HAUL UNTUK ORANG MATI Pada hari-hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan - TopicsExpress



          

HAUL UNTUK ORANG MATI Pada hari-hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-1000 sesudah meninggalnya seseorang diadakan selamatan, yang dimaksudkan sebagai pengantar ruhnya ke hadirat Ilahi. Demikian yang biasa berlaku di Indonesia. Selamatan-selamatan ini adalah unsur dari zaman purba yang hidup terus. Sesuai dengan craddha, maka selamatan pada hari yang ke-1000 adalah upacara terakhir. Sesudah itu bebaslah sudah keluarga yang ditinggalkan itu dari sesuatu kewajiban. Upacara demikian bukanlah yang diharuskan oleh Islam, maka di berbagai daerah terdapat perbedaan-perbedaan: ada yang mengakhiri upacara itu pada hari yang ke-100 dan ada pula yang menunggu sampai tepat satu tahun. ( dari buku "Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3", Dr. R. Soekmono, 1990, hlm. 82-83). Kebiasaan selamatan untuk orang yang telah meninggal ("HAUL") itu bagi sebagian masyarakat kita dianggap ajaran Islam dan dibolehkan oleh madzhab tertentu. Padahal tidak satu pun dari imam/ulama besar seperti: Imam Syafi’I, Imam Maliki, Imam Hanbali, Imam Abu Hanifah, Imam Ghazali, dan lain-lainnya yang mengajarkan selamatan seperti itu. Kebiasaan itu menurut riwayatnya adalah dimulai oleh para muallaf (orang yang baru masuk Islam) ketika kematian salah seorang keluarganya. Mereka tidak dapat menghilangkan kebiasaan zaman purba, yaitu makan-minum dan berjudi saat salah satu keluarganya meninggal dunia. Hal itu oleh salah seorang Wali Wali Sanga) disuruh untuk mengubahnya dengan mengadakan tahlil dan makan-minum.. Bagi orang awam, sungguh merupakan dilema, meskipun ada yang tidak mampu, mereka berusaha melaksanakan selamatan itu. Jika tidak melaksanakannya, dianggap durhaka, atau yang lebih memprihatinkan: mereka takut disebut Muhammadiyah. Yang lebih aneh lagi, saat ini banyak orang yang mengadakan selamatan (haul/aruh) itu untuk orang-orang yang sudah meninggal yang dianggap ulama/wali atau orang besar seperti raja atau sultan. Mereka pasti akan marah jika dikatakan melaksanakan kebiasaan yang berasal dari zaman purba atau zaman jahiliah atau juga disebut bertaqlid buta kepada anjuran salah seorang Wali Sanga. Marilah kita berpikir dengan jernih dan mengharap petunjuk Allah. Kebiasaan itu sudah nyata asalnya dari zaman purba, yang kemudian berubah sedikit dengan bacaan-bacaan Islami. Hal itu bukan berarti lantas dibenarkan dalam Islam. Coba kita bandingkan dengan sejarah minuman keras (khamar) dalam ajaran Islam. Mula-mula Rasulullah hanya menyuruh mengurangi meminumnya, kemudian melarangnya diminum saat akan salat, dan terakhir melarangnya (mengharamkan) sama sekali. Begitu juga dengan kebiasaan selamatan tersebut. Pada awalnya hanya disuruh mengubah dari berjudi ke bacaan tahlil. Seterusnya kita bisa memikirkan dan mengembalikannya pada ajaran Islam yang murni, yaitu Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang sahih. Kita juga dapat mengambil contoh-contoh perlakuan terhadap orang yang meninggal dunia yang dilakukan Rasulullah, para sahabat, dan ahlussunnah wal jamaah. Selain itu, jika kita mengikuti salah satu madzhab, mari kita gali secara mendalam, bagaimana contoh atau petunjuk sebenarnya dalam mazdhab itu tentang perlakuan terhadap orang yang meninggal dunia. Jika memang tidak ada sama sekali anjuran tentang selamatan itu, berarti hal itu kalau tidak haram, serendah-rendahnya bid’ah, . Hal itu apa bedanya dengan, misalnya, ada orang Islam yang ikut merayakan Natal tetapi dengan bacaan keislaman, seperti salawat. Bersalawat atau berdoa kepada Allah tidak dilarang, tetapi merayakan Natal sudah pasti haram. Jadi, terjadi percampuradukan antara salawat dengan perayaan Natal. Kita dapat menilainya sendiri bahwa hal itu paling tidak merupakan hal yang bid’ah.
Posted on: Mon, 15 Jul 2013 09:31:31 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015