GERWANI: SUNDAL PERKASA, IBU BANGSA YANG MENOLAK MATI? Momok itu - TopicsExpress



          

GERWANI: SUNDAL PERKASA, IBU BANGSA YANG MENOLAK MATI? Momok itu berusia 47 tahun. Perempuan setengah telanjang dengan leher berkalung bunga, rambut terurai acak-acakan, menari dengan dendang “genjer-genjer”, keranjingan di depan tubuh sekarat para jenderal angkatan darat yang kelaminnya disayat dan matanya dicungkil setelah sebelumnya diberondong senjata oleh barisan kader dari partai berlambang palu arit. Momok itu hidup panjang di urat nadi kita, setelah film besutan Arifin C. Noor menampilkan Syu’bah Asa dengan bibir pucat, terus-menerus merokok dalam ruangan yang nyala lampunya hanya menyinari tangan, dan mengomandoi gerakan subuh 1 Oktober 1965 dalam perannya sebagai Aidit. Momok itu melesak dalam otak kita saat intro lagu “genjer-genjer” yang pernah dipopulerkan Bing Slamet dan Lilis Suryani. Membuat kuduk meremang karena kepala tanpa sadar memutar adegan bocah perempuan, bersimpuh di lantai yang menggenang darah, membasuhkan darah itu ke wajah hingga dada dengan tangannya. Menangis, meraung dan berteriak, “Papi….Papi!" Momok itu menolak mati, meski bocah perempuan itu kini telah sanggup menengok makam ayahnya, almarhum Brigadir Jenderal TNI DI Panjaitan, bersama dengan putra Ketua PKI. Di sebuah acara televisi, ia akhirnya bahkan memaafkan dan meminta maaf kepada Ilham Aidit karena merasa sepenanggungan. Ia, bocah dulu yang kini berusia 64 tahun itu, Catherine Panjaitan, bahkan menengok makam ayahnya bersama Ilham, 1 Oktober lalu. Namun momok itu ternyata tak turut pergi dengan rekonsiliasi anak pahlawan revolusi dan anak pemimpin PKI. Politisasi terhadap tubuh perempuan telah berhasil membuat ingatan terhadap tragedi 1965 menjadi lebih memualkan daripada kelebat kelewang dan penggal kepala dari ribuan orang yang dianggap simpatisan PKI. Dan Gerwani, organisasi perempuan dengan kesadaran politik paling maju yang pernah dimiliki Indonesia, menjadi pusat seluruh umpat. Penistaan, pelecehan, penyiksaan dan perkosaan secara seksual terhadap ratusan ribu perempuan yang dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi seolah kemudian menjadi sah karena mereka adalah perempuan “binal” dan para “pelacur” yang menyilet para “pahlawan”. Tak peduli bahwa, segera setelah Gestok meletus, Soekarno membeberkan hasil visum dokter RS Angkatan Darat Gatot Subroto yang menyatakan para jenderal itu tak pernah disilet dan dicungkil mata; tak peduli bahwa sejumlah kesaksian telah menyatakan bahwa “tari harum bunga” itu hanya rekayasa tentara yang dibikin di Penjara Bukit Duri; tak peduli bahwa sejumlah bukti menunjukkan para perempuan yang dipaksa menari harum bunga ini adalah remaja yang ditangkap acak di jalan dan disuruh melakukan di bawah tekanan dan intimidasi; ingatan tentang momok perempuan setengah telanjang yang keranjingan di depan tubuh para jenderal itu mengeroposkan otak jernih kita. Tubuh perempuan telah menjadi senjata paling ampuh untuk meluluhlantakkan salah satu gerakan politik yang termaju pada masanya. Maka, di Monumen Pancasila Lubang Buaya, Soeharto merasa sah mengekalkan tari harum bunga itu dalam relief. Dan seperti jamaknya dongeng, seorang pahlawan berparas rupawan muncul sebagai penyelamat di zaman yang galau. Mengusulkan “pertobatan” bagi para perempuan “binal” ini lewat peran sebagai ibu yang asih. Relief di monumen yang kukuh berdiri hingga hari ini itu, mengukir citra perempuan “utama” dengan kebaya rapi, rambut bergelung konde, dan mendekap si buah hati. Tubuh perempuan harus “disucikan” untuk sebuah misi penyelamatan. Dan obsesi terhadap tubuh perempuan terus mendominasi politik negeri ini, bahkan setelah Soeharto pergi dan rezim berganti. Puluhan perda yang sibuk “mengurus” tubuh perempuan muncul dari Aceh hingga Sulawesi. Para politikus negeri ini yakin bahwa Indonesia akan beres dengan “mengerangkeng” tubuh perempuan dan menambah jam pelajaran agama. Tapi saat Putri, remaja usia 16 tahun, akhirnya mati menggantung diri di kamar tidurnya di Lhangsa karena malu jadi korban sweeping semena-mena polisi Syariah, agaknya kita perlu katakan cukup untuk seluruh absurditas ini. Yang mati di negeri ini bukan semata tubuh, tapi spirit pengharapan. Dan jika harapan mati, maka yang menyusul kemudian adalah amuk. Lalu kita akan menyaksikan ulang sejarah gelap itu, tubuh-tubuh tanpa kepala yang memenuhi kali, saudara sekandung yang berhak dihabisi atas nama ideologi, dan kamp-kamp konsentrasi yang membikin jeri (Sumber: SHNews, Sinar Harapan Online, Rabu 3 Oktober 2012)
Posted on: Wed, 18 Sep 2013 01:36:16 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015