"Hujjah Yusril Ihza Mahendra, Sang Perawat UUD 45" "...Banyak - TopicsExpress



          

"Hujjah Yusril Ihza Mahendra, Sang Perawat UUD 45" "...Banyak orang yang asal ngomong seolah-olah benar bahwa korupsi itu adalah “extra ordinary crime” atau kejahatan luar biasa yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) dengan mengaitkannya pada Konvensi PBB tentang Melawan Korupsi. Saya membaca berulang-ulang UN Convention Against Corruption yang saya ikut menyusunnya, dan bahkan saya menandatangani pengesahannya atas nama Pemerintah RI di Markas Besar PBB di New York itu, namun tidak menemukan satu katapun dalam konvensi itu yang mengkategorikan korupsi sebagai extra ordinary crime. Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC Statute), yang memuat kategori tentang extra ordinary crime tidak memasukkan korupsi ke dalamnya. Begitu juga UN Convention on Trans National Organized Crime (TOC) yang saya juga ikut menyusunnya dan akhirnya menandatanganinya atas nama Pemerintah RI di Palermo, Italia, tahun 2002, juga tidak memuat kategori seperti itu; Dikatakannya karena korupsi adalah extra ordinary crime, maka pelaku kejahatan korupsi dikecualikan dari remisi. Darimana landasannya pendapat seperti itu? Tidak ada landasan hukum apapun untuk mendukung pendapat seperti ini. Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana (1955) dan Tokyo Rules (1958) yang mengatur perlakuan terhadap narapidana, justru tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap narapidana. Tidak ada perubahan konvensi itu yang memasukkan pelaku tindak pidana korupsi dikecualikan dari hak mendapatkan remisi; Korupsi dipandang masuk “pelanggaran HAM berat di mata Konvensi PBB” dan karena itu terpidana korupsi tidak dapat dipandang sama dengan pidana umumnya. Saya hanya mempersilahkan yang bersangkutan untuk membaca Konvensi PBB itu baik teks Bahasa Inggris yang saya tanda-tangani di New York, maupun teks Bahasa Indonesia sebagai lampiran UU No 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi tersebut, dan tolong tunjukkan pada saya mana pasal yang mengatakan korupsi itu sebagai “pelanggaran HAM berat”. Kalau korupsi termasuk “pelanggaran HAM berat” maka pelakunya harus diadili di Pengadilan HAM, bukan di Pengadilan Tipikor seperti sekarang ini; Saya berani menentang rencana Presiden Gus Dur yang mau mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR dalam sidang kabinet di Bina Graha, dengan risiko keesokan harinya saya dipecat jadi Menteri Kehakiman. Kalau saya tidak berjiwa rechstaat, saya tak paham juga. Apa ada menteri lain, termasuk SBY yang juga hadir sebagai menteri, yang berani menentang Presiden dalam sidang kabinet? Tolong anda tunjukkan pada saya, kalau ada. Banyak orang yang akhir-akhir ini membangun opini seolah-olah saya ini pembela koruptor dan tidak terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. Saya anggap ini adalah bagian dari “black campaign”. Mereka lupa, atau pura-pura tidak tahu kalau saya yang ikut menyusun RUU Pembentukan KPK dan saya pula yang mewakili Presiden RI membahasnya hingga selesai dengan DPR RI. Saya juga yang ikut merevisi UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga menjadi lebih keras isinya, yang kini menjadi UU No 20 Tahun 2002 dan mewakili Presiden membahasnya di DPR hingga selesai. Tanya saja sama hakim-hakim Tipikor itu, bukankah Yusril, ketika menjadi Menkumham yang membentuk pengadilan Tipikor itu, untuk pertama kali di PN Jakarta Pusat? Banyak orang lupa, bahwa saya ketika Menjadi Menkumham menyediakan segala fasilitas, bahkan sampai meminjam gedung Departemen Pertanian dan mempersiapkan segala sesuatunya agar memungkinkan mantan Presiden Suharto untuk diadli. Padahal, saya pernah menjadi speech writer beliau ketika menjadi Presiden. Pendirian saya menentang moratorium remisi yang dicanangkan Amir Samsudin dan Denny Indrayana itu, dituduh sekedar ingin menyenangkan hati anggota DPR. Sikap yang saya yang tegas dalam memegang suatu pendirian, tidak selalu menyenangkan orang, bahkan sebaliknya banyak pula yang benci. Saya tidak pernah perduli orang senang atau benci dengan pendapat dan pendirian saya. Sepanjang saya yakin benar, saya kemukakan pendirian itu, walau ada yang senang dan ada yang benci. Saya tidak perduli; Orang-orang yang secara kongkrit saya bela di LP Cipinang dan Salemba, kebanyakannya terkait dengan travel cheque suap terkait pemilihan Miranda Gultom menjadi Deputi Senior Gubernur BI. Siapa yang menyuap hingga kini tidak diketahui, apa Miranda, Nunun atau siapa. Masak yang disuap ada, yang menyuap tidak ada. Ini aneh bin ajaib. Kalau suap, tidak ada unsur kerugian negara, apalagi memakan uang rakyat, yang sering dijadikan propaganda orang-orang seperti Berthy Rahawarin ini, seolah-oleh mereka pembela rakyat yang duitnya dimakan koruptor. Andaikata yang nyuap Miranda, atau siapapun, maka yang digunakan adalah uangnya sendiri, atau uang orang lain. Yang jelas bukan uang negara atau uang rakyat. Kecuali Miranda yang korupsi uang negara, dipakai beli travel cheque. Itu benar korupsi yang merugikan keuangan negara. Tapi ini masalah lain yang perlu penyidikan dan penuntutan agar kasus ini jelas; Saya ingin katakan, bahwa saya bukan tipe manusia yang suka lempar batu sembunyi tangan, atau bersembunyi dibalik fasilitas dunia maya. Kalau saya mau melawan dan menantang orang, saya tidak pernah sembunyi-sembunyi. Saya akan tantang secara terbuka. Saya pernah menantang admin Blognya Indonesia Matters untuk debat terbuka, namun mereka tidak berani. Saya bahkan tantang Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Presiden SBY untuk berdebat terbuka di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi, namun tokh mereka tidak datang, sampai akhirnya MK membenarkan argumentasi saya, bahwa Hendarman memang jaksa agung illegal. Bahkan, di tahun 1998, saya pernah datang membawa pisau menantang Prof. A Muis, Guru Besar UNHAS, yang sering memaki-maki saya di koran Fajar, Makassar. Itu saya lakukan setelah dua kali Muis tak muncul ketika ditantang berdebat terbuka, yang disponsori Jusuf Kalla. Kali ketiga saya bawa pisau ke Makassar dan Muis tak datang lagi. Dengan jengkel saya berkata kepada hadirin “Bilang sama Professor Muis, kalau dia orang Bugis, jangan suka tusuk orang dari belakang. Ini saya bawa pisau dan kain sarung. Kalau mau bunuh-bunuhan, ayo kita masuk dalam kain sarung ini, bawa pisau masing-masing. Profesor Muis bikin malu orang Bugis”. Seminggu sesudah itu, Muis meninggal, bukan saya tusuk pakai pisau, tapi dia meninggal karena stroke Sekali lagi, mudah-mudahan penjelasan Saya ini bermanfaat bagi ini semua yang mengikutinya. Mudah-mudahan pula kecerdasan dan kejernihan berfikir tetaplah kita perlihara dan tidak dikalahkan oleh prasangka-prasangka." ~Yusril Ihza Mahendra~
Posted on: Wed, 24 Jul 2013 18:12:03 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015