Hukum Televisi .. Cetak kirim sebagai e-Mail Ditulis Oleh Abu - TopicsExpress



          

Hukum Televisi .. Cetak kirim sebagai e-Mail Ditulis Oleh Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawi Satu perkara pada masa ini yang merupakan salah satu pintu terbesar yang mengantarkan manusia pada berbagai macam kejelekan adalah Televisi. Sebenarnya tidaklah ada seorang pun yang mengingkari bahwa benda ini telah memberikan dampak yang sangat memprihatinkan pada agama dan moral umat manusia. Akan tetapi Iblis beserta para tentaranya, baik dari kalangan jin maupun manusia, berupaya sedemikian rupa untuk menghias-hiasinya sehingga tampaklah pada mata-mata kebanyakan manusia sebagai suatu kebutuhan yang tidak boleh terluputkan. Pembahasan Tuntas Mengenai Hukum TV dan Permasalahan-permasalahan Seputarnya Disertai Bantahan untuk Syubhat-syubhat yang Lemah Tentang Bolehnya TV Masuk Rumah Muqoddimah Penulis ﴿الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا * قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا﴾ أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده روسوله. صلى الله عليه وعلى أله وأصحابه أجمعين. أما بعد: Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: «إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرّ وَإِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرمَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ الله مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ الله مَفَاتِيحَ الشَّرعَلَى يَدَيْهِ». “Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi kunci-kunci (pembuka) kebaikan dan penutup kejelekan. Dan di antara manusia (juga ada) yang menjadi kunci pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Maka beruntunglah orang yang Alloh jadikan sebagai kunci kebaikan dan penutup kejelekan di tangannya, dan celakalah orang yang Alloh jadikan sebagai pembuka kejelekan dan penutup kebaikan”. (HR Ibnu Majah dan yang lainnya dari Anas bin Malik radhiyAllohu ‘anhuma, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah: 1332). Setiap muslim tentunya menginginkan dirinya untuk menjadi kunci kebaikan dan sebagai penutup kejelekan. Namun tidaklah hal tersebut bisa terwujud kecuali jika dia berjalan di atas tuntunan syariat. Sebab kebaikan dan kejelekan, yang mengetahui hakekatnya adalah Pembuat syariat yang mulia ini, bukan perasaan dan hawa nafsu masing-masing pribadi. Oleh karena itulah, ketika seseorang menghukumi suatu perkara apakah halal atau haram, apakah baik atau buruk, harus kembali kepada syariat Islam yang murni berdasarkan pemahaman salaf, generasi terbaik umat ini. Kapan saja seseorang berpaling darinya, jadilah ia sebagai kunci pembuka kejelekan dan penutup pintu kebaikan, baik dia sadari atau tidak. Apabila dia diikuti dalam kesalahannya ini maka selain mendapat ancaman yang tersebut di dalam hadits di atas dia juga terkena ancaman yang termaktub dalam sabda Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam: «وَمَنْ سَنَّ في الإسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أوْزَارِهمْ شَيءٌ» رواه مسلم . “Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara yang jelek dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan dosanya serta dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim: 1017). Satu perkara pada masa ini yang merupakan salah satu pintu terbesar yang mengantarkan manusia pada berbagai macam kejelekan adalah Televisi. Sebenarnya tidaklah ada seorang pun yang mengingkari bahwa benda ini telah memberikan dampak yang sangat memprihatinkan pada agama dan moral umat manusia. Akan tetapi Iblis beserta para tentaranya, baik dari kalangan jin maupun manusia, berupaya sedemikian rupa untuk menghias-hiasinya sehingga tampaklah pada mata-mata kebanyakan manusia sebagai suatu kebutuhan yang tidak boleh terluputkan. Hal ini tidak lain karena ketidaktahuan mayoritas mereka tentang hukum-hukum syar’i, ditambah dengan hawa nafsu yang memang telah mendominasi. Oleh karena itu, dengan memohon pertolongan Alloh penulis berusaha untuk memaparkan kepada para pembaca hukum Televisi dan hal-hal yang berhubungan dengannya, berdasarkan dalil-dalil yang shohih disertai fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah pada masa ini. Sebagai bentuk pengamalan firman Alloh: وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imron:104) Perlu diketahui pula bahwa diantara sebab utama penulisan ini adalah sampainya kepada kami pada pertengahan akhir bulan Dzulqo’dah 1432H sebuah rekaman dari ceramah seorang da’i bernama Dzul Qornain yang berisi kutipan fatwa dari gurunya, Ubaid al Jabiri, tentang bolehnya seseorang untuk membeli TV dan memasukkannya ke rumah agar anak-anak orang tersebut tidak keluyuran untuk nonton TV di luar, dengan alasan ‘taqlilusy syar’ (memperkecil kejelekan). Sebuah fatwa yang dikatakan oleh da’i ini sebagai bentuk kebijaksanaan dan bentuk hikmah dalam mengingkari kemungkaran. Namun apakah demikian hakekatnya…? Insya Alloh pembaca akan menemukan jawabannya dalam lembaran-lembaran yang akan datang. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan bisa membuka mata orang-orang yang terkecoh dengan fatwa tersebut, dan bisa menjadi pelajaran serta pengokoh orang-orang yang dibuat bimbang karenanya. Tidak lupa penulis ucapkan Jazahumullohukhoiron kepada seluruh ikhwah yang telah membantu tertulisnya risalah ini; terutama Akh Abu Sholeh Mushlih dan Akh Ahmad Rifa’i –hafidzohumalloh- yang telah merelakan waktu dan tenaganya untuk membantu mempercepat pengetikan dan pengeditan. رَبِّ أَعِنِّي وَلَا تُعِنْ عَلَيَّ وَانْصُرْنِي وَلَا تَنْصُرْ عَلَيَّ وَامْكُرْ لِي وَلَا تَمْكُرْ عَلَيَّ, وَاهْدِنِي وَيَسِّرْ هُدَايَ إِلَيَّ وَانْصُرْنِي عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيَّ, اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي لَكَ شَاكِرًا لَكَ ذَاكِرًا لَكَ رَاهِبًا لَكَ مِطْوَاعًا إِلَيْكَ مُخْبِتًا أَوْ مُنِيبًا, رَبِّ تَقَبَّلْ تَوْبَتِي وَاغْسِلْ حَوْبَتِي وَأَجِبْ دَعْوَتِي, وَثَبِّتْ حُجَّتِي وَاهْدِ قَلْبِي وَسَدِّدْ لِسَانِي وَاسْلُلْ سَخِيمَةَ قَلْبِي. Ditulis oleh: Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawi -Semoga Alloh mengampuni dosa-dosanya- Darul Hadits, Dammaj, 29 Dzulqo’dah 1432H -Semoga Alloh menjaganya dari segala kejelekan- Tamhid Syariat Islam Adalah Syariat yang Dibangun di Atas Hikmah dan Mashlahat Ketahuilah –semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada kita semua- bahwa syariat Islam adalah syariat yang sempurna. Oleh karena itulah Alloh jadikan agama ini sebagai penghapus seluruh agama dan memerintahkan semua manusia untuk tunduk di bawah aturannya. Tidaklah satu kebaikan pun kecuali telah Alloh jelaskan, baik dalam kitab-Nya atau melalui perantara Rosul yang diutus-Nya. Dan tidaklah satu kejelekan pun kecuali telah diperingatkan manusia darinya. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: «إنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقّاً عَلَيْهِ أنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُم شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ» “Sesungguhnya tidaklah ada seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang yang diketahuinya, dan memperingatkan manusia dari kejelekan yang diketahuinya. (HR Muslim) Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk bersyukur karena Alloh telah berikan kepadanya hidayah untuk ber-Islam yang dengannya terbuka pintu untuk bisa meraih kebahagian yang sempurna dan abadi. Selain itu, wajib pula baginya untuk tunduk pada syariat agama yang dipeluknya tersebut sebagai konsekuensi keislaman dan keimanannya. Terlebih lagi ketika diketahui bahwa semua aturan syariat yang mulia ini, yang berupa perintah dan larangan, penghalalan maupun pengharaman, kembali manfaat dan maslahatnya kepada hamba itu sendiri. Imam Ibnul Qoyyim rahimahulloh berkata: “Jika engkau memperhatikan syariat yang Alloh telah mengutus Rosul-Nya untuk menyampaikannya dengan cermat, engkau akan dapati dari awal sampai akhirnya menunjukkan bahwa (syariat ini dibangun di atas kemaslahatan), engkau akan dapatkan maslahat, hikmah, keadilan, dan kasih sayang, nampak padanya, yang mendorong akal-akal (yang sehat dan cerdas) untuk mendekatinya. (Sebab) tidaklah pantas bagi Dzat yang Maha Bijaksana untuk memberikan suatu syariat yang merugikan (hamba-hamba Nya). Hal ini dikarenakan Dzat yang menurunkan syariat itu Maha Tahu perkara-perkara yang mengakibatkan kerusakan, kejelekan, kezhaliman dan kepandiran.” (Miftah Daris Sa’adah: 2/263) Jadi, tidaklah tersisa satu perkara pun baik di masa dahulu maupun sekarang bahkan yang akan datang, kecuali Alloh dan Rosul-Nya telah menentukan hukumnya, baik secara nash maupun istimbath. Sebab Alloh adalah Dzat yang Maha Mengetahui segala sesuatu, tahu semua perkara yang akan muncul dan tidak, serta tahu dampak yang akan ditimbulkannya jika perkara tersebut muncul. Adapun perselisihan yang terjadi dalam menentukan hukum kembali pada kekurangan manusia dalam memahami syariat Alloh dan penjelasan-penjelasan yang disampaikan Rosul-Nya. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah mengatakan: « مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ الله بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ الله عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ » “Aku tidak meninggalkan satu pun dari perkara-perkara yang Alloh perintahkan kepada kalian, kecuali aku telah memerintahkannya, dan aku tidak meninggalkan satu pun dari perkara-perkara yang Alloh melarang kalian darinya, kecuali aku telah melarangnya.” (HR. Asy-Syafi’i di Ar-Risalah dari Al-Muthollib bin Hanthob dengan sanad hasan) Hal selanjutnya yang hendaknya diketahui bahwa perintah dan larangan yang dibebankan kepada manusia tidaklah semuanya disenangi oleh jiwa. Sebab jiwa ini memang tabiatnya cenderung pada kejelekan dan menyukai kemalasan. إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku itu Ghofur (Maha Pengampun) Rohim (Maha Penyanyang). (QS. Yusuf: 53) Sehingga seorang hamba dituntut untuk bersabar dalam melaksanakan perintah dan dalam menjauhi larangan. Inilah hakekat ujian yang Alloh berikan kepada hamba-hamba-Nya. Sebab, jika semua perintah dan larangan itu mudah dan disenangi jiwa, tidaklah akan diketahui siapa-siapa yang benar-benar bertaqwa dan siapa yang hanya ‘berdiri di tepi belaka‘ yang apabila terkena goncangan sedikit langsung jatuh dan berbalik arah. Alloh U telah berfirman: تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Maha suci Alloh yang di tangan-Nyalah segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, (Dzat) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia itu Al-Azizul Ghofur (Maha Perkasa dan Maha Pengampun)”. (QS. Al Mulk: 1-2) Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: «حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ» “Neraka itu dilingkupi dengan syahwat, dan syurga itu dilingkupi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi”. (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Huroiroh radhiyAllohu ‘anhu) Dari sinilah hendaknya seorang hamba sadar bahwa semua itu butuh perjuangan dan kesabaran. Perjuangan dalam menundukkan hawa nafsu agar bisa melaksanakan perintah Alloh serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, yang terkadang hal tersebut merupakan perkara yang sangat disenangi, serta kesabaran dalam menjalani pahitnya perpisahan dengan hal-hal yang dicintai apabila hal-hal tersebut merupakan perkara yang dilarang Alloh. Namun bergembiralah, sebab jika engkau lulus dalam tahapan ini dengan mengharap keridhoan Alloh, maka semua itu akan terasa manis dan kesusahan tersebut akan terlupakan. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: «إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَّا آتَاكَ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ» “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena takut kepada Alloh –Tabaroka wa Ta’ala- kecuali akan Alloh datangkan kepadamu (pengganti) yang lebih baik darinya.” (HR Ahmad, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shohihul Musnad: 1489) BAB I Hukum Televisi Dalam Timbangan Syar’i Hukum syar’i terhadap televisi dan alat-alat semisalnya dapat ditinjau dari dua sisi: Pertama; ditinjau dari sisi benda itu sendiri. Kedua; ditinjau dari dampak yang disebabkannya. Adapun dari sisi benda tersebut, maka kita ketahui bahwa TV dan yang sejenisnya merupakan alat untuk menampilkan gambar makhluk yang bernyawa (shuroh[1] ), sehingga bisa dinikmati orang yang melihatnya. Dari sisi ini kita ketahui pula bahwa TV tidaklah terlepas dari gambar makhluk bernyawa, baik gambar tersebut diam maupun bergerak, baik digambar dengan tangan yang dikenal dengan sebutan gambar kartun, maupun dengan kamera atau peralatan untuk menghasilkan gambar yang lain. Oleh karena itu, para ulama ketika menghukumi TV, titik sorot mereka adalah pada gambar yang ditampilkan tersebut. Begitu pula sebaliknya, orang-orang yang membolehkan TV, usaha terbesar mereka adalah bagaimana caranya agar gambar yang ditampilkan TV tidak masuk dalam dalil-dalil yang melarang gambar makhluk bernyawa. Jika seseorang mau membaca kitab-kitab hadits, akan didapati banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkkan kerasnya ancaman terhadap orang-orang yang menggambar makhluk bernyawa, baik itu gambar hewan-hewan atau manusia. Juga akan didapati bahwa gambar yang dihasilkan tersebut adalah haram, wajib untuk dihapus, kecuali pada keadaan darurat yang seseorang tidak mungkin untuk menghindar darinya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sebagian dalil-dalil yang menjelaskan permasalahan ini yang bisa kita kelompokkan menjadi beberapa golongan: 1) Celaan dan laknat bagi orang yang membuat gambar mahluk bernyawa serta ancaman bahwa mereka adalah golongan yang paling keras adzabnya pada hari kiamat. Dari Ibnu Mas’ud radhiyAllohu ‘anhu bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: « إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ » “Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah para penggambar makhluk yang bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih) Dari ‘Aisyah rodhiyAllohu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam pada suatu hari masuk ke rumahnya dan melihat kain penutup ‘Aisyah bergambar makhluk bernyawa, maka berubahlah raut muka beliau dan mengambil kain tersebut kemudian menyobeknya seraya berkata: « إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ الله » “Sesungguhnya diantara manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat-buat sesuatu yang menyerupai makhluk ciptaan Alloh”. (Muttafaqun ‘alaih) Dari Abu Juhaifah radhiyAllohu ‘anhu, berkata: «نَهَى النَّبِيُّ ص عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ, وَثَمَنِ الدَّمِ, وَنَهَى عَنِ الْوَاشِمَةِ وَالْمَوْشُومَةِ, وَآكِلِ الرِّبَا وَمُوكِلِهِ, وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ». “Nabi telah melarang hasil penjualan anjing dan darah, serta melarang dari membuat tato dan mentatokan diri, dan melarang dari memakan riba serta memberi makan orang berkecimpung dalam riba, (beliau juga) melaknat orang yang menggambar makhluk bernyawa” (HR. Bukhori) Dari Ibnu Umar radhiyAllohu ‘anhu, bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: «الَّذِينَ يَصْنَعُونَ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ» “(Orang-orang yang) membuat gambar makhluk bernyawa akan disiksa pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah (gambar-gambar) yang telah kalian ciptakan itu!” (HR. Muslim) 2) Peringatan keras dari Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam agar tidak memasukkan ‘shuroh’ ke dalam rumah Dari Jabir radhiyAllohu ‘anhu, berkata: «نَهَى رَسُولُ اللهِ ص عَنِ الصُّورَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ» “Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam telah melarang (adanya) gambar makhluk bernyawa di dalam rumah dan melarang dari pembuatannya”. (HR. Tirmidzi, dan dishohihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shohihah: 424) 3) Kemarahan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika melihat ‘shuroh’ dan perintah untuk menghapusnya. Sebagaimana telah lalu pada hadits ‘Aisyah bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam masuk ke rumahnya dan melihat kain bergambar makhluk bernyawa, maka beliau sangat marah dan menyobeknya dengan serta merta. Dari Abul Hayyaj Hayyan bin Husain, berkata: Ali bin Abi Tholib ت berkata kepadaku: “Aku akan mengutusmu sebagaimana Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengutusku; «أن لاَ تَدَعَ صُورَةً إلاَّ طَمَسْتَهَا ، وَلاَ قَبْراً مُشْرفاً إلاَّ سَوَّيْتَهُ». “Janganlah kau tinggalkan satu gambar pun kecuali kau hapus, dan jangan kau biarkan satu pun kuburan yang ditinggikan, (melebihi kadar yag ditentukan syareat) kecuali kau ratakan”. (HR. Muslim) 4) Penjelasan Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa malaikat tidak akan masuk rumah yang ada ‘shuroh‘ di dalamnya Dari Abu Huroiroh radhiyAllohu ‘anhu bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: «لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ». “Malaikat tidak akan masuk rumah yang ada di dalamnya patung atau gambar makhluk bernyawa”. (Muttafaqun ‘alaih) Inilah sebagian kecil dari sekian banyak dalil yang menunjukkan haramnya ‘Shuroh’. Imam Nawawi rahimahulloh berkata: “Hadits-hadits ini menunjukkan dengan jelas haramnya menggambar hewan (termasuk manusia).” Syarh Muslim: 14/ 90] Beliau juga berkata: “Saudara-saudara kami (dari kalangan Syafi’iyyah), demikian pula para ulama yang lain menyatakan bahwa menggambar hewan (termasuk manusia) hukumnya sangat haram. Perbuatan itu merupakan dosa besar, karena pelakunya diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana termaktub dalam hadits-hadits (yang telah disebutkan di atas-pen). Hukumnya sama saja, apakah gambar itu dibuat dengan sesuatu yang dihinakan atau tidak. Pokoknya pembuatan gambar makhluk bernyawa itu haram, sebab ada padanya unsur (penciptaan sesuatu) menyerupai makhluk yang Alloh ciptakan, baik gambar tersebut ada di baju, tikar, mata uang, atau bejana dan yang selainnya…..” [Syarh Muslim: 14/ 81] Barangsiapa mencermati dalil-dalil yang telah lalu, dan terbebas dari shubhat dan hawa nafsu, maka dia akan tahu dan yakin bahwa TV merupakan benda yang haram menurut syari’at Islam. Perlu diingat bahwa hukum ini baru kita petik dari satu faktor saja, yaitu adanya ‘shuroh’ yang ada di layar TV atau alat-alat lain yang sejenis. Lalu bagaimana jika ditambah dengan faktor lainnya yang berupa kemungkaran nyata yang didapati oleh orang yang melihat TV ?!!!
Posted on: Tue, 30 Jul 2013 09:35:07 +0000

Trending Topics



:0px; min-height:30px;"> Music is my biggest distraction....2 minutes into a song I regain
Ask the Right Questions when you MEDITATE! “But don’t just
The best way to get to know our next WHOS WHO is through his
******* World Wide Computer Repair ******** I will fix your
Better safe than sorry right. Channel 13 news was just talking

Recently Viewed Topics




© 2015