Filsafat ada awalnya kali pertama ketika manusia belum mengenal - TopicsExpress



          

Filsafat ada awalnya kali pertama ketika manusia belum mengenal dirinya sendiri,filsafat juga telah ada mendahului ketika Tuhan belum menamakan diriNya sebagai Tuhan ataupun menamakan filsafat sebagai filsafat,manusia belum mengenal dirinya sebagai manusia,manusia bahkan belum ada ketika keduanya ada,Tuhan,alam dan filsafat adalah satu kesatuan dan pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk bersama ketiganya atau hanya sebatas manusia semata tanpa terikat pada ketiganya selain dirinya sendiri sebagai manusia (subjektivitas),,elalui subjektivitas yang ada pada dirnya sebagai sebuah kebebasan kemudian manusia dihadapkan pada sebuah ketidakbebasan (anibbana) sebagai sebuah kesadaran dari adanya yang lain selain dirinya sebagai subjektivitas (keakuan),kebutuhan naluri manusia (instinktual needs) akan sesuatu yang bukan dirinya kemudian menjadi sebuah hasrat (kehendak) sebagaimana Tuhan pada awalnya memiliki adanya yang lain selain diriNya,meskipun hal ini bukan sebuah kemutlakkan,namun hal ini kemudian menjadi sisi lain dari setiap relativitas (anicca) yang ada pada dirinya (Nya) sebagai sebuah kebebasan Tuhan ataupun manusia yang lalu kemudian dihadapkan pada pilihan untuk mengadakan (being) ataupun meniadakan (having),dimana ketidakadaan pilihan kemudian menjadi sebuah pilihan dari sebuah otoritas (wewenang) yang adalah sebuah misteri bagi manusia. Hal ini kemudian menjadi awal dari adanya pengakuan (legitimasi) bagi kehadiran yang lain selain manusia ataupun Tuhan,sebagaimana Tuhan menciptakan manusia,manusiapun demikian halnya,bahwa kemudian manusia juga identik dengan Tuhan yang terutama,dan salah satunya adalah dalam hal penciptaan,suatu penciptaan ada ketika manusia tercukupi sebagai dirinya sendiri sebagaimana juga halnya Tuhan pada diriNya,kebebasan (nibbana) kemudian menjadi kehendak bagi yang lain (liyan) karena subjektivitas tak dapat disebut demikian ketika tiada ada sesuatu yang lain selain dirinya,subjektivitas akhirnya dihadapkan pada sebuah kebutuhan akan adanya sebuah legitimasi (afirmasi) dari apapun yang bukan dirinya karena tanpa adanya yang lain,maka manusia ataupun Tuhan tak akan pernah disebut demikian,manusia adalah sebaimana halnya Tuhan memiliki banyak nama (rupa) dan sebutan (shankara) ketika ada yang lain selain keberadaan keduanya sebagai objek (signified) dari setiap segala apapun yang tengah diciptakan oleh keduanya sebagai ada (exist),kekosongan (emptyness) adalah subjektivitas tertinggi (prima extensa) dari segala apapun yang dapat menjadikan sesuatu menjadi objek dari sebuah ketiadaan (kekosongan) selain menjadi hal itu sendiri,manusia menciptakan Tuhan bersamaan (being for the others) dengan penciptaan manusia atas Tuhan itu sendiri. Tuhan (manusia) pada dasarnya adalah sebuah kenyataan yang lain bagi sebuah kekosongan,kekosongan (ketiadaan) selah membutuhkan keduanNya untuk mengisi ruang tiada batasan,agar dibatasi oleh apa yang pantas membatasinya agar kebebasan (freedom) dapat disebut kebebasan (nothingless) ketika awal (alfa) dari kehendak membentukNya menjadi kebebasan (ketiadaan) yang sebenarnya.,Tuhan adalah merupakan kebebasan sekaligus ketiadaan (atheia) bilamana kehendak manusia tiada padaNya,Tuhan adalah merupakan sebuah misteri (tacit),dimana diriNya tak melekat pada manusia sementara manusia melekat padaNya,hubungan antara manusia dengan Tuhan hanya merupakan hubungan legitimasi yang searah dalam ruang lingkup diriNya,artinya hanya manusia yang melegitimasikan Tuhan,namun Tuhan tak melegitimasikan manusia selain manusia pada diriNya,hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan antar ciptaan (inter creation) berdasarkan kehendakNya,namun sebagian manusia menciptakan Tuhan meskipun Tuhan tak perlu dicipta,selain senantiasa menciptakan diriNya untuk diciptakan oleh sebagian manusia tersebut,manusia diciptakan untuk menciptakan Tuhan agar Tuhan menjadi bagian pada diriNya sebagai manusia dengan diriNya (theia). Hukum Tuhan (ius nocturnal) ada ketika kebebasan Tuhan ada pada Tuhan dmana dengan kebebasan diriNya sebagai otoritas utama (prime competence) menjadikan Tuhan mampu berkehendak atas apapun dalam relativitas kehendak dan absoluditas dari kebebasan diriNya,hukum (ius) lahir dari kebebasan yang berkehendak,hingga terdapat antitesis (conter) atas adanya kebebasan berkehendak atas apapun,hukum menjadi hukum ketika ada pelanggaran atas sebuah kehendak dimana kebebasan kemudian dihadapkan pada kebebasan diriNya (parinibbana) sebagai sebuah sanksi bagi suatu penciptaan hukum karena kebebasan diriNya,hukum (lex) kemudian menjebak kebebasan pada ketidakbebasan (unfreedom),yang mana akhirnya sanksi ada tak hanya pada pencipta hukum,namun juga bagi pelanggarNya sebagai sebuah nestapa (dukha),hingga akhirnya kemudian hukum memberi fungsi keadilan (function of justice),tak hanya kepada mereka yang terjalin dengan hukum semata,namun juga mereka yang tak terlibat pada hukum yang berlaku ataupun diciptakan,yang salah satunya adalah hukum Tuhan atas manusia,yang bukan hukum bagi yang lain. Namun hukum Tuhan (lex theia) bagi manusia kemudian memberi dampak atas yang lain,tak terkecuali alam dengan kebebasan yang sama dengan manusia ataupun Tuhan selain karena sebuah kebebasan yang menjadikan kebebasan (freedom) ada karena sebuah kehendak,maka demikian pula halnya dengan ketidakbebasan,ketidakbebasan ada (upadana) ketika kehendak (wil),ada pada sebuah kebebasan,alam (semesta) adalah apa yang sebagian (particulum) serta sekaligus adalah apa yang menyeluruh (universum) serta mencakup keteraturan (kosmos) ataupun ketidakteraturan (khaos) sekaligus,selain itu adalah sebuah misteri belaka dari ketidaktahuan (ketidakpahaman) apapun atas Apapun sebagai segala sesuatu yang mencakup segalaNya sebagai hukum,sebagai wujud representasi Tuhan (taboo),sebagai sebuah otoritas semesta dan dunia,yang tiada lepas dari awal dari segala sesuatu sebagai akhiran itu sendiri yang tanpa keduanya selain Kita (Dia). Dalam filsafat Tuhan senantiasa berkehendak atas kehidupan di aras keduniaan (mundanitas) dan bahwa kehidupan pada aras tersebut adalah merupakan kehidupan yang identik dengan kematian (lebenwelt),kemudian adalah bahwa kehidupan dunia identik dengan kematian dapat diartikan bahwa setiap aras keduniaan (mondial) tak lepas dari berbagai aspek paradoksal yang berlawanan (biner oposisi),sebagaimana kosmos (order) dan khaos,dalam perspektif kesemestaan (cosmology),dunia adalah sebuah kenyataan kosmik,namun dalam perspektif keduniaan (nomology),semesta adalah khaotik (randomness),namun dalam kenyataannya keduanya adalah satu kesatuan yang diharapkan hingga akhirnya,hal ini sempat diperkatakan sebagai benturan antar paradoksikalitas sebagai dua sisi yang sebenarnya saling melekat dan satu,meskipun ketiadaan salah satu diantaranya bisa menjadi,bahwa yang lain adalah tetap,ataupun ketiadaan,keduanya sama sekali dalam sebuah proses interderminasi (resiprokalitas) yang merupakan sebuah rekontruksi dari terbangunkanya kembali sebuah keberadaan (pembalikkan),kehidupan di dunia adalah kematian di dunia,sebuah paradoksikalitas yang hanya dapat dicapai oleh ilmu semata (mundan science) yang sama sekali tak dapat mencapai aras kosmik (kosmos) dengan segala keberpenuhan (totality) hanya karena adanya kematian,namun demikian hal ini dapat menjadi tercapai ketika manusia mengalami kematian dimana segala ketiada-batasan (unlimit) menjadi terbatas oleh realitas yang ada pada ilmu sebagai sebuah pengetahuan semata (connaissance),dimana segala sesuatunya adalah tiada batas sama sekali,tak terkecuali adalah paradoksikalitas itu sendiri sebagai sebuah misteri yang berpasangan dengan kebersatuan (monistik) antara apa yang terkekang (liminal) dengan apa yang bebas. Apa yang dapat menjadi ataupun apa yang dapat memiliki,dan bahwa memiliki ilmu tak berarti menjadi pada ilmu (savoir) ataupun sebaliknya,bahwa meenjadi pengetahuan tak berarti bahwa manusia memiliki pengetahuan tersebut,dalam pemikiran (kognisi) paska-strukturalis (post-structuralist)Michael Foucoult,bahwa apa yang disebut filsafat (philosophy) adalah apa yang mencakup aspek genealogi ke-Tuhanan (strukturasi),teknologi alamiah (keilmuan) serta adalah arkeologi kebudayaan (pengetahuan),setelah adanya struktur,maka struktur terbentuk kembali (post-structualism),dimana pengetahuan (kebudayaan) menjadi dasar adanya ilmu yang identik dengan teknologi (peradaban),yang mana diantara keduanya diposisikan kemudian sebagai sebuah realitas ataupun harapan yang saling berpasangan (oposisi biner),yaitu antara ilmu dan pengetahuan sebagai hubungan antara manusia dengan dunia ataupun hubungan semesta dengan manusia yang memunculkan keberacakan (randomic),yaitu kebebasan yang tak sistematik ataupun metodologis (sistematism) dalam rasionalitasnya,hal ini kemudian dikatakan Michael Polanyi sebagai segi yang tak terungkap (tacire) dari apa yang disebut dengan ilmu,yang dapat diartikan sebagai pengetahuan (kontruksi) menuju ilmu (dekontruksi) yang menjadikan adanya peradaban (civillization),dan kemudian adalah menjadi sebuah proses kultural (kulturalisasi) berdasarkan sejarah (historitas),ataupun berdasarkan berbagai penemuan (discovery) yang berpangkal mula dari kegaiban inspirasional (insight),dimana sejarah yang otentik berawal dari padaNya,sebagai sumber dari apapun tak terkecuali pengetahuan manusia atas sejarah yang menjadikan sejarah kemudian disejarahkan menjadi ilmu yang terikat pada ruang (sein) ataupun waktu (sollen) sebagai aspek keilmuan yang menjadikan sejarah terikat pada sejarah lainya sebagai sebuah multidimensionalitas (matra ganda) yang dialektis baik sebagai revolusi (sakagami) ataupun evolusi (anagami). Keterkaitan sejarah pada berbagai kisi (ruas) antara ruang ataupun juga waktu pada dulu (alam),kini (budaya) dan nanti (peradaban) sebagai pelampauan manusia melalui sejarah manusia (antropo-historisitas) atas berbagai paradoksikalitas (dualitas) yang ada, tiada terkecuali adalah ruang (kepemilikan) ataupun waktu (kemenjadian),Tuhan (theia) dengan Iblis (diabolia),dimana manusia menjadi antara atas keduniaan diantara harapan (utopianitas) dan kenyataan dirinya sebagai mahluk transenden (makrifat) ataupun juga adalah imanen (syariat) pada eksistensi yang lain pada diriNya sebagai dirinya yang kompromis ataupun konfliktual dalam relativitas kebebasan diriNya (Kenisbian) dan kemutlakkan dari segala apa yang menjadi kehendakNya,pengetahuan (connaissance) adalah setiap sisi negatif (negativitas) ataupun positif (positiviras),yang didapat manusia dari pengalaman dirinya sebagai bagian dari sejarah dirinya sebagai manusia yang tak semata menyangkut keburukan (evil) ataupun kebaikan (good),namun adalah juga menyangkut tentang apa yang merupakan kebenaran (truth) ataupun kesalahan (false) dari segala apa yang tersirat (eksplisit) ataupun tersurat (impilisit) yang melampaui perbedaan tulisan (sastra) ataupun lisan (gending) pada irasionalitas maupun rasionalitas manusia ataupun bahkan,adalah juga pada ilmu sekalipun,dan bahwa apa yang ada pada pengetahuan (arche) adalah tak selamanya ada pada ilmu (savoir) adalah sebuah kebenaran (ultimate truth),meskipun adalah tidak untuk kebalikan atasnya. Bahwa apa yang ada pada pengetahuan senantiasa ada pada ilmu,hal ini dikarenakan bahwa pengetahuan ada terlebih,dulu dan menjadi,titik awal dari adanya ilmu,meski kemudian ilmu kerap menjadi pengetahuan,namun definisi ilmu (techne) tak memungkinkan untuk mewakili pengetahuan,demikian juga halnya posisi keduanya pada berbagai disiplin pengetahuan (knowledge) yang kemudian disebut dengan ilmu (science),atau disiplin ilmu yang kemudian menjadi disiplin ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan),ilmu pengetahuan adalah produk dari sejarah (historical product),terutama adalah peradaban,sebab ilmu adalah pengetahuan ketika keduanya dipersandingkan pada kebudayaan yang diawali oleh pengetahuan sebagai akhir dari sejarah (genealogy) yang mana justru sekaligus adalah awal darimana pengetahuan tersebut dimulai,terutama ketika sejarah kemudian menjadi ilmu dan adalah sekaligus juga pengetahuan (ilmu pengetahuan),sejarah tak lepas dari ruang (tubuh) ataupun waktu (rasa) baik sebagai mitos (jiwa) ataupun fakta (pikiran),namun dalam kenyataanya sejarah kemudian mencakup setiap aspek secara keseluruhan,bahwa kemudian manusia adalah merupakan sejarah itu sendiri (homo historicus) yang diawali pengetahuan dirinya bahwa,dirinya tak lepas dari sejarah,termasuk sejarah liyan (OtherS),hingga akhirnya ilmu ada dan memposisikan manusia menuju sejarahnya sebagai mahluk berkesejarahan,yang tak lepas dari sejarah kebernantian (futuritas) ataupun keberlaluan(kesebeluman),atau kekinian (kesudahan) sebagai sebuah relasi antar paradoksikalitas (inter-paradoxical) nan disiplin pada porosnya,yaitu samsara. “Kehendak” (“Cetana”),adalah awal (axis) dari adanya kedengkian (envy),dendam,seduksi (rayuan),pelanggaran,ataupun sanksi (dukha) dan hukum (ius),hukum adalah merupakan lahan genealogi sejarah (historical genealogy) atas struktur hukum yang lain sebagai pengetahuan,yang kemudian menjadi ilmu hukum yang tak lepas dari kebudayaan (culture) sebagai kesatuan atas pengetahuan hukum,hukum pada akhirnya adalah sebuah integrasi (fusi) bagi segala harmoni ke-Tuhanan sebagai ilmu pengteahuan yang tak lepas imanensi realitas (hosisontalitas),ataupun transendensi harapan manusia (vertikalitas) dalam dirinya sendiri,pada manusia ataupun di atas manusia yang menjadi sebuah rekontruksi strukturalitas genealogi kekinian (kebarusan) hingga adanya Tuhan yang belum bernama (nirguna),melalui dosa Kehendak,yang melahirkan dosa kehendak sebagai citraan (mime),hingga kemudian filsafat menyebut apapun sebagai “imago dei”,citraan Tuhan yang tiada batasan (enigma) yang hanya ada pada medan pengetahuan manusia belaka dalam menyadari kebebasan dirinya melalui kehendak pada dirinya (pour soi),menjadi Tuhan melalui ilmu yang diawali pelanggaran manusia atas sebuah kehendak,hingga sanksi menjadikan adanya hukum (lex) dari sebuah “Kehendak” (“ius”) karena sebuah Kehendak (will of risk) yang memposisikan kehendak dan kebebasan sebagai dialektika dilematik antara pengetahuan sebagai ilmu ataupun ilmu sebagai pengetahuan. Kemudian adalah bahwa ketika segala sesuatu menjadi ada pada ketiadaan (konteks) dan tiada pada keberadaan (teks),maka hal ini kemudian merupakan sebuah tautologi (dilemasi),yang kemudian disebut sebagai absurditalitas Tuhan atas Tuhan (nothing),sebagai sebuah korespondensi (causaliteit) antar hukum (statuta),baik sebagai kehendak (teknologi) ataupun sebagai kebebasan (arkeologi) yang menjadikan kebudayaan ataupun peradaban ada menjadi sejarah ataupun memilikinya,sebagai kembalinya yang abadi (perenialitas) pada kefanaanNya (paska-Tuhan),hingga kemudian ilmu pengetahuan,hukum dihadapkan pada sebuah dinamika relativitas (kemayaan) yang ada pada hukum itu sendiri sebagai keutamaan Tuhan (virtu nocturnal) legitimasi diriNya sebagai Kehendak (Will) di atas kehendak,dimana kemudian hukum dihadapkan pada sebuah struktur genealogi hukum yang dimulai dari Kebebasan menjadi (being) sebuah kehendak (cetana) melalui Kehendak pembebasan hukum melalui sanksi (akibat),terutama ketika hukum membebaskan hukum karena hukum (opressed)),yaitu adalah kehendak (niat) yang ada pada arena (medan) ilmu (l ‘ revolution) ataupun kebebasan (nibbana) yang ada pada arena pengetahuan (l’evolution) sebagai sebuah dialektika (dialectic) yang menjadikan hukum (Tuhan) tetap senantiasa pada keabadian-Nya sebagai sanksi (nestapa) atas segala sebab ataupun akibat,selain pada,dalam ataupun atas Kebebasan sebagai Dia yang adalah Tuhan belaka,maka sebuah KEHENDAK.adalah Absolud.
Posted on: Sun, 22 Sep 2013 02:27:00 +0000

Trending Topics



>
покормил, закомитил, припаял, можно

Recently Viewed Topics




© 2015