HYSTERIA,TUMBAL dan PRO LIFE - TopicsExpress



          

HYSTERIA,TUMBAL dan PRO LIFE MOVEMENT _____________________________________ – Mike Keraf,CSsR Selasa, 23 Juli 2013. Saya bersama 2 sahabat mengunjungi desa Panenggo Ede. Pemandangan tragis menyongsong kami: asap yang masih mengepul dari 15 puing rumah yang dibakar. Melewati kantor desa, telinga kami terpaku tegak mendengar jerit tangis keluarga yang kehilangan bapak, saudara mereka, Agus Rangga Rangga yang terbunuh dalam sebuah perang tanding. Di rumah pastori GKS Panenggo Ede, beberapa pejabat, pendeta dan pihak keamanan terlihat khusyuk dalam diskusi. Informasi singkat yang sempat kami rekam, bahwa sang korban terbunuh dalam sebuah perang tanding pasca pemilihan kepala desa Panenggo Ede. Motiv persisnya masih sedang diselidiki oleh pihak keamanan. Sang korban sendiri terkenal sebagai kepala perang yang tangguh semasa hidupnya. Cerita tragis dari Panenggo Ede ini bukan baru pertama kali terjadi di Sumba. Konflik tanah, utang piutang, hingar-bingar pemilu, semuanya bisa menjadi pemicu yang membawa korban (manusia dan harta benda yang lain). Saya menulis artikel ini karena protes terhadap wajah masyarakat kita yang dibuat bopeng dan coreng-moreng. Sesungguhnya agak sulit mencermati rivalitas, kekerasan dan mekanisme korban dalam struktur masyarakat yang bopeng. Tetapi baiklah kita mulai dari perspektif yang sangat akrab dengan kita, dengan mulai menyimak secara cermat satu kegiatan ritual adat kita: acara pemotongan kerbau, entah dalam peristiwa penguburan atau acara adat lainnya. Perhatikanlah kerbau yang diikat dan ditarik oleh dua kelompok yang berlawanan. Kerbau merontak dalam nasib sial yang ditimpakan kepadanya, sementara itu seorang atau dua orang menari mengacungkan parang untuk berusaha menebas leher kerbau. Kalau boleh sang kerbau harus jatuh terkapar dalam sekali tebas. Sementara itu kerumunan orang di sekitarnya berteriak dalam pekik payawao dan pakalaka. Semakin kerbau merontak dan memuncratkan darah, teriakan pun semakin membahana. Semua mata tertuju tanpa belas kasihan kepada sang kerbau. Daging kerbau kemudian dipotong-potong dan dibagi-bagi. Semua orang akan kembali membawa bagiannya ke rumahnya masing-masing. Daging kerbau kemudian dihidangkan sebagai makanan untuk kesehatan dan keberlangsungan hidup. Di beberapa tempat di dunia ini ikone yang sama mempropagandakan darah korban yang tercurah ke tanah sebagai sarana perdamaian antara semua yang hadir dengan para leluhur dan dengan Wujud Tertinggi. Semua dendam kesumat dan pertengkaran diantara semua warga yang hadir sudah ditebus oleh darah sang korban yang mati terbunuh di tengah arena itu. Rasa adil yang diupayakan adalah keadilan minimal: kita sama-sama impas. Ada beberapa point kuat yang patut kita cermati bersama dalam peristiwa ini. Yang pertama adalah dua kelompok yang berlawanan menarik tambang yang diikatkan pada kepala kerbau. Kelompok ini adalah simbol kuat dari masyarakat kita yang pada satu sisi berusaha untuk maju dan berlomba dengan kecepatan perkembangan peradaban baru menuju masyarakat yang lebih beradab dalam segala hal. Kelompok kedua mewakili mentalitas masyarakat yang tidak hanya bertahan tetapi juga cenderung kembali ke belakang mempertahankan nilai-nilai tradisional yang kaku, menindas dan merusak peradaban. Yang kedua adalah kelompok masyarakat yang berkeliling berteriak-teriak dan yang mengeksekusi. Kelompok ini mewakili ungkapan pelampiasan dendam, rivalitas dan kekerasan yang terpendam maupun yang sedang menguasai jaringan kelompok itu selama ini secara terbuka. Semua orang berbaur dalam kerumunan dan menjadi anonym dalam hysteria massa itu. Yang terakhir adalah kerbau yang dibantai itu. Saya memandang kerbau itu sebagai tumbal dari kekerasan dan rivalitas yang menguasai kerumunan massa itu. Dia menerima ke atas dirinya semua sorotan mata, teriakan dan tebasan parang tanpa ampun. Tetapi darahnya yang tertumpah dan membasahi tanah itulah yang meredam dan moga-moga menjadi tanda damai dan merekat rasa keadilan yang baru diantara kerumunan massa itu. Dalam konteks masyarakat kita, saya melihat bahwa kekerasan dan rivalitas yang mengakar dan banyak kali dikekalkan dalam rumah tangga-rumah tangga kita juga serta-merta mengamini tumbal-tumbal tanpa ampun. Kita sebut saja beberapa contoh untuk diperangi, misalnya: anak yang diperkosa oleh ayah kandungnya, anak-anak yang dikawinkan secara paksa, janda yang di-“kona”-kan lalu kemudian diterlantarkan, anak-anak putus sekolah dan harus segera bekerja di ladang dan menjaga kerbau, ibu-ibu dan gadis-gadis yang terpaksa merantau (dengan kemampuan sangat terbatas) untuk mencari nafkah tambahan, bukan untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga, tetapi justru untuk menutupi lobang-lobang utang saudara dan suami mereka. Sayang sekali bahwa keringat dan darah dari “tumbal-tumbal” ini bukannya membawa damai dan kerukunan, tetapi justru menciptakan mata rantai kesusahan yang berlarut-larut. Kekerasan dan Rivalitas Politik Kekerasan dan rivalitas yang paling akut kita temukan dalam arena pertarungan politik tanpa etika. Massa politik terdidik yang berdiskusi, yang secara santun berpawai dan memproklamasikan pikiran-pikiran, program-program dan kiat-kiat strategis briliant untuk peradaban yang lebih baik dan cemerlang HARUS berseberangan dengan histeria massa yang berpawai meneriakkan kebencian, perlawanan, kutuk dan intimidasi terhadap pemimpin atau tokoh politik tertentu. Histeria massa membuat orang terfragmentasi, terkotak-kotak dan terjebak dalam permusuhan semu. Luigi Pirandello (Penulis Italia abad pertengahan) menyebut masyarakat yang demikian sebagai masyarakat bertopeng. Wajah asli dan bermartabat terpaksa ditutup karena kerakusan akan duit, kekuasaan dan gila hormat. Topeng oleh karena itu adalah simbol frustrasi dan kompensasi dari kekalahan dalam arena sosial politik. Sayang sekali bahwa masyarakat bertopeng ini paling gampang bersatu dalam kerumunan, tetapi susungguhnya mereka bersatu dalam dendam kesumat, frustrasi dan dalam pribadi yang luka dan terpecah. Pro Life Movement Kaum kristiani tentu akrab dengan kisah seorang perempuan yang diberi stigma berdosa dalam Injil Lukas 7:36-50. Saya memuji perempuan luar biasa ini karena beberapa hal. Yang pertama adalah bahwa dia berani menerobos kerumunan arogan dari kelompok laki-laki yang menepuk dada sebagai yang berjasa dalam sejarah Israel. Dia berani karena matanya tertuju penuh harap kepada Yesus di tengah ruangan itu. Hatinya teguh dan percaya akan belas kasihan berkelimpahan dari sang Mesias. Tetapi tangannya membawa serta apa yang paling berharga dan mahal yang dia punyai: minyak narwastu dalam buli-buli. Hal kedua dalam adegan itu adalah bahwa perempuan itu menangis dan terus-menerus menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Dialog antara Yesus dan Simon adalah penting untuk mempertegas apa yang sedang terjadi. Dosa perempuan itu diampuni dan dia masuk dalam situasi baru: selamat. Perempuan itu adalah simbol aktor pembawa perubahan. Dia mewakili tokoh-tokoh yang pro kehidupan dan membangun masyarakat yang rekat sebagai sahabat satu sama. Dia aktor bukan karena dia sempurna, tetapi karena dia mengandalkan TUHAN. Hatinya teguh menerobos stigma dan arogansi karena dasar pijaknya kuat di pihak Kristus yang dia yakini sebagai satu-satunya pemimpin peradaban yang baru. Artikel kecil ini saya akhiri dengan seruan moral sosial politik, khususnya kepada keenam paket Cabup-Cawabup SBD dan Sumba Tengah 2013-2018: 1. Jadilah aktor yang memimpin peradaban dan kehidupan yang bermartabat karena mengandalkan TUHAN! 2. Jadilah sahabat rakyat dengan berdiri di pihak mereka untuk mempersatukan dan menggerakkan perubahan, bersama-sama mengoptimalisasi semua kekuatan warga menuju terwujudnya desa-desa kita yang lebih berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, bermartabat secara budaya dan bertenaga secara sosial! 3. Jadilah pemimpin kehidupan tanpa terjebak dalam propaganda semu dan histeria politik sesaat yang menciptakan tumbal-tumbal sosial politik! 4. Jadilah pemimpin, entah jadi Bupati terpilih atau pun sebagai warga biasa yang bersikukuh dalam semboyan: Pada Wee Malala Loda Wee Maringi, Soli Oli Mila Peda Oli Jara Ta Tana Waikanena Loku Waikalala! ***
Posted on: Mon, 05 Aug 2013 00:21:07 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015