebasan beragama serta hubungan Negara dan agama, Gereja Katholik, sebagaimana tercantum dalam Dokumen Konsili Vatikan II, melihat bahwa dalam masyarakat manusia dan terhadap pemerintahan manapun gereja menuntut kebebasan sebagai kewibawaan rohani yang ditetapkan Kristus Sang Nabi dan yang atas perintah Ilahi bertugas pergi keseluruh dunia mewartakan Injil kepada semua makluk. Begitu gereja mengutarakan haknya atas kebebasan, sebagai masyarakat manusia juga yang berhak hidup dalam masyarakat menurut kaidah-kaidah iman kristiani26. Umat katolik mendukung sepenuhnya setiap umat beragama di Indonesia untuk beribadat menurut agama dan keparcayaannya. Dengan demikian jika ada sekelompok orang katolik melakukan tindakan 23Ibid. 45. 24 Bustanuddin Agus. Bahaya Sekularisasi Pancasila, mui.id_in / article, 26 Juni 2006. 25Ibid. 26 Hardawirayana, S.J.(Terj). 1993. Dokumen Konsili Vatikan II,. Jakarta: Obor. hal.383. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 153 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … untuk menakut-nakuti, melarang, menfitnah kelompok agama lain dalam menjalankan ibadat keagamaan, maka hal itu tidak hanya menurut undang- undang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, tetapi lebih dari itu, bagi seorang katolik, hal itu merupakan perbuatan dosa, karena dia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran imannya, yang menjunjung tinggi kebebasan setiap manusia untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Gereja berpandangan bahwa di bidang masing-masing, agama dan negara bersifat otonom tidak saling tergantung. Demikian pula berdasarkan tugas maupun wewenangnya agama sama sekali tidak dicampuradukan dengan negara dan tidak terikat pada sistim politik manapun. Agama menjadi tanda dan sarana perlindungan transendensi manusia. Namun keduanya kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelayanan itu akan semakin efektif oleh keduanya demi kesejahteraan umum, kalau keduanya menjalin kerja sama yang sehat Agama sebagai sebuah institusi juga menuntut supaya dimana-mana hendaknya diperbolehkan dengan kebebasan yang sejati mewartakan iman, menyampaikan ajaran sosialnya, menuaikan tugasnya dalam masyarakat, tanpa dihalang-halangi dan menyampaikan bila itu dituntut oleh hak-hak azasi manusia demi kesejahteraan semua orang27. Dalam masyarakat yang mejemuk seperti Indonesia, gereja menyadari bahwa setiap agama mempunya pandangan yang berbeda tentang hubungan antara agama dan negara. Perbedaan itu tidak hanya dalam gagasan atau doktrin, tetapi juga wujud dalam kehidupan umat beragama itu sendiri baik secara perorangan maupun kolektif. Gereja menghormati sepenuhnya perbedaan itu, karena hal itu ekspresi dari keyakinan setiap agama yang harus di hormati, sejauh hal itu tidak merugikan orang atau kelompok lain dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan dasar negara Pancasila. IV. Formalisasi Syariat Islam Prespektif Gereja Katolik Kebebasan dalam menjalankan praktek iman keagamaan, merupakan hak azasi dari semua penganut agama dan kepercayaan di Indonesia. Kebebasan itu dijamin undang-undang, sehingga kelompok agama manapun , baik secara pribadi maupun bersama-sama, kapan dan dimanapun, bebas melakukan ritual keagamaannya tanpa ada unsur paksaan dan tekanan. Meskipun merupakan bagaian dari hak azasi dan dijamin oleh undang-undang, namun setiap penganut agama dalam menjalankan hidup keagamaanya, tetap harus memperhatikan kebebasan dan hak azasi penganut agama dan kerpercayaan lain. Praktek keagamaan itu tidak merugikan atau mengganggu pihak lain dan tidak bertentangan dengan 27Ibid. 386. 154 Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … undang-undang serta dasar negara pancasila. Membatasi orang lain dalam menjalankan praktek keagamaan, memaksa umat beragama lain untuk melakukan praktek keagamaan yang bukan agama atau kepercayaannya, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak azasi manusia , serta menodai ajaran agama itu sendiri. Tentang kebebasan beragama, Gereja Katolik dalam konsili Vatkan II menegaskan bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus bebas terhadap paksaan dari pihak orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial dan kuasa manusiawi manapun juga, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun bersama-sama , baik sendiri maupun di muka umum. Selain itu konsili menyatakan, bahwa hak atas kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat28. Gereja menegaskan pula, semua kebebasan harus didasari azas moral , tanggung jawab pribadi dan sosial. Dalam memakai hak-haknya, setiap orang, baik secara pribadi maupun kelompok sosial, diwajibkan oleh hukum moral untuk memperhitungkan hak-hak orang lain, dan kewajipannya sendiri terhadap orang lain, maupun kesejahteraan umum semua orang. Semua orang harus diperlakukan menurut keadilan dan perikemanusiaan29. Wacana formalisasi syariat Islam di Indonesia akhir-akhir ini, dalam kaitan dengan kebebasan beragama, merupakan sebuah wacana yang perlu diberi kajian yang mendalam dan seimbang. Sangatlah pasti bahwa respon dan analisis masing-masing pribadi atau kelompok masyarakat beragama akan berbeda-beda. Bagi sebagian kaum muslim, gagasan syariat islam merupakan ungkapan dari suatu keinginan yang sudah lama terpendam, dan diharapkan keinginan untuk mengformalisasikan syariat Islam di Indonesia sungguh terwujud. Sedangkan untuk sebagian besar kelompok non muslim, melihat gagasan itu sebagai keinginan dari umat Islam yang secara tidak terus terang mau menjadikan negara Indonesia dibangun berdasarkan hukum Islam. Antara keinginan dan kekewatiran dari dua golongan atau kelompok agama yang berbeda itu dalam konteks tertentu sama-sama mengandung unsur kebenaran. Bagi golongan muslim, merupakan haknya untuk membangun suatu bentuk kehidupan umat muslim di Indonesia berdasarkan jalan Islam, karenanya adalah tidak tepat jika ada kelompok kepercayaan atau agama lain manapun yang melarang umat Islam untuk menghayati ajaran islam secara utuh di tanah air indonesia ini. Sedangkan dari golongan 28Ibid. 392-393. 29Ibid. 395-396. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 155 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … non-muslim berpandangan bahwa formalisasi syariat Islam di negara yang plural atau mejemuk seperti Indonesia ini adalah suatu hal yang mengancam kesatuan dan persatuan bangsa dan merupakan suatu gagasan yang bertentangan dengan undang-undang dan dasar negara panasila. Untuk menghadapi pandangan-pandangan yang berbeda dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang menjemuk ini, Gereja Katolik tetap setia berpegang pada kebenaran Injil, dengan mengikuti jalan hidup Kristus dan ajran para rasul dalam mengakui dan mendukung azas kebebasan beragama sebagai prinsip yang selaras dengan martabat manusia . Ajaran yang diterima dari Kristus dan para rasul oleh gereja dipelihara dan diteruskan sepanjang masa. Dengan prinsip bahwa setiap umat beragama bebas menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaanya masing- msing30. Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang terdiri dari kelompok agama yang berbeda-beda, setiap pemeluk agama harus saling menghormati. Kebebasan menjalankan ajaran agama masing-masing dijamin undang-undang. Karenanya dalam kaitan dengan formalisasi syariat Islam di Indonesia, Gereja katolik yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, menghormati sepenuhnya. Syariat adalah jalan yang dilalui oleh setiap umat beragama. Syariat Islam berati jalan yang dilalui oleh umat Islam. Gereja katolik menghormati sepenuhnya umat islam untuk berjalan pada jalan yang sesungguhnya menurut ajaran Islam, sebagaimana umat islam juga menghormati sepenuhnya umat beragama lain termasuk katolik untuk berjalan pada jalan yang sesungguhnya menurut agama dan kepercayaannya. Setiap pemeluk agama harus saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain. Jadi kebebasan itu kebebasan yang tidak meremehkan atau melecehkan kebebasan orang lain. Batas kebebasan adalah kebebasan orang lain. Gereja katolik memiliki pandangan bahwa asal tuntutan-tuntutan ketertiban umum yang adil jangan dilanggar, jemaat-jemaat itu berhak atas kebebasan, untuk mengatur diri menurut kaidah-kaidah mereka sendiri, untuk menghormati kuasa Ilahi yang tertinggi dengan ibadat umum, untuk membantu para anggota mereka dalam menghayati hidup keagamaan serta mendukung mereka dengan ajaran dan untuk mengembangkan lembaga- lembaga tempat para anggota bekerja sama untuk mengatur hidup mereka sendiri menurut azas-azas keagamaan mereka31. Sebagaimana dikatakan terdahulu bahwa syariat adalah jalan. Syariat Islam berarti jalan bagi umat islam. Jika syariat dimengerti sebagai jalan, maka semua ajaran atau nilai agama baik yang terdapat dalam Kitab Suci 30 Huub J.W.M. Boelaars. 2005. Dari gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. (Yogyakarta: Kanisius), hal. 33. 31Ibid. 32-33. 156 Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … seperti Injil dan AlQur’an, maupun yang bukan kitab suci seperti dalam Islam hadits sedangkan dalam katolik ajaran magisterium dan tradisi, semuanya merupakan jalan atau petunjuk bagi masing-masing penganut agama yang bersangkutan dalam hidup dan berelasi dengan dunia dan sesamanya. Dan karena agama sebagai sebuah institusi yang memiliki nilai dan ajaran serta merupakan jalan atau syariat bagi setiap pemeluknya diakui dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945, maka sebenarnya syariat agama-agama yang diakui di Indonesia sudah diformalisasikan dalam undang-undang. Dalam konteks demikian kehendak dari sebagian umat muslim untuk mengformalisasikan syariat Islam di Indonesia sebenarnya tidak perlu, sebab syariat islam sudah diformalisasikan, sebagaimana juga syariat agama-agama lain. Bentuk formalisasi itu adalah bahwa negara telah memberi kebebasan yang sebesar-besarnya untuk tiap umat beragama untuk menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing, dan dalam penghayatan keagamaan itu dilindungi undang-undang. Tuntutan untuk mengformalisasikan hanya satu agama tertentu dalam undang-undang, merupakan sesuatu yang bertabrakan dengan pancasila dan undang-undang dasar negara 1945 itu sendiri, yang di dalamnya terkandung bahwa negara Indonesia bukanlah negara agama, tetapi negara berketuhanan. Karenanya negara kesatuan republik Indonesia harus tetap berpancasila dan tidak bersyariat, demi kepentingan interen umat beragama itu sendiri yang berbeda-beda paham dan interpretasi mengenai syariat, maupun demi menjauhkan perpecahan dan konflik antar agama, yang selama ini hidup rukun dan damai. Memang menjalankan syariat Islam dengan undang-undang negara sebagai alat adalah keyakinan Islam. Sebagaimana Nabi Muhamad memberikan contoh cara mengamalkan Islam yang benar, yaitu harus dengan kuasa Negara32. Namun keyakinan islam itu tidak berlaku universal. Keyakinan itu hanya berlaku bagi kelompok islam sendiri, dan itu semua terkandung dalam hukum islam. Sedangkan pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara Indonsia terikat untuk semua warga negara. Setiap warga negara wajib taat terhadap hukum atau undang-undang tersebut. Kerenanya mengformalisasikan syariat Islam merupakan sesuatu yang pada prakteknya bisa melahirkan pemaksaan, intimidasi dan kekerasan yang bertetangan dengan hak azasi manusia, pada akhirnya akan mendatangkan konflik dan bisa berakibat pada perpecahan bangsa. Syariat Islam yang mengajarkan tentang kedamaian, kerukunan, ketenteraman, kesejahteraan dan keselamatan itu, justru akan menjadi pembawa kekacauan, penderitaan dalam segala aspek kehidupan bangsa dan masyarakat penganutnya.. Situasi zaman nabi berbeda dengan kehidupan berbangsa zaman 32 Kunto Wijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk aksi. (Bandung:Mizan,1991). hal. 208-210. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 157 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … ini. Sangat mungkin bagi nabi pada zamannya untuk mengformalisasikan nilai-nilai atau idiologi agama sebagai undang-undang, karena dalam satu negara hidup satu agama saja. Konteks zaman ini dimana dalam satu negara hidup masyarakat yang memiliki keyakian yang berbeda, adalah tugas para pengikutnya untuk merefleksikan ulang dan menerapkannya sesuai dengan situasi dan konteks zamannya. Dengan mengkontektualisasikan apa yang dilakukan nabi sesuai dengan situasi zaman ini, nilai Islam akan benar-benar membawa penganutnya kepada kedamaian dan kesejahteraan di bumi dan di akhirat. Agama mengajarkan kepada penganutnya untuk hidup adil, rukun, damai, saling menghormati, menjauhkan kekerasan, mengedepankan perdamaian dan kasih. Untuk itu dalam penghayatannya meskipun adalah hak setiap penganut agama serta dijamin undang-undang, namun kalau praktek keagamaan kita membawa ketidakpuasan, kekecewaan, ketakutan kelompok agama lain, maka untuk menjaga kerukunan dan kedamaian, persatuan dan kesatuan, kehendak atau keinginan dan juga tata cara praktek keagamaan kita itu harus diperbaiki agar benar-benar membawa kedamaian serta kerukunan bagi semua orang. Kalau kita melihat dari reaksi umat islam terhadap gagasan formalisasi syariat islam di Indoneisa , haruslah diaukui bahwa gagasan syariat Islam, bukan merupakan lahir dari kehendak seluruh masyarakat muslim Indonesia. Sebagian umat Muslimin Indonesia berkeinginan tetap berpegang pada Pancasila dan UUD 1945. Lagi pula tidak perna terjadi kata sepakat dalam umat islam masa kini tentang syariat Islam itu sendiri kecuali dalam kasus terbatas33.Terlalu banyak salah pengerian, serta kepentingan-kepentingan kelompok atau golongan yang menutup nilai positif syariat islam sehingga justru menjadi beban bagi Islam sendiri. Ketertinggalan dan keterbelakangan umat Islam di berbagai belahan dunia Islam sebenarnya merupakan penyulut semangat umat Islam untuk mencari model terbaik untuk merengguk kekayaan yang hilang pada beberapa abad yang terakhir ini, sehingga tidak ayal apabila seruan yang menggema, yaitu “Islam sebuah alternative”, “Menegakan syariat Islam”, “Mendirikan Negara Islam, dan lain-lain34. Setidaknya hal tersebut membentuk nalar kolektif yang mempengaruhi struktur pemikiran keislaman di tanah air. Situasi politik dan pertumbuhan ekonomi yang terseok-seok di tanah air juga kerapkali dianggap sebagai konsekwensi dari penjauhan diri dari ajaran Islam. Karenanya, reaksi oposional yang dilakukan pro- penerapan syariat Islam adalah bahwa menegakan syariat Islam dengan mengformalisasikannya dalam undang-undang merupakan jalan terbaik 33 Lina Dahlan (Linadahlan@....) asep mara utlckbdg@.... Ikut Nimbrung, syariat Islam sebagai Wacana. 34Ibid. 158 Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … untuk membebaskan bangsa Indonesia dari situasi politik dan kemiskinan yang morat-marit itu. Indonesia sebagai Negara berketuhanan, nilai-nilai agama memang perlu menjadi jiwa atau spirit dalam pembangunan. Nilai-nilai agama perlu menjiwai seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupannya sebagai warga negara. Agama dalam hal ini menjadi pedoman dalam nilai-nilai etik dan moralnya. Tetapi sebagai negara yang multi agama hal itu tidak harus dengan mengformalisasikan agama tertentu melalui undang-undang. Bukan pula lembaga agama yang mengontrol negara dan bukan pula elit-elitnya35. Semangat religiusitasnya yang harus mengontrol kehidupan bernegara. Semangat religius itu ada di dalam hati nurani setiap warga negara. Tugas agama adalah membangun kesadaran kritis di kalangan umatnya untuk menjadi kekuatan kontrol terhadap negara . Dalam konteks negara kesatuan Indonesia yang berazaskan pancasila, agama diberi ruang yang seluas-luasnya oleh undang-undang untuk membangun kesadaran kritis bagi umatnya. Setiap warga negara Indonesia yang merupakan umat berketuhanan diharuskan oleh undang-undang membangun bangsa dan negara termasuk untuk menjalankan fungsi kontrolnya. Karena semua agama sudah diberi ruang gerak yang sebebas-bebasnya untuk turut serta dalam pembangunan bangsa, sekaligus untuk menjalankan apapun yang berkaitan dengan hak dan kewajipannya, maka keinginan untuk mengformalisasikan idiologi salah satu agama tertentu dalam undang-undang negara adalah hal yang tidak perlu. Apa pun pembicaraan berkaitan dengan agama-agama di Indonesia, sebagai ekspresi dari kebebasan beragama yang dijamin undang-undang, gereja katolik tetap berpegang pada komitmen untuk menjujung tinggi kebebasan dan menghormati hak dan kewaji setiap agama. Gereja berusaha dan mendorong supaya kebebasan beragama itu tidak hanya dimaklumkan dengan kata-kata atau melulu dikukuhkan dengan undang- undang, melainkan secara jujur dipraktekan. Dengan demikian maka gereja akan memperoleh kondisi stabil menurut hukum maupun dalam kenyataan, yakni kemerdekaan dalam menunaikan perutusan Ilahi, yang secara semakin mendesak dituntut oleh para pemimpin gereja dalam masyarakat. Sekaligus umat beriman kristiani, seperti semua orang lainnya, mempunyai hak sipil untuk tidak dirintangi dalam penghayatan hidup menurut suara hati mereka. Jadi terdapat keselarasan antara kebebasan gereja dan kebebasan keagamaan, yang oleh semua orang dan jemaat harus diakui sebagai hak dan dikukuhkan dalam perundang-undangan. Gereja katolik secara khusus memiliki pedoman mengenai hubungan antara umat beragama, yaitu dekrit Nostra Aitate, sebuah istilah Latin, yang 35 Armada Riyanto, CM. 1995. Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik. (Yogyakarta: Kanisius). hal.120-123. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 159 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … berarti’pada zaman kita36”, dirumuskan pada koansili Vatikan II tahun 1965. Isinya agar gereja lebih cermat melakasanakan pesan cinta kasih karena zaman ini komunikasi begitu penting dalam hiudup, maka diajarkan kepada umat katolik, bila gereja melihat perbedaan hendaknya dilihat bagaimana itu menjadi kesempatan untuk saling memperkaya, bukan sebagai konfrontasi37. Sebagai wujud dari kasih gereja katolik harus menghormati dan mendukung setiap umat beragama untuk menjalankan nilai-nilai iman dan kepercayaannya, tenpa dihalang-halangi, dan tanpa merasa takut karena melihat agama lain sebagai ancaman. Sebelum konsili Vatikan II, ada slogan yang terkenal dalam gereja bahwa di luar gereja katolik tidak ada keselamatan yang dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah extra eklisium nulla salum. Ini adalah ungkapan dari abad pertama yang kemudian diabstraksikan dari konteksinya dan dipakai hampir sepanjang sejarah. Di satu sisi konteks ini menjadi motivasi untuk melakukan misi. Karena mereka menganggap di luar gereja katolik tidak ada keselamatan, maka orang lain harus diselamatkan. Setelah konsili vatikan II, untuk membawa pesan kasih, gereja katolik diajak untuk sama –sama melihat agama lain juga sebagai jalan keselamatan38. Supaya agama itu sungguh membawa keselamatan bagi pemeluknya maka nilai-nilai keagamaan itu harus dihayati secara utuh dan penuh. Dan memang ada beberapa persamaan antara agama katolik dengan orang beragama lain, yakni kita memiliki asal yang sama, mempunyai tujuan yang sama, hidup di dunia yang sama, hidup dalam masyarakat yang sama. Kita juga mempunyai teka-teki hidup yang sama, dari mana asal kita, kemana langkah kita, lalu kita coba mencari jawaban bersama. Dalam Nostra Aitate artikel 3 disebutkan pula tentang Islam secara eksplisit, sebagai berikut “ kami menghormati saudara-saudara muslim, karena kami memiliki banyak kesamaan, antara lain sama-sama mototeis, Allah yang satu dan yang rahim, Allah mewahyukan diri”. Juga disebutkan “orang tidak menyebut Allah sebagai Bapak kalau tidak memperlakukan sesamanya sebagai saudara”39. Yang disoroti adalah kesamaan dan persaudaraan. Kesamaan sebagai sarana untuk merajut persaudaraan. Dalam kesamaan itu kita saling mendukung dan saling bekerjasama dengan tulus, dengan menjauhkam prasangka dan kecurigaan. Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama lain adalah benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah dan ajaran-ajarannya, yang dalam banyak hal berbeda dengan apa yang diyakini dan yang diajarkan gereja sendiri, tetapi tidak jarang toh memancarkan sinar kebenaran yang 36 Hardawirayana, S.J. Op.Cit. 394. 37Ibid. 308. 38Ibid. 310. 39Ibid. 311. 160 Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … menerangi semuan orang40. Gereja mendorong para pengikutnya, supaya dengan bijaksana dan dengan penuh kasih, dialog dan bekerja sama dengan para penganut agama lain. Hidup rukun, saling menghormati antara penganut agama dan kepercayaan adalah prinsip kehidupan Gereja. Dimana dan kapan pun, Gereja menyadari bahwa hanya dengan hidup saling menghargai, saling mencintai, menjauhkan segala bentuk kekerasan, paksaan, intimidasi, kehidupan yang damai dan sejahtera dapat tercapai. Karenanya salah satu cara gereja berusaha untuk memelihara kedamaian dan kerukunan itu adalah dengan menjunjung tinggi kebasan setiap umat beragama untuk menjalankan ibadat menurut agama dan kepercaannya masing-masing. V. Penutup Wacana formalisasi syariat Islam akhir-akhir ini di Indonesia telah menjadi isu nasional dan mengundang reaksi dan perdebatan serius dari berbagai kalangan baik dalam kalangan umat muslim sendiri maupun dalam kalangan non muslim. Wacana ini telah mendorong mencuatnya kembali isu-isu keagamaan yang sensitive yang sudah lama terpendam dalam satu keinginan hati penganutnya untuk menjalankanya secara lengkap dan utuh, tetapi ditahan serta dibatasi, atau dengan sadar dilarang. Reaksi atas wacana syariat Islam ini pun beragam, ada yang setuju atau menerima, dan ada yang menolak atau tidak menerimanya. Kelompok non Muslim dianggap sebagai kelompok yang menolak atau yang tidak menerima formalisasi syariat islam, sedangkan sebagian besar umat muslim tentu saja adalah kelompok yang menghendaki dan berusaha agar syariat islam diformalisasikan melalu undang-undang. Apapun gagasan yang menyangkut kehendak untuk menghayati dan mengamalkan secara untuh nilai-nilai keagaman dari setiap kelompok penganut agama di Indonesia, semua itu merupakan ekspresi dari kebesan beragama serta kebebasan untuk menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya. Setiap umat beragama di Indonesia harus saling menghormati antara pemeluk agama, serta menghargai serta tidak menghalang dan mengganggu kelompok agama lain dalam menghayati nilai- nilai keagamaan. Hal ini tidak hanya disebabkan bahwa sikap melecehkan orang lain dalam hal iman atau kepercayaan adalah dosa, tetapi hal kebebasan beragama di Indonesia dijamin dan dilindungi undang-undang. Gereja katholik di Indonesia dengan sepenuh hati dan jujur mendukung kebebasan beragama. Hal ini disebabkan karena gereja menyadari, selain karena kebebasan beragama di Indonesia dijamin undang-undang, tetapi soal iman dan penghayatan iman keagamaan itu merupakan hak azasi setiap 40 Stephen B. Bevans, SVD. 2002. Misi Abad 21. (Maumere: Candraditia). hal. 51-54. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 161 Bertholomeus Bolong: Formalisasi Syariat Islam … individu, karena hal tersebut menyagkut relasi pribadi dengan Tuhannya. Formalisasi syariat islam di Indonesia, dilihat dari soal prinsip kebebasan beragama dalam gereja katholik, kalau tidak bertabrakan dengan dasar negara pancasila dan undang-undang dasar, serta tidak menimbulkan ketakutan, keceamasan, menjamin keharmonisan, kerukunan, persatuan dan kesatuan bangsa, umat katolik mendukung sepenuhnya. Tetapi kalau berlawanan dengan pancasila dan undang-undang dasar negara, menimbulkan ketakutan, kecemasan kelompok agama dan kepercayaan lain, yang bisa berakibat pada ketidakharmonisan dan disintegrasi bangsa, maka sebagai bagian dari masyarakat bangsa Indonesia yang mencinta kedamaian dan kerukunan dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, pengformalisasian satu agama tertentu dalam undang-undang, sebaiknya tidak dilakukan. Gereja mendukung dan menjunjung tinggi kebebasan, tetapi kebebasan yang dilakukan itu tidak mengganggu kelompok lain, kebebasan yang tetap memelihara kerukunan, kedamaian, serta persatuan dan kesatuan bangsa. DAFTAR PUSTAKA Afuy, Masykur (editor). IstiQro. 2004., Jurnal Penelitian Islam Indonesia. Diterbitkan Diterktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Jakarta,Vol. 03, No.01, 2004. Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis Multi Kultural. Jakarta: Kompas. Bevans, Stephen B, SVD. 2002. Misi Abad 21. Maumere: Candraditia. Boelaars, Dr. Huub J.W.M. 2005. Dari gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Eaton , Charles Le Gai. 2000. Menghampiri Islam. Terj: Satrio Wahono, Jakarta: Serambi. Hardawirayana, S.J.(Terj). 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor. Johnson, James Turner. 2002. Ide Perang Suci. Yogyakarta: Qalam. Riyanto, Armada, CM. 1995. Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Amandemennya. Surakarta:pustaka Mandiri, 2004. Wahid , Abdurahman, at.al. 1994. Moralitas pembangunan. Yogyakarta: LKPSM. Wijoyo, Kunto. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk aksi. Bandung: Mizan. Yaqin, M.Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media.
Posted on: Sun, 16 Jun 2013 11:38:05 +0000

Trending Topics



lass="sttext" style="margin-left:0px; min-height:30px;"> Pakistan k rang . . . 1 traf to kashmir univsty ne sub femal

Recently Viewed Topics




© 2015