Harimau-Harimau Mochtar Lubis episode 3 Target 14 - TopicsExpress



          

Harimau-Harimau Mochtar Lubis episode 3 Target 14 like ****************************************** berniat jahat? Tetapi siapa yang berani berbuat demikian? Mereka selalu tidur di beranda di atas lantai. Jika mereka bermalam di sana, maka isteri Wak Hitam yang ikut dengan dia selalu memasak nasi dan lauk pauk untuk mereka. Mereka berikan beras dan lauk pauk yang mereka bawa, dan istri Wak Hitam menanaknya. Mereka senang makandi sana, karena lain juga rasanya dari makanan yang mereka masak sendiri. Semua istri Wak Hitam pandai memasak. Lagi pula di ladangnya banyak ditanamn sayuran, dan selalu mereka mendapat tambahan masakan dari sayuran di ladang. Yang paling mereka senangi ialah rebus jagung muda atau ubi jalar, dan ubi singkong yang dibakar diatas bara yang panas. Biasanya pagi-pagi sekali Buyung atau Sanip telah duduk di depan dapur membakar jagung atau ubi. Atau malam-malam, ketika mereka belum tidur,dan salah seorang bercerita, maka mereka senang duduk dekat tungku, sambil membakar jagung atau ubi. Dimakan panas-panas dengan kopi hitam panas amat enak rasanya. Hilanglah segala penat dan letih satu hari bekerja di hutan. Dalam malam serupa itu, Sanip akan mengeluarkan dangung-dangungnya dan menyanyikan lagu-lagunya. Sekali, ketika dia melagukan ratap tangis seorangperempuan muda yang ditinggalkan suaminya, maka Buyung melihat Siti Rubiyah menghapus air matanya diam-diam. Mereka semua suka pada Siti Rubiyah. Dia masih muda benar. Orangnya pun cantik. Jika Buyung tak tergila-gila pada Zaitun, maka dia akan mudah jatuh cinta padanya. Akan tetapi kini dia telah jadi bini orang, dan bukan orang sembarangan pula takinya, tetapi Wak Hitam, yang ditakuti dan disegani. Karena itu selintas pun tak masuk dalam ingatan Buyung sesuatu pikiran tak baik terhadap perempuan itu. Meskipun Buyung harus mengakui, bahwa badannyalangsing dan bagus bentuknya, buah dadanya, meskipun kecil tetapi kuat dan cantik, dan parasnya dengan hidungnya yang mancung dan mulutnya yang terdiri dari dua buah bibir yang penuh dan merah dan selalu basah, dan matanya yang bundar dan terang bercahaya, ditambah lagi dengan rambutnya yang hitam, dan panjang hingga sampai ke ujung pantatnya. Sering Buyung melihat rambul nya terurai jatuh ke bawah, tebal dan hitam, sedang dia bekerja di kebun dan jika dia sedang bekerja di kebun di siang hari, maka sinar matahari yang terik memerahkan pipinya, dan semakin cantik saja dia kelihaian. Talib dan Sanip sekali waktu tak dapat menahan diri. Ketika mereka yang muda-muda bersama-sama di hutan, dan orangorang tua tak ada dekat-dekat, maka Talib atau Buyung alau Sanip mulai berbicara tentang kecantikan Siti Rubiyah. "Aduh, coba kalau takinya bukan Wak Hitam," kata Talib. "Aduh, coba kalau dia belum kawin," tambah Buyung. "Kemarin aku mimpikan dia," tambah Sanip. "Engkau lihat bahagian alas buah dadanya,jika dia membungkuk meniup kayu di tungku? Tadipagi aku tolong dia memasang api," kala Buyung. "Engkau lihatkah mata Pak Haji memandang padanya pada suatu kali?" tanya Sulan, sambil tertawa penuh arti. "Pak Haji?" tanya Talib takjub. "Masa Pak Haji punya pikiran yang begitu?" "Ya, kan dia sudah tua?" kata Buyung. Sanip tertawa. "Dengarkan si Buyung berbicara," katanya. "Lupakah engkau pepatah tua-tua kelapa....?" Lalu mereka tertawa terbahak-bahak. "Tetapi mata Pak Haji masih kalah dengan mata Wak Katok," kata Sutan menambahkan. "Aduh coba engkau perhatikan kalau dia melihat pada Siti Rubiyah dan Wak Hitam lagi tak ada. Seakan hendak ditelanjanginya saja Siti Rubiyah, dan hendak ditelannya Siti Rubiyah hidup-hidup. Aku pun jadi cemburu dibuatnya." Mereka berpandangan. "Engkau juga," kata Sanip, "sama saja, orang tua atau orang muda, kalau sudah melihat perempuan cantik, lupa daratan. "Ah, aku tidak," kata Buyung membantah,"memang dia cantik, tetapi aku tak berani merasa seperti kalian. Aku takut pada Wak Hitam." "Ho-ho," Sutan dan Sanip dan Talib menertawakan Buyung, "engkau kan masih bujang masih belum tahu, belum punya pengalaman apa-apa, karena itu dapat berkata demikian. Kau belum tahu apa artinya itu." Dan mereka saling berpandangan dan tertawa, menertawakan Buyung yang tak berpengalaman. "Coba kalau nanti kau sudah dipeluk si Zaitun, baru kau tahu," Sutan mengangguk lagi. Aduh, merah padam muka Buyung malu. Mereka pun tahu sudah tentang cintanya yang tak berbalas terhadap Zaitun. Melihat muka Buyung merah padam karena malu, maka mereka tertawa lebih hebat lagi. "Tapi sebelum dengan Zaitun, lebih baik kau belajar dulu dengan Siti Rubiyah," kata Talib. Dan mereka tertawa kembali. Kemudian mereka beralih kembali membicarakan kemungkinan-kemungkinan Siti Rubiyah di tempat tidur. Atau tak usah di tempat tidur pun boleh tidur, seperti dikatakan oleh Sutan, yang menimbulkan tertawa mereka yang hebat kembali. Mereka habis-habisan menghantam Wak Hitam yang sudah tua. "Entah apa gunanya baginya istri sampai empat," kata Sutan, "dia sudah tua, sebentar-sebentar sakit, mengapa dia harus berbini muda lagi seperti Siti Rubiyah?" "Itu kan adat manusia," kata Sanip,"semakin tua seorang letaki, semakin dia ingin punya bini muda. Dan perempuan tua ingin punya suami muda. Untuk menahan umurnya sendiri." "Aduh, kalau orang tua seperti Wak Hitam kawin dengan istri muda seperti Siti Rubiyah, bukannya dia menahan umurnya, akan tetapi hanya akan mempercepat dia masuk lobang kubur saja," kata Sutan tertawa. Sejak percakapan mereka demikian, Buyung lebih memperhatikan kawan-kawannya jika berdekatan dengan Siti Rubiyah. Memang dia dapat merasakan sesuatu perubahan dalam sikap mereka. Usaha mereka untuk bersikap dan berbuat biasa terlalu kelihatan, hingga sebenarnya malahan menunjukkan adanya perasaan lain dalam dirinya. Buyung sering merasa khawatir apakah Wak Hitam tak melihatnya pula. Akan tetapi dalam beberapa bulan terakhirWak Hitam sering sakit-sakit. Dan lebih banyak tinggal di kamarnya saja. Pak Haji dan Wak Katok dan Pak Bakmi yang datang mengunjunginya ke kamar tidur. Yang muda-muda hanya datang sebentar, dan kemudian segera pergi. Karena mereka tak merasa sesuatu kegembiraan bercakap-cakap dengan Wak Hitamyang menyeramkan itu. Belakangan ini badannya bertambah kurus, dan dia masih selalu memakai pakaian hitam. Matanya cekung mendalam, kumis dan janggutnya telah banyak putihnya. Akan tetapi rambutnya masih lebat. Meskipun dia sakitdemikian, akan tetapi seluruh perawakannya masih tetap garang dan menakutkan. Ada sesuatu dalam dirinya yang menimbulkan rasa segan orang terhadap dirinya. Tak obahnya dia seakan seekor harimau yang sakit, akan tetapi yang jika dilanggar perasaannya, akan dapat melompat dan menerkam dengan cepat dan mematikan. Selain dari Siti Rubiyah yang menarik hati mereka untuk bermalam di ladang Wak Hitam, maka sekali-sekali mereka berjumpa pula di sana dengan berbagai orangyang anehaneh. Sekali ketika mereka pulang dari hutan, mereka jumpai telah ada enam orang lain yang terlebih dahulu tiba. Mereka semua berpakaian hitam dan membawa parang panjang. Mereka sapa-menyapa. Akan tetapi mereka tak kenal pada mereka. Tak pernah mereka melihat orang-orang itu selama ini singgah di ladang Wak Hitam. Orang-orang itu pun tak banyak bercerita, dan duduk berkumpul di antara mereka. Tak lama kemudian, mereka dipanggil masuk ke kamar Wak Hitam. Buyung lihat dua orang di antaranya membawa dua buah bungkusan, yang kelihatannya berat isinya. Tak lama kemudian mereka mendengar suara berbisik-bisik menembus dinding bambu yang tipis. Akan tetapi betapa juga Buyung memasang telinganya tak dapat dia mengikuti pembicaraan mereka di dalam. Siti Rubiyah pun tidak berada di kamar lidur, akan tetapi tinggal duduk di dekat tungku, memasak kotak ubi jalar. Tak lama kemudian mereka ke luar, dan terus minla diri, dan mereka menghilang ke dalam hutan melalui ladang dalam gelap malam. Siapa mereka? Ke mana mereka? Macam-macam timbul pertanyaan dalam hati tetapi tak seorang pun juga yang berani menanyakan. Sutan sendiri pun terdiam, seakan kehadiran orang-orang berbaju hitam yang penuh rahasia itu menekan perasaannya. Perasaan mereka bertambah tertekan, melihat sikap Siti Rubiyah yang seakan-akan tak acuh, dan pura-pura tak tahu bahwa orang yang enam itu telah datang dan pergi. Dia hanya mengangguk saja ketika mereka berenam minta diri dan turun ke dalam gelap malam. Buyung mengikuti mereka dengan pandangannya, betapa mereka berjalan dalam gelap samar malam di ladang, dan kemudian hilang dalam pelukan gelap hutan. Rasanya seakan mereka tak pernah ada. Sesuatu bayanganrahasia yang dilontarkan oleh gelap malam ke dalam rumah, dan kemudian dihelanya kembali ke luar dan hilang kembali ke dalam hutan. Esok harinya Sutan bercerita, bahwa esok paginya dia bertanya kepada Siti Rubiyah siapakah keenam orang itu, akan tetapi Siti Rubiyah menjawab dengansingkat: "Baiklah jangan ditanya." Semuanya ini menakutkan hati Buyung, akan tetapi membuatnya menjadi ingin tahu sekali. Macam-macamlah timbul pikiran mereka untuk memecahkan rahasia ini. Sutan berkata: "Jika mereka datang lagi, dan kita masih disini, mari kita ikuti mereka dari jauh. Ke mana mereka pergi?" "Ya, barangkali mereka penjaga gua emas Wak Hitam," kata Talib, "coba kalau kita tahu di mana letak gua itu, kan kita tak usah lagi letih-letih mengumpulkan damar, akan tetapi cukup kita mengambil emas banyak-banyak, dan selanjutnya kita jadi orang kaya?" Akan tetapi sekali-sekali mereka bertemu pula dengan orang-orang lain yang menarik hati dan menyenangkan perasaan. Umpamanya beberapa bulan yang lalu, ketika mereka menginap di sana, kebetulan ikut pula menginap seorang tukang bercerita keliling. Dia seorang tua dan membawa sebuah gendang dan sebuah suling. Memang rupanya kesenangannya bercerita, karena tanpa terlalu susah payah mengajaknya, maka dia pun berdiri di tengah-tengah beranda, dan mulai bercerita. Aduh alangkah pandainya dia bercerita. Cerita kanak-kanak yang diceritakannya, tentang permusuhanantara seorang datuk yang memiliki kebun jagung dengan seekor tupai amat menarik. Mereka semua terpesona melihat betapa pandainya dia bercerita. Jika dia bertaku sebagai si datuktua yang marah amat sangat, karena jagungnya yang muda dicuri tupai, maka sungguh-sungguhlah dia berubah menjadi pemilik kebun yang marah demikian. Dan kemudian tiba-tiba saja lalu dia menjadi tupai, seekor tupai nakal yang kesenanganmengganggu si pemilik kebun, dan dari atas dahan pohon yang tinggi dan aman, mengejek yang empunya kebun, sambil memakan jagung muda dengan enaknya. Dan yang kelihatan di depan kita bukan seorang tukang cerita, tetapi sungguh-sungguh seekor tupai. Asyiklah mereka dibuatnya dengan macam-macam ceritanya. Hingga kemudian setelah dia selesai bercerita, maka mereka memberinya hadiah sedikit uang. Mula-mulanya tak hendak dia menerimanya, akan tetapi mereka paksa juga. Pada suatu malam lain, mereka berjumpa di sana dengan seorang tua dan seorang anak letakinya yang sudah besar. Mereka hendak pergi ke kampung Aur Kuning, di seberang hutan, dan mengambil jalan singkat dengan memintas hutan dan gunung, dan malam itu bermalam di ladang Wak Hitam. Setelah habis makan malam, ketika mereka bercakapcakap, lalu orang tua itu memegang tangan Buyung sambil berkata : "Anak kelihatannya yang termuda di sini. Mari aku baca tanganmu." Lalu dia memperhatikan garis-garis tangan Buyung. "Anak akan banyak mengalami pengalaman yang hebat. Anak harus sabar dan tabah menghadapi percobaanpercobaan hidup," katanya, dan menambahkan,"tetapi akhirnya anak akan mendapat juga apa yang anak inginkan sekali” Di sini Sutan tertawa, disusul oleh yang lain-lain. Muka Buyung merah padam malu-malu. Tetapi dalam hati, Buyung senang juga. Buyung teringat pada Zaitun. "Anak panjang umur," katanya pula, "dan anakmu banyak... tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan." Sutan mulai lagi tertawa mengangggu Buyung. Muka Buyung tambah merah padam. "Hanya satu harus anak hati-hati dalam hidup ini," katanya melanjutkan, "jangan terlalu percaya padaorang, meski kawan sendiri pun. Nasib anak dalam hidup selalu akan dikhianati oleh orang-orang yang dekat dengan anak. Dan anak jangan lupa, tak boleh memakai pakaian yang terbalik. Rezeki anak baik, dan anak akan senang nanti di hari tua." Setelah dia membaca garis tangan Buyung, maka yang lain pun minta tangannya dibaca. Pada Sutan dia berkata, supaya Sutan hati-hati terhadap hatinya sendiri, karena dia mudah tergodaoleh perempuan. Dia tidak boleh menurut kala hatinya, akan tetapi selalu harus berpikir dahulu baik-baik sebelum dia berbuat sesuatu apa. Katanya, Sutan mudah berteman dengan orang, akan tetapi mudah pula lepas. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa Sutan akan kawin sampai enam kali. Dan Sutan bukannya malu mendengar itu, melainkan mukanya penuh bangga. Akan tetapi mendengar ucapannya kemudian, Sutan terdiam dan mukanyn agak pucat, karena orang tua itu berkata: "Orang muda mesti hati-hati sekali. Bahaya besar menanti orang muda di waktu dekat yang datang. Janganlah turut nafsu hati." Buyung merasa seakan ini sindiran terhadap Sutan supaya jangan mengganggu Siti Rubiyah. Kepada Wak Katok dia berkata aneh sekali. "Maaf ya pak," katanya, setelah memperhatikan telapak tangan kiri dan kanan Wak Katok. "Tak dapat saya membaca sesuatu." "Takutkah bapak mengatakan apa yang bapak baca? Saya tak takut." Mereka berpandangan mata sebentar, dan kemudian orang tua itu berkata : "Gelap saja yang saya lihat, dan saya lihatbanyak warna merah. Entah apa artinya saya tak tahu." Wak Katok tertawa keras, akan tetapi suara tertawanya agak tegang, seakan dia menekan perasaannya yang terganggu. Juga dia tak hendak membaca tangan Pak Haji dan Pak Balam, dan mengatakan, bahwa dia tak dapat membaca sesuatu di garis tangan mereka. Kepada Talib dan Sanip dia berkata, supaya mereka amat berhati-hati dalam hidup, karena bahaya selalu mengancamnya. Malam itu mereka tidak berbicara dan mengobrol segembira seperti biasa. Seakan ada sesuatu yang menekan di beranda rumah di ladang itu, sesuatu yangsejuk yang datang melayang dari angkasa hitam di atas hutan, sesuatu rahasia yang gelap dan hitam yang memijit hati dengan jari-jarinya yang sejuk. Mereka juga berjumpa di sana dengan orang-orang yang pernah jauh merantau, dan bercerita tentang orang dan penghidupan di pulau-pulau lain. Sekali mereka bertemu dengan seorang yang pernah bekerja di New Caledonia, pulau jajahan Perancis. Katanya di sana banyak orang Indonesia yang bekerja dan pandai berbahasa Perancis. Dia sudah berkeliling dunia, ada dua puluh tahun lebih dia mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain. Asyiklah mendengar ceritanya, tentang negeri Cina, Jepang, sampai ke negeri Amerika, Inggris, Belanda, Jerman, Spanyol, dan Portugis dan Benua Afrika. Sampai jauh malam mereka mendengar ceritanya gantiberganti dengan Pak Haji. 0oo0 WAK Katok duduk mencangkung di dalam semak-semak di pinggir huma. Telah lama juga dia menunggu di sana. Dia tahu Siti Rubiyah akan lewat jalan kecil ituuntuk pergi ke sungai mencuci. Di seluruh huma itu sunyi sepi. Hanya terdengar bunyi burung berkicau-kicau mencari makan di kebun jagung. Wak Hitam, suami Siti Rubiyah tidur di pondok, menderita demam panas. Kawan-kawannya yang lain di hutan mengumpulkan rotan. Tiba-tiba Wak Katokmemasang telinganya. Dia mendengar bunyi telapak di tanah. Dan tak lama kelihatan datang dari kebun Siti Rubiyah membawa sebungkus cucian, berjalan menuju ke sungai. Wak Katok menahan napasnya ketika Siti Rubiyah lewat di depannya, dan kemudian setelah Siti Rubiyah menghilang di belakang jalan di balik semak-semak dengan perlahan-lahandia berdiri, dan mengikuti jauh dari belakang. Wak Katok mengendap masuk ke dalam semak-semak. Merangkak-rangkak mendekati pinggir sungai, dan bersembunyi di dalam belukar tebal yang tumbuh di pinggir sungai. Matanya tak putus-putusnya mengikuti gerak-gerik Siti Rubiyah. Perempuan muda itu yang menyangka dirinya seorang diri di pinggir sungai dengan tenang membuka pakaiannya. Dia membuka kebaya tuanya dan meletakkan di atas batu besar. Dia tidak memakai kutang. Wak Katok menahan napasnya melihat badan Siti Ruhiyah yang terbuka dengan tiba-tiba, menyala kuning langsat ditimpa matahari. Buah dadanya tak besar, akan tetapi bagus bentuknya. Kemudian Siti Rubiyah membuka kainnya. Dia tak memakai celana dalam. Dan menyusun kainnya di atas kebayanya di atas batu. Sebentar dia berdiri telanjang bulat di pinggir sungai di atas batu, seluruh tubuhnya dicium oleh sinar matahari. Wak Katok menahan napasnya. Nafsunya datang menyerang bergelombang-gelombang. Dadanya terasa sesak. Matanya panas dan seakan hendak meloncat ke luar dari kepalanya. Selama ini dia hanya dapat membayangkan dan menerka tubuh Siti Rubiyah yang ditutupi baju dan kain tua. Akan tetapi kini dia dapat melihatnya sendiri. Seluruh tubuhnya kencang dan kaku. dan darahnyamengalir di pompa kuat-kuat oleh jantungnya yang bekerja berdegup-degup amat cepatnya. Tetapi dia menahan dirinya. Siti Rubiyah cepat membungkuk dan memakai sebuah kain tua yang hendak dicucinya. Kemudian dia mengambil onggokan kain kolor dan merendamnya ke dalam air. Lalu dia duduk mencangkung di dalam air dan mulai menggosok kain dengan sabun. Coba aku air sungai yang mengalir itu, pikir Wak Katok. Kini dia agak tenang. Serangan nafsu berahi telah lewat, dan yang tinggal ialah api birahi yang membakar kuat, tetapi yang dapat dikuasainya. Setengah jam kemudian Siti Rubiyah membuka kain yang dipakainya, dan mencuci kain. Dia membenamkan bahagian badannya di bawah pinggangnya dalam air, dan yang kelihatan oleh Wak Katok hanya badannyabagian atas saja. Kemudian Siti Rubiyah mandi, dan setelah mengeringkan badannya dengan sehelai kain, lalu memakai kebaya dan kainnya. Dia mengumpulkan cuciannya, dan melangkah kembali ke jalan kecil menuju ladangnya. "Aduh, terkejut aku, kusangka beruang atau apa," serunya, menjerit kecil. Wak Katok tertawa menentramkannya. "Aku kelupaan rokok di rumah, dan kembali mengambilnya. Bagaimana Wak Hitam?" "Masih panas sekali badannya." "Siti, aku bawakan Siti manik yang Siti minta dulu." "Aduh, Wak, ada?" "Marilah," dan Wak Katok memegang tangan Siti dan menariknya masuk ke dalam belukar.... 0oo0 MEREKA telah dua minggu bekerja mengumpulkan damar berpangkalan di huma Wak Hitam. Lusa pagi mereka akan kembali ke kampung. Banyak juga hasil mereka sekali ini, hingga tak terangkat oleh mereka semuanya sekali jalan. Yang tak dapal mereka angkut, akan mereka tinggalkan di rumah Wak Hitam. Dan Wak Hitam yang sakit telah berjanji akan mengirimkannya ke Air Jernih dengan orang yang lewat. "Bayar saja nanti mereka jika telah tiba di kampung," kata Wak Hitam. Sekali ini sakitnya kelihatan tambah berat.Badannya panas, dan matanya kemerah-merahan hingga wajahnya lebih menakutkan lagi. Tiap sebentar dia minta minum pada Siti Rubiyah. Dia menyuruh Siti Rubiyah merebus obatnya sendiri, terbuat dari ramuan daun-daunan, kulit kayu dan akar-akar. Pernah Buyung mencoba rasanya dari periuk di tungku Huuuuhh, pahitnya! Hingga ketika Buyung meludahkannya kembali keluar melalui jendela, Siti Rubiyah menertawakannya. Terobat juga lidahnya yang kepahitan mendengar tertawa Siti Rubiyah yang halus, dan melihat cahaya yang hinggap di mukanya dan memancar dari matanya. Siti Rubiyah jarang tertawa. Buyung mengerti. Terikat kawin pada orang tua seperti Wak Hitam dan tinggal berminggu-minggu di tengah hutan, jauh dan manusia yang lain, pasti terlalu berat bagi seorang perempuan muda seperti Siti Rubiyah yang memerlukan pergaulan dengan perempuanperempuan yang sebaya dengan dia. Sungguh kejam Wak Hitam! Sejak hari pertama mereka tiba di ladang Wak Hitam, Buyung telah memasang sebuah perangkap kancil di pinggir ladang dekat ke hutan. Buyung melihat bekas jejak kancil di sana. Perangkap dibuatnya dari dahan-dahan kayu dan di dalam perangkap dipasangnya buah jagung muda. Jika dia dapat kancil atau anaknya, hendak diberikannya nanti pada Zaitun. Demikianlah maksudnya. Setiap hari sebelum berangkat ke hutan mengumpulkan damarselalu dia pergi ke tempat perangkap, memeriksa, dan mengganti umpan. Karena beberapa kali pintu perangkap telah tertutup, akan tetapi di dalamnya hanya ada tupai. Selalu tupai dilepaskannya karena dia tak suka membunuh binatang dengan tak berguna. Meskipun sebenarnya tupai banyak merusak kebun. Akan tetapi entah mengapa dia tak sampai hati membunuh tupai. Binatangnya kecil dan kelihatannya lucu, dan jika dia ingat cerita tupai dengan Pak Datuk yang kikir, maka perasaannya selalu berada di pihak sang tupai. Tiap petang pun, jika pulang dari hutan selalu dia memeriksa perangkapnya. 0oo0 DARI ladang Wak Hitam terbujur berbagai jalan kecil yang memintas ke hutan dan gunung. Sebuah di antaranya menuju ke Sungai Air Putih yang mengalir di antara batu-batu besar dan kerikil dan pasir kira-kira setengah kilometer dari ladang. Sebuah jalan yang menuju ke Utara adalahjalan yang membawa mereka pulang ke kampung Air Jernih, yang menyusuri Sungai Air Putih sebanyak mungkin, kecuali di beberapa tempat, ketika jalan meninggalkan sungai dan memilih sendiri tempat-tempat yang mudah dilaluinya. Ke Selatan sebuah jalan kecil memintasi hutan menuruni gunung, menuju kampung Wak Hitam, kampung Batu Putih, ada tiga hari berjalan kaki jauhnya. Jalannya kecil sekali, dan hampir-hampir tak kelihatan. Kalau bukan orang perimba pasti akan sesat jika mengikutinya, karena selalu saja tertutup kembali oleh semak dan pohon-pohon, dan........ Bersambung
Posted on: Mon, 02 Sep 2013 07:26:05 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015