Hakekat Tuhan adalah merupakan awal dari adanya sebuah proses - TopicsExpress



          

Hakekat Tuhan adalah merupakan awal dari adanya sebuah proses sejarah awal dari adanya filsafat baik sebagai ilmu ataupun filsafat sebagai pengetahuan yang dalam perkembanganya menjadi sebuah kesatuan yang diharapkan dapat menjadi sebuah keseimbangan antara tubuh dengan jiwa,sebagaimana perasaan dengan pikiran pada ilmu ataupun juga pengetahuan,adalah sejarah awal dari adanya filsafat ketika dari perspektif salah satu cabang dari filsafat menekankan Tuhan sebagai paham yang utama (theisme) dan menjadi sumber dari setiap pemikiran (logos) manusia (antropos) atas setiap apapun yang merupakan ruang lingkup dari filsafat sebagai inti dari setiap paradoksikalitas yang ada. Setiap paradoksikalitas adalah awal interaksi antara Tuhan dengan setiap apa yang diciptakan olehNya adalah Tuhan yang menjadi sebuah prioritas dominan dalam menengahi setiap paradoksikalitas antara harapan (sollen) dengan kenyataan (sein) ataupun antara imanensi ataupun transendensi pada setiap benturan dialektis antara pengetahuan (mater) dengan ilmu (pater),Tuhan adalah inti dari kebijaksanaan (axis philosophia) dalam filsafat ke-Tuhanan yang ada pada salah satu cabang filsafat. Namun hal ini sekaligus awal dari adanya cabang filsafat lain sebagai sebuah sistem teologis, terutama ketika filsafat memberikan asumsi mengenai ontologi dari setiap cabang ilmu pengetahuan yang merupakan sumber dari sejarah beragam ilmu pengetahuan (epistemologi) terhadap filsafat baik sebagai ibu (feminisitas) ataupun ayah dari ilmu pengetahuan (patriarki),ketika manusia menyadari diriNya sebagai manusia dalam sejarah filsafat ke-Tuhanan (theologi) bahwa,bahkan sebelum adanya teologi sebagai inti materi filsafat,malahan sebelum adanya sejarah. Bahwa pada awalnya Tuhan sama sekali belum menamakan diriNya sebagai Tuhan,sampai akhirnya Dia menamakan diriNya bersamaan dengan diciptakanya para malaikat,termasuk iblis,kemudian alam semesta,dengan segala kemungkinan relatif yang ada pada alam semesta sebagai bagian dari setiap kemungkinan dari setiap apa yang menjadi kehendak Tuhan atas setiap apa yang diciptakan olehNya,sebuah bagian dari sebuah kekuasaan dan juga kehendak yang ada pada diriNya sebagai Tuhan bahwa setiap apa yang merupakan bagian dari apa yang diciptakan olehNya,termasuk bahkan nama diriNya sendiri adalah sebuah bagian dari segala apa yang telah dan akan menjadi sebuah kekuatan dari sebuah kehendak dari suatu kekuatan kuasa ke-Tuhanan. Dengan kata lain manusia dapat berkata bahwa Tuhan telah menciptakan segala sesuatu dengan sebuah kehendak adalah jelas merupakan sebuah kebenaran yang sebenarnya mutlak dan tiada perlu dipertanyakan ulang sama sekali,merupakan sebuah fakta ataupun juga merupakan sebuah bukti bahwa sampai kapanpun dari hal terkecil ataupun terbesar yang pernah ataupun akan diciptakan Tuhan tak akan pernah dapat sepenuhnya bisa dipahami sebagai sebuah definisi yang jelas,mutlak ataupun pasti tanpa adanya sebuah perubahan dari segala sesuatu yang merupakan bagian dari misteri eksistensial pada diriNya. Hal ini kemudian menjadi sesuatu yang tak dapat mudah untuk ditebak dalam setiap perubahan ataupun setiap kemenjadian yang terus-menerus,dalam setiap kefanaan kehendak diriNya yang tiada dapat dipastikan sama sekali oleh manusia sebagai mahluk yang berpikir serta menciptakan ilmu pengetahuan, salah satu cara dalam mempersamakan diri manusia dengan Tuhan,saat ini atau kapanpun,meskipun hanya merupakan sebatas sebuah “kehendak”,Tuhan merupakan sebuah kekuasaan yang telak dan mutlak (absolude) serta menjadi sebab (stimulus) sekaligus akibat (respon) lepas dari setiap paradoksikalitas. Setiap apapun atau segala apa yang diciptakan olehNya adalah sebuah kebaikan atau lebih tetap disebut sebagai sebuah kebenaran (truth) karena setiap apa yang diciptakan oleh diriNya senantiasa mempunyai arti untuk dapat senantiasa dimengerti sebagai sebuah dialektika yang tiada berkehabisan dan sarat dengan kebenaran untuk digali,hal ini dikarenakan karena Tuhan tak pernah habis untuk dikuasai hanya dalam sebatas berbagai sebutan ke-Tuhanan untuk mewakili eksistensi dirinya sebagai sesuatu yang menguasai segala sesuatu tanpa ada diriNya sebagai Dia,apa yang ada sebatas pikiran manusia adalah sebuah kesombongan atau sebuah kecerobohan (deksura) ketika manusia hanya memberikan interpretasi terhadap Tuhan hanya dengan sebatas salah satu sisi metodis dari rasionalitas dirinya semata. Dengan kata lain Tuhan sama sekali tiada dapat dipahami hanya pada sebatas pemikiran yang ada pada metodologi keilmuan yang rasional serta sistematis,dapat dikatakan bahwa Tuhan (Yang Lain) bukan sebuah metode,suatu sistematisasi yang sedemikian mudah dirasionalisasikan oleh manusia,terutama ketika manusia menguatkan status dirinya berlandaskan berbagai dokrin agama ataupun filsafat,bahwa manusia adalah mahluk yang ada karena dia berpikir (animal rationale) dan termuliakan serta tersempurnakan hanya karena manusia dapat berpikir untuk dapat tetap mengada bersama sejarah dirinya yang pernah ada di masa lalu serta sejarah yang mungkin akan ada bagi dirinya di masa depan. Adalah merupakan sebuah harapan akan adanya sebuah eksistensi yang ideal (ratu adil) bahwa setiap manusia memiliki kekurangan ataupun kelebihan untuk dapat menjadi atau tidak menjadi (memiliki),setiap manusia selalu memiliki kesalahan dalam sejarah dirinya sebagai manusia,dimana manusia mesti belajar dari setiap pengalaman yang menjadi bagian pada dirinya sebagai sebuah realitas bahwa manusia tak dapat lepas dari setiap hikmah yang ada pada perjalanan hidup. Sebuah kenyataan empirik yang mesti dipahami oleh dirinya sebagai sebuah landasan epistemik dalam mempelajari setiap apa yang pernah,sedang ataupun akan terjadi,sebuah lahan bagi pemikiran dirinya dalam memahami setiap fenomena yang ada,kehidupan manusia di dunia (lebenwelt) adalah sebuah tragedi penebusan kesalahan yang terus-menerus (absurditas) dalam setiap penyesalan Tuhan atas dirinya dan juga penyesalan dirinya atas Tuhan,manusia adalah sebuah penyesalan yang panjang tiada tepi dan tiada habis untuk dibongkar ataupun dimengerti sebagai Dia (homo apologia). Bahwa penyesalan Tuhan menciptakan manusia untuk melanggar setiap disiplin yang diciptakanNya adalah juga merupakan sebuah penyesalan manusia atas setiap apa yang diciptakan Tuhan,maka manusia dan Tuhan akhirnya terjebak pada sebuah ruang pencitraan yang sama (imago dei) pada sebuah kebersatuan (pantheisitas) bahwa setiap apapun yang ada adalah sebuah penyesalan dari sebuah kreasi besar (magnum opus) dimana sebuah hasil kreasi harus dapat menjadi sebuah wujud terimakasih ataupun sebuah wujud syukur padaNya,] Sebuah upaya penebusan dari setiap kesalahan yang disesali sebagai sebuah hasil dari sebuah karya cipta manusia ataupun Tuhan (ouvre) yang senantiasa harus diperbaharui karena selalu memiliki kekurangan ataupun kelebihan pada dirinya sebagai sebuah realitas yang melekat dengan “yang lain”(monad),ketika Tuhan menciptakan segala apa yang diciptakan olehNya sebagai sebuah upaya legitimasi bagi namaNya,bagi setiap apa yang ada pada diriNya sebagai sebuah lahan bagi setiap apa yang diciptakaNya,bagi sebuah perulangan dari setiap apa yang telah dilakukan olehNya,untuk sebuah legitimasi yang terus-menerus antara apa yang diciptakan oleh diriNya dengan diriNya sebagai sebuah hubungan yang transendental satu sama lain (eternal return). Dan hubungan Tuhan dengan segala apa yang diciptakan olehNya adalah sebuah kemutlakkan (absoluditas),dan sebenarnya tak dapat diingkari oleh mereka yang memiliki kesadaran untuk pasrah pada setiap apa yang menjadi sebuah kehendak,yaitu kehendak Tuhan atas kita dimana kita tak dapat berbuat apapun bilamana kita menyadari makna sebuah kekuatan dari sebuah kekuasaan yang mutlak (absolude power),dalam melakukan atau menjalankan sebuah kehendak penciptaan atas segala apa yang masih diciptakanNya,dimanapun manusia ada,setiap apa yang telah diciptakan tentu saja memerlukan sebuah pemeliharaan,meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa setiap apa yang telah diciptakan dapat dihancurkan,dibongkar atapun kembali dibangun atau disusun menjadi sesuatu yang lebih baik dari penciptaan sebelumnya (bricolage). Tuhan telah menciptakan sebuah dialektika dimana setiap segala sesuatu mau tak mau kembali pada setiap apa yang menjadi kehendak diriNya akan segala ciptaan yang diciptakan olehNya sebagai sebuah bagian dari kekuatan sebuah kuasa yang mutlak (suprema),semenjak adanya sejarah hingga nanti,ketika manusia berpikir tentang diriNya,maka manusia dihadapkan pada sebuah kenyataan keterbatasan potensi ke-Tuhanan yang ada pada diriNya sebagai sebuah kesadaran,manusia dihadapkan pada sebuah kepasrahan terhadap sebuah kehendak,setiap apapun ada atau tiada semata-mata hanya karena adanya sebuah kehendak,maka tanpa itu semua. Sebuah kehendak apapun tak akan pernah ada dimanapun,kehendak telah menjadikan segala sesuatu tercipta,terpelihara ataupun juga terhancurkan,namun pada awalnya kembali pada kehendak itu sendiri bahwa,setiap apapun diciptakan hanya semata-mata oleh adanya sebuah Kehendak Maha Bebas,namun demikian melekat serta mengikat justru karena kebebasan (nibbana) yang ada pada kehendak tersebut,dimanapun,apapun ada ataupun tidak siapapun,manusia sekarang ada hanya semata-mata karena adanya kehendak,tanpa kehendak maka setiap kehendak apapun yang diciptakan karena adanya sebuah kehendak sebagai sebab mutlak akan berakibat bagi setiap kehendak. Karena sebuah kehendak,maka kepasrahan akan sebuah kehendak akan mewujudkan sebuah bentuk kesadaran baru bagi setiap apapun yang diciptakan untuk senantiasa berketetapan untuk pasrah padaNya,dan pada setiap kehendak yang terdapat pada diriNya,sebuah bagian dari sebuah otoritas kekuasaan kemudian menjadi merupakan cikal bakal dari setiap bentuk kekuasaan ataupun kekuatan yang ada pada dasar setiap kehendak,dengan kata lain setiap kehendak dihadapkan pada sebuah kepasrahan untuk menyadari kuasa dari sebuah otoritas yang memiliki sebuah kehendak untuk membebaskan ataupun mengikat manusia atau setiap apapun dalam mewujudkan setiap kehendak atau berkehendak sebelum mewujudkan kehendak tersebut. Menyadari setiap keterbatasan ataupun kebebasan dirinya atas kehendak tersebut sebagai sebuah kekurangan ataupun sebuah kelebihan yang berkeseimbangan,sebagaimana berbagai paradoksikalitas yang ada pada setiap tataran ciptaan,Tuhan adalah segala apapun,ataupun setiap apapun bebas dari adanya paradoksikalitas,atau tidak tak lepas dari kehendak Tuhan sebagai sebuah kekuatan dari sebuah kekuasaan otoritas bebas yang tertinggi serta menjadi awal dari setiap kehendak yang ada pada setiap aras bahwa manusia berpikir,maka dia ada hanya sebatas pada sebuah kehendak untuk berpikir atau tidak berpikir,untuk ada atau tak ada,namun dalam sebuah kehendak,keberadaan atau ketiadaan tidak merupakan hanya sebatas pada pemikiran semata, namun juga pada perasaan,jiwa ataupun juga tubuh sebagai potensi kesadaran untuk pasrah pada setiap kehendak dari “Yang Lain”. Ruang atau waktu serta segala sesuatu dapat berubah,kefanaan yang tak tentu,maka tak ada sesuatupun yang tetap,namun sebuah ketegasan beresiko kadang mesti diambil oleh manusia,sebagaimana Tuhan mengambil resiko untuk mewujudkan apa yang menjadi kehendakNya,maka tak ada sesuatupun yang tetap tanpa ditetapkan menjadi sebuah resiko untuk dipertanggungjawabkan,demikian pula Tuhan dalam berkehendak,dalam menciptakan setiap apapun melalui apa yang telah menjadi kehendakNya,alam semesta dan setiap apapun yang ada di dalamnya,menjadi bagian atas diriNya dan secara keseluruhan adalah satu kesatuan kehendak yang menjadi dari setiap apapun yang telah diciptakan dan akan selalu demikian sebagaimana kehendakNya yang terjadi. Setiap kehendak kadang menjadikan manusia dihadapkan pada sebuah kegoyahan hati,kebingungan pikiran,kebimbangan,kegusaran dan bahkan marah serta dendam,manusia harus menyadari setiap kondisi yang memungkinkan manusia juga harus melakukan perubahan atas kondisi tersebut,sebuah kompromi kadang merupakan sebuah kenyataan yang memberatkan hati,perasaan manusia dengan segala keterbelakangan mentalitas dirinya sebagai manusia diantara manusia lain yang kadang menjadi sebuah sebab kalau manusia memiliki sebuah potensi kelebihan yang justru kemudian dihadapkan pada wilayahnya yang penuh dengan kekurangan. Senantiasa ada saat ketika manusia harus menepi sejenak untuk berpikir kembali dengan jernih tentang segala apapun yang pernah terjadi sebagai lahan bagi perbaikan sejarah dirinya sebagai manusia yang berpikir dan terlebih sebagai manusia yang belajar dalam memahami sebuah kekuatan dari sebuah pola kekuasaan atas diri sendiri,sebuah kehendak adalah sebuah kebebasan yang dapat senantiasa berubah-ubah,sebagaimana Tuhan berkehendak dalam kuasaNya yang berketetapan,Tuhan senantiasa tiada habis untuk diinterpretasikan sama sekali selain melalui sebuah ketakaburan ataupun kepongahan semata dari setiap apa yang diciptakan olehNya,dan salah satunya adalah manusia yang berpikir bahwa dirinya berkehendak untuk menjadi seperti Tuhan tanpa melalui apa yang menjadi kehendak dari sebuah otoritas besar tadi. Dalam sejarah filsafat Tuhan,manusia adalah bagian dari sejarah keberadaan dirinya sebagai manusia,manusia berpikir dan merasa bahwa dalam jiwanya manusia memiliki tubuh,sebuah kesadaran bahwa ada sebuah kuasa lain di luar pikiran dirinya,namun ada pada pikiran ataupun tubuhnya sebagai sebuah kuasa untuk ada,manusia lalu dihadapkan pada banyak pertimbangan batin,untuk ada bersama Tuhan atau lari meninggalkan diriNya sama sekali tanpa menoleh lagi,ada kalanya manusia dihadapkan pada berbagai konsep pemikiran yang menjebak dirinya pada rasa sepi,ketika manusia diciptakan,manusia dihadapkan pada sebuah kekuasaan dari “Yang Lain”,manusia kemudian berpikir,pikiran manusia yang diberikan pada dirinya menjadikan dirinya dihadapkan pada sebuah kehendak dari “yang lain”. Kemudian seorang Peter L.Berger mengatakan bahwa manusia dapat mengembara dengan pikiran dirinya (homeless mind) sebagai sebuah bagian dari keinginan dirinya (kehendak),pikiran manusia adalah sebuah sarana perjalanan untuk menuju pada sebuah titik,pikiran adalah sarana,demikian dikatakan oleh Imanuel Kant (rasionalitas instrumental),pikiran adalah juga sebuah sarana yang tertuju (rasionalitas tujuan) untuk mewujudkan suatu kehendak,pernah dikatakan oleh seorang filsuf dari Jerman Arthur Schopenhauer bahwa kehidupan di dunia diawali oleh sebuah kehendak,sebuah representasi Tuhan atas manusia sehingga manusia melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan Tuhan atas kehidupan manusia dan setiap apa yang ada serta hidup di dunia. Namun sampai nanti sekalipun,manusia tak dapat menjadi seperti Tuhan sepenuhnya,manusia memiliki keterbatasan pada setiap potensi yang ada pada dirinya sebagai sebuah instrumen kesadaran menuju aras ke-Tuhanan yang lebih tinggi dari kematian dirinya,karena bahkan kematian sekalipun tak akan pernah dapat mewujudkan kehendak manusia untuk dapat mengerti sepenuhnya siapa dirinya sebelum dia menyadari segala aspek ke-Tuhanan yang ada pada dirinya sebagai sebuah otoritas yang mesti disadarinya sebagai bagian dari yang tersendiri (samskara). Tuhan berkehendak,maka setiap apa yang dikehendakinya terjadi,sebagaimana Tuhan berkehendak atas munculnya alam semesta dan segala isinya termasuk manusia dan mahluk lain yang ada di dunia ataupun yang ada di luar kehidupan kita di dunia,karena pada awalnya segala sesuatu ada ataupun terjadi semata-mata karena kehendak Tuhan,maka sebuah kehendak juga dianggap merupakan suatu hal yang penting bagi manusia agar manusia senantiasa memiliki sebuah kehendak dengan melandaskan pada setiap apa yang telah menjadi kehendakNya. Ketika pertama kali manusia menciptakan manusia setelah Tuhan menciptakan mahluk lain dan juga semesta kemudian manusia diciptakan olehNya untuk mengabdi pada diriNya serta untuk menguatkan status serta kedudukan dirinya sebagai Penguasa Utama yang kemudian memunculkan pola perilaku kekuasaan pada alam,mahluk hidup dan juga pada manusia,segala sesuatu pada awalnya tiada dikehendaki,segala sesuatu apapun adalah sebuah ketiadaan,sebuah kekosongan hingga akhirnya sebuah kehadiran selain Dia dihadapkan pada sebuah kehendak untuk mencipta serta membentuk segala sesuatu yang kosong atau tiada menjadi ada,maka sebuah kehendak menjadikan segala sesuatu ada serta terjadi,alam,mahluk,manusia serta setiap apapun kemudian diciptakan untuk meramaikan kesendirian Tuhan dalam setiap ketulusan diriNya dalam mencipta. Kemudian segala sesuatupun ada sebagaimana layaknya sekarang,setiap sesuatu telah dilengkapi sedemikian rupa,telah digenapi oleh sebuah sabda bahwa segala sesuatu adalah terjadi semata-mata hanya oleh kehendakNya,dalam teologi yang memusatkan kajian pada Tuhan sebagai subjek penelitian,Tuhan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah kajian sebagaimana manusia atau benda,sebagai sebuah kondisi,hitungan ataupun sebuah situasi,Tuhan telah diadakan manusia ketika Tuhan memberikan kehendak agar itu semua terjadi,tanpa sebuah kehendak,maka manusia tak akan pernah bisa merasa layak untuk mempelajari siapa Tuhan dan bagaimana segala sesuatu ada atas namaNya karena kehendak awal adalah sebuah kehendak untuk dapat menjadi diri sendiri,untuk dapat menjadi Tuhan diantara berbagai macam ciptaan. Setelah itu sebuah ciptaan dihadirkan semata-mata hanya untuk sebuah legitimasi antara yang menciptakan dengan yang diciptakan sehingga sebuah hubungan harmoni dapat terjadi diantara keduanya sebagai sebuah kesepakatan rohaniah yang dikehendaki oleh keduanya sebagai sebuah kesepakatan antara dua kehendak yang dikehendaki sebagai suatu otoritas yang masing-masing memiliki kebebasan dan kehendak,namun demikian sebagaimana halnya Tuhan,manusia juga dapat melepaskan diri dari sebuah kehendak untuk tidak berkehendak. Sebuah kehendak kemudian akan dihadapkan pada sebuah kebebasan bahwa berkehendak ataupun tidak adalah tetap merupakan sebuah kehendak yang lebih agung dari kehendak yang kita kehendaki ataupun tidak kita kehendaki sebagai sebuah kehendak,karena sebuah kehendak telah teramat sangat cukup untuk kehendak itu sendiri sebagai sebuah kenyataan dari sebuah otoritas agung pada sebuah kuasa ke-Tuhanan,kekuasaan Tuhan telah mencukupi segala sesuatunya sebagai sebuah ketinggian yang utama,sebuah kekuasaan yang tak pernah dapat terhancurkan oleh apapun selain oleh kehendak yang hanya datang dari diriNya sendiri sebagai Tuhan,manusia juga adalah sebuah kehendak. Ketika Tuhan menghendaki setiap kehendak yang ada pada manusia sejalan dengan apa yang dikehendakiNya,segala apa yang merupakan kehendak manusia hendaknya juga adalah merupakan sebuah kehendak yang datang dari Tuhan,demikian pula sebaliknya bahwa setiap apa yang dikehendaki oleh Tuhan adalah juga merupakan sebuah kehendak manusia sebagai sebuah hubungan transendensi,sebaliknya bilamana apa yang tidak dikehendaki oleh manusia adalah juga tidak dikehendaki oleh manusia ataupun sebaliknya. Hal tersebut menjadi sebuah keperluan bagi sebuah kehadiran lain yang dapat menghubungkan eksistensi keduanya melalui sebuah simbol atau sarana tertentu yang salah satunya dapat berada dalam bentuk sebuah norma (larangan),agama ataupun kepercayaan dogmatik sebagai sebuah permulaaan bagi suatu perwujudan antara hukum manusia sebagai sebuah kehendak manusia dengan hukum Tuhan sebagai sebuah perwujudan dari sebuah kehendak Tuhan,setiap segala sesuatu adalah mungkin dalam ruang kesemestaan bahwa apa yang tidak dikehendaki oleh manusia dapat menjadi sebuah kehendak yang dikehendaki oleh Tuhan. Demikian pula sebaliknya bahwa apa yang menjadi kehendak bagi Tuhan dapat menjadi sesuatu yang tidak sama sekali dikehendaki oleh manusia (atau mahluk lain),kembali bahwa segala sesuatu adalah mungkin ataupun fana,dapat berubah dan tak abadi sama sekali,dan bahwa kehendak menjadi sebuah misteri yang tak boleh dikatakan oleh bahasa apapun,adalah karena dapat meniadakan segala sisi mistis ataupun magis dari sebuah kehendak itu sendiri ketika berbagai macam kehendak telah bercampur-baur dan tak ada lagi dalam realitas yang ada karena Tuhan dan manusia telah kehilangan makna transendensinya,selain sebuah kesamaan atau ketidaksamaan kehendak yang sebenarnya telah terjadi. Sebagaimana layaknya itu semua dikehendaki sejak awal oleh sesuatu yang tak dapat diperkatakan lagi sebagai sesuatu yang telah menjadi fillsafat Tuhan itu sendiri,adalah menjadi kehendak manusia untuk mengakui kehendak Tuhan sebagai sebuah kekuasaan yang telak dan adalah kehendak Tuhan bahwa manusia tak sama sekali dapat sepenuhnya menghendaki apa yang menjadi kehendakNya atas manusia,manusia yang bijaksana tentu dapat memahami sebuah kebebasan sebagai sebuah talenta sekaligus modal untuk menjadikan kehendak diriNya untuk memberikan kebebasan pada kita sebagai sebuah upaya untuk menyadari bahwa terdapat wilayah kebebasan lain yang lebih bebas dari kebebasan yang diberikan Tuhan pada manusia. Kebebasan itu adalah sebuah kebebasan berkehendak yang menjadikan kita memiliki sebuah kebebasan dalam berkehendak untuk menyadari kebebasan diriNya yang menjadikan manusia ataupun Tuhan untuk dapat memiliki kesamaan dalam kehendak,namun demikian hal tersebut bukan berarti manusia mampu melampaui kebebasan serta kehendak Tuhan,tapi adalah hal yang mungkin,meskipun hanya sebagian kecil manusia yang mampu setidaknya dapat mempersamakan dirinya dengan kebebasan ataupun juga kehendak Tuhan bilamana antara manusia dan Tuhan terdapat persetujuan ataupun sebuah kontrak rohaniah yang memungkinkan untuk hal tersebut terjadi. Setiap manusia memiliki kebebasan,memiliki kehendak untuk ada ataupun tak ada bersama kehendak dari “Yang Lain”,setiap apapun yang dapat dinalar ataupun tidak ada sebuah bagian awal dari sebuah kehendak,dimana manusia harus mampu menjadikan itu semua sebagai sebuah landasan kerangka moralitas untuk berpikir lebih maju dalam memahami kehendaknya sendiri ataupun kehendak dari Tuhan itu sendiri,ketika manusia berpikir tentang kebebasan,setiap manusia akan dihadapkan pada sebuah kebebasan yang muncul dari kesadaran dirinya akan keterbatasan dirinya atas eksistensi ataupun keberadaan Tuhan untuk dapat bebas sepenuhnya dan juga dapat berkehendak sesukanya atas nama kebebasan.. Dengan melepaskan dari adanya iman ataupun kesadaran akan adanya kekuasaan Tuhan sebagai sebuah kenyataan yang mungkin harus dipertanyakan ulang secara bebas oleh manusia dengan menggunakan kehendak untuk percaya atau tidak percaya pada kekuasaan tersebut sebagai sebuah kekuatan otoritas ke-Tuhanan yang diketahui manusia melalui sejarah ataupun kebudayaan manusia di masa lalu dan mungkin juga di masa yang akan datang,merupakan sebuah masalah bagi suatu kebebasan (nibbana) ataupun kehendak (cetana) yang senantiasa kembali ketika keduanya ditiadakan oleh sebuah kekuatan ataupun kekuasaan tertentu. Kesadaran akan ketidakmampuan seorang manusia individu untuk berkehendak dan untuk bebas akan senantiasa menimbulkan sebuah pemberontakan ataupun perlawanan untuk dapat merebut kembali hak dirinya atas sebuah kehendak ataupun sebuah kebebasan sebagai landasan utama dalam meraih sebuah kemajuan ataupun kesadaran yang lebih baik bagi dirinya,dan pada saat mana kebebasan dikekang,maka sebuah ketidakbebasan akan berlanjut menjadi sebuah kemarahan yang kemudian menjadi sebuah dasar bagi adanya sebuah perebutan kekuasaan karena adanya ketidakbebasan di salah satu pihak. Dimanapun dan kapanpun pada umumnya manusia kemudian terjebak pada paradoksikalitas untuk tidak bebas ataupun tetap bebas atas dasar subjektivitas dirinya yang otonom untuk berkehendak dalam membebaskan dirinya atau sama sekali tidak melakukan pembebasan atas dirinya sebagai sebuah hak yang paling asasi,adalah kehendak untuk berkuasa,menjadi Tuhan,adalah cikal bakal kejatuhan manusia ke dalam sebuah pembuangan alam rendah keduniaan setelah neraka,manusia telah dibuang justru karena Tuhan telah memberikan sebuah kebebasan dengan kehendakNya untuk manusia agar dapat berkehendak dengan kebebasan yang telah diberikan Tuhan kepada dirinya,sebuah kebebasan senantiasa mengandung sebuah resiko. Demikian pula halnya dengan sebuah kehendak pada aras kemanusiaan dan alam semesta yang ada di bawah struktur kebebasan Tuhan dengan segala kehendak yang dimiliki olehNya atas segala apapun yang sedang atau pernah diciptakan olehNya sebagai bagian dari legitimasi diriNya atas diriNya sendiri melalui penciptaan dan pemberlakuan berbagai larangan yang salah satunya adalah sebuah sanksi atas sebuah dosa asal (dosa asal) yang menjadikan kebebasan manusia terkekang hingga pada akhirnya manusia terjebak pada sebuah kehendak untuk berkuasa melalui sebuah bujuk rayu iblis (evil seduction) yang dimulai dari sebuah kedengkian serta dendam karena sebuah pembuangan pertama. Kemudian manusia semakin kehilangan kebebasan dirinya dan mencari kebebasan tersebut dalam berbagai cara yang memberontak atas keberadaan Tuhan sebagai sebuah eksistensi yang memiliki kebebasan serta sebuah kehendak,maka manusia kemudian menjadikan setiap talenta yang ada pada dirinya sebagai sebuah sarana untuk mencari Tuhan dengan segala kelemahan diriNya sebagai sebuah cara untuk menebus sekaligus meraih tujuan awal dari sebuah kegagalan di masa lampau,yaitu menjadi Tuhan senantiasa bagi segala sesuatu termasuk Tuhan sendiri. Setiap potensi yang ada pada manusia adalah merupakan sarana untuk suatu kesadaran,kesadaran secara umum terbagi atas kesadaran tubuh,kesadaran perasaan,kesadaran pikiran serta kesadaran jiwa,keempat kesadaran tersebut berarti hanya menggunakan salah satu potensi sebagai sarana bagi salah satu kategori kesadaran,makna kesadaran manusia yang hakiki adalah sebuah keputusan menyangkut empat kepentingan,yaitu:tubuh,perasaan,pikiran serta jiwa. Dengan kata lain gabungan antara keempatnya adalah apa yang sebenarnya disebut dengan kesadaran eksistensial manusia sebagai dirinya yang mampu menggunakan kesadaran tersebut sebagai sebuah distribusi bagi kepentingan dari keempatnya pada jiwa,tubuh,perasaan ataupun juga pikiran manusia sebagai sebuah bagian dari kesadaran yang otoritatif dari gabungan kepentingan atau keempat kesadaran akan tubuh,jiwa,perasaan,ataupun pikiran sebagai suatu sarana bagi sebuah penyadaran lain. Setiap bentuk kategori kesadaran tadi adalah sebuah dasar bagi sebuah dialektika bagi pembentukan sebuah pribadi dengan tingkat ketajaman pikiran,kedalaman perasaan kelembutan jiwa serta kekuatan tubuh sebagai barometer bagi sebuah kwalitas dari suatu tingkat kesadaran seorang individu tertentu,kesadaran manusia dengan setiap barometer yang ada adalah sebuah kenyataan yang dialektis yang tak lepas dari suatu latar belakang eksistensi manusia,dari mulai keturunan hingga seberapa jauh seorang individu dapat mengambil keputusan dengan cepat,akurat serta berkwalitas dengan sebuah pertanggung jawaban atas setiap resiko dari setiap keputusan yang diambilnya dengan berbagai tingkat atau kategori kesadaran,. Keputusan yang dipertimbangkan dengan kesadaran sepenuhnya adalah merupakan sebuah bagian dari sebuah pertimbangan akan adanya sebuah kehendak demi untuk mencapai atau memenuhi suatu kepentigan tertentu menyangkut diri manusia itu sendiri,sebagai individu,mahluk sosial,mahluk politik ataupun sebagai sebuah subjek eksistensi hukum atau fungsi lain dari manusia sebagai sebuah otoritas bagi dirinya sebagai manusia dengan berbagai fungsi dirinya sebagai sebuah bagian dari sebuah disiplin sosial. Manusia dan kesadaran dirinya adalah bagaimana manusia dapat mengkondisikan dirinya pada sebuah keseimbangan antara imanensi dengan transendensi atau antara kenyataan dengan harapan atau dengan kata lain adalah bagaimana manusia dapat memposisikan segala sarana potensial yang ada pada dirinya sebagai sebuah sarana atau lepentingan untuk meraih suatu keseimbangan antara hubungan dirinya dengan manusia lain (liyan),alam ataupun juga dengan Tuhan dengan mentikberatkan setiap kesadaran yang telah diraihnya sebagai sebuah landasan menuju tingkat kesadaran yang lebih baik dari sebelumnya,sebuah niat bagi sebuah pembaharuan ataupun sebuah rekontruksi dari setiap kesalahan dirinya atau kesalahan yang ada pada sejarah manusia. Bukan merupakan hal yang tak mungkin bilamana suatu kesadaran kadangkala datang dengan terlambat,terutama ketika sebuah proses dibutuhkan untuk mendapatkan sebuah pola penyadaran,Sigmund Freud mengatakan bahwa peralihan dari ketidaksadaran menuju kesadaran sebagai sebuah “transferensi”,sebuah transisi ketidaksadaran menuju kesadaran memerlukan waktu dan ruang sejarah bagi manusia sebagai mahluk berkesejarahan dengan segala permasalahan yang mesti dihadapinya sebagai manusia dalam sebuah kompetisi,sebuah selalu proses diperlukan ketika manusia harus mengalami sebuah pencerahan. Ketika sebuah keadaan menjadikan adanya keterpurukan bagi manusia,sebuah kondisi hati yang kurang baik dan negatif akan menjadikan manusia mencari ruang ataupun celah untuk mencari sebuah kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang baik ataupun lebih baik dari setiap kondisi krisis yang dihadapinya meskipun hal tersebut kadang merupakan sebuah anomali sosial,dengan kata lain,sebuah kondisi krisis akan memposisikan manusia pada sebuah kondisi kesadaran untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai sebuah jalan keluar natural yang menjadikan manusia mesti mengada dengan pikiran ataupun setiap sarana yang ada pada dirinya sebagai sebuah potensi eksistensi kemanusiaan yang alamiah. Namun demikian pada umumnya manusia mengalami penyadaran ketika krisis terjadi pada kondisi dirinya sebagai sebuah eksistensi terutama ketika terjadi sebuah kenyataan yang mengkondisikan dirinya pada sebuah keterpojokkan ataupun keterpurukan,namun pada umumnya hal ini terjadi dalam sebuah keterkekangan ataupun dalam sebuah penekanan terhadap nilai ataupun makna bagi kehidupan seseorang hingga hilangnya rasa nikmat pada dirinya dalam menjalani setiap laju roda pada kehidupan dirinya sebagai seseuatu yang tiada bisa didapatkanya. Setiap potensi pada manusioa merupakan sebuah potensi,namun yang tertinggi,adalah kesadaran dirinya dalam mencapai sebuah kondisi atau tingkatan kesadaran yang lebih baik dibandingkan setiap potensi natural ataupun manusiawi yang ada pada dirinya sebagai sebuah kenyataan yang standar bagi setiap kebanyakan manusia atau ciptaan Tuhan,apa yang mesti diraih oleh manusia adalah sebuah tingkatan kesadaran yang melampaui batasan-batasan yang ada pada manusia umum yang tentu saja merupakan sebuah pelampauan atas mahluk lain sebagai sebuah ciptaan. Manusia ada karena dia memiliki kesadaran sehingga individu semacam ini mendapatkan sebuah penghargaan sosial secara alamiah hanya karena sebuah tingkatan kesadaran yang berada di atas manusia ataupun mahluk lain,adalah bagaimana menjadi diri sendiri adalah hal yang utama ketika manusia dihadapkan pada bagaimana untuk dapat meraih sebuah kesadaran awal bagi dirinya,sebuah kesadaran akan diri sendiri adalah hal utama untuk meraih sebuah otoritas diri,sebuah subjektivitas yang dimulai dari ego individual dalam menemukan setiap gairah pencarian diri sepenuhnya bagi sebuah pembentukan pribadi yang murni dalam diri manusia itu sendiri. Menjadi diri sendiri adalah tujuan utama sekaligus landasan utama bagi sebuah kesadaran manusia untuk menghadapi setiap kenyataan dalam setiap fenomena kehidupan manusia,manusia adalah sebuah kenyataan arogan,sebuah kenyataan urban sekaligus juga sebuah bentuk alienasi ketika manusia dihadapkan pada sebuah realitas sosial yang harus mau tak mau menjadi pada dirinya sebagai sebuah bagian dari sebuah proses berkesejarahan dalam membentuk sebuah kepribadian, yang kadang harus mau tak mau dihadapkan pada bagaimana menjadi pada diri orang lain setelah menjadi diri sendiri tanpa larut dalam sebuah pola perilaku ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran kolektif adalah sebuah kenyataan anomim dalam masyarakat dimana individu larut pada sebuah identitas masyarakat tanpa mengenal dirinya sendiri dengan segala barometer individu yang kemudian hancur dalam sebuah realitas barometer publik (masyarakat),dalam fenomena sosial yang ada,adaptasi individu dalam sebuah masyarakat (society),kelompok sosial (social group) atau pada sebuah stratifikasi sosial tertentu kerap kali individu mesti berhadapan dengan sebuah kekuatan besar masyarakat. Dimana keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat dianggap lebih diperlukan sehingga kerap kali individu menghancurkan identitas jati dirinya sendiri sebagai individu dengan mengorbankan perasaan,pikiran,tubuh atau bahkan jiwanya hanya untuk sebuah legitimasi sosial,menjadi sebuah kenyataan bahwa masyarakat telah tidak memiliki perasaan,pikiran ataupun jiwa adalah sebuah kenyataan yang juga terjadi pada diri seorang individu ketika harus larut dalam sebuah proses adaptasi sosial yang meniadakan individualitasnya hanya semata-mata untuk sebuah posisi ataupun status sosial yang meniadakan individualitasnya hanya demi sebuah posisi struktural yang ada pada sebuah masyarakat. Sebuah legitimasi atas individualitas ini akan dihadapkan pada sebuah legitimasi yang menyangkut kedekatan individu terhadap Tuhan,,seberapa tingkat kemapanan materi serta tentu saja yang utama adalah intelektualitas yang menyangkut berbagai aspek akademial,merupakan suatu fenomena dominan dalam setiap lapisan sosial bahwa hal ini menjadi sebuah tuntutan sosial bagi individu dalam masyarakat ketika masyarakat senantiasa menuntut intelektualitas,kekayaan dan kedekatan seorang individu pada sebuah nilai (value) yang dianggap merupakan sebuah nilai ke-Tuhanan,kekayaan,agama dan intelektualitas untuk sebuah fungsi sosial (social function) pada sebuah struktur masyarakat yang menuntutnya demikian. Akhirnya setiap sarana potensi kemanusiaan yang alami pada manusia mesti menjadi sebuah tujuan manusia yang mesti disadari oleh manusia sebagai sebuah kesadaran,kesadaran dalam meraih sebuah tujuan yang ada pada sebuah barometer sosial dalam mencari sebuah kenyataan diri yang terbangun melalui sebuah pengorbanan atas setiap talenta natural yang ada pada dirinya,maka dalam aras petualangan filsafat dunia,hal seperti ini dikatakan oleh Friedrich Nietzche sebagai sebuah moralitas orang kebanyakan (das man moraliteit) atau dikatakan oleh Emile Durkheim sebagai sebuah bunuh diri eksistensi individual (LSuicide). Suatu bunuh diri eksistensial dalam meraih sebuah proporsi sosial yang belum tentu merupakan sebuah proporsi yang ada pada individualitas diri yang otentik sebagai manusia yang memahami dirinya sendiri sebagai sebuah realitas hidup yang ada pada dirinya sendiri sebagai diri yang sejati yang dapat hidup tanpa menjadi mahluk sosial ataupun berpaham sosialis karena hal yang terpenting adalah bagaimana menjadi diri sendiri meskipun hal tersebut lebih dekat pada kisi individualitas,status manusia semacam ini adalah sebuah moralitas yang diunggulkan tak hanya bagi manusia-manusia unggul yang lain (uebermenchen),namun juga atas nama alam dan juga Tuhan sebagai Pengada bagi sebuah moralitas genealogi. Pada awal sebelum Tuhan memberikan nama untuk diriNya serta menciptakan segala sesuatu untuk sebuah legitimasi kekuasaan diriNya sebagai Tuhan terhadap setiap apa yang senantiasa dicipatakan olehNya,Tuhan adalah kebebasan yang sepenuhnya,ketika Dia belum menciptakan apapun,suatu penciptaan justru menjadikan kuatnya kekuasaan Tuhan,namun merupakan sebuah kemunduran bagi sebuah kebebasan,terutama ketika setiap ciptaan menjadi sebuah kemelekatan (determinasi) antar kasih,kasih (metta) dan sayang (karuna) adalah sebuah kemelekatan yang utama yang tidak hanya meniadakan sebagian dari nilai atau makna kebebasan bagi Tuhan semata,namun juga bagi manusia terutama ketika manusia dihadapkan pada ruang perasaan menyangkut kasih sebagai sebuah kemelekatan utama Tuhan atas manusia yang kemudian menjadikan segala sesuatu ada bagi setiap sesuatu atas nama dan dalam diriNya.
Posted on: Thu, 05 Dec 2013 01:17:29 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015